Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 91)


Sejak mengetahui tak lama lagi aku akan berangkat ke Pekanbaru melanjutkan pendidikan, banyak sekali pesan dan wasiat yang disampaikan oleh para sesepuhku. Seakan-akan Pekanbaru itu sangat jauh. Padahal masih wilayah jajaran pulau Sumatera.

“Kau akan tinggal dengan siapa di sana nanti, Dek? Hati-hati. Ingat lain lubuk lain ikannya, lain padang lain pula belalangnya. Pandai-pandailah membawa diri” Pesan Nenek Kam. Perempuan bertubuh ringkih ini nampak semakin tua. Entah mengapa aku jadi sedih menatapnya. Pikiranku jadi sangat jauh merantau ke mana-mana. Ada kekhawatiran jika aku jauh. Bagaimana jika tiba-tiba mendapat kabar Nenek Kam meninggal, atau Kekek Haji Majani, atau Kakek Haji Yasir? Dadaku terasa bergetar. Aku tak sanggup membayangkan kehilangan tiga sosok itu.

Diam-diam kuperhatikan nenek Kam yang tengah menatap kosong jauh ke depan. Mata kecilnya nampak makin hilang di balik kelopak matanya yang sudah turun. Rambutnya yang putih menyembul dari kerudungnya yang longgar, meriap-riap ditiup angin pebukitan. Aku seperti baru menyadari jika lengannya sudah semakin kurus. Urat-uratnya nampak jelas menonjol dibungkus kulit yang keriput. “Nek” Aku berbisik dari jauh. Nenek Kam seperti terperanjat. Beliau langsung menoleh lalu tersenyum menepis perasaannya yang galau.

Beberapa tampuk bunga kopi sudah mulai kering. Bahkan sebagian besar sudah memunculkan putik. Aroma bunga kopi berubah menjadi sedikit pekat bercampur aroma lembab. Calon-calon buah kopi saat ini, menjadi harapan dan impian para petani untuk musim panen tahun depan. Seperti biasa aku akan melihat sinar mata bahagia kakek Haji Yasir tiap kali beliau menatap ‘cap kopi’ atau bakal putik yang akan berubah jadi buah.

Seekor belalang gambir yang bertubuh besar, terbang dan jatuh di hadapanku. Beberapa kali dia berusaha mengepakkan sayap namun gagal. Rupanya dia terbang terlalu jauh, sehingga jatuh di hadapanku. Sayapnya cidera. Samar-samar aku mendengar tangisnya. Meski dia tidak mengucapkan minta tolong, namun dari suara lirihnya menandakan dia butuh pertolongan.

“Sayapmu patah?” Bisikku. Aku hanya mendapat jawaban dari gerakan mata dan antenanya yang juga patah. Akhirnya kupungut belalang gambir yang berukuran besar itu. Kuletakkan di telapak tanganku. Rupanya dia belalang dewasa, sedang mencari lembar daun untuk bertelur. Pelan-pelan kutiup tubuhnya sembari membaca mantra warisan leluhurku. Seketika, suara lirih kesakitannya berubah menjadi ucapan terimakasih. Aku mengangguk pelan sembari menatap titik bola matanya yang mengecil. Tak lama sayapnya mulai mengembang, lalu mengepak cepat hinggap di pohon dedap yang sedang berbunga.

“Dek, lihatlah ke sana” Nenek Kam menunjuk ke salah satu bukit yang melingkar di dusunku. Aku langsung melepar pandang ke arah yang beliau tunjuk. Bukit yang berdiri kokoh, di bawahnya terbentuk sawah luas dan datar. Di bawah jajaran bukit itu dulu ada sawah Bapak dan Ibu, tempat pertama kali aku melihat para nenek gunung yang menyeruapai ‘kerbai’ membantu menanam padi di sawah Bapak.

“Iya, ada apa dengan Bukit Mutung itu Nenek?” Ujarku penasaran. Sebab menurutku tidak ada yang menarik di sana kecuali hutan perbukitan yang sudah berubah menjadi kebun kopi. Beberapa atap pondok nampak memantulkan cahaya ketika tertimpa matahari. Sebentar lagi bukit itu akan terlihat berkabut, karena memang selain tempatnya tinggi, curah hujan makin sering turun di dusunku.

“Kau tahu, mengapa bukit itu disebut Bukit Mutung?” Lanjut Nenek Kam lagi. Aku menggeleng tidak paham. Memang aku belum pernah mendengar mengapa bukit itu dinamakan bukit Mutung. Semula dalam benakku mengatakan pasti bukit itu dulu pernah terbakar atau mutung akibat ulah manusia yang hendak membuka hutan, atau karena ada yang nakal tanpa sengaja membuat hutan itu terbakar atau mutung. Aku memang belum pernah menanyakan pada siapa pun perihal adal mula nama bukit Mutung itu.

“Bukit itu, erat hubungannya dengan cerita Puyang Jagad Besemah. Cerita orang zaman dulu, para moyang kita, di bukit itu Puyang Rie Tabing membuka lahan perkebunan untuk adik perempuannya. Maksud puyang Rie Tabing membukakam kebun untuk adik perempuannya itu, karena suami adiknya seringkali pergi merantau. Sehingga adik perempuannya berusaha sendiri untuk menyambung hidup. Melihat adik perempuannya mencari makan sendiri dengan cara bekerja di kebun atau sawah orang lain, membuat Puyang Rie Tabing ibah. Akhirnya dibuatkannyalah kebun untuk adik kesayangannya. Ketika suami adiknya pulang, beliau mengetahui kalau Puyang Rie Tabing membuatkan istrinya kebun. Dia naik pitam dan merasa tersinggung. Menganggap Puyang Rie Tabing meremehkannya. Padahal, Puyang Rie Tabing melakukan itu karena teramat sayang dengan adiknya” Ujar Nenek Kam.

“Apakah adik ipar Puyang Rie Tabing itu bernama Puyang Serunting Sakti, Nek?” Tanyaku penasaran. Sebab, beberapa kali aku berjumpa dengan leluhurku, ada satu orang yang kulihat pandangannya sedikit liar, lebih banyak bergerak, berjalan-jalan ke sana ke mari daripada duduk diam bercengkrama seperti puyang-puyang lainnya.

“Betul. Adik ipar Rie Tabing itu Puyang Serunting Sakti. Puyang Serunting Sakti ini suka berkelana meninggalkan istri dan kampung halamannya dalam waktu lama, bahkan berpindah-pindah dari dusun satu ke dusun lainnya. Makanya Rie Tabing merasa kasihan dengan adiknya. Agar adiknya punya penghasilan sendiri dibuatkanyalah kebun. Namun sayang, sebelum kebun yang dibuat Rie Tabing selesai, Puyang Serunting Sakti pulang. Mengetahui hal itu beliau marah, merasa kelelakiannya diremehkan. Puyang Serunting Sakti tidak terima.

Pertikaian pun tidak bisa dihindari. Rie Tabing dan Serunting Sakti sama-sama memiliki ilmu yang tinggi. Karena marah, akhirnya Rie Tabing melemparkan segenggam tanah ke arah hutan. Dalam sekejap, hutan yang siap untuk lahan perkebunan itu berubah seperti lautan api. Puyang Serunting Sakti kaget, dia tidak menyangka kakak iparnya memiliki kemampuan yang luar biasa. Berulang kali Puyang Serunting Sakti hendak mematikannya, namun tidak berhasil hingga sebagian bukit itu terbakar.” Ujar Nenek Kam lagi.

Aku mendengarkan cerita nenek Kam dengan seksama. Dalam batin aku bertanya-tanya, mengapa kedua Puyang itu selalu bertengkar? Padahal mereka dua saudara, kakak dan adik ipar?

Puyang Rie Tabing itu orangnya sangat sabar meski dia tahu adik iparnya itu memiliki sifat dengki padanya. Bahkan, kebun dan ladang mereka yang bersisihan, selalu digeser Puyang Serunting Sakti. Apakah Rie Tabing marah mengetahui tanahnya selalu digeser. Tidak! Padahal kebun adik iparnya itu tidak digarap-garap, dibiarkannya menjadi belukar. Demi melihat kebun Rie Tabing bersih dan subur, dibujuknyalah istrinya agar istrinya minta tukaran kebun pada pada kakaknya.

Apalagi dia mengetahui di kebun kakak iparnya Rie Tabing, selalu ditumbuhi cendawan emas. Muncul keinginannya untuk memiliki kebun itu. Karena Rie Tabing sangat sayang dengan adik perempuannya, diberikannyalah kebunnya pada adiknya. Kebun milik Rie Tabing itu memang aneh. Selain selalu terlihat bersih hal yang membuat Puyang Serunting Sakti iri adalah selalu tumbuh cendawan emas.

