Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

OYOT MIMANG (Part 2) - Pertanda

Ada yang datang, memberi pertanda tentang petaka yang mungkin bisa dihindari.


Suara announcement kereta yang ku tumpangi, membuatku terbangun dari tidur saat perjalanan pulang ke Kota Bahari. Terdengar pula alunan musik Gambang Semarang menyambut kedatanganku kala itu.

Malam semakin larut waktu ku tiba di Kota itu, saat keluar stasiun hanya sedikit kendaraan yang aku jumpai, warganya sudah tenang bersitirahat di rumah masing-masing, yah Kota ini bukan seperti Jakarta yang aktifitasnya tak kenal waktu,

Jakarta bagaikan kota yang tak pernah tertidur. Angin laut yang berhembus malam itu, tersasa berbeda, dinginnya menusuk sampai ke kulit. Tak beberapa lama mobil yang aku pesan melalui aplikasi online sudah tiba,

segera aku masuk ke dalamnya, mobil langsung melaju tenang meninggalkan stasiun untuk menuju rumah.

Masih terngiang peristiwa saat prosesi lamaran beberapa bulan yang lalu, setiap detailnya masih tertancap jelas di pikiranku.

Kini aku pulang ke Kota Bahari kembali, tersisa beberapa hari menuju hari pernikahanku, ada beberapa hal yang perlu untuk dipersiapkan sebelum digelarnya prosesi akad nikah yang akan dilaksanakan di Banjarnegara, kota calon istriku berada.

Masih cukup waktu untuk memastikan semuanya berjalan lancar.

Bapak dan Ibu yang sudah menunggu di depan pintu rumah menyambut kedatanganku dari Jakarta, segera aku cium tangan mereka, dan setelahnya duduk di ruang tamu.

“Lancar perjalanannya Gung?” tanya Bapak padaku.

“Alhamdulillah lancar Pak, kan naik kereta jadi bebas macet, tadi juga ijin pulang lebih cepat dari kantor setelah selesai membereskan beberapa pekerjaan sebelum cuti panjang”

“Syukur kalau begitu, fleksible juga ya kantormu?”

“Alhamdulillah Pak semua hal bisa dikondisikan sampai saat ini.”

Ibu keluar dari dalam rumah, sembari membawa teh poci hangat dan tahu aci yang siap untuk aku nikmati, menikmati teh poci dan tahu aci adalah kombinasi sempurna makanan ringan di Kota Bahari.

Tak lama berselang, adik-adikku datang, padahal malam sudah selarut ini, biasalah anak laki-laki.

“Datang kapan Mas?” Tanya adik pertamaku.

“Baru beberapa menit yang lalu, belum lama kok dik...” jawabku sambil menghabiskan tahu aci sedikit demi sedikit.

“Cie yang mau nikah, dek-dekan gak mas? Bar iki Mas Agung meh enak-enak, uhuuyyy!!!” ledek adik keduaku.

“Bro, nikah itu gak perkara enak-enak tok, banyak pertanggung jawabannya, banyak hal yang perlu dilakukan, banyak hal yang perlu dijaga, anak orang ini yang dititipkan sama aku, dan pada hakikatnya aku juga harus memenuhi hak dan tanggung jawab sebagai suami nantinya bro,

apalagi nanti kalau sudah punya anak, level baru dalam kedihupan tau..” jawabku sambil pasang muka serius.

“Serius amat mas broo, hahaha tapi kan tetep habis nikah udah halal kan ya..?” ledek kembali adikku.

“Ya itu adalah salah satu nikmatnya orang menikah, kenapa, pada pengen ya? hihihi” aku tersenyum kecut ke arah adikku.

Kami semua larut dalam canda dan tawa pada malam itu, setelah cukup lama masing-masing dari kami menuju kamar, beristirahat untuk melanjutkan kegiatan esok hari. Tersisa aku dan Bapak duduk berdua,

biasanya kalau sudah seperti ini situasainya, akan ada sesi wejangan dari Bapak, bisa jadi sambil bercanda atau sebaliknya pembicaraan akan lebih serius.

