Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

OYOT MIMANG (Part 3) - Kesialan Bermula

Hal tak masuk akal muncul satu per satu, semuanya seakan menjadi tanda petaka dimulai.


Aku masih duduk ditempatku, masih menunggu jawaban yang akan keluar dari mulut Bapak. Satu per satu pertanyaan sudah terjawab, namun rasa penasaranku semakin bertambah.

Sebenarnya bukan kali pertama aku mengalami hal semacam ini, hal yang tak bisa dinalar dengan akal logis pikiran manusia pada umumnya.

Anugerah yang didapatkan Bapak kadang menyeret anak dan istrinya bersinggungan dengan penghuni dimensi lain, yang siap atau tidak siap kita semua harus menerimanya. Aku tidak ingin terlalu larut dengan hal tersebut, berusaha bersikap biasa saja, menyimpannya sendiri,

mungkin karena tak ada yang bisa menjadi tempatku berbagi cerita. Pernah mencoba menceritakan kepada beberapa teman, tapi yang ku dapatkan hanyalah candaan dan kerap disebut bocah kurang waras. Sampai akhirnya aku sadar, segala keganjilan yang aku alami sejak kecil, hanya bisa kupendam dalam-dalam.

“Bapak, mohon dijawab segera, apa kaitannya batu biru itu dengan kejadian yang saya alami semalam?”

“Pelankan suaramu, tidak elok rasanya berbicara dengan nada tinggi seperti itu pada orang tua!” Bapak mencoba meredam nada bicaraku yang tanpa kusadari malah meninggi.

“Maaf Pak, saya hanya terlalu memikirkan hal tersebut, nanti malam saya harus ke Banjarnegara, saya hanya ingin pernikahan ini berjalan baik.”

“Justru itu, apa yang kamu inginkan akan terjawab, bawa batu itu saat perjalanan nanti”

“Hah untuk apa Pak?!”

“Bawa batu itu, hanya itu yang bisa Bapak sampaikan, apa yang terjadi nanti tergantung keputusan yang kamu buat, Bapak hanya bisa menyampaikan itu saja, kamu tetap hati-hati ya.”

Jawaban Bapak sama sekali tidak memberikan penjelasan secara gamblang, yang ada malah timbul banyak pertanyaan dalam otakku. Dengan segala pertimbangan akhirnya aku putuskan untuk membawa batu dengan warna biru gelap tersebut. Aku yakin,

apa yang diperintahkan Bapak akan membawa kebaikan ke depannya, sebagai anak aku cukup manut saja, mencoba menjalankan perintah orang tua yang memang tujuannya baik, mana ada orang tua yang menginginkan anaknya sendiri celaka.

Hari itu berjalan dengan singkat, siang telah berganti sore tanpa terasa. Banyaknya persiapan yang dilakukan membuat waktu seakan berjalan cepat, tepat saat kumandang adzan magrib tiba, segala persiapan sebelum berangkat menuju Banjarnegara sudah selesai.

Selepas melaksanakan solat magrib aku bisa sedikit bersantai di ruang tamu, Ibu dan adik-adikku masih menjalankan kegiatatan mereka masing-masing, sedangkan Bapak? Beliau sedang berbincang dengan tamu di pelataran teras rumah.

Tak beberapa lama suara mesin mobil terdengar di depan rumah, saat pintu mobil terbuka, ternyata Pak Lek, Bu Lek dari Slawi dan anak lelakinya, Aldi datang dengan mobil yang baru. Kami yang di dalam rumah langsung menuju ke depan, menyambut kedatangannya.

“Wuih anyar mobile, kereeeen” sambutan pertamaku pada Aldi dan Pamanku.

“Anyar lah, apik gak Gung?” tanya Pak Lek padaku.

“Manteplah, tipe tertinggi ini kan Lek?”

“Jelas, sekalian yang mahal kalau mau ambil kredit, yang penting lancar nyicilnya, hahahahaha” kami tertawa bersamaan, ini adalah kali pertama Pak Lek membeli mobil baru dari hasil berdagang, pastinya mereka semua sangat bahagia satu per satu hal diimpikan tercapai.

"Mas, aku melu ya, ikut ke Banjarnegara? udah dapat komando langsung dari Bapak nih” pertanyaan Aldi membuat aku berhenti tertawa sejenak.

