Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

OYOT MIMANG (Part 4) - Keputusan yang diambil

"Bapak sudah weling, pulang ke Tegal setelah subuh saja jangan nekat ini sudah malam..." Ucapku pada Mas Min, namun tetap saja, Pak Supir bersikeras untuk segera kembali.


Aku menengok ke bagian belakang, yang aku lihat Mas Min sedang tertidur dengan posisi tubuh bersandar pada kursi mobil, kepala mendangak menghadap ke atas. Jelas sekali tadi adalah suara Mas Min aku tidak salah dengar.

“Di, tadi Mas Min kan yang ngomong?” tanyaku pada Aldi untuk memastikannya.

“Benar Mas, benar tadi memang yang bilang itu Mas Min kok, aku juga dengar gak salah, tapi kok tidur ya? Ngelindur sepertinya tadi Mas...”

“Oh ya wes, ngomong apa sih tadi mudun-mudun gitu ya, turun-turun? Apanya yang turun ya?”

“Gak tahu Mas, aku juga gak paham, mau dibangunkan apa Mas?” tanya Aldi menawarkan untuk membangunkan Mas Min.

“Tidak usah, biarkan saja Mas Min istirahat, biar bisa menggantikan sopir saat kelelahan nanti” perintahku pada Aldi.

“Dug!!!” belum juga aku menghadap ke depan, mobil mendadak berhenti disertai dengan bunyi benda jatuh dari atas. Saat aku arahkan pandanganku, betapa terkejutnya dengan apa yg aku lihat saat ini. Seekor ular berwarna hijau sudah berada di depan , jatuh tepat di bagian kap mobil.

“Aduh ana ula Mas, ula. Ada ular itu Mas!” teriakan terdengar dari orang di sampingku. Pak Supir terkejut dan sontak berteriak memberi tahu kami semua dengan apa yang dia lihat. Sosok ular hijau itu seperti melihat dan memperhatikan kami dari kaca depan mobil.

Lidahnya keluar masuk, matanya menatap tajam ke arah kami semua, aku berfikir bagaimana cara menyingkirkan ular tersebut, aku tak tahu jenis ular apa itu, apakah berbisa atau tidak hal itulah yang menjadikanku ragu saat ini untuk mengusirnya.

Pak supir berinisiatif menyemprotkan air yang berasal dari nozzle, bagian yang berfungsi untuk menyemprotkan cairan guna membersihkan kaca mobil, ternyata cara tersebut berhasil mengusir ular tersebut tanpa mengharuskan kami keluar dari mobil untuk berhadapan dengannya.

Ular tersebut langsung berjalan cepat menuju pohon sebelah kiri, sosoknya hilang begitu saja masuk ke dalam sela-sela akar pohon yang begitu besar.

“Alhamdulillah lunga, ana ula ana apa ya kie, ana-ana bae ganggu perjalanan tok” (Alhamdulillah sudah pergi, ada ular ada apa ya ini, ada-ada saja gangguan perjalanan saja) gerutu Pak Sopir sembari menekan kembali gas mobil,

perlahan mobil berjalan kembali, perjalanan kami lanjutkan dengan segudang pertanyaan yang ada di kepalaku.

Jauh dalam diam, aku terus memproses apa yang akan terjadi selanjutnya, ular memiliki simbol sebagai peringatan, apalagi datangnya di saat-saat penting seperti sekarang ini, di saat aku hendak melakukan prosesi pernikahan,

biasanya kedatangan ular erat dikaitkan dengan peristiwa yang tidak menyenangkan. Tapi aku mencoba mengabaikannya, mencoba untuk tetap berpikir jernih, kalau itu sebuah pertanda, setidaknya aku harus lebih berhati-hati lagi,

tapi kenapa kejadian itu tepat sekali terjadi setelah Mas Min mengigau dalam tidurnya, disaat yang sama mobil kami sedang berada di antara dua pohon itu, pohon Randu Jajar, pohon yang dikenal memiliki aura mistis oleh masyarakat sekitar,

mohon yang memiliki cerita-cerita yang tidak masuk nalar pikiran manusia. Tak ingin membahas lebih jauh, dan berlarut-larut aku fokuskan tenagaku saat ini, agar perjalanan menuju Banjarnegara segera aku selesaikan.