“Kamu berangkat ke Banjarnegara kapan?”

“Besok pak, hari sabtu, malam hari, biar bisa mempersiapkan beberapa hal saat berada di Banjarnegara.”

“Besok? Malam hari? Nantinya saat perjalanan kamu mau lewat mana?”

“Pemalang Pak, kan sudah biasa lewat situ, tapi baru kali ini sih lewat daerah itu saat malam hari...”

“Hati-hati, dikonsisikan ya, jalan yang kamu lewati ini bukan jalan sembarangan, banyak petilasan dan bangunan keramat yang akan dilewati, belum lagi nantinya kamu menemui hutan sebanyak tiga kali, benar kamu mau lewat situ?”

“Ya benar Pak, lewat Purwokerto lumayan lama pak, agak muter jalannya, tenang pak Insya Allah semua akan berjalan lancar...”

“Yowes, tapi kamu wajib mengingatkan semua orang yang mengantarmu nanti ya, Bapak, Ibu dan keluarga inti tidak boleh mengantarmu, itu pantangan sudah jadi tradisi, kami berkunjung saat akadmu dilaksanan...”

“Dimengerti Pak, saya akan berhati-hati, penasaran juga lewat Pemalang saat malam hari...”

“Ojo go guyonan, yowes, Bapak tak masuk kamar dulu, istirahat, masih banyak hal yang perlu disiapkan untuk acara akadmu,

banyak hal yang harus dibawa ke Banjarnegara, kamu juga istirahat, besok ada sesuatu yang akan Bapak tunjukan sama kamu...”

“Apa itu Pak?” tanyaku penasaran.

“Sudah malam, kamu istirahat dulu, jaga kesehatanmu...” perintah Bapak padaku.

“Baik Pak, saya bersihkan badan dulu, baru setelah itu tidur”

Aku langsung bergegas bersiap membersihkan diri, bersiap untuk mandi terlebih daulu sebelum tidur untuk mengistirahatkan badanku. Aku selalu diajarkan untuk membersihkan diri setelah perjalanan dari luar rumah, minimal cuci muka, kaki dan wajah.

Dalam tradisi kebudayaan Jawa selalu diajarkan hal tersebut, selain untuk kesehatan, membersihkan diri setelah melakukan perjalanan sebagai simbol membuang segala hal yang menempel pada tubuh, baik yang terlihat jelas oleh mata maupun hal yang tak kasat mata.

Aku melangkah menuju kamar mandi, saat itu sudah lewat dari tengah malam. Hawa dingin malam begitu terasa hingga menusuk tulangku. Tiba-tiba kepalaku seperti tertimpa beban yang sangat berat, rasanya benar-benar tak bisa ditahan lagi.

Aku jatuh tersungkur tepat di tepan kamar mandi, sakit kepala yang kualami saat itu terasa begitu berat, baru kali ini hal semacam itu terjadi padaku. Mataku tertuju ke bawah,

tiba-tiba aku melihat satu sosok perempuan berdiri di depanku yang tengah mengenakan kain batik khas Jawa, aku hanya bisa melihat bagian bawahnya saja, kepalaku benar-benar tertunduk, aku berusaha mengangkat kepalaku untuk melihat keatas namun hasilnya nihil,

leherku benar-benar terkunci, begitu juga dengan mulutku, tak ada satu kata pun yang bisa keluar, “siapa sebenarnya sosok yang ada di depanku?” pertanyaan itu terus berputar di pikiranu, lalu selang tak beberapa lama terdengar suara dari atas kepalaku,

“Le, ati-ati, awakmu kui, wes ditunggu, awakmu kui sing dipilih” (Le, Hati-hati, kamu itu, sudah ditunggu, kamu itu yang dipilih)

Sayup-sayup suara itu mulai menghilang secara perlahan, pandanganku lambat laun makin buram, beberapa saat kemudian tubuhku benar-benar jatuh, yang kulihat hanyalah kegelapan.

