Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 90)


Sambil melempar biasan, pancing bambu buatan Bapak, aku menatap ke tengah Paok Betelogh. Paok Betelogh salah satu kolam ikan buatan Puyang yang diwariskan pada anak cucunya sekampung. Di seberang paok, terdengar suara mang Hom memanggil Jansri dan Piok anaknya untuk mengumpulkan kopi yang terhampar di halaman pondoknya yang lantang. Matahari memang sudah condong ke Barat. Halaman tempat menjemur kopi sudah teduh terhalang pohon petai cina yang menaungi kebun.


Meski jarak tempatku duduk dihalangi paok yang cukup lebar bahkan agak jauh, namun suara lantang mang Hom dan dua anaknya terdengar jelas.

Saudara sepupu Ibu yang satu itu kata Bapak agak aneh. Kalau musim kopi, hasil panen banyak dipakainya untuk foya-foya. Wariak, tukang sayur yang datang dari Pagaralam, kerap dicegatnya untuk membeli segala macam yang dijual. Bukan hanya membeli sayur-mayur, tempe tahu. Tapi yang dibeli utamanya adalah makanan kecil, berupa kue jajanan pasar. Lalu tidak lupa memesan minuman bergas, seperti sugus, sprit, coca-cola, dan sirup rasa jeruk yang sering disebut orson. Memesan kerupuk berkampil-kampil (bungkus). Semua barang pesanannya beliau bayar dengan biji kopi. Barteran yang banyak merugikan petani. Sebab jika harga kopi di Pagaralam perkilonya lima ribu rupiah, maka mang Wariak akan menghargainya paling mahal dua ribu lima ratus, atau paling banter tiga ribu.

Barteran seperti itu tidak disukai Bapak. Maksud Bapak, hasil panen dapatnya hanya setahun sekali. Maka berhematlah sampai panen tahun depan. Berbelanja seperlunya, jajan ada waktunya. Tapi nasehat Bapak tidak digubrisnya. Tiap kali diingatkan, maka Mang Hom akan menjauhi Bapak, menunjukkan ketidaksukaannya. Bahkan, demi menghindari bertemu Bapak, Mang Hom rela berjalan membungkuk-bungkuk melintas di tengah kebun kopi Bapak. Padahal jalan ke luar menuju jarau, harus melalui sisi pondok Bapak dan pondok kakek Haji Yasir.

“Cepatlah sedikit kerja itu, Jan. Lelaki kok tenaga mirip perempuan” Mang Hom memarahi anak sulungnya.

Aku hanya melihat Jansri dan Piok terbungkuk-bungkuk mengumpulkan buah kopi yang terhampar. Dua remaja kecil itu kembali sekuat tenaga mengumpulkannya ke tengah halaman.

Aku bersyukur hari ini nampak cerah. Langit biru berpoles putih, mulus, dan awan terlihat lebih cantik. Sebagian lagi ada yang bergerigi serupa gigi raksasa yang tergantung.

Beberapa kalong besar sudah mulai terbang ke hulu. Meski menurutku kehadiran mereka terlalu cepat. Biasanya mereka akan terbang beramai-ramai dengan kepakan sayapnya yang lebar setelah sudah dekat waktu maghrib. Kepaksa sayap mereka persis seperti penari Gending Sriwijaya ketika mengembangkan tangan.

Anak burung pipit yang bersarang di ujung-ujung daun bambu kering, mencacap memanggil-manggil ibunya. Suara rincah mereka, menandakan mereka tengah disuap sang induk. Mereka tengah makan malam, batinku. Terbayang bagaimana sang anak mengepakkan bakal sayapnya yang berbulu satu-satu. Lalu membuka lebar paruhnya dengan leher memanjang. Sang induk dibantu pejantan akan menyuapi anaknya satu-satu, bolak-balik hingga si anak kenyang. Burung pipit itu mengajarkan tentang cinta kasih seorang ibu dan ayah. Kasih sayang ibu dan ayah memang luar biasa.

Aku memilih duduk di atas pematang, persis di sisi rumpun bambu. Sengaja memilih tempat yang teduh. Sebab sinar matahari masih lurus memancar ke arahku. Rasanya panas dan perih dikulit. Sementara angin yang berhembus terasa dingin. Dua perpaduan seperti langit dan bumi.