Setelah tukaran kebun, mulailah Puyang Rie Tabing menggarap kebun adiknya yang belukar itu hingga bersih seperti kebun yang diberikannya pada adiknya dulu. Sementara kebun adiknya karena tidak pernah digarap oleh Puyang Serunting, berubah menjadi semak belukar. Beliau selalu berkelana tak tahu kemana. Setelah pulang dari berkelana, diketahuinya lagi kalau kebun yang dipelihara Rie Tabing ditumbuhi cendawan emas. Muncullah niatnya lewat untuk kembali menukar kebun. Puyang Serunting Sakti membujuk istrinya untuk tukaran kebun kembali.

Demi adiknya, puyang Rie Tabing kembali mengalah. Diberikannya kebun yang sudah bersih itu pada adiknya. Sementara yang semak belukar kembali jadi miliknya.

Melihat adik iparnya yang culas, akhirnya Puyang Rie Tabing membuat batas. Dibuatnyalah tanggam sebagai penanda batas kebunnya dengan kebun adiknya tersebut”. kata Nenek Kam kembali.

“Akhirnya bagaimana, Nek? Apakah mereka bertempur mengadu ilmu kekuatan sebelum membuat batas tersebut?”Tanyaku.

“Iya, Puyang Rie Tabing memanggil adik iparnya lalu mengingatkannya mulai saat ini, ada batas antara kebun miliknya dan milik Puyang Serunting Sakti. Lalu, jika anak cucu keturunan Puyang Serunting Sakti, beliau larang dan tidak akan sanggup mendaki dan memasuki wilayah kebun Puyang Rie Tabing sampai sepanjang bukit Keraton. Hingga sekarang, anak cucu keturunan Puyang Serunting Sakti tidak akan pernah bisa naik ke bukit itu. Jika mereka masih nekat hendak mendaki, maka berbagai macam penglihatan akan mereka temukan. Akar berubah jadi ular, pohon dan daun jadi lipan, atau turun hujan lebat tidak berhenti-henti sebelum anak cucu keturunannya turun dan pulang” Lanjut Nenek Kam lagi.

“Lalu apa hubungannya cerita nenek dengan wajah murung Nenek barusan?” Tanyaku. Sekilas Nenek Kam menatapku.

“Bukit itu menyimpan Kenangan tersendiri buat nenek. Dulu, ketika kakekmu tidak menyetujui Nenek untuk dekat dengan nenek gunung, Nenek sering dibawa Macan Kumbang ke sana. Berkumpul dengan nenek gunung-nenek gunung di Bukit Barisan ini” Ujarnya sambil sedikit tersenyum. Sejenak aku tercenung mendengarkan ceritanya.

“Waktu itu nenek berusia berapa tahun?” Tanyaku lagi. Lama Nenek Kam berpikir. Aku hanya mengharapkan kira-kira saja. Sebab bukan suatu hal yang mustahil orang zaman dulu tidak ingat tanggal kelahirnya. Ternyata terkaanku benar. Nenek Kam mendongak ke atas, dengan pandangan menerawang mengingat sesuatu.

“Waktu itu, kira-kira Wakmu Kamseri baru bisa berjalan sepincang dua pincang, sampai dia bisa main sendiri” Jawab Nenek Kam. Aku tersenyum dalam hati. Sepincang dua pincang itu maksudnya baru bisa melangkah satu-satu. Artinya ketika itu Wak Kamseri berusia sekitar satu tahun atau setahun setengah. Sampai Wak Kamseri bisa main sendiri, kemungkinan sampai usia tiga tahun.

“Nek, mengapa orang zaman dulu tidak pernah mencatat tanggal kelahiran anaknya?” Tanyaku. Sebenarnya pertanyaan berulang. Dulu juga sudah dijelaskan Bapak mengapa orang zaman dulu tanggal kelahiran hanya pakai perkiraan.

“Bagaimana mau mencatat rata-rata orang zaman dulu buta huruf. Tidak boleh sekolah oleh orang tua. Sebab kalau pintar nanti diculik Belanda. Kalau pun ada yang bisa membaca, paling mereka tulis di dinding pakai arang atau kapur tulis. Apalagi perempuan zaman dulu. Dilarang sekolah sama sekali. Ibumu saja hanya sebatas kelas empat Sekolah Rakyat. Untung ibumu cerdas. Meski hanya sebatas kelas empat Sekolah Rakyat tapi otaknya sama dengan sarjana sekarang” Lanjut Nenek Kam lagi. Aku senyum-senyum sendiri Nenek Kam sudah bisa membandingkan antara sarjana dengan tamatan Sekolah Rakyat setara SD zaman dulu. Selanjutnya aku kembali bertanya perihal menghilang Nenek Kam. Setahuku cerita Ibu dan kakek haji Yasir, Nenek Kam pernah hilang sepekan lamanya. Lalu kata Nenek Kam, dia pergi ke mana-mana. Kadang duduk-duduk di bawah rumah bersama nenek gunung. Beliau melihat kesibukan penduduk turun naik siang malam bergantian menjaga rumah dan pergi ke hutan dan bukit mencari jejak Nenek Kam.

“Dulu, Nenek tinggalkan dusun kita, lalu Nenek sengaja menghilang. Nenek jalan-jalan dari dusun satu ke dusun lainnya. Sesekali Nenek pulang melihat Kamseri, lalu pergi lagi. Entah berapa dusun, manusianya dikerahkan oleh Kekek Haji Yasir untuk mencari Nenek. Waktu itu Kakek Haji Yasir menjabat Rie. Masyarakat bergotong-royong mencari Nenek pada waktu itu. Padahal Nenek melihat semua aktivitas mereka” Nenek Kam bercerita sembari terkekek-kekek. Aku ikut tertawa. Sudah bisa kubayangkan suasana saat itu. Ketika kutanya mengapa nenek Kam tidak menetap di gunung Dempu? Beliau jawab kadang ke gunung Dempu, kadang di Bukit Selepah, Bukit Patahan, Bukit Pailan Ayam, Marcawang, Bukit Kayu Manis dan lain-lain. Akhir cerita Nenek Kam, setelah berminggu-minggu orang mencarinya tidak juga menemukannya, terakhir kakek suaminya dipaksa Kakek Haji Yasir untuk membawa sedekahan di pinggir dusun, sembari berbicara,

“Relingin baleklah, aku tidak akan menghalangi takdirmu untuk menjadi manusia damai” Dengan perasaan galau kakek menuju pinggir dusun sendiri. Pasalnya beliau takut bersua dengan nenek gunung. Benar saja, di pinggir dusun ada tiga sosok nenek gunung sedang santai tidur-tiduran di bawah pohon bacang tua yang rimbun. Padahal jika batin seseorang peka, dia bisa melihat di tengah-tengah sosok nenek gunung itu ada Nenek Kam sedang bercengkrama. Dalam hati hati aku geli sendiri. Ternyata Nenek Kam preman dari muda.

“Beberapa malam lagi, sebelum kau berangkat ke Pekanbaru, Puyang Bukit Selepah menghendaki kau ke sana, Dek” Lanjut Nenek Kam lagi. Aku menatapnya sejenak sebelum bertanya apakah aku akan diantar Nenek Kam atau tidak.

“Kau bukan anak kecil lagi yang harus dikawal, Dek. Berangkat sendiri” Lanjut Nenek Kam lagi langsung menjawab pertanyaan batinkuku. Aku mengangkat alis pertanda tidak mendapat sambutan baik dari Nenek Kam. Dalam hati aku membatin, meski tidak berbarengan denganku, pasti Nenek Kam akan hadir di sana. Kalau tidak duluan, setelah terakhir pasti akan muncul wajahnya.

Sejenak kami berdua diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Dari atas garang pondok aku melihat dahan kopi bergoyang-goyang pertanda ada orang yang menyibaknya. Lama mataku mengawasinya untuk memastikan sosok siapa yang lewat.

Matahari belum terlalu tinggi. Kabut dan embun masih membasahi lidah daun. Ceracau burung kutilang, kepakkan sayap dan jeritan pipit masih riuh mengisi udara pagi hingga terdengar sampai ke lembah. Di kejauhan daun bacang yang masih muda, nampak seperti hamparan bunga berwarna ungu tua. Segar dan indah.

Tak berapa lama, sosok Kakek Haji Yasir menyembul dari balik rimbun daun kopi. Nafasnya terlihat sedikit terengah setelah berjalan dari dataran agak rendah.

“Relingin, siapa yang membersihkan ujung kebun? Kawan-kawanmu ya?” Kakek Haji Yasir sedikit mendongak. Kulihat Nenek Kam biasa-biasa saja.

“Ada apa Kak Haji? Alhamdulilah kalau sudah bersih. Lumayan kan ngurangin tenaga” Kata Nenek Kam sambil mengoyak beberapa lembar daun sirih. Kakek Haji Yasir manggut-manggut. Menurut beliau ketika berjalan ke ujung kebun, beliau melihat rumput yang baru ‘disiangi’ masih nampak sangat baru. Aromanya masih sangat segar dan belum ada yang layu. Artinya, rumput-rumput itu baru saja ditebas. Sementara kakek Haji Yasir tidak melihat orang bekerja di sana.