“Lah kok iso?” tanyaku seketika

“Masuk dulu semuanya, jangan ngobrol di depan rumah, gak baik, gak sopan, masuk-masuk biar Budhe buatkan teh poci” Perintah Ibuku pada Aldi dan Pak Lek. Kami semua akhirnya masuk ke dalam, duduk di kursi yang tersedia, Bapak juga sudah berpindah ke dalam,

menyambut adiknya dan keponakannya, para tamu satu demi satu juga berpamitan pada kami untuk meninggalkan rumah.

Pak Lek dan Bu Lek sebagai adik dari Bapak langsung mencium tangan Bapak, dilanjutkan oleh Aldi. Setelah itu mereka bertiga duduk, aku pun duduk disamping Bapak, penasaran dengan kedatangan mereka di saat aku akan berangkat ke Banjarnegara.

“Ngene Gung, kedatanganku dari Slawi ke Tegal mau minjemin kamu kendaraan, mobil itu bisa kamu bawa ke Banjarnegara nanti ya?, sekalian test drive mumpung medannya cocok, naik turun hehehe”

“Woalah gitu to Lek, saya kira Bapak dah menyiapkan mobil sewaan dengan sopirnya.

“Ngapain ngerental kalau saudara punya? Yo gak Mas?” tanya Pak Lekku pada kakaknya.

“Alhamdulillah, adik-adiku wes dadi wong duwe kabeh, wes do duwe tumpakan apik, sudah punya kendaraan bagus buat dibawa jalan.” Sejenak Bapak terdiam,

“Jadi gini loh Le Gung, Bapak dah nembung, minta ijin sama Pak Lekmu, mobilnya di bawa ke Banjarnegara buat mengantar kamu ke sana, nanti kami semua tidak ada yang mengantar kamu ya?”

“La kenapa Pak, saya kira salah satu dari Bapak dan Ibu atau adik-adik ada yang ikut ke Banjarnegara?”

“Enggak gitu, gak boleh, ora ilok, dalam adat Jawa, kami sebagai orang tuamu, dan kerabat paling dekat tidak boleh mengantar kamu,

kalaupun datang ke Banjarnegara keluarga kita harus sewa hotel dan lain-lain, ya kamu tau sendiri kan biayanya pasti membengkak kan? Kita tidak bisa ujug-ujug (tiba-tiba) datang terus mertamu sebelum akad nikah”

“Iya Pak saya tau, Bahwasanya orang tua pengantin laki-laki hanya bisa mengantar dan hadir saat acara akad pernikahan, tujuannya adalah menjaga adab sopan santun, sebagai pihak laki-laki yang datang untuk meminang anak perempuannya.”

“Iya Gung, gak patut kalau kita semua satu keluarga hadir di sana malam ini, yang namanya tamu datang kan pas acara, paham kan maksudnya?”

“Tapi kok saya boleh ke Banjarnegara dahulu Pak?” Bukannya lebih baik saya datang bersama keluarga?”

“Pertama, kondisi calon besan itu di luar kota, jodohmu dapatnya orang Banjarnegara, pastinya harus ada persiapan lebih untuk pengantin. Kedua, di sana juga kamu gak akan ketemu calon istrimu, kalian harus menjalani pingit sampai akad nikah digelar,

nantinya kamu akan menginap di rumah saudara dari calon istrimu yang jaraknya tidak terlalu jauh, namun pas untuk melaksanakan prosesi pingitan. Bapak sudah berkordinasi dengan saudara calon istrimu saat penentuan tanggal pernikahan.”

“Mengenai saya mengiap dimana, saya sudah paham, boleh tanya Pak, saya sering menyaksikan proses pingitan waktu kecil dulu, waktu di desa, dan sekarang saya menjalaninya, tujuannya apa to pak?”

“Wah pajang Gung, salah Bapak juga enggak ngomong ini sama kamu jauh-jauh hari”

“Bapak terlalu sibuk dengan dagangan dan menyembuhkan orang lain” aku mulai kesal mendengar jawaban Bapak yang menggantung.

“Bukan begitu, Bapakmu itu memang harus membantu orang, anugerah yang dia dapatkan tujuannya untuk membantu orang Gung” Pak Lek tiba-tiba memotong pembicaraan kami, mungkin ia merasa jawabanku seakan sedang menyinggung Bapak.

“Ngapunten Bapak, ngapunten Pak Lek, Kulo kelepasan” Aku meminta maaf pada mereka berdua, karena sikap dan mulutku yang lepas kendali.