Aku membuka mataku, yang kulihat pertama kali adalah langit-langit ruangan, yang ku tahu sekarang aku sedang berada di dalam kamarku, “tunggu sebentar!” aku teringat terakhir kali aku masih berada di depan kamar mandi, tapi kenapa sekarang aku di sini?

Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa waktu seperti terjadi secara singkat? Semua pertanyaan itu memenuhi pikiranku tak lama setelah aku membuka mata.

Saat mulai benar-benar tersadar, aku terkejut tatkala mendapati tubuhku sudah berada di atas kasur, mataku langsung tertuju pada Ibu, yang duduk memegangi kakiku dan saat itu juga aku melihat ekspresi Ibu, tersenyum dengan air mata yang masih ada di wajahnya.

“Ya Allah le, kamu sudah sadar?, Ibu khawatir le, Ibu khawatir...”

“Memangnya ada apa denganku bu?”

“Subuh tadi, subuh tadi, waktu Bapak dan Ibu bangun, mau berangkat kerja, kami semua terkejut menemukan tubuhmu tergeletak di depan kamar mandi, Bapak langsung membangunkan adik-adikmu, lalu mengangkatmu dan membawamu ke kamar.”

“Ono opo to mas? Kok lemah banget, kecapekan po yo? Mumet mikir biaya nikah ya?” ledek adik keduaku yang tiba-tiba datang entah dari mana.

“Lambemu dek dek, asal nyembur kaya naga Dragon Ball” aku menjawab sedikit kesal.

“Cuk, Mas Agung lagi sakit gitu kok mbok buat guyon loh?” timpal adik pertamaku yang sedari tadi berdiri di depan pintu kamarku.

“Tapi kok aneh ya Buk, kalau Mas Agung sakit harusnya seluruh badannya panas, demam, subuh tadi saat kita angkat badannya dingin banget” lanjut penjelasan dari adik keduaku.

“Ibu juga gak tahu, Mas mu tadi pagi benar-benar lemas badannya, tapi Ibu yajkin itu bukan karena demam”

Mendengar percakapan dari Ibu dan Adik-adiku seperti ada hal yang mengganjal, selama itu aku tidak merasakan apapun. Saat pandangan ku arahkan ke jendela kamar,

sinar mentari sudah benar-benar terlihat jelas, tak ada lagi warna hitam di luar rumah, bunyi kokok ayam jago juga beberapa kali terdengar.

“Sakniki pun jam pinten Buk?” tanyaku pada Ibu menanyakan sudah jam berapa sekarang.

“Setengah delapan Gung...”

Mendengar jawaban itu membuatku lemas, ada apa dengan tubuhku, aku merasa baik-baik saja, namun jika dibandingkan dengan pernyataan Ibu dan Adik-adikku rasanya ada yang tidak beres.

Pikiranku langsung mengingat sosok wanita dengan pakaian tradisional Jawa yang semalam datang menemuiku, aku mulai ingat sedikit demi sedikit kejadian semalam, sebelum aku tak sadarkan diri.

Sepertinnya hal ini harus aku tanyakan ke Bapak, siapa tahu Bapak bisa memberi penjelasan tentang kedatangan sosok tersebut.

“Bapak, Bapak dateng pundhi Buk?” Tanyaku menanyakan keberadaan Bapak

“Bapak berangkat ke tempat jualan, kan masih harus merampungkan beberapa pesanan sebelum libur untuk pernikahanmu, itu juga adik-adikmu baru pulang, paling sebentar lagi datang”

“Ya Allah, cuan terus sing diurus loh, anaknya pingsan aja masih gak ditunguin sampai sadar” agak sebal aku dengan sikap Bapak.