“Untung aku tidak bertemu dengan kawan-kawanmu itu” Ujar Kakek Haji Yasir sambil menyekah tanah lembab yang melekat di telapak kakinya. Kulihat nenek Kam tersenyum kecil. Dalam hati aku berpikir, akan berubah lain jika yang melihat hal ajaib itu ibu. Bisa dipastikan beliau tidak mau lagi datang ke ujung kebun.

Ketika kakek haji naik pondok, melanjutkan minum kopinya bersama Nenek Kam, aku turun lalu segera berjalan menuju tempat yang dimaksud Kakek Haji Yasir. Sementara ibu masih sibuk membantu Bapak mengeluarkan gelondongan kopi yang rencananya akan digiling hari ini. Sesampai di hilir, benar sekali. Aku melihat kebun bersih tanpa rumput. Dan rumput-rumput yang baru disiangi ini terlihat masih sangat segar. Tapi aku sudah tidak mencium aroma nenek gunung di sini. Padahal aku ingin tahu siapa saja yang disuruh Nenek Kam membersihkan kebun kakek Haji Yasir.

Aku terus. berjalan hingga ke sisi kebun. Di ujung kebun ada rawa-rawa. Konon kata Kakek Haji rawa-rawa itu dulu adalah paok, tempat nenek moyangnya memelihara ikan dan liling. Aku hanya melihat telur-telur kembuai yang berwarna orien melekat di tunggul-tunggul dan kayu mati. Entah berapa hari lagi, telur-telur kembuai sejenis keong berukuran besar itu menetas. Dulu ketika aku kecil telur-terur seperti kristal itu kerap kali kumainkan. Kuambil dan kulepas paksa di tunggul-tunggul, lalu seenaknya kupencet sehingga mengeluarkan bunyi berderai-derai seperti kaca pacah. Padahal, kalau ibu memasak kembuai aku paling suka. Dagingnya yang kenyal bahkan seperti karet tetap nikmat untuk dimakan.

Lama aku berdiri di sisi rawa. Beberapa anak sepat dan betok kulihat berenang pelan di air yang kecil. Dasar rawa terlihat kuning. Bahkan beberapa genangan air seperti berminyak. Kata orang kampung cairan seperti berminyak dan berkarat itu “tai ketam”. Mengapa disebut ‘tai ketam’ aku sendiri tidak tahu. Padahal ketam itu kepiting. Apa mungkin kotoran kepiting yang membuat air seperti berkarat dan berminyak-minyak?

Beberapa ekor burung berparuh panjang terlihat lalu lalang. Suaranya yang ramai membuat burung kicau berwarna kuning ini kerap pula dijerat oleh manusia. Aku memperkirakan burung kecil itu bersarang di semak-semak rawa. Rawa-rawa ini memang tempat yang aman untuk mereka berkembang biak dan terhindar dari gangguan anak manusia. Yang paling membahayakan telur dan anaknya adalah ular-ular pemangsa yang sering pindah dari pohon satu ke pohon lainnya.

“Dimana kau Dek” Suara Nenek Kam terdengar halus sekali. Nampak beliau menungguku hendak mengajak ke kebunnya. Aku langsung menjawab akan segera pulang. Padahal sebelumnya aku hendak menyisir pinggir kebun kalau singgah untuk melihat pohon ghukam yang tumbuh di tepi sungai kecil yang membelah kebun. Aku rindu dengan masa lalu berjalan mengikuti nenek Kam tengah malam bersama beberapa sosok nenek gunung sekadar untuk mengambil buah ghukam yang sudah masak dan jatuh.

Sebenarnya aku ingin juga melihat pohon sali. Apakah ada buahnya atau tidak? Biasanya sali itu akan berbuah berbarengan dengan musim kopi. Namun demi mendengar panggilan Nenek Kam aku mempercepat lagkah menuju pondok kakek Haji Yasir. Dari kejauhan kulihat daun pisang semakin menjulang. Rupanya karena pohon dedap dan pokat tumbuh tinggi di sampingnya, membuat pohon pisang ikut tumbuh tinggi juga. Yang membuatku tertarik adalah banyak sekali pucuk daun pisang yang masih muda bergulung-gulung dan melengkung. Bisa dipastikan di dalamnya anak kelelawar sedang berlindung. Dia akan ke luar petang dan malam hari, mencari makanan buah-buahan di sekitar kebun dan bukit.

Baru saja aku membayangkan tubuh mungil kelelawar yang bersayap panjang seperti sirip, dan berkepala seperti tikus, berwarna hitam keabu-abuan, memiliki taring dan gigi yang kecil-kecil, tiba-tiba aku melihat di pohon dedap tubuh kelelawar yang berukuran sangat besar, tidak seperti kelelawar pada umumnya. Dengan tubuh tergantung dan mata seperti melotot padaku. Aku diam sejenak. Dia bukan makhluk biasa. Melihat ukuran dan aromanya, kelelawar raksasa ini adalah bangsa jin yang berbentuk kelelawar.

“Aku raja kelelawar, anak gadis! Dulu, ketika kau masih kecil, seringkali kau memainkan anak buahku hingga tak berdaya. Bahkan ada beberapa ekor mati” Ujarnya menjawab batinku. Aku kaget bukan main. Selintas aku mengingat masa kecilku.

“Tapi bukan kelelawar di sini yang kumainkan. Kelelawar di Pagaralam” Jawabku sambil tetap berpikir keras di mana saja aku pernah menangkap kelelawar lalu kumainkan.

“Sama saja Gadis, mau kelelawar di seberang Endikat atau pun yang di Pagaralam. Mereka adalah anak buahku” Jawabnya cepat. Akhirnya aku minta maaf atas ketidaktahuanku. Kuakui masa kecilku memang bandel dan tidak ada takutnya. Termasuk menangkap lintah yang mendekati rakitku ketika aku bersama keponakanku bermain di tebat yang ada di simpang Bandar. Lintah-lintah yang berusaha merambat ke kaki kami kutangkap lalu kucacah dengan parang tumpul. Karena alotnya, aku pukul berulang-ulang lintahnya. Aneh sekali memang waktu itu, lintah-lintah itu seperti dikomando ramai-ramai mendekati rakit kami. Alhasil kami kembali menepi naik darat setelah aku melihat raja lintah yang tubuhnya nyaris selebar telapak tangan bayi. Dia ingatkan aku waktu itu dengan ancaman akan menghisap darahku jika masih membunuh anak buahnya. Sejak itu aku kapok, tidak mau lagi membunuh makhluk sekecil apa pun.

Akhirnya aku berpaling dari raja kelelawar yang menampakkan diri itu. Untung dia tidak mengajak bertarung. Akhirnya kuketahui jika dia tinggal di belakang bukit Kayu Manis jauh di rimba yang jarang didatangi oleh manusia. Di sanalah kerajaan kelelawar bersemayam. Pantas ketika aku berada di bukit Patah aku melihat gerombolan kelelawar terbang dari balik bukit itu. Rupanya di sana kerajaannya.

Dadaku masih terasa berdegup-degup. Rasa bersalah membuat penyesalan di batin.Pantas saja ketika aku ikut Kakek Haji Yasir ke kebunnya di kaki gunung Dempu waktu dulu, aku menemukan anak kadal tidak mampu berjalan karena lemah. Lalu kupungut anak kadal itu, kuletakkan di atas batu yang berumput, dengan maksud menjemurnya. Karena kerap kali aku melihat kadal menggoyang-goyangkan kepala, ekornya, saat matahari mulai naik. Kata kakek kadal itu berjemur. Makanya aku biarkan anak kadal itu berjemur di atas batu. Malamnya aku bermimpi didatangi kakek tua. Beliau memberikan tiga ekor kadal, lalu berpesan bakarlah kadal itu sampai gosong, lalu giling sampai halus, tambahkan minyak kelapa, kemudian oleskan pada telapak tangan kakekmu yang sakit. Waktu itu telapak kakek Haji Yasir seperti eksim. Anehnya ketika aku terjaga, di telapakku ada tiga ekor kadal. Tanpa pikir panjang, aku segera melakukan pesan kakek dalam mimpiku itu. Setelah aku bakar seperti arang, lalu kutumbuk halus. Selanjutnya kutambahkan minyak kelapa, lalu aku poleskan ke tangan kakek Haji Yasir yang sakit. Padahal baru saja ditempelkan, kata kakek rasa gatal, panas, sakit sebelumnya tiba-tiba hilang. Kakek mentapku setengah tidak percaya waktu itu. Lalu kuceritakan darimana aku dapat resep obat itu.

