Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

OYOT MIMANG (Part 5) - Yang Datang Bertubu-tubi

Mereka yang berangkat malam itu, tak satupun dari kami yang tahu dimana keberadaannya. Segalanya masih ambigu, ketidakjelasan menyelimuti malam ini.


Aku memutar otak, saat keadaan seperti ini apa yang harus aku lakukan. Ku ambil smartphone yang sedari tadi sedang aku isi daya batrainya. Ku cari kontak keluarga Aldi yang mungkin masih aku simpan. “Ketemu!!!” teriakku dalam hati.

Wulan kakak kandung dari Aldi, mungkin satu-satunya orang yang beberapa kali berkirim pesan denganku selama ini. Aku mencoba mengirim pesan lewat aplikasi, tapi entah kenapa yang muncul adalah ikon centang satu yang muncul.

Akhirnya segera aku telpon Wulan via seluler selang tak beberapa lama, komunikasi kami tersambung.

“Halo, Assalamualaikum Lan, maaf ganggu tidurmu..” ucapku memulai percakapan.

“Ono opo Mas Agung, sudah selarut ini menelepon saya? Aldi baik-baik saja kan?” Pertanyaan Wulan seperti bisa menebak isi kepalaku, apa yang dirasakan Wulan saat ini sepertinya sama seperti apa yang sedang aku rasakan.

“Oh gak papa Lan, Mas Cuma mau minta nomor handphone Aldi, Mas gak punya soalnya, dia kan masih suka gonta-ganti nomer” ucapku.

“Oh iya sih tu anak, masih labil maklum Mas anak remaja. Aku kirim aja ya mas lewat pesan. Tapi...” Wulan seakan enggan menyelesaikan pertanyaannya, seakan ada perasaan ragu pada dirinya.

“Tapi... kenapa Lan?” tanyaku kembali.

“Aldi baik-baik saja kan Mas? aku tadi habis mimpi, ketemu Aldi sedang minta tolong, lalu terbangun karena telepon dari Mas Agung, gak terjadi apa-apa kan Mas?” Pertanyaan dari Wulan seperti menguatkan kembali ucapanku sebelumnya.

“Barusan Aldi berangkat, baru saja budal dari rumah sama yang lainnya. Katanya biar bisa istirahat penuh di Tegal, aku minta nomer kamu supaya bisa berkomunikasi sama mereka, aku gak megang satupun nomor orang-orang yang adai di mobil Lan.

Insya Allah perjalanan mereka akan baik-baik saja, sudah biar ini jadi urusan Mas, kamu kirim nomernya, Mas Cuma ingin memantau saja. Setelah ini kamu lanjut istirahat ya. Bakalan aman, sopirnya handal kok,

ada Mas Min juga, mobil masih baru, gak mungkin mogok lah.” Aku mencoba menenangkan Wulan, agar kepanikan tidak terjadi di rumahnya.

“Owalah, yowes kalau begitu, aku juga masih ngantuk banget ini, aku kirim ya Mas, titip Aldi” ucap Wulan, setelah mengucapkan salam perpisahan dan mengakhiri pembicaraan, nomor Aldi akhirnya aku dapatkan.

“Gung, loh kamu belum tidur ya? Sudah hampir jam dua pagi loh ini, istirahat lah” suara itu mengagetkanku, membuat aku langsung menoleh dan memperhatikan asal suara tersebut, yang ternyata adalah Ibu calon mertua.

“Loh Bu, kok kemari? Gak istirahat to?” Tanyaku pada Ibu calon mertua.

“Cuma mau memastikan kondisimu, sama mau ambil bahan makanan buat dimasak besok, jawab dulu kok kamu belum tidur?”

“Nyaman kok di sini Bu, aku belum bisa tidur bu, karena belum dapat kabar dari Aldi soalnya, mau saya telepon ini anaknya”

“Owalah, lagian kenapa mereka ga nginep dulu sih, tadi Mas Bambang cerita mereka seperti terburu-buru, kenapa yo Gung?”

“Aku tidak tahu Buk, Pak Sopir hanya menyampaikan ada urusan mendadak. Belum nemu jawaban yang pas, coba saya hubungi Aldi dulu.”

“Yowes Ibu kembali dulu, kamu istirahat ya, jaga kondisi badan, Anna juga sudah istirahat dari tadi kok” ucap Ibu calon mertua.

“Baik Bu, saya istirahat setelah mendengar kabar dari Aldi” setelah itu Ibu calon mertua pergi meninggalkan rumah tempatku beristirahat. Tak lama setelah itu aku berusaha mengirim beberapa pesan ke Aldi, namun semua pesan berstatus pending dan beberapa hanya centang satu.