Sambil memegang biasan, aku masih asyik melihat aktivitas Jansri dan Piok. Tiba-tiba mata pancingku bergerak-gerak. Aku mengalihkan perhatian ke ujung pancing. Benar, tali pancingku bergerak-gerak ke sana ke mari. Aku langsung berdiri. Pancing sedikit kutarik. Tak lama aku melihat seekor ikan meronta-ronta hendak melepaskan diri. Ikan emas! Aku menjerit girang. Ikan yang kuperoleh lumayan besar. Tubuhnya selebar telapak tangan orang dewasa. Aku segera melepasnya dari kail yang menancap di mulutnya. Aku kembali memasang cacing ke kail, lalu melemparnya kembali ke tengah Paok. Dalam hati, dapat satu ekor lagi sebesar ini, sudah lebih dari cukup. Aku akan pulang dengan gembira.

Aku memang sengaja memancing ikan petang ini. Diperjalanan dari Bengkulu ke Seberang Endikat kemarin, aku sudah berangan-angan hendak memancing di tebat Puyang yang bersisihan dengan kebun Bapak ini. Di belakang tempatku duduk, terdapat parit kecil yang dalam, berair cukup deras. Suara air pancuran bambu yang jatuh menimpa batu terdengar sedikit santer. Sebentar lagi, kakek Haji Yasin pasti akan ke pancuran membersihkan diri, lalu wudu menunggu waktu magrib.

Kali ini aku memancing sendiri. Macan Kumbang telah pulang ke huluan. Katanya malam esok mau ke Gunung Bungkuk menemui Putri Bulan. Calon pengantin baru itu harusnya dipingit, tidak terlalu banyak aktivitas lagi. Tapi Macan Kumbang tidak mengindahkan hal itu. Dia justru mengatakan itu adat lama, yang berlaku hanya untuk orang lama. Tapi terakhir dia jelaskan, masa pingitan itu nanti, setelah dua pekan menjelang pernikahan, ketika sanak keluarga sudah mulai kumpul dan mempersiapkan berbagai macam untuk nikahan. Pingitan itu maksudnya calon pengantin tidak berjumpa dua pekan lamanya. Mengapa harus dipingit? Rupanya agar ketika menikah, lalu berjumpa, hati mereka dipenuhi bunga rindu. Sehingga benarlah kata orang momen bahagia itu akan membuat mereka merasa dunia hanya milik mereka.

“Assalamu’alaikum Putri Selasih”

Aku mencari-cari sumber suara sambil menjawab salamnya. Suara itu kecil dan merdu. Tidak terlihat siapa-siapa. Aku duduk sendiri di sini. Tapi suara itu terasa sangat dekat. Di seberang sana ada Jansri dan Piok tengah menutup gundukan kopi seperti gunung kecil. Mereka tidak bersuara.

“Ini aku. Aku di sini! Lupa ya?”

Aku memandang ke atas ranting bambu yang menjuntai ke air.

Masya Allah, ular kecil yang pernah kuselamatkan dulu. Ular, putri seorang raja yang tinggal di mata air Tebat Betelogh ini.

“Sejak tadi aku mencium aromamu. Mencium aroma manusia damai” Ujarnya lagi.

Aku menarik nafas lega karena ada teman ngobrol di sini. Jadi teringat ketika mancing bersama Kakek Haji Majani. Ular kecil ini membantu kami berdua. Kami mendapat ikan lumaian banyak, membuat kakek Haji Majani bahagia sekali saat itu. Roman-romannya petang ini aku akan mendapatkan hal yang sama.

Ternyata dugaanku benar, belum beberapa menit kami ngobrol, kail pancingku selalu dimakan ikan. Ikan-ikan yang kuperoleh kukarang dengan rumput sehingga mirip rambut panjang dara yang dikepang.

“Sudah, sudah cukup, sudah Putri cantik. Kurasa sudah cukup ikan ini untuk makan malam petang ini. Terimakasih sudah membantuku” Ujarku bahagia.

“Ah, kamu selalu merendah Putri Selasih. Padahal kamu bisa mendapatkan lebih dari itu jika kamu mau. Makanya aku kagum dengamu, cucu Nenek Kam. Kamu tidak tamak, tidak pula ‘mentang-mentang’ berilmu lalu selalu mencari jalan mudah.” Ular kecil memujiku. Pandai sekali dia mengambil hati, membuat suasana akrab layaknya seorang sahabat karib lama tidak bertemu.