“Semua makhluk di muka bumi ini, pada dasarnya pandai bersyukur. Kau ikhlas menolong anak kadal itu, dia bisa merasakan keilkhlasan itu, Cung. Makanya mereka balas ketulusanmu dengan dengan memberikan resep obat dan tidak masuk akal. Siapa yang menyangka jika kadal makhluk melata yang berkulit licin itu memiliki keistimewaan. Allah memang maha kaya” Ucap Kakek Haji Yasir penuh haru ketika itu. Sejak itu, kakek banyak memberitahu obat tradisional pada setiap orang yang kena penyakit kulit akut. Benarlah kata hadist, setiap penyakit yang diciptakan Allah pasti ada obatnya. Hanya saja kita manusia tidak semua mampu mengungkap rahasia alam itu dengan mudah.

Sesampainya di pondok aku langsung mendekati Nenek Kam. Beliau sedang menyuap nasi goreng yang dimasak ibu. Dari sinar matanya aku tahu jika hari ini Nenek Kam hendak mengajakku pergi ke kebunnya.

“Siap-siaplah. Sebentar lagi Macan Kumbang jemput kita” Ujarnya setengah berbisik. Aku mengangguk tanda mengiyakan. Meski dalam hati aku bingung, apa yang harus aku persiapan? Paling membawa baju selembar dua lembar untuk ganti.

“Bu, aku diajak nenek ke kebunnya, boleh kan?” Tanyaku dari atas beranda. Ibu hanya mengangguk sambil meletakkan karung-karung kopi yang telah kosong ke jemuran. Sebenarnya aku tahu, ibu tidak akan menolak. Apalagi melihat Nenek Kam perawakannya semakin ringkih.

Belum kering lidah nenek Kam menyebut sebentar lagi Macan Kumbang datang, tiba-tiba aku mendengar langkah beratnya. Benar saja. Setelah aku menoleh Macan Kumbang sudah berdiri di depan pintu. Si ganteng yang alim ini sebentar lagi akan jadi pengantin aku membatin. Matanya tajam menatapku. Tidak ada canda, apalagi tawa seperti biasanya.

Aku segera menghampirinya. Mata kami beradu. Aku mencoba menyelami perasaannya.

“Jangan usil! Mau tahu saja urusan orang” Ujarnya dengan nada marah. Aku mengangkat bahu sambil terus membaca perasaannya tanpa mempedulikan ketidaksukaannya. Ternyata Macan Kubang serius tidak mau diketahui perasaannya. Diam-diam dia halangi aku. Diam-diam kulawan pula, bahkan kuserang. Tak lama aku tertawa terpingkal-pingkal. Wajah keruh Macan Kumbang disebabkan karena cemburu. Rupanya dia cemburu dengan calon istrinya, Putri Bulan. Pasalnya, ada pemuda dari ranah Minang yang berusaha mendekatinya. Padahal pemuda itu sudah tahu jika Putri Bulan akan menikah. Pendek kata, pemuda itu seperti bertaruh, jika Putri Bulan akan menikah dengannya. Bukan dengan Macan Kumbang. Selanjutnya, Putri Bulan menemuinya baik-baik, lalu mengingatkan nya agar jangan mengusiknya. Apalagi pernikahannya tinggal menghitung hari. Ternyata, Macan Kumbang cemburu dan marah, karena dirinya dilarang menemui pemuda lancang itu. Padahal Macan Kumbang ingin menantangnya. Harga diri kelelakiannya diinjak-injak. Ini kali ke dua ada lelaki yang mengusik hubungannya.

Aku tahu perasaanMacan Kumbang. Bahkan aku juga ikut marah dengan pemuda itu. Aku bertekat akan membuat perhitungan dengannya. Macan Kumbang dan Putri Bulan tidak perlu tahu. Aku akan pakai caraku sendiri. Sekarang saatnya aku harus membuat Macan Kumbang tersenyum.

“Tuanku Macan Kumbang yang terhormat. Terimalah sembah sujud hamba. Maafkan kelancangan hamba karena mampu masuk dan membaca jiwa Tuan. Sekarang, hamba pasrah. Hukumlah hamba, Tuan” Ujarku duduk bersilah seperti menghadap seorang raja.

Tiba-tiba air muka Macan Kumbang berubah. Ternyata apa yang kulakukan berhasil. Wajahnya tidak tegang seperti tadi.

“Hukumlah hamba, Tuan. Hamba mengaku salah” Ujarku lagi. Kali ini kubuat ekspresiku sedikit memelas.

Creet!!

Aku kaget! Tangan Macan Kumbang cepat sekali menarik rambut dekat telingaku. Aku berusaha menahan sakit dengan posisi kepala miring.

“Adew…adew….adew” Aku menjerit. Aku berusaha pasrah. Kulihat Macam Kumbang tertawa.

“Ini hukuman buat yang lancang! Selanjutnya, kamu saya pecat!” Suara Macan Kumbang.

“Jangan tuan, kalau hamba dipecat, anak-anak hamba makan apa, Tuan. Ingin makan batu, keras Tuan. Ingin makan angin, bisa membuat perut kembung. Mohon ampun Tuan, jangan pecat hamba. Hamba masih lajang tuan, belum laku. Eh! Salah! Ralat! Tadi aku bilang dah punya anak. Kok malah mengaku lajang dan belum laku?” Ujarku terpingkal-pingkal. Karena memang lidahku keseleo. Macan Kumbang ikut tertawa lepas.

Aku tidak menyangka tingkah laku dan bahasa tubuhku diperhatikan ibu dari jauh. Air mukanya berubah-ubah. Terakhir melihat aku tertawa lucu sendiri membuat beliau makin heran. Berkali-kali tangannya mencuil-cuil tubuh Bapak agar Bapak ikut memperhatikan aku. Sesekali pula Bapak menoleh sembari tersenyum kecil. Sementara aku tidak bisa menahan lucu sendiri diikuti Macan Kumbang.

Kulihat aura Macan Kumbang berubah jernih tidak keruh seperti tadi. Aku memang sangat paham sifat adik bujang Nenek Kam satu ini. Melihat aku dan Macan Kumbang tertawa lepas, nenek Kam hanya senyum-senyum sambil berkemas.

Nenek Kam sudah duduk di punggung Macan Kumbang. Aku mengiring di belakangnya. Kami berjalan menuju kebun Nenek Kam. Setelah sampai di pondok Nenek Kam, aku pamit segera ke luar. Macan Kumbang baring-baring di samping Nenek Kam. Sebentar lagi pasti ada yang mengantarkan makanan, jadi aku tidak pusing harus menyalakan api dapur. Aku segera pergi ke arah bukit barisan perbatasan Bengkulu dan Sumbar. Aku akan menemui lelaki dari ranah Minang yang mengusik Macan Kumbang dan Putri Bulan. Aku akan buat perhitungan dengannya. Wajah dan tempatnya aku sudah tahu. Beliau penghuni lembah di tengah hutan belantara yang belum pernah tersentuh oleh bangsa manusia. Sambil menuju tempat tinggalnya aku sudah kontak batin sebelumnya. Beberapa kali aku ditertawakannya. Bahkan terlontar kata-kata tabu dari mulutnya.

“Keluarlah datuk! Aku tidak main-main. Aku datang ke mari untuk mengajarkan etika dan adab pada Datuk. Bila perlu mulut Datuk akan kucuci agar bersih. Jika tidak mau, akan kusumpal dengan tanah” Ujarku berteriak di atas jurang yang menghadap ke sungai. Sengaja kukerahkan kekuatan agar semua penghuni jurang gelap ini tahu ada sosok perempuan yang datang, dan perempuan itu datang dari jauh.

Tak lama aku melihat semua daun di hutan bergoyang. Persis seperti angin puyuh. Suara mendesau simpang siur seperti hendak mengangkat pohon dari akarnya. Aku sudah memperkirakan hal ini. Lembah ini bukan tempat yang aman bagi siapa pun. Bangsa demit yang sakti-sakti ada di sini. Mereka adalah petapa-petapa sakti yang datang dari mana-mana. Aroma anyir dari dasar jurang membuat perutku mual dan ingin muntah.

Sesaat aku diam memperhatikan pohon-pohon yang bergoyang. Aku konsentrasi mengawasi sekeliling. Beberapa sosok sudah hadir namun tidak berani mendekat. Mereka hanya menatapku dengan mata bersinar seperti bara dari jauh.

“Mana pemimpin kalian yang bermulut dan berotak busuk itu? Mengapa kalian tidak berani mendekat? Aku tidak butuh kalian. Aku butuh pemimpin kalian yang kemari” Teriakku. Namun tidak ada jawaban. Makhluk-makhluk itu malah menyebar seperti membentuk pagar betis. Mereka mengepungku.

“Hei pengecut!! Datuk!! Begini caranya kalian menyambut tamu? Menyuruh anak buahmu mengepungku lebih dulu. Pemimpin apa dirimu, Tuk?” Ujarku masih berdiri di bibir jurang. Aku sudah memperkirakan akan mendapat sambutan seperti ini. Makhluk seperti ini tidak hanya jahat, tapi juga licik dalam menjebak lawan. Aku berusaha sabar menunggu kehadiran Datuk yang belum kuketahui namanya itu. Aku hanya tahu, sebenarnya dia adalah lelaki tua renta yang mengubah wajahnya menjadi pemuda tampan, hendak mengacau rencana rumah tangga Macan Kubang dan Putri Bulan.