Akhirnya aku coba untuk menelepon Aldi, semoga saja cara ini berhasil untuk menghubunginya. Nafasku terasa ringan, tatkala bukan suara sambungan operator yang menjawab panggilanku, melalui telepon seluler kini aku bisa berbicara dengan Aldi

“ Halo Mas Agung...”

“Halo Di, syukurlah bisa nyambung lewat telepon, tadi aku kirim pesan via WA gak ada yang terkirim, piye? Posisimu sekarang dimana? Sudah keluar Banjarnegara?” Tanyaku memastikan keadaan Aldi dan yang lainnya.

“Mas, nganu... kita semua kesasar ini” Jawaban Aldi membuatku terdiam, pikiran menerawang jauh entah kemana, rasanya seperti ingin berteriak, hal-hal semacam ini terus terjadi bahkan sampai titik ini.

“Mas.., Mas.., Mas Agung?!”

“Kesasar dimana Di? Apa ada orang yang mungkin bisa ditanya? Atau ada sesuatu yang bisa dijadikan patokan?” pertanyaan keluar bagai peluru yang ditembakkan oleh senapan otomatis, seluruh pikiranku diliputi oleh kepanikan.

“Di, ini Banjarnegara, banyak banget kebun salak, apalagi pohon salak, yang jelas dong kalau ngasih penjelasan. Mending sekarang kamu kirim titik lokasi kamu lewat WA ya, aku tunggu” telepon ku matikan segera,

kini aku duduk lesu di kursi seorang diri, mataku menatap langit-langit rumah, berharap hal buruk tidak terjadi pada Aldi dan yang lainnya.

Sembari menunggu kabar dari Aldi, aku mengabarkan keadaan ini pada calon istriku.

“Ndok, Aldi kesasar, gimana ini ya? Apa aku nyari mereka?” tanyaku via aplikasi pesan teks.

“Hah kok iso? Gini aja, aku tak nyari bantuan kamu diem di situ aja ya? pinta calon istriku.

“Aku kira kamu sudah tidur Nduk...”

“Belum, gak tahu gak enak dari tadi mata gak mau tertutup Le” jawabannya sembari mengakhiri pembicaraan.

Aku masih duduk terdiam memikirkan keadaan Aldi dan yang lainnya, sempat muncul dalam pikiranku mengaitkan kejadian saat kami berangkat tadi, dengan kejadian sekarang.

Apakah ini adalah rentetan peristiwa yang saling berkaitan, pikiranku sudah buntu, kacau rasanya. Ingin rasanya beranjak dari tempatku, apapun harus aku lakukan agar tahu keadaan Aldi.

Layar handphone kembali menyala, nada panggilan yang berbunyi nyaring, menyadarkanku dari lamunan, Aldi kembali menghubungiku.

“Piye Di, mana titik lokasinya? Belm kamu kirim ya? Tanyaku cepat pada Aldi.

“Mas Maaf, aku sudah mencoba berkali-kali hasilnya sama saja Mas, pesannya pending, gak bisa langsung terkirim, sinyalnya gak memungkinkan Mas”

“Pakai handphone yang lain bagaimana Di? Apakah tidak bisa juga?”

“Mas, Handphone layar sentuh hanya aku yang punya, para Bapak-bapak ini masih pakai Handphone model lama, bukan seperti kita Mas.

“Serius gitu Di, aku kira Cuma Bapakku aja yang masih menggunakan Handphone kuno itu, aku tak cari bantuan ya, nanti kita berkomunikasi lewat telepon seluler saja.”

“Oke Mas tak tunggu ya kabarnya...”

Telpon langsung dimatikan, hal pertama yang perlu dilakukan adalah, memastikan saldo pulsaku cukup, agar komunikasi bisa terus terjalin, untuk mengetahui kondisi Aldi dan yang lainnya.

Suara langkah beberapa orang terdengar dari luar, tak lama berselang Mas Bambang dan Mbak Siwi datang, setelah itu hal tak terduga terjadi, aku melihat calon istriku di depan mataku, kami akhirnya bertemu.

“Kamu ngapain disini Nduk?” tanyaku pada calon istriku.

“Tadi aku bilang ke Mas Bambang dan Mbak Siwi, buat bantu kamu cari saudaramu. yang lainnya sudah tidur, sudah hampir jam 2 dini hari ini.”

“Ameh piye Gung? mau gimana?” tanya Mas Bambang padaku.

“Budal wes Mas, jalan dulu aja, nanti kita kontak sambil jalan, perasaanku gak enak ini...”

“Yowes, tak siapin mobil dulu” Mas Bambang segera pergi ke tempat mobilnya di Parkir, aku mengambil rokok dan beberapa barang yang kiranya perlu dibawa.