Kini mobil melaju dengan tenang, kondisi di dalam mobil pun sudah kembali kondusif, jalanan yang kami lewati mulai menanjak, naik turun dan berkelok-kelok, membuat pandangan harus tetap awas,

konsentrasi tinggi, aku yang dalam hal ini hanya duduk saja, berusaha tetap tersadar agar aku bisa terus mengarahkan laju mobil, mengarahkan Pak Sopir untuk berkendara di jalan yang benar.

Tak lama berselang tanjakan terakhir akhirnya kami lewati, bebarengan dengan itu kami sudah melewati gapura selamat jalan Kabupaten Pemalang, kini selanjutnya mobil berjalan menuju Kabupaten Purbalingga.

Mobil sudah berada di jalan yang lebih datar, tak lama berselang jalanan yang kami lewati mulai menurun, Pak Sopir mengendalikan mobil sangat hati-hati di turunan, malah bagiku terlalu hati-hati, mobil berjalan terlalu pelan,

padahal saat ini terbentang jalanan yang kosong di depan, belum terlihat ada kendaraan lain. Hal aneh aku rasakan saat ini, kenapa gas tidak ditekan secara penuh saja, setidaknya laju mobil bisa sedikit lebih cepat.

Deru suara mesin mobil seperti saat menanjak tadi masih aku dengar, laju mobil benar-benar pelan, seperti sedang membawa beban yang sangat berat.

“Pak, kok gak digas aja to pak, saya rasa kecepatan mobil bisa ditambah loh, jalanan di depan kosong juga..” pintaku pada Pak Supir.

“Lah mas, ini saya sudah tekan gas pol loh, tapi mobil gak mau lari, rasanya kayak ada yang nahan ni mobil” ucap Pak Sopir.

“Ah kenapa lagi ini ya pak? masa iya mesinnya bermasalah? Aldi, ini mobil baru kan bukan bekas?” tanyaku memastikan pada Aldi.

“Mas-mas gak percaya banget apa ya, Bapak beli mobil itu baru lah ya, belinya di dealer resmi sama aku, yakin lah sumpah mas” ucapnya yakin di barengi dengan sumpah ala warga Tegal.

“Tiiinnn!!!, tiiinnn!!!!” terdengar klakson mobil berkali-kali dibunyikan dari arah belakang, sepertinya laju kendaraan kami yang begitu lambat menyulitkan kendaraan lain untuk melaju. Kecepatan mobil yang kami tumpangi saat ini benar-benar pelan,

padahal jalan yang kami lewati kondisinya menurun, sedikit terasa ganjil rasanya. Karena tidak sabar dengan laju mobil kami, kendaraan yang posisinya ada di belakang mobil akhirnya terpaksa menyalip dari sisi kanan, untuk mendahului.

Aku melihat laju mobil yang lain rata-rata berkecepatan tinggi, lancar saja saat berjalan.

“Pak nanti kita menepi dulu ya, di depan sepertinya ada pasar, kita bisa berhenti di situ, setidaknya tempatnya ramai untuk melakukan pengecekan mobil” perintahku pada Pak Sopir.

“Baik Mas” jawab Pak Sopir singkat.

Tak berapa lama akhirnya kami tiba di pasar yang ku maksud, suasana malam itu belum terlalu sepi, Jam masih menunjukan pukul 9 malam lebih.

Mobil menepi ke sisi sebelah kiri, kami semua turun, Pak sopir langsung saja membuka penutup kap mobil. Mas Min yang juga ikut terbangun, bergegas ke depan menyusul Pak Supir yang kemudian disusul olehku.

Kami bertiga memeriksa setiap sudut mesin mobil di depan kami, segalanya nampak baik-baik saja. Aku berinisiatif memeriksa ban, satu per satu aku periksa, ban juga tampak normal, segalanya nampak sempurna layaknya mobil baru pada umumnya,

tidak ada hal yang salah. Hal ini membuatku bertanya-tanya, ada apa sebenarnya, aku merasakan ada hal aneh setelah sebelumnya kami melewati pohon kembar itu.
“Semua normal Mas, semua baik-baik saja”
tegas Pak Supir mengatakan hal tersebut.

“Mungkin kita semua kurang dungo, kurang berdoa” saut Pak Dhe Dulug.