Tak lama, aku mendengar suara gemeruduk dan mencuing namun tidak tahu asalnya dari mana. Bibir jurang yang kuinjak bergoyang seperti bergerak. Belantara ini makin gelap. Hanya mata-mata merah saja nampak melotot seperti lampu melingkariku. Tak berapa lama, suara tawa Datuk aneh itu menggetarkan alam. Kekuatan energinya luar biasa. Aku sudah menutup beberapa panca inderaku sambil menunggu kehadiran Datuk sakti itu.

“Hebat sekali nyalihmu Piak. Apa kamu tidak takut kusekap di sini menggantikan Putri Bulan yang lembut dan cantik itu?” Suaranya berat menyapaku dengan panggilan ‘Piak’ dari kata Upiak, yang berarti gadis. Aku tahu, apa yang beliau sebutkan bukan gertak sambal. Ketika dia sudah berani menggoda Putri Bulan, artinya dia sudah siap perang. Sebelum hal itu terjadi, dan mereka diserang atau menyerang kerajaan gunung Bungkuk, aku yang akan menghalanginya lebih dulu. Aku tidak ingin ada korban dari kerajaan Gunung Bungkuk atau dari Besemah.

“Untuk menghadapi aku seorang saja, Datuk sudah menyiapkan pasukan dan berusaha memagariku. Yakinlah aku jika aku berhadapan dengan lelaki tua bangka dan pengecut! Menghadapi seorang perempuan saja mengirimkan pasukan yang tidak jelas. Aku kemari mendatangi sarangmu, tentu karena aku punya nyalih. Aku tidak ingkar dengan ucapanku. Aku kemari hendak mencuci mulutmu yang kotor itu atau menyumpalnya dengan tanah!” Suaraku sengaja kubuat lantang hingga mengimbangi getaran tawanya yang berenergi itu. Datuk misterius itu kembali terbahak. Namum masih belum mewujudkan diri.

Mendengar tawanya yang keras, aku tidak mau terpancing. Akhirnya kuimbangi tawanya yang menggelegar dengan tawa pula. Kami saling serang dengan energi tawa. Beberapa batu di bibir jurang runtuh. Demikian juga beberapa pohon besar yang menguntai di jurang. Sembari tertawa, kukerahkan kekuatan semua pohon yang ada di sekitar belantara ikut tetawa dan bergoyang-goyang sambil terus mengamati dimana posisi Datuk misterius itu.

Kulihat pasukan yang bermata merah mulai limbung dan sebagian lagi selonjotan tak mampu melawan energi kami yang beradu. Tawa kami sudah berubah menjadi senjata yang saling serang. Kekuatan pohon yang bergoyang dan tertawa kutingkatkan. Alhamdulillah semua bermata merah lenyap dari pandangan.

Setelah batinku menyisir semua sisi jurang, barulah kutemukan sebuah goa gaib dengan pintu sama persis dengan cadas tebing. Rupanya si Datuk masih berada di dalam goa gelap itu. Hebat sekali dia bisa mengerahkan kekuatan dari jarak jauh.

Sekarang aku berpikir bagaimana caranya mancingnya ke luar. Aku ingin berhadapan langsung dengannya.

“Datuk…Datuk, aku tahu dirimu masih di dalam goa gelap di sisi jurang. Kau takut berhadapan denganku rupanya. Baik, akan kuhancurkan goamu kalau kau tidak ke luar. Kuhitung sampai tiga!! Satu….dua…..ti…”

Duaaar!!!!

***

Aku terperanjat mendengar ledakan yang maha dasyat itu. Aku belum sempat memperkirakan darimana asal ledakan ketika melihat percikan api menyambar ke mana-mana. Area jurang yang gelap tiba-tiba menjadi terang benderang. Percikan api tidak hanya mengeluarkan suara gemelitik, tapi juga mendesis seperti bara kena air. Aku mundur beberapa langkah ketika percikan api seperti hendak mengenai tubuhku. Meski tidak seberapa tapi hawa panas cukup terasa. Belum lagi suara tawa menggelegar Datuk gila yang sampai sekarang tidak muncul batang hidungnya. Rupanya dia memakai ilmu silam sehingga lawan tidak bisa melihat wujudnya. Melihat kondisi seperti ini, aku makin meningkatkan kepekaan batinku. Bisa jadi dia menyerangku tiba-tiba. Meski beberapa kali aku mencoba untuk masuk ke dalam alamya, namun selalu gagal. Perisai yang dimiliki Datuk sinting benar-benar kuat. Dalam hati aku bertanya-tanya, ilmu dari mana bisa silam ini. Nampaknya baru kali ini aku menemukan sesuatu yang aneh di Tanah Sumatera ini. Ada juga aku mengenal ilmu silam baik oleh manusia mau pun bangsa jin. Tapi dengan kepekaan yang kumiliki tetap saja batinku bisa melihatnya. Menghadapi Datuk satu ini aku selalu gagal. Belum hilang rasa pukauku pada ledakan dan percikan api yang cukup lama, tiba-tiba bermunculanlah api seperti obor yang terbang dan tergantung di udara. Banaspati! Aku membatin. Wujud jin api yang memiliki kemampuan luar biasa, sering dipuja oleh bangsa manusia untuk mendapatkan kekuatannya. Sehingga rata-rata manusia yang memiliki banaspati ini akan terlihat sakti mandraguna. Mereka akan memuja iblis dan dajjal bersekutu dalam kehancuran. Sejenak aku terheran-heran. Rupanya di tanah Sumatera ada juga banaspati. Selama ini kuketahui paling banyak penganut ilmu banaspati ini para petapa-petapa sepanjang pesisir kerajaanku, Timur Laut Banyuwangi. Dan beberapa perguruan yang tersebar di Pulau Jawa.

“Bagaimana anak gadiah, masih penasaran denganku? Setiap makhluk yang datang ke mari, hanya dua pilihan, mati atau menjadi pengikutku” Suara Datuk misterius serak. Kujawab ancamannya dengan tawa lebih menggelegar dari tadi.

“Datuk gilo! Dengar, pasang talingo Datuk tajam-tajam! Aku tidak akan ke mari kalau tidak punya nyalih. Menghadapi iblis seperti Datuk, tidak akan membuatku mundur. Aku ke mari, pertama mengingatkanmu. Datuk telah kurang ajar, meremehkan Macan Kumbang calon suami Putri Bulan. Dan meremehkan Putri Bulan calon istri Macan Kumbang. Aku akan buat perhitungan atas nama mereka berdua. Selanjutnya, seperti janjiku, aku ingin mencuci atau menyumpal mulut kotormu!” Ujarku tak kalah kencangnya. Suaraku sampai menggema di jurang.

“Mengapa harus kau, Piak. Mana Macan Kumbang dan Putri Bulan pujaanku, calon istriku? Biarkan kami bangsa gaib menyelesaikan masalah kami sendiri. Kau bangsa manusia, tidak usah ikut campur!” Datuk misterius menjawab. Kali ini kudengar suaranya dari arah Timur. Berarti beliau sudah ke luar dari goa. Sementara api yang menggantung masih terus menyala seperti terpaku di udara. Namun aku tidak mau terkecoh. Aku membaca desir angin sembari berpikir bagaimana untuk mewujudkan. Mengalahkan ilmu silamnya.

“Tak perlu keduanya mengotori tangan mereka untuk menghadapimu, Tuk. Cukup aku saja” Jawabku lagi. Melihat api yang bergantung di udara mulai bergerak, aku semakin waspada. Ilmu iblis ini tidak bisa dianggap remeh. Apalagi jumlahnya tidak sedikit. Aku yakin area jurang ini akan hancur karena kekuatannya. Getar-getar halus tanah yang kuinjak sudah mulai kurasakan. Berulang kali aku menepis semacam kabut yang berusaha menutupi daya pandang yang kumiliki.