Setelah itu aku bergegas ke parkiran mobil menyusul Mas Bambang. Tak lama berselang Mbak Siwi ikut menyusul.

“Mas Bambang aku ikut, aku kudu ikut!” teriak Mbak Siwi.

“Yowes to, sini kalau mau ikut, kamu duduk di kursi depan saja sama aku, Agung biar duduk di belakang” Perintah Mas Bambang.

Kami semua menempati posisi masing-masing, semua pintu sudah kami tutup, tiba-tiba ada yang membuka pintu belakang sebelah kanan, lalu ia masuk ke dalam dan dengan tenang duduk di sampingku.

“Lah kamu ngapain di sini? Kamu juga mau ikut? Aku pikir kamu cuma mengantarku sampai parkiran.” Tanyaku pada calon istri.

“Gak mau kalau ditinggal, aku khawatir sama kamu, aku ikut, pokoknya aku ikut gak usah ada perdebatan lagi, kasian Aldi juga” Ucap Anna memaksaku untuk segera mengambil keputusan. Pikiran kami semua tidak tenang, terburu-buru.

Alasannya karena semua yang ada di mobil yang tersesat tidak paham dengan medan yang mereka tuju, Mas Bambang juga sudah mendengar cerita saat perjalanan kami dari Kota Bahari menuju Banjarnegara.

Mungkin semua ini ada kaitannya dengan peristiwa itu, atau mungkin ini hanya masalah kesalahan teknis, aku tidak tahu. Aku merasakan saat ini segalanya masih ambigu.

Mobil sedan produksi tahun 1990an beranjak dari tempatnya terdiam. Kemudi dikendalikan sang pemilik menyusuri jalan di tengah malam yang sepi. Orang-orang sudah tidak terlihat lagi,

termasuk para warga yang melakukan aktifitas dandan salak, sepertinya pekerjaan mereka semua sudah selesai. Saat ini para warga sekitar sudah terlelap jauh dalam mimpi masing-masing.

Keluar desa mobil melaju di antara kebun salak yang gelap, melaju entah kemana arah akan menuntun. Tidak ada rencana, tidak ada tujuan pasti, tidak banyak informasi yang kami bawa,

saat ini yang kami semua tahu, rombongan pengantar pengantin tersesat di kebun salak. Segalanya masih tertutup menimbulkan banyak pertanyaan di antara kami.

Kini tiba, pada sebuah persimpangan jalan yang harus kami pilih, belok kiri jalan menurun menuju jalur provinsi,

yang dimana ini adalah arah yang harusnya dituju oleh mobil yang berisikan para saudaraku, atau mungkin mereka malah belok ke kanan, jalanan menanjak menuju bukit, yang pada saat itu belum pernah sekalipun aku lewati selama aku berkunjung ke Banjarnegara.

Kini mobil berhenti di persimpangan, memastikan lagi, mencoba menggali informasi kembali dari Aldi.

“Halo Di, aku sekarang ada di batas desa, berhenti di pertigaan jalan, aku mau bertanya ,kamu tadi belok kiri atau kanan?” tanyaku pada Aldi setelah telepon tersambung kembali.

“Halo Mas Agung, tadi aku belok kiri seperti apa yg dikatakan Mas Agung” Aldi menjawab pertanyaanku.

“Jalanan yang kamu lalui tadi bagaimana? Menurun atau menanjak?” tanya ku kembali.

“Jalanan yang kami lalui lurus mas,ada lampu-lampu juga, jalanan di sini malah mirip seperti jalanan di TOL. Aku merasa jalan yang kami lalui datar saja, tidak ada hambatan, ya wajar, kan sudah larut malam”

“Sebentar Di aku tanya Anna, bener tidak jalanan yang kamu lalui itu, tahan dulu ya jangan ditutup. Setelahnya aku tanyakan apa yang dikatakan Aldi pada Anna.

“Ada jalannya lurus, mungkin mereka lewat jalan yang satunya, sama-sama akan bertemu di jalan provinsi menuju Purbalingga, tapi..”

“Tapi apa Ndok?, tolong katakan cepat!” pintaku pada Anna.

“Tapi gak ada lampu-lampu seperti yang Aldi katakan, jalanan itu kanan kirinya sawah, lampu paling berasal dari rumah warga sekitar, itupun jumlahnya tidak banyak” Jawab Anna.

“Aldi, jalanan yang kamu lalui itu lurus terus tidak menurun atau menanjak dari awal? Apakah jalannya rusak banyak lubang Di?” tanyaku kembali ke sambungan telepon pada Aldi.