“Kau tahu, Selasih. Ikan-ikan ini sering aku sembunyikan” Bisiknya.

Aku menatapnya ingin tahu apa sebabnya.

“Apalagi kalau Pamanmu itu yang mancing. Pernah dia marah-marah karena ikan banyak tapi tidak satu pun dia dapatkan. Pancingnya dia patahkan. Dia pasang bubu, aku masukan dua ekor tawes, dan satu ikan betok” Ujar ular cantik kembali sambil tertawa kecil.

Aku ikut tertawa membayangkan kelucuan itu. Tapi apa pasal ular cantik ini melakukan hal itu?

“Aku tidak suka dengan pamanmu itu. Dia suka buang sampah sembarangan ke arah paok, suka kencing di pinggir paok tanpa cuci. Tidak sopan” Gerutunya.

Aku menatapnya dengan kerut di kening. Di seberang itu ada dua orang Pamanku. Mang Hom dan Mang Sukan. Lalu dekat pondok juga ada Saudara Bapak, Mang Fajar namanya.

Ketika kutanya Paman yang mana, Putri Ular menyebut nama Mang Hom.

Aku menepuk jidat. Untung Bapak ibunya ular tidak turun tangan. Bisa-bisa dipelintirnya itu kemaluan Mang Hom. Aku senyum-senyum sendiri dengan pikiran ngeresku.

Terakhir kusampaikan maafkanlah Mang Hom karena ketidakpahamannya. Kecuali dia buang air besar di paok, akan jadi masalah besar itu. Semua penghuni dan penjaga Paok Betelugh pasti rame -rame protes pasa Mang Hom. Alamat mang Hom akan sakit, tersiksa, dan mati.

Matahari makin condong ke barat. Burung kecil taktaraw sudah bernyanyi, pertanda hari sudah petang. Usai ngobrol dan tertawa-tawa pada Putri Ular Tebat Betelogh, aku pamit pulang. Kami berpisah di pematang. Aku memilih cuci tangan dan kaki di pancuran terlebih dahulu, baru menenteng pulang rangkaian ikan.

Di jalan aku bertemu kakek hendak ke pancuran. Melihat aku menenteng rangkaian ikan besar-besar dan banyak, kakek kaget.

“Masya Allah, pandai sekali kau mancing, Cung? Bapakmu saja yang pintar mancing tidak pernah dapat sebanyak ini” Mata kakek Haji Yasir sedikit terbelalak.

Aku tersenyum sambil berkata, Ibu akan masak ikan ini untuk Kakek.

Sampai di pondok ibu dan Bapak juga kaget melihat hasil memancingku. Tidak sampai satu jam telah mendapatkan ikan sebanyak itu. Ibu keheranan lalu segera menyianginya.

“Pakai jampi-jampi apa, Dek? Pikat sema?” Bapak menggodaku.

Aku tertawa mendengar nama salah satu mantra kuno nenek moyangku jika hendak memancing ikan di sungai Endikat.

Konon di sungai yang deras itu banyak ikan sema dan ikan tilan. Karena sungai-sungai besar dan deras banyak melintas di sekitaran bukit Barisan dan gunung Dempo, lalu di sungai-sungai itu banyak ikan semanya, maka jadilah mereka yang berdiam di tanah Pagaralam dan sepanjang sungai-sungai itu dengan sebutan Besemah dari kata “be” memiliki atau ada. Sedangkan semah nama ikan, hingga menjadi nama suku. Suku Besemah.

Lalu mengapa nama kota kecil di kaki gunung Dempo itu Pagaralam? Karena kota kecil itu mirip seperti kuali, dikelilingi bukit-bukit jajaran Bukit Barisan. Bukit-bukit itu serupa pagar, kerap dijadikan tempat persembunyian para pejuang ketika merebut kemerdekaan. Makanya sampai kini, kota Pagaralam selain disebut Kota Embun, Kota Bunga, Lembah Dempo, juga disebut Kota Perjuangan.

Menjelang magrib, dari jauh aku sudah tahu langkah halus Nenek Kam. Beliau datang menunggang Macan Kumbang.

Ketika nenek Kam naik tangga dan masuk, Ibu kaget. Seperti biasa pasti ramai suara ibu.