“Untuk menghadapi seorang perempuan saja, sampai sebegitunya Tuk? Silakan keluarkan semua banaspatimu. Agar kalian tidak mati penasaran” Sahutku sembari memecah diri jadi enam sosok. Enam sosokku sudah kupagari dan masing-masing kubekali senjata. Sang Datuk tertawa lebar lalu menjawab, di alamnya tidak ada aturan tidak boleh melawan seorang perempuan. Itu hanya ada di alam manusia saja. Di alam gaib semua sama. Perempuan dan laki-laki adalah lawan jika sudah bersentuhan dengan keilmuan. Aku membenarkan apa yang disampaikan beliau. Apalagi seperti golongan makhluk satu ini, mana ada etika, tata krama dan lain sebagainya. Yang penting baginya ingin disegani dan diakui tersakti. Mereka tidak suka jika ada yang menyaingi. Jika ada yang memiliki kemampuan lebih, maka wajib dijajal. Kalau kalah maka jadi pengikutnya atau sebaliknya. Hukum rimba masih berlaku. Aku berusaha berpikir cepat untuk bertindak. Bayanganku kukerahkan untuk melawan banaspati. Keenamnya sudah duduk bersila menghadap ke bibir jurang siap adu kekuatan menghadapi banaspati. Keenam bayanganku mulai membaca doa dan berzikir. Padahal zikir baru saja di mulai. Namun energi banaspati mulai terasa menggetarkan. Bahkan sangat kencang. Dua energi saling beradu seperti gelombang dengan warna yang berbeda. Enam banyanganku mengeluarkan cahaya putih hingga seperti cahaya yang menyilaukan. Sementara banaspati mengelurkan cahaya berwarna kuning kadang oren. Aku masih fokus mencari sosok Datuk sinting yang masih tak mau menampakkan diri, ketika api yang menyala mulai mendekat ke arah enam bayanganku. Enam bayangaku tak bergeming dari tempat duduknya. Kepala mereka menunduk dengan mata terpejam pertanda mereka tengah khusuk. Banaspati bergoyang-goyang di udara. Ada yang bergerak ke atas seperti hendak menyerang dari atas, ada yang bergerak lurus, ada yang berputar dengan cepat seperti gasing. Kekuatan iblis ini memang luar biasa.

Belum menyerang saja energinya sudah membentur kemana-mana.Lagi-lagi Datuk misterius itu tertawa terpingkal-pingkal sambil terus meremehkan aku. Aku tidak peduli dengan ejekannya. Aku fokus dengan arah suaranya. Sekarang aku baru sadar jika suaranya di Timur maka dia ada di Barat. Begitu juga sebaliknya. Setelah mengetahui rahasia silamnya, aku mulai mengerahkan kekuatan halimun sutra. Halimun yang tidak akan disadari oleh lawan, dan akan mengepung dan membekuknya. Pelan-pelan kugulung dan kukerahkan kekuatan. Aku berharap, halimunku tidak salah sasaran. Namun benar-benar dapat mengurung tubuh Datuk misterius itu.

“Pantek! Lepaskan aku kucing aia. Kurang ajar! Kau berani membekuk dari belakang. Curang!” Teriaknya kembali sambil menyumpahiku dengan kata-kata kotor. Lagi-lagi aku tidak peduli. Aku merasakan dia melakukan perlawanan berusaha menyingkirkan halimun sutraku yang telah berhasil mengepungnya. Kudengar dia cukup kerepotan juga melawan halimun meski beberapa kali kulihat ada percikan api. Dua kekuatan beradu, kekuatan halimun dengan kekuatan Datuk bermulut kotor itu. Melihat percikan api, meyakinkan aku posisi Datuk misterius. Paling tidak itu menjadi titik penanda meski fisiknya belum juga bisa kulihat nyata. DUAR! DUARRRR!Ledakan besar berasal dari kekuatan Datuk melawan halimun sutra terjadi. Hasilnya, percikan api berubah menjadi bola-bola yang menyala, menjelma menjadi banaspati lagi. Aku terbelalak dibuatnya. Mengapa banaspatinya seperti tidak bisa mati? Jika diperhatikan yang bertarung dengan enam sosokku apinya berwarna kuning. Sementara yang kuhadapi berwarna ungu. Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah warna banaspati yang berbeda ini mencirikan tingkat keilmuan yang berbeda pula? Entahlah. Aku belum sempat untuk memikirkannya lebih jauh. Apa lagi melihat gerakan-gerakan banaspati makin lama makin liar. Aku cukup kerepotan menghadapinya. Kukembangkan segera selendangku lalu kusapu berkali-kali. Kembali ledakan-ledakan terjadi memekakkan. Di tengah gemuruh angin, ledakan-ledakan dan percikan api, Sang Datuk tidak bersuara. Beliau bisa lolos dari cengkraman halimun sutraku. Beliau diam karena aku mengetahui rahasia sosoknya meski tidak nampak. Dengan diamnya Datuk gila ini justru membuat konsentrasi kembali terpecah. Aku harus fokus dengan gerakan angin yang sangat halus. Kutebar kembali halimun sutraku ke arah gerakan angin. Tak lama suara serak Datuk menggelegar kembali. Dia menggerutu mendapatkan serangan halimun sutraku yang kukombinasikan dengan jaring Eyang Putih. Sementara beberapa banaspati berhasil kutangkap dan kumusnakan. Lalu yang lain tiba-tiba menjauh namun masih seperti tergantung di udara dalam posisi diam. Di antara percikan api dan nyala banaspati, samar-samar aku melihat melihat sosok kurus kering, bermata cekung dengan ikat kepala berwarna hitam tanpa baju. Wajahnya berbrewok menutupi tulang belulang pipinya yang menonjol. Tungkainya yang panjang tidak seimbang menunjang tubuhnya yang sedang. Rambutnya panjang kusut dan keras seperti ijuk. Makin lama sosoknya makin jelas. Melihat sosoknya yang aneh, Sang Datuk kutertawakan dengan maksud untuk memancing emosinya.

“Datuk, Datuk. Sayang di alammu tidak ada cermin. Kalau ada cermin, baiknya Datuk bercermin agar Datuk tahu wajah asli Datuk itu seperti apa. Wajah Datuk menyeramkan seperti iblis. Pantas Datuk menyamar jadi pemuda tampan untuk mengelabui makhluk lain. Mereka bisa Datuk kelabui. Tapi tidak denganku. Rupanya Datuk sadar jika wajah Datuk jelek” Lanjutku sambil mengembangkan telapak tangan, lalu kuarahkan padanya. Telapak tanganku kuubah menjadi cermin.

Ooohwww! Aggghhh!! Tiba-tiba Datuk menutup wajah dan membanting dirinya ke sana ke mari. Dia nampak kesakitan. Semula kukira dia marah karena melihat wajahnya yang jelek. Ternyata dia kesakitan karena pantulan tubuh dan wajahnya balik menyerang. Di tengah tubuhnya mengeliat ke sana ke mari, dalam ikatan jaringku beliau masih mampu melakukan perlawanan. Aku justru tercengang melihat keajaiban di depanku. Pantulan cermin bisa menyerang. Bayangan sosoknya dalam cermin balik menyerangnya bertubi-tubi. Semakin sempurna bayangannya muncul, maka semakin ganas pula menyerang balik padanya.Mengetahui kelemahannya, akhirnya selendangku kuubah menjadi cermin yang bergerak mengikuti tubuhnya. Alhasil Datuk tidak bisa bergerak bebas untuk menyerang selain bertahan dari pukulan-pukulan ganas dirinya. Dalam hati aku bersyukur sekali mendapatkan senjata secara kebetulan ini. Datuk misterius ini takut dengan cermin rupanya.Ah ternyata gampang sekali untuk melawan Datuk sinting ini. Aku membatin. Cukup dengan cermin. Dengan mudah selendangku kupecah jadi beberapa untuk berwujud jadi cermin juga. Beberapa detik, Datuk aneh telah terkurung oleh cerminku. Kulihat beliau tidak berdaya diserang balik oleh kemampuannya itu. Mulutnya yang nyeracau sebelumnya penuh sumpah serapa berubah menjadi jeritan; aduh, ah, oh, hugkk, kkkkkkaak.

Kadang terdengar jeritannya panjang dan meyeramkan. Berkali-kali mulutnya menyemburkan darah. Beliau luka dalam cukup parah. Dalam kesempatan ketika mulutnya menganga, kulempar dengan tanah. Akhirnya mulutnya tersumpal dan tidak bisa berteriak lagi. Tapi bukan Datuk jahat namanya jika tidak bisa melakukan perlawanan. Dalam usahanya melepaskan diri dan menghindar dari cermin, banaspati-banaspatinya berusaha menolong dengan cara memecahkan kaca. Beberapa kaca ada yang pecah dihantam kekuatan banaspatinya.Wusssss! Wussss! Wussss! Tiba-tiba sambaran api berwarna ungu menyerangku dari belakang. Kobaran yang cukup besar ini sempat membuatku terjungkal berkali-kali dan membuat dadaku sesak. Aku segera bangkit. Baru anginnya saja aku seperti melawan berton-ton batu. Apalagi jika berhasil menyentuhku. Aku pasti akan remuk dan terbakar. Tubuhku bisa dibuatnya meleleh.

Aku kembali mengerahkan kekuatan untuk melawannya. Gerakkannya sangat liar ke sana kemari. Aku mencoba memagari diri. Aku tidak mau mati sia-sia di sini. Banaspati ungu ini harus kukalahkan. Breeeet!! Wuuusss! Hantaman bola salju dan angin badai menggulung kukerahkan. Kobaran api seperti tubuh penari meliuk-liuk menjauh lalu kembali meluncur menyerangku. 