“Gak usah dikaitkan hal tersebut sama yang mistis-mistis Pak, mungkin mesinnya kurang panas, coba nanti kita gas, mudah-mudahan aman. Sek ya aku kebelet buang air kecil mumpung berhenti sekalian saja lah” Ucap Pak Supir sambil berjalan

“Aku sekalian lah, gak tahan juga” sambung Pakde Dulug yang disusul juga oleh Aldi dan Mas Min.

“Mbok ya ditahan sebentar, di depan ada pom bensin loh, kurang baik rasanya jika kencing sembarangan, ada tempatnya sendiri”

“Aduh Mas udah terlanjur keluar, gak bisa ditahan lagi, dingin soalnya, gak baik Mas kalau buang air kecil ditahan, malah jadi penyakit loh” Ucap Pak Supir dengan posisi membelakangiku.

“Mas Agung gak sekalian? mumpung berhenti loh Mas” ucap Aldi.

“Ada fasilitas yang namanya toilet umum di Pom Bensin, kalau buang air kecil sebaiknya di tempatnya gak sembarangan gitu, aku buang air kecil di Pom saja, lagian jaraknya gak jauh dari sini kok” jawabku sedikit kesal akan perilaku mereka.

"Nguyuh sembarangan, wes do tua ora due tata krama, sopan santunmu neng endi?" (Kencing sembarangan, sudah pada tua tidak punya tata krama, sopan santunmu ada dimana?) ucapan itu muncul secara tiba-tiba. Seorang Kakek tua yang berjalan membungkuk,

dengan sebuah tongkat di tangan yang digunakannya untuk berjalan. Suaranya mengagetkanku, sontak kami semua menoleh ke arahnya.

"Berisik!!, wong tua turu bae mana, njenengan nang njaba wengi-wengi masuk angin engko, mana balik!" (Berisik!!, orang tua tidur saja sana, sampean di luar malam-malam nanti bisa masuk angin, sana pulang!) teriak Pak Supir yang merasa terganggu dengan omongan orang tua tersebut

"Ngapunten Mbah, maafkan sikap saudara-saudara saya, sekali lagi maafkan ketidaksopanan saudara saya" aku mencoba memisahkan adu mulut antara mereka berdua. Setelah keadaan membaik kami bergegas masuk ke dalam mobil,

saat aku membuka kaca bermaksud berpamitan pada Kakek tua itu, yang kudapat adalah hal yang membuatku terdiam.

"Wong sing kurang ajar, bakal ketemu cilaka!" (Orang yang kurang ajar, akan bertemu bencana!) teriak orang tua tersebut ke arah kami. Aku langsung terdiam di kursiku, memikirkan ucapan orang tua tersebut. Khodam idu geni sabdo dadi, tiba-tiba terbesit hal tersebut.

Teringat pada Bapak saat marah, ucapannya bisa menjadi doa buruk, sering kali berimbas hal yang tidak baik. Mungkin kata-kata tadi bisa saja benar, jika mulut orang tua tersebut memiliki Khodam idu geni sabdo dadi. Aku merasakan ada petaka yang sedang mengintai kami.

Mobil bergegas meninggalkan pasar tempat kami berhenti sebelumnya. Buru-buru kami menghindari keributan yang hampir saja terjadi karena tingkah konyol yang dilakukan oleh Pak Supir, rasanya sudah hilang segala pikiran baik untuk orang yang satu ini,

semua yang aku ucapkan disangkal, padahal maksud dan tujuannya agar kita semua selamat selama melakukan perjalanan.

Tiba-tiba aku melihat cahaya dari dalam tas yang aku letakan di bawah kursi. Lekas aku periksa karena rasa penasaranku. Saat aku membuka tas, ternyata sumber cahaya tersebut adalah dari batu biru, batu yang aku bawa karena permintaan Bapak siang tadi, sinarnya tak begitu terang,

redup berwarna biru. Pertanyaan muncul kembali mengapa batu ini bersinar sesaat setelah pertemuan dengan orang tua tadi, apa yang sebenarnya memicu batu ini memancarkan sinarnya,

hal-hal yang aku temui dalam perjalanan ini seperti menjadi teka-teki tersendiri yang mau tak mau harus aku segera pecahkan.