“Enggak Mas, jujur ini jalannya halus banget, mulus Mas, datar saja tidak ada belokan, tanjakan atau turunan. Pak Sopir saja ngebut, aku merasakan itu sih Mas”

“Kamu pakai aplikasi Map gak saat jalan tadi?” tanyaku kembali pada Aldi.

“Tidak Mas, sinyal E tidak bisa digunakan untuk membuka aplikasi dengan akses internet Mas, jadi kami semua pasrah sama Pak Supir.”

“Yowes, makin mumet aku, coba kamu jelaskan posisimu sekarang gimana Di?” tanyaku kembali pada Aldi.

“Halo Gung, iki Mas Min, biar aku wae yang menjelaskan posisi kami saat ini” tiba-tiba Mas Min mengambil alih pembicaraan, bermaksud memperjelas posisi saat ini.

“Walah Mas Min, monggo Mas dijelaskan biar saya mudah mencarinya” Aku mempersilahkan Mas Min untuk menjelaskan terkait posisi mereka saat ini.

“Posisi Mobil saat ini terjebak di sekitaran kebun salak, di depan kami adalah tebing yang di bawahnya sekitar 2-3 meter itu sudah sungai dengan arus yang lumayan deras. Di kanan kiri kami kebun salak, hanya berjarak beberapa senti saja dari body mobil, ngepres banget Gung”

“Apakah tidak bisa mundur saja Mas Min?” tanyaku.
“Ora iso, tidak bisa Gung, jalanan di belakang itu menurun ke arah sungai, sekitar 20-30 meter, mobil tidak ada tenaga jika langsung mundur dan menanjak gitu, ditambah lagi ban selip karena jalannya itu tanah yang masih basah.”

“Loh Mas iki piye to? Ini gimana? Kata Aldi tadi jalanan seperti jalan TOL, kok berubah jadi tanah basah?”

“Aku sendiri bingung Gung, setelah mobil berhenti, itu pas aku lihat di depan sudah tebing, untung Pak Supir ga telat nginjek rem”

“Nah Mas, makanya jgn tidur terus, mungkin Pak Supir kelelahan dan tidak enak mau minta tolong sampean” tanpa sadar aku malah menyalahkan Mas Min.

“Aku sama sekali gak tidur Gung, kita semua di mobil belum ada yang tidur, semua merasakan hal yang sama, kami nyaman saat mobil berjalan, tapi setelah mobil mendadak berhenti, yang kami lihat saat keluar adalah kebun salak, gelap tanpa ada penerangan” ucap Mas Min.

“Baik Mas, aku belum bisa menyimpulkan apa-apa, coba nanti aku diskusikan dengan Mas Bambang dan yang lainnya, aku bakal tetap mencari sampai ketemu Mas, tolong tahan dulu ya?”

“Yowes, kamu hati-hati saat melakukan pencarian, kami coba bertahan di sini ya, lagian mau apalagi? Benar-benar terkunci tidak bisa bergerak ini” Ucap Mas Min yang ku akhiri dengan menutup telepone,

benar-benar penjelasan yang rumit untuk dimengerti. Jalanan lurus halus, mirip jalan TOL, tidak ada belokan, tanjakan bahkan turunan dengan lampu-lampu penerangan, rasanya mustahil ada di sebuah pedesaan yang letaknya di perbukitan.

“Mas Bambang, ada memang jalanan seperti itu di sini Mas?” tanyaku pada Mas Bambang, siapa tahu ada daerah yang karakternya mirip.

“Jalan Tol gundulmu, yo gak mungkin lah, ini kan pedesaan di bukit Gung, masa iya ada jalan yang kaya gitu?” Ucap Mas Bambang sambil cengengesan menatapku.

“La terus moso mereka ngelantur, buat apa coba? Pusing banget aku, kon sampe kejadian kaya gini?” aku mengeluh dengan apa yang terjadi saat ini.

“Sudah-sudah sekarang kita putuskan saja, jalan mana yang akn kita ambil, belok kiri menuju jalan provinsi, atau ke kanan menyusuri jalan ke aras bukit?“ Tanya Mbak Siwi memecah perdebatan ku dengan Mas Bambang.

“Dilihat dari jarak waktu saat berangkat sampai dapat kabar tersesat itu gak sampai satu jam kan ya? berarti masih dekat ini, jaraknya gak terlalu jauh, aku yakin mereka masih di Banjarnegara.”

“Berarti kita belok kiri saja, menyusuri jalan yang mungkin mereka lalui?” tanyaku kembali pada Mas Bambang.

“Tidak, kita belok kanan menuju Desa Atas, kita mulai penyisiran dari desa itu siapa tau tanpa sengaja mereka dibelokan ke arah situ, kita juga bisa tanya warga sekitar,

jika di Desa Atas keberadaan mereka tidak ditemukan, baru kita turun dan menyusuri jalur yang menuju ke jalan provinsi” Mas Bambang menjelaskan rencananya.