“Bapakmu itu gak cuma ngurus kamu tok, banyak pesanan orang yang perlu diurus, kita bisa lebih baik sekarang kan juga dari hasil kerja keras bersama”

“Hooh loh Mas, setidaknya dulu keluarga kita berada di bawah garis kemiskinan, sekarang naik sedikit lah, berada di garis kemiskinannya hahahaha” potong adik keduaku, yang bermaksud bercanda untuk mencairkan suasana.

“Iyo sih, Mas juga gak tau apa yang terjadi sebenarnya, tapi yang Mas ingat semalam–”

“Ojo mbok lanjut Gung, lihat di sebelah kananmu!” Ibu memotong obrolan, melarangku untuk berbicara lebih lanjut.

Aku langsung melirik ke sebelah kanan tubuhku, terlihat satu buah batu berwana biru tua, dibawahnya ada kain putih, seperti habis dibuka, diletakan di samping bantalku.

“Batu? Niki batu biru kangge nopo Buk? Kok ada di sini?” Aku menanyakan maksud dari diletakannya batu biru tersebut tersebut di sedebelahku.

“Sebelum pergi tadi, Bapak memberikan batu itu, Bapak khawatir, kalau saat kamu pingsan tadi ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi, ya itu buat jaga-jaga saja” Ibu menjelaskan semuanya, sambil memberikan segelas teh hangat untuk ku minum.

Beberapa menit sudah berlalu, aku masih terduduk sendiri di atas kasur, masih terus meminum teh hangat yang Ibu berikan sedikit demi sedikit, tubuh ku seperti masih menolak untuk segera bergegas ke kamar mandi,

namun di lain sisi, bagian tubuhku sudah terasa lengket karena bekas keringat, rasanya sudah tak nyaman. Pikiranku masih saja muncul pertanyaan, siapa sebenarnya yang semalam datang menemuiku, di saat semua orang sudah terlelap tidur.

“Wes tangi to Gung, piye keadaanmu?” suara Bapak tiba-tiba muncul menanyakan aku sudah terbangun, membuatku kaget dalam lamunku dan langsung mengalihkan pandanganku padanya.

“Sampun Pak, alhamdulillah aku gak merasakan apa-apa pak, biasa saja, tapi masih malas buat melangkah ke kamar mandi”

“Ojo ngono, ndang mandi dulu sana, kamu itu nanti malam kan sudah harus ke Banjarnegara, jadi banyak yang harus dipersiapkan, jadi nikah gak to?”

“Yo jadilah Pak, yang bener saja... doa yang baik lah...”

“loh Bapak kan cuma tanya, hahahaha ya sudah mandi sana, ada yang perlu Bapak bicarakan sama kamu..”

“Mengenai batu ini?”

“Wes gak usah banyak tanya, mandi sana loh!” perintah Bapak yang langsung memotong pertanyaanku.

Aku segera bergegas bangun dari tempatku, bersiap untuk membersihkan badan yang sudah sangat lengket mungkin akibat keringat di badanku, saat melewati depan pintu kamar mandi aku jadi teringat peristiwa malam tadi,

tapi aku sudah tidak terlalu memikirkannya, segera ku bergegas mandi agar lebih cepat tahu apa yang akan diceritakan Bapak pada ku.

Selesai mandi aku bergegas ke kamar untuk memakai baju, aku melihat batu biru yang berada di sebelahku sudah tidak ada, mungkin sudah diambil Bapak pikirku saat itu.

Lalu aku bergegas ke ruang tamu, Bapak sudah menunggu di sana, dengan satu teko poci dan gelasnya, segera aku duduk dihadapannya, menyalakan rokok dan memulai pembicaraan dengan Bapak.

“Pripun Pak?” tanyaku pada Bapak yang sedang duduk di ruang tamu sembari menikmati teh pocinya.