“Ngapain Mas nunduk begitu? bahaya loh kalau saya nanti ngerem mendadak..” suara pak supir mengagetkanku, membuat aku segera menutup tasku dan kembali ke posisi awal.

“Oh itu Pak handphone saya yang buat kerjaan nyala, cuma mengecek saja siapa tahu ada hal penting” jawabku menutupi kejadian yang barusan terjadi.

“Mas mas, mau nikah kok urusan kerjaan terus loh, santai loh nikmati perjalanan, mau hari bahagia kok masih sibuk urus kerjaan” timpal Aldi dari bangku di belakangku.

“Aku mung ngecek Di, gak sampai ngurusin kerjaan, dah kalian istirahat saja, biar badan tidak terlalu capek, juga inget pesan Bapak, pulang dari Banjarnegara setelah subuh ya?”

“Iyo-iyo mas, yowes mas, tak istirahat dulu, kaya Mas Min yang pelor, nempel langsung molor hahahaha”

“Aku isih melek woy, tapi paling bentar lagi tidur, hahahaha” jawab Mas Min yang duduk sendirian di kursi baris ketiga.

Sontak candaan Mas Min dan Aldi membuat kami semua tertawa, aku hanya ikut tersenyum melihat tingkah mereka. Tersenyum dengan otak yang masih penuh dengan pertanyaan.

Kali ini laju mobil sudah kembali normal, kecepatan dipacu membelah gelap malam, tak lama terasa kami semua sudah hampir keluar dari Purbalingga. Aldi, Pak Dhe dan Mas Min sudah menjelajah mimpi mereka masing-masing, semuanya lelap tertidur. Aku yang sedari tadi duduk diam,

pandanganku kadang melihat sekitaran dan fokus ke depan. Pak Sopir melaju mobilnya dengan kecepatan tinggi, tak ada lagi obrolan terjadi pada kami, setelah rentetan kejadian tadi, rasanya malas sekali menjalin komunikasi kembali pada orang ini.

“Mas Agung, gak ikutan tidur? “ tiba-tiba Pak Supir membuka obrolan.

“Tidak, kalau aku tidur sopo yang ngarahin njenengan? siapa yang memandu perjalanan ini?” jawabku ketus.

“Mbok jangan galak-galak lah, ya maaf tadi saya tidak mendengarkan omongan sampean, saya orangnya males ribet, yang simple saja mas pokonya Mas”

“Pak omongan saya itu gak ada ribet-ribetnya loh, gampang saja dilakukan, apa susahnya menekan klakson, apa susahnya menahan buang air kecil sebentar, tadi ada saja loh pak kejadiannya”

“Iya, saya paham Mas, tapi gak baik rasanya terlalu percaya sama hal mistis, kalau kita gak percaya mudah-mudahan gak terjadi hal-hal yang tidak baik, mikir positif bae mas, ora usah terlalu dipikirkan,

sing uwis ya uwis, yang sudah terjadi ya biar terjadi, yang penting sampean saya antar selamat sampai tujuan.” ucap Pak Sopir mencoba menjelaskan.

“Sudah Pak, konsentrasi saja dengan tugas Bapak, fokus nyetir saja, sudah malam soalnya, kalau mengantuk gak usah dipaksakan, gantian sama Mas Min”. Jawabku mencoba mengakhiri obrolan.

“Baik Mas, saya masih kuat kok, perjalanan malam seperti ini sudah jadi makanan saya sehari-hari” jawab Pak Supir

“Terus fokus ke depan Pak, penerangan di jalan ini saat malam kurang bagus” sekali lagi aku memperingatkan Pak Sopir.

Mobil terus melaju dengan stabil, tak ada halangan atau gangguan yang kami rasakan saat ini, sopir juga dengan mudah menyalip beberapa mobil yang ada di depan kami, tak lama berselang akhirnya sampai juga perjalanan, di Kabupaten yang terkenal dengan minuman dawet ayunya.

Lampu-lampu jalanan utama Banjarnegara menyambut kami, sepi dan terangnya membuat tenang pikiranku, rasanya seperti sudah mau pecah saja, segala beban pikiran bertumpuk penuh di kepala, persiapan menuju prosesi pernikahan benar-benar menguras isi dompet, tenaga dan pikiran.