“Menurutmu gimana Mbak Siwi, jujur aku belum pernah jalan menuju Desa Atas, jadi benar-benar belum ada bayangan.” Tanyaku pada Mbak Siwi.

“Aku meluk aja Gung, yang jelas kalau jalan ke Desa Atas, kita kudu siap saja, soalnya kita bakal melewati hutan dan jalanan yang menanjak nantinya” ucap Mbak Siwi memberikan peringatan.

“Mbak ojo meden-medeni lah, jangan bikin aku takut, dah tau aku ini anaknya cemen kalau sama hal kayak gitu.” Timbal ana memperingatkan Mbak Siwi

“Santai An, berpikir yang baik saja, agar segalanya segera mendapat titik terang, jangan mikir yang enggak-enggak ya Nduk” Mbak Siwi mencoba menenangkan calon istriku.

Sudah diputuskan tujuan awal kami adalah mengunjungi Desa Atas, dengan asumsi desa tersebut letaknya cukup dekat, ada dugaan mereka semua dibuat tersesat oleh makhluk gaib, setidaknya itu yang saat ini ada dalam pikiran Mas Bambang dan Aku.

Mobil melaju dengan tenang, jalanan benar-benar sepi saat ini, di sepanjang jalan yang kami lalui masih kami temui rumah dengan penerangan seadanya. Namun semakin kita terus melanjutkan perjalanan rumah-rumah warga tidak kami temui kembali,

hanya barisan pohon dan alang-alang yang terdapat di pinggir jalan.

Jalanan terus menanjak, beberapa kali mobil harus melakukan pengereman, karena jalan yang terdapat banyak lubang, jalanan yang kami tuju kondisinya rusak, sangat menyulitkan untuk mobil sedan tahun 1990 an yang body-nya dibuat rendah dengan jalan.

Keadaan jalan yang naik dan berkelok menambah kewaspadaan kami. Semua mata fokus, aku melihat sebelah kanan dan kiri, mana kala aku bisa menemukan mereka, tersesat tak jauh dari jalan yang kami lalui. Tapi hasilnya nihil.

Pandanganku tertuju pada barisan pohon yang berjajar, suasana benar-benar sepi, hanya suara mesin mobil yang sepertinya lelah saat harus melalui jalan menanjak.

Dari kejauhan aku melihat cahaya kilat dari langit, cuaca mendung menambah kekhawatiran dalam pikiranku, semoga ini hanya mendung tanpa hujan.

Jalan yang kini kami lewati menanjak tajam membelah bukit yang di sisi kanan dan kiri jalan berdiri kokoh pepohonan. Kondisi jalan yang rusak membuat kami harus lebih berhati-hati. Semakin lama kami berjalan, semakin dalam kami semua masuk ke dalam ketidakpastian.

Keputusan saat ini hanya diambil dari rasa praduga semata.

"Gung sini kamu, ada yang mau Mbak bicarakan sebentar, sini!" tiba-tiba Mbak siwi menyuruhku untuk maju kedepan, ada beberapa hal yang sepertinya ingin disampaikan.

"Wonten nopo Mbak?" jawabku sambil memajukan posisi kepalaku ke depan.

"Aku weling, aku ingatkan, nanti seumpama kamu melihat hal yang diluar nalar, atau melihat sosok yang tidak bisa dicerna pikiranmu, jangan kaget, jangan teriak, jaga sikapmu,

tetap tenang jangan menimbulkan kegaduhan, jangan memancing perhatian mereka, jangan buat calon istrimu histeris, kuat no atimu ya Le, kuat no mentalmu, paham yo, dilakoni yo?" Mbak Siwi membisikan pesan itu padaku.

Aku tidak bisa merespon apapun selain terpaksa mengiyakan apa yang diperintahkan oleh Mbak Siwi.

Kini seakan semua ketidakpastian bermain bebas di pikiranku, akan ada apalagi ini, mengapa Mbak Siwi memberikan peringatan semacam itu, apa yang akan terjadi nanti.

Segalanya masih misteri, aku hanya bisa diam, memegang erat tangan calon istriku, ditengah lelah dan gempuran peristiwa ganjil yang tiada habisnya.

Kini seakan semua ketidakpastian bermain bebas di pikiranku, akan ada apalagi ini, mengapa Mbak Siwi memberikan peringatan semacam itu,

apa yang akan terjadi nanti. Segalanya masih misteri, aku hanya bisa diam, memegang erat tangan calon istriku, ditengah lelah dan gempuran peristiwa ganjil yang tiada habisnya.