“Yowes tak jelaske secara singkat yo, sebenernya tradisi pingit itu repot, belum lagi di adat Jawa ada itung-itungan weton, yang dihitung gak cuma kamu sama dia, tapi kami sebagai orang tuamu dan orang tua calon istrimu dilihat, cocok gak wetonnya”.

“La kalau gak cocok?”

“Kalau dulu, beneran gak jadi nikah Gung, namun setelah penyebaran agama Islam masuk, lambat laun mulai ada kelonggaran , gak selalu keras, masih bisa cari jalan tengah, nah Bapak ini ingin melestarikan Budaya Jawa yg bisa selaras dgn perkembangan sekarang

intine yang terlalu saklek jangan jadi acuan. Rejeki, jodoh dan matinya seseorang itu kan sudah diatur oleh Sang Pencipta alam ini, Allah SWT. Tapi, ada juga yang masih melanjutkan secara ketat adat dan tradisi itu.

Cuma Bapak pengen, generasi muda bisa terus melestarikan budaya ini dengan hati yang enteng, sing ringan wae.

“Lalu Pak, apa ada hubungannya dengan hal gaib?” tanyaku pada Bapak yang sedang meminum tehnya.

“Ada Gung, ada itu, calon pengantin kui wangi” Kini giliran Bu Lek yang menjelaskan.

“Wangi, disukai sama mahluk-mahluk halus itu, poro dedemit, memedi suka, paham koe?” Jawab Pak Lek dengan cengegesan.

“Ya kurang lebih seperti itu, ada yang berkaitan dengan gaib, tapi secara nalar ada Gung, Tradisi pingitan bertujuan memberikan waktu pada calon pengantin untuk mempersiapkan diri menuju pernikahan. Saat dipingit, kamu dan calonmu dapat beristirahat, merawat diri sebelum menyambut hari pernikahan. Dengan begitu, kamu dan calon istrimu terlihat lebih sehat, segar di hari pernikahan, nah itulah kenapa kamu datang dulu ke Banjarnegara”

“Sekarang saya paham Pak, matur suwun juga buat Pak Lek dan Bu Lek”. Tak lama berselang, terdengar langkah beberapa orang datang menuju pintu.

“Assalamualaikum, kulonuwun Pakdhe” Terdengar suara laki-laki yang ku kenal dari arah depan pintu rumah. Ternyata itu adalah suara Mas Min, di belakangnya disusul oleh Pakdhe Ndulug dan satu orang yang rasanya masih asing.

“Masuk, masuk sini, kebetulan sekali, momennya pas sudah pada ngumpul ini” Bapak menyambut orang-orang yang baru datang, Mas Min adalah tetangga dan juga masih kerabat jauh Bapak, Pakdhe Ndulug juga masih kerabat jauh. Namun aku penasaran siapa satu orang yang dibawa oleh mereka.

Kami semua duduk di ruang tamu dan yah biasa, kita saling sapa, ngobrol basa-basi. Di atas meja sudah terhampar sajian makanan ringan, gorengan dan pastinya yang tidak pernah tertinggal yaitu teh poci dengan gula batunya.

Namun diantara berbagai sajian itu, ada lima gelas yang terjajar rapi yang berisikan air putih, penuh. Entah untuk apa deretan gelas dengan isi air putih tersebut, bening dan jernihnya membuat mataku fokus melihatnya diantara ragam makanan ringan yang tersaji.

“Gung, Mas Min, Pak Ndulug, Aldi dan Pak Supir, nantinya mereka yang akan mengantarmu ke Banjarnegara, ayok lekas kita mulai prosesinya ya, keburu tambah malam” ucap Bapak

Waktu berjalan dengan cepat, tak terasa jam dinding sudah menunjukan pukul setengah delapan malam, persiapan pun dilakukan, beberapa barang juga sudah tertata rapi di bagasi mobil, namun ternyata ada beberapa wejangan singkat dari Bapak sebelum kami memulai perjalanan.

“Kalian berlima, yang mau berangkat ke Banjarnegara, ambil gelas berisi air putih itu satu persatu, minum tapi sisakan setengah, setelah itu siramkan ke atap atau depan mobil”.

Kami berlima melakukan apa yang diperintahkan Bapak tanpa banyak tanya, pikirku itu hanya air putih, mungkin air ini sudah diisi doa oleh Bapak yang nantinya akan berguna sebagai perlindungan saat perjalanan.