Perjalanan terus berlanjut dan akhirnya mobil yang kami tumpangi keluar dari jalur provinsi, yang selanjutnya mobil masuk ke jalan menuju desa. Jembatan sungai yang panjang, jalan berkelok dan menanjak, menjadi tantangan saat perjalanan malam hari,

lampu penerangan hanya terdapat di beberapa titik saja. Kebetulan saat kami datang, kondisinya sudah masuk tengah malam, dalam hati aku merasa lega, perjalanan panjang dari Kota yang berada di pesisir pantai, menuju Desa yang berada di balik kaki gunung sudah aku tempuh.

Tinggal menunggu waktu saja, satu hari lagi prosesi pernikahan sudah siap digelar, tinggal satu langkah lagi, menunggu kedatangan keluarga besar dari Tegal, semoga keselamatan selalu menyertai kami semua, setidaknya itulah yang saat ini aku pikirkan.

Jalanan menuju Desa Calon istriku sudah sepi, sepanjang jalan tidak ada mobil lain yang aku temui, pengendara motor masih mondar-mandir, beberapa aktivitas manusia masih ada, saat melewati sebuah pasar, mereka sibuk mempersiapkan salak yang sepertinya akan dikirim ke luar daerah.

“Pak, berhenti di depan sebentar ya Pak, itu ada mini market masih buka, saya mau beli beberapa camilan dan obat, persiapan sebelum masuk ke desa. Rasanya malas keluar kalau sudah sampai desa calon istri, jaraknya lumayan jauh bikin malas”

Ucapku sembari mengarahkan sopir untuk berhenti di sebuah mini market yang memang buka 24 jam.

Setelah selesai berbelanja beberapa keperluan yang dibutuhkan, aku bergegas masuk kembali ke dalam mobil, hawa dingin pegunungan terasa menusuk tubuhku, yang keluar tanpa menggunakan jaket.

“Masih ada mini market yang buka ya?, padahal berada di tengah desa begini” pertanyaan Pak Supir langsung menyambutku sesaat aku berada di dalam dan sudah menutup pintu mobil.

“Iya Pak, mini market di sini buka 24 jam, karena saat malam, masih banyak pekerja yang beraktifitas menyiapkan buah yang nantinya akan di kirim ke luar daerah. Di dalam Desa sendiri aktifitas malam masih ada,

kadang proses dandan salak dilakukan di malam hari, buah yang datang harus segera diproses agar saat dikirim masih dalam keadaan segar.” Jawabku memberi penjelasan.

“Salak di dandanin biar cantik gitu Mas?” tanya Aldi yang ternyata sudah bangun dari mimpinya.

“Betul, biar bagus dan duri yang ada di kulit salak itu hilang, sebelum masuk wadah, salak di sini harus dilepaskan dari batangnya, dibersihkan durinya,

nah orang di daerah ini menyebutnya dengan dandan salak, prosesnya tidak menentu, kadang siang, kadang sore, kadang malam sampai pagi”. Jawabku singkat.

“Paham banget ya koe Gung” Ucap Mas Min.

“Mas, pacaran sudah 6 tahun, udah kaya kredit kendaraan, Mas Agung pasti sudah sering bolak-balik main ke Desa Mbak Anna”, hahahaha” ledek Aldi yang cuma kubalas dengan senyuman.

Mobil melaju kembali, kali ini mobil masuk ke perkebunan salak milik warga, jangan pikir kondisi jalan di sini baik, saat malam jalanan di sekitar kebun benar-benar gelap gulita, tidak ada penerangan.

Di depan kami terlihat ada sebuah jembatan kecil, terbesit sedikit di pikiranku, tentang cerita mistis masyarakat mahkluk penunggu yang sering menampakan wujudnya saat malam hari di sekitar perkebunan salak.

“Pak tolong bunyikan klakson tiga kali ya sebelum melewati jembatan” pintaku pada Pak Supir yang dibalas dengan sikap diam, seolah dia tidak mendengarkan apa yang aku katakan, mobil melaju melewati jembatan, aku hanya bisa menyimpan kesal dalam hati.