Segera kutingkatkan kekuatan. Saat kobaran api itu mendekat persis di hadapanku dengan cepat kuserang dengan salju dan kekuatan badaiku. Al hasil bisa kutangkap dan kuleburkan. Seiring dengan itu, Datuk misterius menjerit tinggi hingga kembali sisi jurang menjadi hingar bingar segala macam suara muncul seketika.Hawa seputaran jurang terasa sangat panas. Pantulan cahaya banaspati tertimpa cermin mengeluarkan cahaya yang membuat udara berubah menjadi berlipat-lipat panasnya. Aku kembali menggerakkan kekuatan dari bibir jurang. Menarik kembali selendangku yang telah berubah mejadi cermin-cermin. Sebagian lagi banaspati menjauh seperti menghindar takut terkena serangan balik bayangan Datuk misterius. Satu kesempatan, sosok banaspati yang lebih besar meluncur lagi ke arahku. Aku segera menghalanginya dengan halimun dinginku. Banaspati terpental jauh lalu kembali bergantung-gantung di udara siap menyerang kembali. Sementara bayanganku terus melakukan perlawanan dan meningkatkan zikir. Beberapa bagian jurang semakin lebar karena tanahnya longsor akibat hentakan-hentakan yang dilakukan. Pohon-pohon, tumbang, suara berderak-derak, gemuruh angin, jeritan, auman semua menjadi satu menyeramkan. Tidak sedikit batu bergulingan jatuh ke jurang mengeluarkan suara berdedebum-debum. Belum lagi erangan dan auman makhluk astral yang ada di sekitar jurang yang merasa terganggu dan terancam. Tak sedikit aku melihat sosok-sosok yang melesat menghindar dari sasaran pukulan bayanganku. 

Suara zikir keenam bayanganku cukup membuat pusing semua makhluk di area ini. Bahkan mereka melakukan perlawanan dan ikut menyerang karena ketidaksukaannya. Melihat pertempuran yang makin dasyat dan lawan yang super tangguh itu, akhirnya kukeluarkan senjata dari betisku. Lalu kuperintahkam untuk azan. Tak lama mengalunlah suara azan yang merdu membuat bulu kuduk siapa pun yang mendengarnya merinding. Dalam sekejap area jurang belantara bukit Barisan di ranah Minang ini berubah seperti jurang neraka. Jeritan demi jeritan berahut-sahutan mengerikan kembali menggema. Bahkan lebih ngeri dari sebelumnya. Mereka tidak ada yang mampu menyerang kembali. Ada yang mengerang sambil memegang telinga, bergulingan-guling hingga jatuh, mengeliat-liat kepanasan dan lain sebagainya.

“Hentikan!! Hentikan pantek! Mari lawan aku secara ksatria!” Si Datuk rupanya berhasil mengeluarkan tanah yang menyumpal mulutnya. Aku tertawa menanggapinya. Bagaimana dia mengatakan ksatria, dia saja dari awal sudah berusaha menyembunyikan wujudnya? Kulihat tubuhnya sudah babak belur usai berkelahi dengan bayangannya sendiri. Cermin-cerminku sudah kutarik kembali. Aku ingin melihat si Datuk dengan awas. Sebagian pakaiannya sudah compang camping. Tangannya patah dan terkulai. Rupanya beliau tidak punya kekuatan lagi untuk mengembalikan tangannya utuh kembali.

Hiiiat! Bluk Heeeek!! Suara Datuk seperti terjepit ketika kupaksa duduk. Tubuhnya terhenyak seketika.

“Gaciak! Rupanya kuat juga anak daro sorang koh. Ah! Pantek!” Nafasnya terengah-engah. Matanya nanar ke sana ke mari menatap banaspatinya tak ada yang menyala lagi. Tinggal kedipan-kedipan cahaya makin kecil. Sebentar lagi akan mati. 

Srrrrreeeeek!

Aku segera membalut tubuhnya dengan jaring laba-laba hingga kepala. Hanya bagian matanya saja yang kubiarkan terbuka. Si Datuk tidak bisa bergerak lagi. Kukunci dengan mantra halimun gunung Slamet. Sang Datuk akan membeku selamanya. Setelah terasa sedikit aman, aku menarik semua senjata dan bayanganku. Kami sudah menyatu kembali. Bau amis darah dan pengap bercampur dengan aroma tanah dan pohon tumbang menyeruak dari dasar jurang. Suasana sedikit hening. Hanya sesekali terdengar erangan dari makhluk-makhluk yang terluka dan terjebak di bawah tanah dan batu yang sengaja kumantrai agar mereka tidak bisa ke luar. Area itu kuubah semacam penjara untuk makhluk-makhluk astral yang negatif ini. Baru saja aku berpikir hendak menanam tubuh Datuk misterius di cadas tebing jurang, tiba-tiba dari kejauhan aku mendengar suara halus sekali.

“Tunggu Putri Selasih, tunggu Datuk akan ke sana” Suara itu seperti aku pernah mendengarnya. Tapi aku lupa siapa dan di mana. Tak lama aku melihat angin bertiup pelan dari Barat. Aku menunggu sejenak. Tak lama sosok lelaki berpakaian hitam, dengan ikat kepala dan baju terbuka berdiri di hadapanku. Seorang pendekar! Sejenak aku menatap wajahnya, berusaha mengenalinya. Senyumnya mekar ketika menatapku.

“Saya Datuk Sutan Balimau, Putri Selasih. Penguasa air lembah Arau. Beberapa tahun lalu Datuk pernah berkunjung ke gunung Dempu memenuhi undangan Puyang Pekik Nyaring. Di sana Datuk melihatmu. Waktu itu kau masih kecil, masih tidur-tiduran di pangkuan Puyang Pekik Nyaring” Ujarnya. Aku langsung duduk sujud dan mencium tangannya. Datuk yang berwujud asli nenek gunung ini rupanya penguasa hutan dan air di Lembah Arau. Aku bingung dimana letaknya. Sebab banyak sekali bukit dan lembah di ranah Minang ini. Sejenak kami bercerita dan beliau banyak bertanya tentang Puyang Pekik Nyaring. Terakhir kusampaikan jika aku hendak menanam tubuh Datuk misterius itu ke dinding cadas jurang.

“Biarlah Datuk yang menanam tubuh iblis Angkiang itu Putri Selasih. Dia salah satu pembuat keonaran di ranah Minang ini. Tidak sedikit golongan manusia yang disesatkannya dengan ilmu hitamnya. Anak buahnya banyak tersebar di Pasisiah. Selama ini, kami tidak pernah bisa menangkapnya, karena dia punya ilmu silam, lenyap dari pandangan” Lanjut Datuk Sutan Balimau. Lelaki tua berwajah wibawa ini nampak masih gagah. Dari urat-urat lengannya bisa kupastikan beliau berilmu tinggi. Meski sudah terbilang tua, namun gerakannya masih terlihat gesit.

“Maafkan saya jika sampai ke mari, Datuk. Saya sengaja mendatangi beliau karena dia hendak menghancurkan pernikahan Macan Kumbang dan Putri Bulan. Karena saya tak menginginkan terjadi perang besar-besaran makanya saya datang sendiri ke mari” Ujarku. Beliau kembali tersenyum menatapku. Baru kuketahuai Datuk misterius tersebut bernama Datuk Angkiang. Nama yang aneh! Seaneh dirinya.

“Sekarang giliran Datuk menghukum Datuk Angkiang. Agar sebagai penduduk Minang, Datuk punya andil mengamankan ranah ini menjadi lebih baik” Sambung Datuk Sutan Balimau lagi. Aku mengangguk setuju. Tak lama beliau megangkat tangannya tinggi-tinggi. Lalu berputar seperti melubangi langit. Pusaran angin yang diambilnya dari alam diarahkannya ke dinding jurang. Tak lama dinding jurang berlubang sebesar tubuh Datuk Angkiang. Dengan kekuatan energinya diangkatnya tubuh Datuk Angkiang lalu diletakkannya ke dalam lubang. Tak lama ditutupnya kembali. Datuk Angkiang dikuburnya hidup-hidup.

Mata Datuk Angkiang sempat melotot menatap kami. Tak lama aku melihat cahaya ungu, kuning dan merah membalut area Datuk Angkiang dikubur. Aku terus mengamati kerja Datuk Sutan Balimau. Apa maksudnya cahaya itu aku belum tahu. Terakhir baru kuketahui cahaya itu adalah cahaya pelumpuh untuk menarik semua kemampuan yang dimiliki Datuk Angkiang. Alasan beliau agar Datuk Angkiang tidak bisa berbuat jahat lagi, dan tidak menjadikan hukuman ini menjadi tapanya untuk memperdalam ilmunya kembali. Selanjutnya agar tidak ada satu makhluk pun yang melepaskannya, maka dikuncinya. Sementara kuncinya Datuk Sutan Balimau lemparkan ke dasar danau Maninjau. Duh! Jauh sekali. Datuk Angkiang akan tertanam di sini sampai kiamat nanti. Ketika tiga cahaya Datuk Sutan Balimau mulai bekerja, tiba-tiba langit yang gelap makin gelap. Suara gemuruh seperti hendak meruntuhkan langit dan bumi memekakkan telinga. Bumi pun terasa seperti akan amblas. Tak lama jilatan api menyambar-nyambar dari langit. Suasana seperti siang. Aku menguatkan pijakkan agar tak goyah apalagi jatuh. Suara gemuruh makin menjadi.