“Aku berpesan pada semuanya, jaga sopan santun kalian saat berkendara, mulut dan tingkah laku yang baik, perjalanan malam lumayan menguras tenaga”

“Alah santai mawon Pak, saya sudah terbiasa melakukan perjalanan malam, saya gak ngantukan, pokoknya keluarga panjenengan bakal aman dan slamet” ucap Pak supir yang membuat ku mulai merasa tidak nyaman. Bapak hanya terdiam, sesaat setelah itu beliau berpesan satu hal lagi.

“Nanti setibanya di Banjarnegara, sudah dipastikan hari sudah larut malam, mungkin dini hari saat sudah sampai di sana, aku sarankan kalian menginap dulu, beristirahat sejenak sampai subuh, setelah solat subuh selesai silakan lanjutkan perjalanan untuk kembali ke Tegal”

Bapak memberikan arahan tersebut, karena memang mobil yang kami tumpangi ini rencananya akan dibawa kembali untuk mengangkut rombongan keluarga besar yang nantinya juga akan hadir saat prosesi akad nikah dilaksanakan.

Setelah mendengar pesan dari Bapak dan berpamitan pada orang-orang yang berada di rumah, kami berlima mulai masuk mobil satu persatu. Aku berada di baris depan berdampingan dengan Pak Supir, tujuannya agar aku bisa menjadi kompas perjalanan.

Baris kedua diisi oleh Pak Ndulug dan Aldi, disini Aldi ditugaskan oleh Pak Lek untuk menjaga mobilnya, Aldi adalah satu-satunya keluarga dekat yang terpaksa ikut. Di baris ketiga Mas Min duduk sendiri mengisi kekosongan,

dan memastikan semua barang yang akan dibawa sudah masuk di dalam mobil. Setelah segala persiapan selesai, tak lupa kami memanjatkan doa, perjalanan menuju Banjarnegara malam ini dimulai.

Sudah dijelaskan di awal, rute yang dipilih menuju Banjarnegara adalah rute via Pemalang, rute tercepat untuk mencapai tujuan, walapun akan ada banyak jalan berkelok dan naik turun dalam perjalanan ini yang harus kami hadapi.

Mobil melaju dengan kecepatan stabil, lepas dari Kota dan Kabupaten Tegal masuklah kami di Kabupaten Pemalang, tetangga Kota yang bahasnya tidak jauh berbeda, termasuk wilayah Republik of Ngapak. Suasana di dalam mobil cukup nyaman,

kami semua berbincang tentang kesibukan satu sama lain, yang paling banyak pertanyaan tentunya aku, perantau di Jakarta. Banyak pertanyaan mengenai pekerjaanku, yg sering bertemu orang-orang ternama, penulis-penulis terkenal yg karyanya sudah menyebar sampai pelosok negeri ini.

Banyak yang beranggapan aku sudah sukses bekerja di Ibu Kota, bertemu, berfoto dengan penulis dan artis yang mereka sukai, menganggap apa yang aku pajang pada media sosialku adalah sebuah pencapaian utuh dari karirku, padahal media sosial tak lebih dari sebuah dokumentasi bagiku.

Kadang muncul pikiran, aku yang sudah kuliah, bekerja di Ibu Kota masih kalah penghasilannya dengan mereka yang hidup dari berdagang di Kota kecil. Apa yang terlihat di media sosial tak selamanya berimbas langsung ke kehidupan nyata.

“Mas Agung, Mas, kamu kan sering ketemu Raditya Dika, aku ngefans loh mas sama dia, buku yang Mas Agung kirim itu sudah aku baca semua, kocak sekali ya dia, pas ketemu orangnya selucu itu mas?” tanya Aldi padaku.

“Raditya Dika ya? Enggak lah, orangnya malah serius, sibuk banget, mengerjakan apa yang perlu dikerjakan, setelah selesai dia pindah ke pekerjaan lainnya, banyak sekali yang dia kerjakan” jawabku.

“Lah masa sih? bukannya kalau di Youtube, TV, bahkan buku karakternya humoris Mas? lucu gitu loh” tanya Aldi penasaran

“Ya itu kan pekerjaan dia, menghibur masyarakat awam, kalau sudah berbicara masalah buku, film dan ide kreatif ya serius lah, lagian jadi komedian itu kan profesinya, pas kerjaan sudah selesai ya jadi manusia pada umumnya”

“Kirain orangnya lucu setiap saat Mas hehehe” Ucap Aldi cengengesan.