“Aiii, bikin kaget saja Nenek Kam. Tiba-tiba langsung masuk pondok saja. Kenapa tidak memanggil dulu dari bawah, atau teriak dari jarau” Ibu langsung berdiri.

Nenek Kam hanya terkekek sambil menggantungkan kampek purunnya di tiang pondok.

Aku senyum-senyum sendiri. Sebelumnya aku sudah menemui Nenek Kam diam-diam tanpa diketahui Ibu.

“Katanya bidapan. Itu nampak segar bugar. Masih bisa berjalan ke mari. Padahal jauh” Kata ibu masih sedikit ketus. Bidapan itu artinya gering, atau demam.

“Mengapa meski susah untuk sekadar datang ke mari. Kan ada Macan Kumbang siap menggendong dan membawaku kemana saja” Ujar Nenek Kam datar.

Mendengar nama Macan Kumbang, ibu terjerit. Melompat dari garang masuk ke dapur. Suasana jadi makin heboh.

“Jangan nakuti-nakuti aku, Nek!” Ibu berdiri dengan tangan masih memegang pisau dan kotor lendir ikan.

Aku terpingkal-pingkal melihat ekspresi ibu. Bapak juga ikut tertawa. Tingkah Ibu persis seperti anak kecil ngambek ketika ditakut-takuti. Akhirnya pekerjaan ibu kuambil alih. Sementara Ibu masih ngomel-ngomel sambil mengupas bawang, mengiris cabai, cung, lengkuas, kunyit, dan serai. Ikan perolehan mancing petang ini akan dimasak pindang.

“Untung anaknya tidak seperti ibunya. Kalau seperti ibunya, hmmm… kulempar kau ke sungai Endikat” Ujar Macan Kumbang menungguiku menyiangi ikan.

Aku tersenyum mendengar candaannya.

Rupanya ibu memperhatikan aku. Matanya melirik-lirik ingin marah. Aku tahu, beliau mencurigai aku berbicara dengan makhluk astral seperti Macan Kumbang atau A Fung.

Aku pura-pura tidak melihat lalu diam. Kalau diteruskan, alamat masak pindang ikan petang ini tidak jadi.

“Daun salam kita habis. Aku enggan ke bawah memetiknya” nada ibu masih tidak suka. Entah beliau arahkan pada siapa teriakannya. Padaku atau pada Bapak. Nampaknya tidak ada yang memperhatikan dengan serius.

“Ini daun salamnya” Belum berselang semenit, Macan Kumbang memberikan beberapa tangkai daun salam.

Aku langsung memberikannya pada ibu. Mata ibu kembali terbelalak.

“Kok cepat sekali? Pohon salam kan tinggi. Lagian harus turun pondok dulu baru bisa mengambilnya” Ujarnya.

“Ibu, yang penting, daun salamnya sudah ada. Jangan curiga melulu” Ujarku lembut.

“Bukan curiga! Tapi takut!” Ibu membentakku.

Aku buru-buru lari menyelesaikan mencuci ikan.

Bapak dan Nenek Kam duduk di ruang tengah. Mereka masih asyik bercerita, tidak peduli dengan suara bentakan ibu seperti di sulut api.

Malam ini alamat akan pergi jika nenek Kam sudah datang. Beliau entah akan mengajakku ke mana. Padahal seminggu lagi aku akan berangkat ke Pekanbaru untuk daftar ulang. Semoga malam ini sekadar jalan-jalan, mencari ghukam, atau mucung kemiling di hutan. Aku capek berantem melulu. Sesekali ingin santai menikmati perjalanan malam di dunia tak kasat mata. Atau main ke gunung Dempu berjumpa sesepuh-sesepuhku.

Seperti biasa, menjelang solat isya, usai makan malam semua masih asyik bercengkrama. Banyak hal dibicarakan oleh para orang tua ini kalau sudah berkumpul. Termasuk membahas ikan-ikan hasil macing petang tadi.

“Besok Bapak mau mancing lagi, Dek. Kalau dapat banyak kita buat ikan masak banghi ya, Bu” Ujar Bapak semangat.

Kulihat respon ibu baik. Ibu mengangguk setuju.

“Eh, kenapa kita tidak mancing malam ini saja? Habis solat isya, kita mancing. Mau kan Dek?” Bapak bertanya.