Jalan kembali naik, menikung ke kanan, setelah melewati tikungan tersebut nampak berjajar dengan gagahnya barisan pohon pinus yang tinggi menjulang. Sayup-sayup aku memandang keluar kaca, nampak dua titik sinar menyala merah. Kilat petir menyilaukan membuat aku menutup mata.

Saat mata kembali ku buka, hal yang selama ini belum pernah terjadi, aku saksikan dengan sangat jelas. Mereka berkumpul layaknya sedang mengadakan sebuah pesta, sosok-sosok itu muncul membuat keringat dingin keluar di sekujur tubuhku,

aku mencoba untuk menahan segalanya, tidak berteriak, berusaha tenang mengendalikan keadaan sekitar, di saat jantungku berdetak kencang, aku masih ingat dengan apa yang disampaikan oleh Mbak Siwi.

Sepanjang jalan di tengah hutan pinus, mataku seakan terus membuka, sekeras mungkin aku berusaha menutup mata, agar aku tidak melihat sosok-sosok itu hasilnya percuma. Di sebelah kiri, aku melihat mereka bergelantungan di antara pohon,

ada yang loncat dari pohon satu ke pohon yang lain, ada yang tertawa cekikikan, membuat bulu kuduk berdiri tegak. Beberapa kepala dengan api menyala terbang berkejar-kejaran dengan kecepatan yang tinggi.

Yang paling membuatku hampir pingsan adalah sosok perempuan yang jongkok di pinggir jalan, rambutnya panjang, baju yang digunakan lusuh, posisinya persis di atas besi pembatas jalan. Pandangannya menuju ke arahku, wajahnya berputar 360 derajat, dari atas ke bawah berkali-kali.

Hawa panas terasa menyelimuti tubuhku. "Sial, ramai sekali di luar sana" dalam hati aku membatin.

Tak ingin terus melihat mereka pandangan ku alihkan ke sebelah kanan, bukan hal baik yang aku dapatkan, melainkan sebaliknya. Sosok tinggi besar berdiri di samping pohon, seluruh tubuhnya ditutupi bulu berwarna hitam, tangannya memegang kepala.

Saat aku melihatnya, sontak mataku dibuat tambah terbelalak, kepala yang dipegang makhluk tinggi besar itu membuka matanya yang sedari tadi tertutup, pandangannya melihat ke arah kami, lalu ia tersenyum dengan ujung bibir yang hampir sampai ke telinga.

Mobil masih melaju tenang diantara ramainya hutan yang kami lewati. Kendaraan yang kami tumpangi ibarat mobil pawai yang berjalan diantara makhluk-makhluk tak kasat mata yang terus bermunculan.

Persis seperti pawai festival yang sering aku lihat tatkala warga kota memperingati Hari Raya Kemerdekaan.

“Gung koe kok menang wae? Kok diam saja? Ono opo?” tanya Mas Bambang memecah suasana yang kian mencekam.

“Gak papa kok mas, aku.. aku cuma kelelahan saja, mungkin lagi banyak pikiran Mas.” Jawabku senormal mungkin menutupi apa yang saat ini membuat diriku menahan kuat-kuat rasa takut yang ada.

“Mbak Siwi juga diam saja Mas...” saut Anna disampingku, yang saat aku melihatnya sosok perempuan berbaju putih yang berada di luar jendela seperti ingin mendekat ke arahnya.

“Ora ono opo-opo, tidak ada apa-apa, fokus ya Mas, jaga mesin jangan sampai mati” Ucap Mbak Siwi singkat. Jawabannya tenang, posisi mukanya terus menunduk ke bawah, sesekali ia melihat kiri dan kanan, sepertinya apa yang aku lihat, dirasakan juga oleh Mbak Siwi.

Keadaan belum sepenuhnya berubah, sepanjang jalan hutan yang kami lalui, aku terus menyaksikan mereka yang sedang melakukan aktivitas layaknya manusia pada siang hari. Seakan tak kuat lagi menahannya,

rasanya ini kali pertama aku melihat mereka yang tak kasat mata dengan jumlah sebanyak itu, Pocong, Kuntilanak, Tuyul, Genderuwo, Banaspati, serta beberapa makhluk yang tak aku kenali, dari yang utuh sampai yang tak utuh, semua muncul saat mobil kami melintas.

Ditambah lagi ini adalah kali pertama aku menyaksikan mereka dengan durasi yang tidak bisa dibilang singkat, kini aku hanya bisa menundukkan wajahku, dan terus berdoa agar hal buruk tidak terjadi.

Sial tak bisa dihindari, mesin mobil yang kami tumpangi mendadak mati. Kini kami benar-benar terjebak di tengah hutan, dengan aku dan Mbak Siwi yang masih terus melihat banyak sosok yang berada di sisi kanan dan kiri jalan.