“Pak tolong bunyikan klakson tiga kali saat melewati tikungan yang ada pohon besarnya ya pak” sekali lagi pintaku pada Pak Supir, kali ini sikap yang sama yang aku dapatkan, Pak Supir hanya diam, pandangannya fokus menghadap ke depan, seolah tidak lagi mau mendengarkan ucapanku.

Tanda tanya besar muncul, sikap Pak Supir benar-benar aneh, apa mungkin dia sudah bosan dengan permintaanku yang percaya akan cerita-cerita mistis yang beredar di masyarakat, aku hanya bersikap lebih hati-hati saja setelah sebelumnya rentetan peristiwa aneh terjadi padaku,

ya hal ini hanya aku yang bisa merasakan, wajar jika orang lain tidak percaya, aku juga tidak bisa memaksakan apa yang aku percaya pada orang lain, namun tidak ada salahnya jika kita semua menghormati dan menjunjung sopan santun saat berada di tanah orang lain.

Dari kejauhan terlihat gapura desa menyambut kedatangan kami semua. Mobil akhirnya memasuki desa, saat ini yang dituju adalah rumah saudara dari calon istriku. Sudah dijelaskan di awal,

setelah ini aku akan menjalani proses pingit, tidak bertemu calon istriku, tidak boleh keluar rumah, tidak boleh pergi berkendara sendiri terlalu jauh, segalanya dilakukan demi menjaga keselamatanku sebelum hari pernikahan.

Akhirnya mobil yang kami kendarai berhenti di rumah salah satu saudara dari calon istriku. Perjalanan malam yang kami tempuh berhasil kami lalui dengan sederet peristiwa. Kami semua turun dari mobil yang sudah terparkir, seluruh badan rasanya pegal sekali.

Dengan segera sanak saudara dari calon istri menyambut kedatangan dan mempersilahkan kami semua masuk ke dalam. Mas Bambang dan istrinya Mbak Siwi menyambut kami, mempersilahkan kami semua duduk di ruang tamu yang mejanya sudah diisi penuh oleh segala jenis makanan ringan.

“Wengi nemen ko tekane? Jam pinten perjalanan sangke Tegal Mas? Mas Bambang menanyakan waktu perjalanan kami, yang sudah terlalu malam saat tiba di desa.

“Jam delapan Mas, cuma tadi ada sedikit masalah di jalan, tapi alhamdulillah yang penting sampai tujuan dengan selamat” jawabku pada Mas Bambang.

“Syukurlah kalau begitu, la niki sinten mawon yang ikut Mas? Saudara jauh semua nopo?” Mas Bambang menanyakan siapa saja yang ikut dalam perjalanan ini.

“Oh niki wonten, Mas Min, dulu bantuin Bapak di warung, tapi itu dulu, waktu saya kecil, sekarang dah usaha sendiri, sudah dianggap seperti saudara sama keluarga, ada Pak Sopir, lalu ini yang sepupu saya nih Mas, Aldi namanya, ditugaskan menjaga mobil barunya,

nah ini yang paling muda ada Pakde Ndulug, saudara jauh Bapak di Wonogiri” aku mencoba membuat candaan agar suasana lebih mencair, kami semua tertawa, kecuali Pak Sopir. Aku melihat tatapan kosong di wajahnya, seperti sedang melamun memikirkan sesuatu.

“hahahaha guyon terus Mas Agung senenge, monggo disambi, simakan semua camilannya” Mas Bambang mempersilahkan kami untuk memakan camilan yang sudah tersedia.

Rokok kami nyalakan, cemilan kami lahap cepat, teh dan kopi yang dihidangkan juga tidak didiamkan begitu saja, semua kami nikmati, malam dingin yang panjang, perjalanan yang jauh membuat perut kami semua seperti kosong kembali setelah makan besar di Tegal.

Obrolan-obrolan seputar perjalanan tadi aku ceritakan pada Mas Bambang dan istrinya, kami semua larut dalam tawa canda dan berbagai cemilan khas Banjarnegara.

"Mas Bambang dan Mbak Siwi, kulo Simin dados perwakilan saking keluwargi Mas Agung, ngabaraken kaliyan puniki ayahan kula sampun bibar, ngateraken Mas Agung saking Tegal dhateng Banjarnegara, kula lan kanca-kanca ingkang sanes nedha pamit, kula titip Mas Agung dumugi dinten emah-emah."