“Ya gak seperti pikiranmu Di, aku juga kalau ketemu dia lebih banyak diam, harus jaga sikap, ada sopan santun yang harus dijaga, harus tetap terlihat professional, jangan malah bikin ilfil orang”

“Gak pernah foto sama Radit Mas? Bukannya kamu ngefans sama dia?”

“Gak bisa semudah itu, kan aku sudah bilang harus menjaga professionalitas pekerjaan, mungkin kalau aku sudah menangani desain cover bukunya secara keseluruhan,

aku mau ajak dia foto, setidaknya ada kerjasama dalam bentuk karya yang aku kerjakan bareng dia” Jawabku sambil memandangi deretan pohon di samping jalan.

“Gung-gung, mau foto kok ribet banget, aku jadi kamu tinggal foto aja, ya gak Di?” saut Pakde Ndulug yang dibalas anggukan kepala oleh Aldi. Aku hanya tersenyum menatap mereka ke belakang, sepertinya jika aku lanjutkan pembicaraan ini malah semakin panjang.

Aku menyandarkan kepalaku di dekat jendela, saat ini mobil terus melaju menerabas gelap malam yang semakin pekat. Kendaraan yang lewat jumlahnya juga tidak terlalu banyak, membuat suasana semakin sepi,

hanya bunyi musik dangdut pantura dan mesin mobil yang menemani kami dalam perjalanan ini. Sesekali aku menatap jauh ke luar, melihat deretan pohon pinus yang berdiri rapi dari sisi sebelah kiri. Sampai akhirnya mataku terfokus pada sesuatu,

sosok bayangan hitam seperti berjalan cepat mengikuti laju mobil kami, melewati deretan pohon pinus seperti tanpa hambatan, lurus menerobos padatnya pohon pinus yang berdiri rapat,

mataku mencoba lebih fokus lagi melihatnya, memastikan bayangan yang aku lihat itu bukanlah bayangan dari mobil yang kami tumpangi.

Namun sepertinya ia menyadari saat aku mem perhatikannya, sosok tersebut berhenti sesaat, seketika itu aku hanya bisa terpaku melihatnya, mulut tak bisa membuka, wajahku kaku, mataku melotot terus melihatnya, sosok itu melompat-lompat dan akhirnya melesat ke atas,

aku tak bisa lagi melihat sosok bayangan tersebut, pandanganku terhalang atap mobil, aku masih terdiam memproses perasaan diantara terkejut dan takut. Dalam hati aku bertanya "makhluk apa itu tadi?" namun aku berusaha menahannya sendiri, agar tidak jadi kepanikan di dalam mobil.

"Ono opo mas, sampai mendangak melihat ke atas gitu?" tanya Aldi mengagetkanku.

"Engg..enggak ada apa-apa Di, kayaknya Mas melihat sesuatu yang bergerak di hutan"

"Hah? lihat apa mas? dari tadi yang ada cuma deretan pohon pinus kok Mas"

"Gung, jangan nakut-nakuti, lihat apa koe tadi?" tanya Pakdhe Ndulug padaku.

"Mboten Pak De, kayaknya saya salah lihat, sepertinya itu bayangan motor atau mobil, atau mungkin monyet atau hewan malam dalam hutan "

"Senengnya loh, bikin orang deg-degan, kita lagi diperjalanan loh, fokus saja lihat ke depan, arahin Pak Supir, nyasar malah bingung nanti.

"Doa yang baik Pak De, jangan bilang kaya gitu loh, sudah-sudah, enggak ada apa-apa kok Dhe, sudah tenang semua, biar perjalanan berjalan lancar. Oh nganu, itu Mas Min tidur ya?" tanyaku pada Pak Dhe mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Hooh, tidur dia, biarin saja nanti bisa gantian nyetir kalau Pak Supir capek, iya gak Pak?"

"Santai Om, aman masih segar bugar gini, perjalanan kayak gini sudah biasa saya lewati. Mas Agung, santai saja, aku loh sudah berpengalaman, perjalanan malam gak pernah kenapa-napa, yang katanya jalan ini serem lah, jalan itu nakutinlah,

itu semua hanya cerita saja Mas, sing santai gak usah takut, manusia itu kan makhluk paling sempurna"

"Saya tidak takut Pak Supir, mungkin tadi saya salah lihat saja" aku mencoba mengakhiri pembicaraan ini, agar tidak menjerumus ke suatu perdebatan.