“Duduk dulu, biar enak ngobrolnnya” perintah Bapak padaku. Akupun langsung duduk di depannya, menuangkan teh dari poci ke gelas kecil yang nampaknya sudah Bapak sediakan untukku.

Raut mukanya serius tatapannya tajam, seolah ada hal yang sangat penting ingin disampaikan, suasana rumah yang tadinya ramai tiba-tiba berubah hening, seolah-olah penjelasan Bapak kali ini benar-benar harus diperhatikan dengan pikiran fokus.

“Aku meh ngomong soal kejadian tadi malam, kamu jangan kaget, jangan histeris, kamu kudu nerimo dan tenang ya?” pinta Bapak padaku.

“Baik Pak, segera katakan, pikiran saya malah tidak tenang kalau masih disimpan terus, coba Pak segera diceritakan” aku mendesak Bapak untuk segera menceritakannya.

“Pelan-pelan, hal ini serius karena menyangkut langkah hidupmu selanjutnya, dadi wong lanang ojo grusa-grusu, tetap tenang, jadi laki-laki jangan terburu-buru” Ucap Bapak mencoba meredam rasa penasaranku.

Bapak masih saja menghisap dan menyemburkan asap rokoknya berkali-kali, seperti sedang menata kata yang ingin disampaikannya. Aku mencoba tenang, lebih tenang lagi menunggu pesan apa yang akan keluar dari mulut Bapakku.

Benar saja, kurang lebih sudah satu menit kami berdua terdiam saling menatap, Bapak akhirnya memulai pembicaraan.

“Koe wes langsung enthuk wangsit, Kamu sudah dapat amanat langsung...” Ucap Bapak padaku

“Wangsit? Wangsit soal apa Pak kalau saya boleh tau?”

“Soal pernikahanmu, sekarang Bapak tanya sama kamu, masih ingat tidak dengan kata-kata yang semalam kamu dengar?”

“Masih Pak, kurang lebih yang aku ingat itu begini Le, ati-ati, awakmu kui, wes ditunggu, awakmu kui sing dipilih, maksudnya apa ya Pak, kenapa saya perlu hati-hati, dipilih dalam artian apa dan siapa wanita itu?”

“Mungkin ada kaitannya dengan pernikahanmu, dan keluarga calon istrimu, tapi bapak hanya bisa cerita soal rumahnya saja, mengenai pernikahanmu, itu masih misteri, kan masih belum terjadi...”

“Memangnya ada apa dengan rumah calon istriku Pak? Bapak merasakan apa?”

“Ada yang tidak suka dengan keluarga calon istrimu, ada yang punya dendam, dendam itu terkait kejadian masa lalu, ada yang diam-diam sudah mengirim banyak demit ke rumah itu, terutama di kamar Mbah Uthi..”

Bapak mengambil gelasnya, meminum teh yang sudah mulai dingin karena pembicaraan kami. Raut wajahnya seperti menyembunyikan sesuatu, aku masih menanti kalimat apa lagi yang akan keluar darinya, sepertinya Bapak kali ini sangat berhati-hati saat ingin mengatakannya.

Dalam hati rasa antara ingin percaya dan tidak percaya bergejolak, tapi dengan kejadian-kejadian diluar nalar yang terjadi jelang hari pernikahanku, aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja, aku harus mencari tahu, lewat mana lagi selain dari Bapakku,

setidaknya sedikit atau banyaknya petunjuk yang akan aku dapatkan, membuatku jauh lebih berhati-hati untuk melangkah.

“Pernikahanmu itu sangat dinanti Gung, bukan masalah dalam hubungan kamu dan calon istrimu, tapi ada pesan yang Bapak dapat dari Mbah Uthi” Tiba-tiba Bapak mulai berbicara kembali, kali ini ada apa lagi dengan Mbah Uthi yang sudah tenang di alam sana.

“Kenapa lagi dengan Mbah Uthi, beliau sudah tenang kan Pak?”