“Ya Allah, perasaan mobil baru tak service loh kok iso-isone mogok?!!” teriak Mas Bambang di belakang kemudi.

“Sabar Mas, mungkin karena jalanan yang sedari tadi nanjak, mesin jadi panas” Ucap Anna mencoba menjelaskan.

“Gung, kancani metu Gung, ayok cek mesin sebentar!” Perintah Mas Bambang.

“Gak mas, aku gak mau keluar...” jawabku secara spontan.

“Kenopo Gung? Koe wedi? Awakmu loh sing ngajak budal mau, dadi wong lanang kok wedi, cemen banget!" Mas Bambang menjawab dengan nada yang tinggi, tangannya sudah meraih tuas, kunci pintu sudah dibuka tiba-tiba...

“Ojo Mbok buka Mas, jangan kamu buka pintu itu, aku gak tahu apa yang terjadi kalau sampai terbuka” perintah Mbak Siwi dengan tenang.

“La terus aku kudu piye Wi? Ini mobil dari tadi aku nyalain gak bisa-bisa, semprul tenan…!!”

“Sabar sek Mas, nunggu sebentar, nunggu sebentar lagi, pokoknya jangan keluar...”

“Mbak, ojo meden-medeni, aku gak seneng kalau suasananya seperti ini, kalian kenapa sih dari tadi, Mbak, Le?” Rengek Anna di sampingku.

“Semprul, itu Supir ngapain pakai kesasar segala, sok banget tadi gak mau diantar, gak jelas Sopirmu itu Gung...”

“Aku tahu Mas, tapi saat ini bukan itu yang harus kita pikirkan...”ucapku

“La terus opo?! Suruh nunggu sampai pagi disini? Di tengah jalan? Kalau dari arah atas ada truk yang lewat bagaimana?!”

“Mas sabar sebentar!!” bentak Mbak Siwi, yang membuat suasana semakin mencekam.

“Mbak, kita harus gimana? Mereka bergerak ke arah kita Mbak?” ucapku pada Mbak Siwi, melihat sosok yang berada di luar, beberapa seperti mulai tertarik dengan keberadaan kami, mulai berjalan perlahan ke arah kami.

Aku sudah terduduk pasrah di kursiku, pandanganku terus melihat ke arah luar, pikiranku masih bimban. Tindakan apa yang perlu dilakukan saat ini,

apa aku harus membuka pintu dan berlari? atau terus pasrah di dalam mobil ini sampai mereka datang? Keduanya memiliki jawaban yang tidak baik.

Aku sudah tak bisa menahan lagi, keadaan semakin tak menentu, pikiran rasanya berat sekali, karena harus memilih tindakan yang akan diambil. Mungkin aku harus keluar, memeriksa mesin mobil dengan Mas Bambang. “Sudah nekat saja, anggap mereka tak ada” gumamku dalam hati,

sambil memegang tuas pintu, belum sempat aku membuka pintu, hawa hangat terasa di tas slempang yang sedari tadi aku pangku. Baru Biru bereaksi kembali, sinarnya lebih terang,

hangatnya seperti memberikan ketenangan. Tuas aku lepaskan, tanpa berfikir, mulutku seakan bergerak sendiri, mengatakan sesuatu pada Mas Bambang.

“Nyalakan mesinnya Mas!” perintahku pada Mas Bambang

“Opo Gung? Wes tak coba, dari tadi tidak berhasil” Jawab Mas Bambang yang juga sudah bingung sedari tadi.

“DUUUKKK!!!...” terdengar suara body mobil dipukul dari arah belakang.

“Bambang, nyalakan mesin sekarang!!!” aku teriak dengan kencang, merasa sudah tak ada lagi waktu untuk berdebat.

Dengan tergesa-gesa Mas Bambang menyalakan mobil sekali lagi, saat itu juga mesin langsung menyala, mobil kembali melaju kencang, raung suara knalpot mobil membelah keheningan malam, kini kami mulai meninggalkan hutan pinus itu.

“Edan, kok iso nyala mobil iki, jane ono opo to Gung? Bedo koe mau, bedo koe, kamu tadi beda” ucap Mas Bambang berkali-kali.

“Gak tahu mas, jangan dibahas di sini, fokus lihat ke depan saja” jawabku pada Mas Bambang, sambil memegang tangan Anna yang mulai gemetar.

“Tadi ada apa Le? Aku seperti melihat orang lain, bukan kamu. Lalu batu apa yang ada di dalam tasmu..?” tanya Anna penasaran.

“Kamu tenang, kita baik-baik saja, sudah, tidak ada apa-apa, tidak terjadi apa-apa, kita fokus lanjutkan pencarian." Ucapku pada Anna berusaha menenangkannya.