Ibu langsung protes, alasannya anak gadis kok diajak mancing malam-malam.

Aku hanya menahan tawa melihat keduanya berdebat. Apalagi ketika Bapak bilang, ibu saja yang tidak tahu jika aku kerap kelayapan ke hutan malam hari. Bahkan sampai ke gunung Dempu. Kalau tidak diajak mancing, malam ini pasti dibawa pergi sama Nenek Kam.

Mendengar itu Ibu terdiam tak bisa berkata-kata lagi. Suara tawa Bapak menghiasi tingkap malam yang mulai gelap. Suara desir angin menyentuh daun pisang lalu bergesekan dengan seng atap pondok, kadang mirip biola dengan nada agak kacau.

Aku bergabung duduk dekat Bapak dan Kakek yang sedang ngobrol, menyelipkan kaki ke bawah kaki Kakek Haji Yasir yang duduk bersila. Berharap hangat tubuh kakek sedikit berpindah padaku. Udara perbukitan Seberang Endikat ini memang terasa sangat dingin. Apalagi kata kakek sekarang sudah masuk musim kemarau. Masih petang saja halimun sudah turun. Membuat cuaca semakin dingin.

Suara satwa malam mulai ramai. Kadang hening, kadang kembali riuh seperti lomba paduan suara. Suara-suara alam yang kerap kali menyadarkanku betapa bumi ini selalu diisi kehidupan.

Kata kakek Haji Yasir, setiap makhluk hidup, sekecil apa pun dia, maka ia akan melakukan ibadah setiap waktu, yaitu bertasbih. Suara jangkrik, desir angin, kodok, burung malam, dan lain-lain tak henti bertasbih. Apa yang disampaikan kakek Haji Yasir sama persis seperti disampaikan Puyang Bukit Selepah dan Puyang Pekik Nyaring.

Malam makin larut. Aku, Nenek Kam, dan Ibu sudah memasang posisi untuk tidur. Tiba-tiba Nenek Kam berbicara memakai bahasa Nenek Gunung padaku. Intinya Nenek Kam mengajak aku pergi. Aku hanya mengangguk kecil dan menyentuh lengannya tanda setuju. Ibu yang baru mau baring di sebelahku di remang cahaya lampu cubok yang berkedip pelan, ikut menyimak dan menatap pada Nenek Kam.

“Nenek ngomong apa? Bicara dengan siapa?” Tanya Ibu agak menjalar ke Nenek Kam.

“Aiii..Luhai, Luhai. Seperti tidak kenal aku saja. Ngobrol dengan kawankulah” Ujar Nenek Kam.

Mendengar kata ngobrol dengan kawanku, Ibu langsung melompat di antara aku dan Nenek Kam. Akhirnya aku segera pindah menggantikan posisinya. Aku mengaduh karena ditimpa tubuh ibu. Ibu langsung masuk dalam selimut dan meringkuk. Kupeluk Ibu sambil tertawa. Sebisa mungkin aku menahan perasaan lucu melihat Ibu.

“Tidak ada siapa-siapa di sini, Ibu. Nenek cuma bergumam. Makanya Ibu jangan penakut biar tidak curiga melulu sama Nenek” Ujarku sambil menarik selimut ibu untuk melihat wajahnya.

Kudengar ibu menarik nafas lega. Aku tidak bisa berkata-kata. Ibuku sejak dulu selalu merasa takut kalau bicara tentang hal mistis, atau bicara tentang nenek gunung. Padahal Ibu sejak kecil dikitari oleh orang-orang ‘manusia damai’. Bukan hanya nenek Kam. Tapi ada Nenek Bakek, lalu ibu mertuanya Nenek Pagarjaya.

Tidak berapa lama, suasana hening. Nenek Kam seperti orang terlelap. Ibu juga sudah mulai lelap. Nafasnya turun naik dengam teratur. Bapak juga terdengar di ruang sebelah, ngoroknya santer sekali.

Di sela-sela dinding aku masih melihat gerakan bayangan tertimpa cahaya lampu minyak yang bergoyang. Kakek Haji Yasir nampak masih berzikir duduk di atas sajadah. Aku sendiri belum bisa tidur. Sambil menghadap dinding, meringkuk menahan dingin.