Sekarang diiringi kilatan api dan suara kencang angin. Beberapa batu dan pohon seperti api unggun yang berkobar. Lalu seperti kapas terbang ke mana-mana. Luar biasa! Aku hanya berusaha menghindar, lalu diam tak bergeming. Berusaha tidak terkena radiasi energinya.Kerja Datuk Sutan Balimau sungguh rapi. Area jurang ini semua dinetralisirnya menjadi penjara yang tidak bisa dimasuki oleh siapa saja. Banaspati yang masih menyala langsung dimusnakannya. Setelah semua dianggapnya aman, beliau mundur dan kembali berdiri di sampingku.

“Bagaimana Selasih, apakah menurutmu masih ada sela makhluk lain bisa masuk ke sini?” Tanyanya. Aku sedikit tersipu. Menurutku beliau sudah melakukan yang terbaik namun masih minta pendapat anak kecil sepertiku.

“Datuk hebat sekali! Tidak ada sela bagi makhluk lain untuk bisa masuk. Saya akan tambahkan lagi penguncinya Tuk. Tuk, bagaimana kalau tempat ini disilamkan. Maksudku agar tempat ini tidak terlihat oleh makhluk astral tertentu apalagi oleh bangsa manusia” saranku. Sebab aku khawatir meski bukan secara fisik, namun masih ada manusia yang mencoba membebaskan Datuk yang jahat ini. Ternyata saranku diterima beliau. 

Akhirnya dengan kemampuan warisan dari Timur Laut Banyuwangi, kusilamkan area jurang ini agar tidak terlihat oleh siapa pun yang hendak berbuat jahat. Lalu kukunci kembali sebagai benteng terakhir. Setelah selesai Datuk Sutan Balimau terbelalak.

“Onde! Sabana kalam Piak!!” Ujarnya mengatakan benar-benar hilang. Senyum rasa puasnya mekar. Mata beliau menatapku penuh rasa syukur.

“Tidak salah kau menjadi cucu Puyang Pekik Nyaring, sesepuh tanah Sumatera ini. Terimakasih, Selasih telah ikut menyebarkan kebaikan di sini. Semoga anak buah Datuk Angkiang yang sudah tersebar di mana-mana tidak bertambah dan berkembang seperti selama ini” Ujar Datak Sutan Balimau kembali. Aku sungguh bersyukur masih ada sosok gaib berkenan menjaga dan menyebar kebaikan seperti Datuk Sutan Balimau. Membantu golongan manusia agar tidak tersesat dan tergoda godaan makhluk astral. Menurut Datuk Sutan Balimau, masih banyak pemuja setan yang memanfaatkan kekuatan iblis, misalnya semacam santet, teluh, pengasihan, penglaris, mengisi ilmu-ilmu pandeka yang semata-mata ingin disebut hebat, dan lain sebagainya. Praktik-praktik ilmu kuno ini masih tersebar di beberapa daerah. Mereka dibantu oleh bangsa makhluk astral, bangsa jin pemuja iblis. Akhirnya aku juga bercerita, tidak hanya di ranah Minang manusia tersesat pemuja iblis ini. Beberapa daerah di Sumatera ini mulai dari Lampung hingga Aceh, beberapa titik memiliki kemampuan sebagai ciri khas daerah masing-masing.

Di beberapa daerah banyak supranaturanya. Mereka kebanyang para pendatang. Semula hanya sebagai bekal merantau, tapi lama kelamaan berkembang menjadi padepokan dan perguruan lalu tak sedikit mereka memperdalam ilmu kembali sampai ke pelosok dan gunung di pulau Jawa. Bahkan aku bingung, antara syi’ar agama dicampuradukakan dengan ilmu perdukunan dan menyebut para muridnya sebagai ‘santri’.

“Kalau dulu santri itu sebutan untuk orang-orang yang menuntut ilmu agama, ya Tuk. Sekarang makna santri telah dikaburkan, Tuk” Ujarku. Datuk mengangguk kembali. Matanya lurus menatap ke depan.

“Di tanah Minang ini, banyak surau sepi. Tidak seperti dulu. Surau-surau penuh dengan pemuda mengaji, dan mengkaji. Bahkan surau dijadikan tempat bermalam demi mendapat ilmu dari Angku guru. Sekarang budaya itu sudah hilang” Sambung Datuk Sutan Balimau dengan mata makin menyipit. Sekarang kami berdua memilih duduk di atas batu lebar di sisi jurang. Mendengar penuturanku tentang daerah-daerah yang banyak penganut ilmu setan, Datuk Sutan Balimau tertawa terkekeh-kekeh. Beliau membenarkan beberapa daerah para dukun dibantu oleh jin air, jin gunung, dan jin laut. Tergantung di mana mereka berguru.

“Budaya dan warisan nenek moyangmu. Zaman dulu kehidupan bangsamu memang sangat dekat dengan kehidupan gaib,” Datuk Sutan Balimau menambahkan.

Setelah cukup lama berbincang-bincang, mengulik tentang ilmu-ilmu yang berkembang saat ini dan kekhawatiran kami tentang ilmu-ilmu kuno jatuh di tangan-tangan orang yang tidak bertanggungjawab, akhirnya kami sepakat meninggalkan area belantara yang gelap ini. Aku menolak halus ketika Datuk Sutan Balimau mengajakku jalan-jalan ke lembah Arau, ke tempat tinggalnya.

“Maafkan saya Tuk, jika kali ini saya menolak karena saya tidak pamit ke mari kepada Nenek Kam dan Macan Kumbang. In syaa Allah suatu saat saya akan singgah, Tuk” Ujarku mencium tangannya. Datuk Sutan Balimau memaklumi. Beliau melepasku dengan senyum. Tak lupa beliau titip salam untuk leluhurku. Akhirnya aku kami bertolak belakang, melangkah pergi dengan lega.

“Selamat menerima kemenangan Baginda Ratu. Terimakasih atas pembelaan Baginda. Terimalah sembah sujud hamba.” Macan Kumbang sujud ketika aku mulai masuk pondok. Melihat tingkahnya aku pura-pura tidak peduli. Dalam hati aku menggerutu ternyata adik Nenek Kam satu ini tahu kemana aku pergi. Padahal sebelumnya aku sudah membaca mantra untuk menghilangkan jejak, agar tidak tercium oleh siapa pun.Kupandang Nenek Kam pura-pura tidak mempedulikan kami berdua. Beliau sedang sibuk menata makanan di bawah tudung saji. Tiba-tiba aku merasa sangat lapar. Aku baru ingat jika aku belum makan sejak pagi.

“Yok! Makan! Nek, lapar. Kita makan ya” Aku menarik tangan Macan Kumbang. Aksi dramatisnya buyar seketika. Kami bertiga duduk melingkar di atas tikar. Aku langsung menuangkan nasi dan lauk ke piring Nenek Kam. Macan Kumbang menyodorkan piringnya. Kupukul piringnya sebelum kuisi. Tidak tahu dia kalau perutku sudah tidak sabar minta diisi.

“Bagus sekali kalungmu, Dek. Itu batu safir tua yang usianya ratusan tahun. Pasti yang memberikannya padamu seorang yang istimewa. Karena tidak sembarang orang punya koleksi batu ini. Apalagi bentuknya natural seperti ini” Nenek Kam memegang liontin batu safir yang menjuntai di leherku. Bentuknya bersegi tak beraturan. Aku kaget bukan main. Sebab aku merasa tidak ada seorangpun memberiku kalung dengan liontin safir ini. Aku menatap wajah Nenek Kam dan Macan Kumbang bergantian.

“Datuk Sutan Balimau” Lirihku. Aku tidak menyangka Datuk Sutan Balimau mengalungkan kalung ini padaku tanpa kusadari sedikit pun. Jantungku sedikit bergetar. Aku kagum dengan Datuk Sutan Balimau.

“Halus sekali permainan beliau. Sampai-sampai seorang Putri Selasih tidak menyadari diberi kalung ini” Ujarku yang langsung mendapat jitakan dari Macan Kumbang. Sejenak aku tertawa sambil menangkis tangannya. Aku tahu Macan Kumbang tidak suka mendengar nadaku yang sombong.

Akibat saling mengelak, nyaris gobokan cuci tangan di hadapanku tumpah tersenggol. Seketika pertikaian terhenti. Aku dan Macam Kumbang senyum-senyum kecil takut kena marah Nenek Kam yang sudah menyuap nasi pertamanya. Sambal ‘umbut unji’ dicampur ‘balor ikan sepat’ memancing selera makanku untuk segera menyantapnya siang ini.

Bersambung...
close