(Saya Simin sebagai perwakilan dari keluarga Mas Agung, mengabarkan dengan ini tugas saya sudah selesai, mengantarkan Mas Agung dari Tegal ke Banjarnegara, saya dan teman-teman yang lain mohon pamit, saya titip Mas Agung sampai hari pernikahan.) Tanpa basa-basi Mas Min langsung mengatakan salam perpisahan, berpamitan untuk pulang ke Tegal, kata-kata Mas Min hampir membuatku memuntahkan kembali kopi yang kuminum, karena kaget mendengarnya.

"Lo, lo, lo Mas, kok dadakan gitu, baru saja sampai kok mau langsung pamit saja?" Mas Bambang reflek langsung menanggapi Mas Min dengan gelagapan.

"Sudah cukup Mas Bambang untuk istirahatnya, saya barusan dibisiki Pak Supir, beliau dapat kabar harus kembali ke Tegal karena ada urusan." Balas Mas Min

"Lah Mas, pesan dari Bapak itu kan kalau mau pulang setelah selesai subuhan saja mas, apa Mas Min gak ingat?" tanyaku pada Mas Min.

"Sekarang atau subuh sama saja Gung, tidak ada bedanya, saat ini kalau aku sudah benar-benar fit, kan dari tadi aku di mobil cuma tidur, kalau nanti Pak Supir kecapean bisa gantian" Balas Mas Min yang masih kuat dengan keinginannya.

"Ini makanan masih banyak loh, belum dikeluarkan semua, gak ada yang menemani Mas Agung di rumah ini?" Tanya Mas Bambang.

"Kita semua harus kembali Mas Bambang, nantinya masing-masing dari kami akan ditempatkan di mobil yang berbeda saat perjalanan saat hari pernikahan, keluarga dari Tegal yang datang lumayan banyak,

kami nanti ditugaskan sebagai petunjuk jalan, kan tau sendiri kalau pakai aplikasi peta di handphone, sering nyasar malahan, kami tidak terlalu percaya" Jawab Mas Min.

"Sudahlah, saya mau pulang malam ini, ada atau tidak adanya yang mau ikut, saya tetap berangkat, saya ada urusan penting, ada urusan keluarga yang perlu saya selesaikan, Mas Agung, mohon ijinnya ya." timpal Pak Supir yang mulai ikut berbicara setelah sedari tadi hanya diam.

Aku tak bisa lagi menahan mereka, segalanya berjalan begitu cepat, waktu juga sudah terlalu malam, energi rasanya sudah habis, ingin rasanya beristirahat, akhirnya aku tak mempedulikan lagi dengan keputusan yang mereka ambil, dari pada terus terjadi adu argumen, akhirnya aku memilih untuk menerima permintaan mereka.

"Di kamu juga ikut pulang ke Tegal?" tanya ku pada Aldi.

"Piye ya mas, masih pegal-pegal badanku, gapapa Mas, aku ngikut ajalah, entar malah gak enak sama yang lain, lagian tugasku kan menjaga mobil juga". ucap Aldi menjawab pertanyaanku.

Persiapan untuk kembali ke Kota Bahari segera dilakukan, Mas Bambang dan Mbak Siwi sibuk menyiapkan bekal makanan ringan, yang nantinya akan dibawa oleh rombongan, siapa tau butuh, untuk sekadar mengganjal perut, sampai kota tujuan.

"Pak Supir, apa mau saya antar sampai batas desa? sebenarnya gampang, setelah melewati kebun salak tadi Bapak nanti langsung belok kiri, itu menuju ke araH jalan provinsi, jangan ke kanan ya, itu jalan menuju Desa Atas."

Aku memberikan arahan, memastikan mereka agar tidak tersesat di tengah perjalanan malam.

"Paham, saya tahu itu, gampang sekali jalannya, masih ingat kok, Mas Agung gak usah mengantar, cukup diam saja di rumah" jawab Pak Supir yang membuat aku memicingkan mata mendengar sikap yang datar dan perkataan yang menurutku kurang nyaman, sebenarnya ada apa dengan orang ini?