Mobil masih berjalan normal seperti biasa, Mas Bambang membunyikan klakson beberapa kali, sebagai tanda peringatan dan juga tanda permisi. Jalanan yang kami lewati saat ini tidak terlalu lebar,

yang ditakutkan barangkali ada truk pengangkut salak yang berjalan dari arah berlawanan tidak mengetahui posisi kami.

Mobil semakin jauh meninggalkan hutan pinus, namun kengeriannya masih terbayang sampai saat ini, kini tinggal sedikit lagi kami sampai di Desa Atas, tujuan pertama pada misi pencarian ini.

Tubuh terasa lemas, tenaga rasanya seperti terkuras habis. Aku menyandarkan kepalaku di kaca sebelah kiri, tanganku masih menggenggam tangan Anna, pikiranku masih terus melayang tak karuan, membayangkan hal yang barusan,

bisa saja terjadi pula pada rombongan pengantar calon manten. Hal-hal tak masuk akal terus menghampiri, satu demi satu datang silih berganti, "apakah setelah ini semua akan usai?

apakah setelah ini ada hal lain yang akan terjadi? apakah semuanya akan usai dengan keadaan yang baik atau sebaliknya? duh Gusti, aku ingin istirahat saat ini" keluhku dalam diam.

Belum juga pikiran itu menghilang, tiba-tiba Mas Bambang menginjak rem, sampai membuat tubuhku terpelanting dan menabrak kursi yang berada di depanku.

"Jancuk, apalagi sekarang?" upatku pelan, rasanya kesabaranku sudah mulai habis.

"Ada apa Mas, kok sampai mengerem mendadak gitu?" Tanyaku pada Mas Bambang dengan kondisi tubuh masih di bawah kursi.

"Gung, sini kamu harus lihat ini, ya Allah kok bisa gitu?" Perintah Mas Bambang memanggilku untuk melihat sesuatu. Aku segera berdiri dan melihat apa yang ingin ditunjukan oleh Mas Bambang.

"Opo to Mas?" tanyaku.

"Itu lihat, jembatannya putus Gung..." ucap Mas Bambang sambil menunjuk jembatan yang putus, jalanan terbelah, tidak ada akses lagi untuk melanjutkan pencarian.

Bersamaan dengan itu, tetesan air dari langit pun turun, kini keadaan semakin tak berpihak pada kami, tengah malam, hujan gerimis, jembatan putus, dan adik sepupuku yang masih belum diketahui keberadaannya.

BERSAMBUNG

Selanjutnya di Part 6:

"Wedhus, malah kesasar di tengah kebun salak begini, yo gimana ini Min?" teriak Pakde Dulug pada Mas Min.

"Sabar to De, kita cari jalan keluar ya, permasalahannya yang tadi kita rasakan kan jalanan yang masih bagus, kenapa tiba-tiba kita berada di tengah kebun salak begini, depan sudah tebing dan langsung sungai lagi, untung gak jatuh.."

"Untung opone to Min? Gara-gara kamu nurutin kemauan Sopir gemblung itu, kita jadi kayak gini, mana dari tadi cuma duduk di bangku kemudi gak mau keluar..."

"Sudah De, jangan teriak-teriak, kunci mobil sudah aku cabut, yang bikin aku penasaran kok sopirnya jadi aneh gitu ya, aku jadi ngeri loh Mas..." Tanyaku pada Mas Min, sekalian mencegah perdebatan antara Mas Min dan Pakde Dulug yang semakin panas.

Aku tak tahu, apa yang sebenarnya terjadi, terakhir kali aku masih melihat jalanan yang terbentang luas, rata, halus dengan deretan lampu penerangan yang memudahkan perjalanan kami. Rasa nyaman setelah perjalanan, membuat mobil mobil bergerak dengan kecepatan tinggi.

Baru saja ingin menutup mata untuk beristirahat, tiba-tiba Pak Sopir menginjak rem secara mendadak, membuatku kaget dan hampir terpental ke arah depan, untung saja sabuk pengaman dipasang dengan baik.

Mobil berhenti seketika, hal ganjil baru saja aku sadari. Kini yang pertama kali aku lihat adalah bagian depan mobil yang sudah berada di ujung tebing, di bawahnya mengalir sungai dengan arus yang cukup deras.

"lalu kemana perginya jalanan datar yang halus itu, kemana lampu-lampu jalan yang sedari tadi menerangi perjalanan kami, mengapa saat berhenti di ujung jalan, terdapat sebuah tebing dengan aliran sungai dibawahnya?" banyak pertanyaan menyerang pikiranku seketika.

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close