Mobil masih melaju normal, hutan pinus sudah kami lewati dengan lancar, ada sedikit kelegaan dalam hati, sampai saat ini tidak ada gangguan yang berarti di perjalanan. Tiba kami melewati beberapa rumah warga dan bangunan-bangunan, terlihat lampu-lampu yang menerangi jalan,

mobil terus melaju dengan tenang, selepas melewati pemukiman tibalah kita melewati hamparan sawah yang luas, saat siang deretan bukit terlihat, namun saat malam, yang terlihat hanyalah kegelapan.

Nampak dari kejauhan dua pohon randu besar menyambut kami, bentuknya yang tinggi menjulang, bak raksasa yang kuat dan perkasa. sosoknya tak hilang oleh kegelapan malam.

Anehnya semakin dekat semakin aku merasakan hal yang tidak biasa, malam itu jalanan terasa sangat sepi. Kondisi jalan yang dilewati sekarang mulai berbelok-belok. Lampu dekat dan lampu jauh terus dimainkan

sebagai kode keberadaan kami untuk kendaraan yang akan melintas dari arah berlawanan, hal itu dilakukan karena tidak tersedianya lampu peneranga jalan, cahaya yang kami lihat hanya dari mobil yang kami tumpangi.

“Pak sopir, tolong bunyikan klakson tiga kali sebelum melewati dua pohon besar itu ya?”

“Untuk apa mas? kan jalanan sepi, kita melaju dengan tenang sekarang, santai saja gak akan terjadi apa-apa” balas Pak Supir yang seakan menyepelekan permintaanku.

“Setidaknya klakson, barang kali ada kendaraan dari arah berlawanan, atau sekedar menghormati lingkungan sekitar” aku masih berusaha meyakinkan Pak Supir.

“Mitos Mas itu mitos, saya pernah mendengar cerita dari dua pohon randu tersebut, tapi itu kan cuma cerita Mas, jaman sekarang kok masih percaya hal semacam itu” jawabnya sambil cengengesan

“Yak kan cuma menekan klakson apa susahnya pak?” aku masih mencoba meyakinkannya, namun tidak ada tindakan dari Pak Supir. Lambat laun mobil akhirnya mulai melewati dua pohon randu itu, aku hanya bisa diam, tak ingin memaksakan kepercayaanku pada orang lain,

kalau sudah tidak percaya mau bagaimana lagi, tiba-tiba kami dikagetkan oleh suara yang datangnya dari arah belakang.

“Awas-awas!!, kae sing neng duwur podo mudun” suara Mas Min mengagetkan kami semua, mengatakan bahwasanya ada sesuatu diatas kami yang sedang turun, kecepatan kendaraan yang kami tumpangi sempat menurun dikarenakan kondisi jalan yang mulai menanjak,

suara Mas Min sontak membuat semua penumpang mobil menjadi panik. Bebarengan dengan itu, aku merasakan mobil seperti menginjak ranting pohon kering.

BERSAMBUNG

Cuplikan part 4:
"Nguyuh sembarangan, wes do tuo rak due toto kromo, sopan santunmu neng endi?" (Kencing sembarangan, sudah pada tua tidak punya tata krama, sopan santunmu ada dimana?)

ucap seorang Kakek tua yang berjalan membungkuk, dengan sebuah tongkat di tangan yang digunakannya untuk berjalan.

"Berisik!!, wong tua turu bae mana, njenengan nang njaba wengi-wengi masuk angin engko, mana balik!" (Berisik!!, orang tua tidur saja sana, sampean di luar malam-malam nanti bisa masuk angin, sana pulang!) teriak Pak Supir yg merasa terganggu dengan omongan orang tua tersebut.

"Ngapunten Mbah, maafkan sikap sudara-saudara saya, sekali lagi maafkan ketidaksopanan saudara saya" aku mencoba memisahkan adu mulut antara mereka berdua. Setelah keadaan membaik kami bergegas masuk ke dalam mobil,

saat aku membuka kaca bermaksud berpamitan pada Kakek tua itu, yang kudapat adalah hal yang membuatku terdiam.

"Wong sing kurang ajar, bakal ketemu cilaka!" (Orang yang jurang ajar, akan bertemu bencana!) teriak orang tua tersebut ke arah kami. Aku langsung terdiam di kursiku, memikirkan ucapan orang tua tersebut. Khodam idu geni sabdo dadi, tiba-tiba terbesit hal itu dalam pikiran.

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close