Mesin mobil dinyalakan, suaranya memecah keheningan malam yang sudah begitu pekat, dinginnya sudah tak bisa lagi ditahan. Beberapa warga desa sudah terlelap terlalu dalam pd tidurnya, beberapa lagi masih sibuk dgn pekerjaan dandan salak. Aku hanya berdiri di depan pintu rumah,

ditemani Mas Bambang dan Mbak Siwi. Aku sempat melihat jam tangan yang menempel erat di tanganku, 01:00 WIB, sudah semalam ini. Bunyi klakson mengagetkanku, lambaian tangan Aldi yang sekarang duduk di depan menggantikan posisiku menjadi tanda,

malam itu juga mereka pulang menuju Kota Bahari. Aku masuk ke dalam rumah ketika mobil hilang ditungan menuju pintu keluar desa. Aku menuju kursi si ruang tamu dengan segudang pertanyaan di dalam pikiran, rasa khawatir muncul silih berganti,

mengingat medan yang harus mereka tempuh dan beberapa rentetan masalah yang aku lalui saat perjalanan menuju Banjarnegara, "Gusti beri mereka perlindungan, aku ingin segalanya berjalan baik, mudahkanlah semua" gumamku yang terus berharap keselamatan untuk semua agar acara pernikahan berjalan lancar.

Cukup lama aku terdiam di kursi ruang tamu, menghabiskan beberapa batang rokok, sambil sesekali berkomunikasi dengan calon istriku lewat aplikasi percakapan di smartphone. Membahas beberapa hal terkait acara akad yang harus aku persiapkan,

tersisa waktu hanya satu hari saja. Pikiranku kacau, mana dulu yang harus aku utamakan. Rasanya tenaga hari ini sudah dikuras habis tak tersisa.

"Loh Gung, belum tidur kamu? mikir opo maneh to le?" Tanya Mbak Siwi mengagetkanku.

"Buanyak mbak, mumet aku, hadeh..." keluhku pada Mbak Siwi.

"Ya sudah masuk kamar sana istirahat, biar lebih entengan besok, pernikahan itu memang tak seperti orang kira, terlihat bahagia di postingan media sosial, tapi saat mengurus prosesnya bikin kepala terasa mau pecah, dah sana tidur istirahat!" perintah Mbak Siwi padaku.

"Nanti Mbak, aku baru bisa tidur kalau sudah dengar kabar dari adik sepupuku, Aldi" Sontak setelah mengatakan hal itu, aku tersadar, tidak ada satu orang pun di dalam mobil itu, yang kontaknya aku simpan, "sialan" gumamku dalam hati.

BERSAMBUNG

Selanjutnya di Part 5

Jalan yang kini kami lewati menanjak tajam membelah tumbuhan yang berdiri kokoh di sisi kanan dan kiri jalan. Lampu penerangan kadang terlihat, redup menyala di beberapa rumah yang jaraknya saling berjauhan. Kondisi jalan yang rusak membuat kami

harus lebih berhati-hati. Semakin lama kami berjalan, semakin dalam kami semua masuk ke dalam ketidakpastian. Keputusan saat ini hanya diambil dari rasa praduga semata.

"Gung sini kamu, ada yang mau Mbak bicarakan sebentar, sini!" Mbak siwi menyuruhku untuk meju kedepan, ada beberapa hal yang ingin ia bisikan.

"Wonten nopo mbak?" jawabku sambil memajukan posisi kepalaku ke depan.

"Aku weling, aku ingatkan, nanti seumpama kamu melihat hal yang diluar nalar, atau melihat sosok yang tidak bisa dicerna pikiranmu, jangan kaget, jangan teriak, jaga sikapmu, tetap tenang jangan menimbulkan kegaduhan, jangan memancing perhatian mereka,

jangan buat calon istrimu histeris, kuat no atimu ya Le, kuat no mentalmu, paham yo, dilakoni yo?" Mbak Siwi membisikan pesan itu padaku. Aku tidak bisa merespon apapun selain mengiyakan apa yang diperintahkan oleh Mbak Siwi.

Kini seakan semua ketidakpastian bermain bebas di pikiranku, akan ada apalagi ini, mengapa Mbak Siwi memberikan peringatan semacam itu, apa yang akan terjadi nanti, segalanya masih misteri,

aku hanya bisa diam, memegang erat tangan calon istriku, ditengah lelah dan gempuran peristiwa ganjil yang tiada habisnya.

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close