“Benar beliau sudah tenang, tapi apa yang Bapak dapatkan dari acara lamaranmu kemarin itu membuat Bapak kaget, namun Bapak masih menyimpannya sendiri, pernikahanmu itu suci, dan akan menjadi pembersih dari hal buruk di keluarga itu,

pembersih dari dendam yang dikirimkan pada keluarga calon istrimu”.

“Apa yang membuat Bapak yakin soal itu?” tanyaku tegas pada Bapak

“Nyai Bhanuwati sudah langsung memberikan pesan sama kamu, semalam beliau yang datang langsung...”

Mukaku mendadak tegang, mendengar nama asing itu, pertanyaan berputar terus di otakku, tanganku bergetar, kepalaku mendadak berat saat Bapak mulai menyebut namanya.

“Siapa beliau Pak, dan apakah ada hal baik dengan kedatangannya atau sebaliknya?”

“Nyai Bhanuwati itu penghuni lama rumah yang kita tinggali, panjang jika Bapak ceritakan semuanya sekarang, yang jelas beliau masih ada di rumah ini, berdampingan dengan kita yang hidup, kamu ingatkan dulu rumah yang kita tempati ini adalah lemah angker?”

“Ingat Pak, tidak ada yang mampu bertahan tinggal di rumah ini lebih dari tiga bulan”.

“Nah kamu ingat ternyata, ya sudah kamu sekarang sudah tau kan sosok yang dulu datang menganggu saat pertama tinggal di rumah ini, sekarang kita hidup berdampingan dengan mereka”

Bapak menjelaskan semuanya, kini pikiranku lebih terbuka, perasaanku lebih tenang, walau sebenarnya ada pertanyaan yang masih mengganjal.

“Mengenai baik atau tidaknya dari kedatangan Beliau, kamu yang bisa menjalani nanti, garis takdirmu Bapak tidak tahu, yang jelas kamu tetap berhati-hati, kamu menuju sebuah prosesi penting dalam hidup.

“Lalu apa kaitannya dengan batu biru itu Pak? Tanyaku sambil menunjuk batu biru yang sedari tadi ada di meja, lengkap dengan kain pembungkusnya.

BERSAMBUNG

Selanjutnya…
Part 3:
Dari kejauhan dua pohon randu besar menyambut kami, bentuknya yang tinggi menjulang, tak hilang oleh kegelapan malam. Semakin dekat semakin aku merasakan hal yang tidak biasa, malam itu jalanan terasa amat sepi.

Jalan yang dilewati sekarang mulai berbelok-belok. Lampu dekat dan lampu jauh terus dimainkan sebagai kode untuk kendaraan yang akan melintas dari arah berlawanan, hal itu dilakukan karena jalanan saat itu sepi, lampu penerangan hanya dari mobil yang kami tumpangi.

“Pak sopir, tolong bunyikan klakson tiga kali sebelum melewati dua pohon besar itu ya?”

“Untuk apa mas? Kan jalanan sepi, kita melaju dengan tenang sekarang, santai saja” balas Pak Supir yang seakan menyepelekan permintaanku.

“Setidaknya klakson, barang kali ada kendaraan dari arah berlawanan, atau sekedar menghormati lingkungan sekitar” aku masih berusaha meyakinkan Pak Supir.

“Mitos Mas itu mitos, jaman sekarang kok masih percaya hal semacam itu” jawabnya sambil cengengesan

“Yak kan cuma nekan klakson apa susahnya pak?” aku masih mencoba meyakinkannya, namun tidak ada tindakan dari Pak Supir. Lambat laun mobil akhirnya mulai melewati dua pohon randu itu,

aku hanya bisa diam, tak ingin memaksakan kepercayaanku pada orang lain, kalau sudah tidak percaya mau bagaimana lagi.

“Awas-awas!!, kae sing neng duwur podo mudun” suara Mas Min mengagetkan kami semua, mengatakan bahwasanya ada sesuatu diatas kami yang sedang turun.

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close