Entah jam berapa nenek Kam akan mengajak aku pergi. Pikiranku justru berjalan ke mana-mana. Kadang ke Timur Laut Banyuwangi, ke gunung Selamet, kadang gunung Dieng, kadang ke Merapi Kerinci, kadang ke gunung Bungkuk, kadang ke Sebakas, kadang juga ke Bukit Selepah dan Bukit Patah. Banyak sekali tempat-tempat yang berkesan. Lalu melintas juga Alif yang tengah digembleng Eyang Kuda.

Kata Bapak besok akan ada mesin penggilingan kopi keliling datang untuk menggiling kopi Bapak yang sudah kering. Kalau jumlah sedikit, biasanya menggiling sendiri pakai kilangang. Kilangan itu mesin tradisional terbuat dari papan dan kayu, yang dibuat sedemikian rupa. Bagian penggilas kayu berigi dari pelat atau besi yang berfungsi mengupas kulit kopi. Penggilas ini dibuat lurus dengan lingkaran seperti roda pedati sebagai pemberat, lalu bagian luar ada semacam engkol untuk diputar. Biasanya bapaklah yang memutar engkol kilangan itu. Selanjutnya ibu yang menampi memisahkan biji kopi dengan kulitnya. Tapi karena kopi yang akan ditumbuk lumayan banyak, maka digunakan mesin yang digerakkan mesin berbahan bakar solar. Untung ada penggilingan keliling. Kalau tidak buah kopi kering ini harus dibawa ke mesin penggilingan. Tempatnya cukup jauh, badan jalan rusak parah, mobil pengangkutnya pun tidak lancar. Meski biaya penggilingan keliling cukup mahal, akhirnya Bapak memilih mesin giling keliling.

Tadi siang, ibu sudah mengambil daun pisang kepok, dan membeli kelapa bulat yang masih agak muda di beberapa kebun milik Wak Nasir. Rencananya ibu akan membuat kelicuk, panganan kecil yang terbuat dari pisang kapas yang sudah sangat matang, dicampur dengan kelapa parut, beras pulut, gula pasir dan garam secukupnya. Lalu dibungkus dengan daun, terakhir dikukus. Kelicuk itu makanan kecil kesukaan kakek Haji Yasir. Apalagi disuguhkan dengan kopi hangat. Kata kakek Haji Yasir ketika makan kelicuk, pasti ia teringat ketika beliau menjadi ‘riye’ gotong-royong membuka jalan bersama penduduk Seberang Endikat dari simpang Bandar, sampai ke dusun Tebat Langsat. Hampir setiap hari masyarakat dusun bergantian mengantarkan makanan ringan. Salah satunya kelicuk.

“Taaak bekelicuk gemuk manis, bekupi secangkir. Ude, padagh asenye peghut. Ghadu haus” Itu kode keras Kakek Haji Yasir ketika minta dibuatkan kelicuk makanan kesukaannya, dengan membayangkan makan kecil manis gurihnya, ditambah dengan secangkir kopi hangat. Kata kakek perut pasti semakin nyaman. Kalau sudah seperti itu, biasanya ibu akan segera membuatnya. Oleh sebab itu, tiap kali ada penduduk yang panen, Ibu akan memesan untuk membeli padi pulutnya. Baik beras pulut yang putih mau pun padi beram atau pulut hitam.

“Bangun Dek!” Nenek Kam mencolek punggungku.

Aku langsung berbalik. Rupanya Nenek Kam sudah membuat penghuni pondok lelap. Meski kami bergerak ke sana kemari, Bapak, Ibu dan Kakek tidak akan terbangun.

Aku segera bangkit sambil merapikan selimut ibu. Macan Kumbang sudah menunggu di luar.

“Nek, siapa yang tinggal?” Tanyaku. Maksudku apakah perlu aku memecah diri, atau pergi bersama fisikku.

Nenek Kam hanya mengayunkan tangan agar aku segera ikut dengannya, dengan fisikku sekalian. Kalau sudah seperti ini, aku seperti bukan melihat Nenek Kam lagi. Perempuan yang dalam kesehariannya ringkih, bergerak lamban, dan terlihat sepuh. Tapi kalau malam seperti ini Nenek Kam kulihat seorang perempuan muda cantik, gesit, dan gagah, Relingin namanya.

Kami berlahan menuju pintu ke luar. Macan Kumbang duduk-duduk di bawah pohon kopi bersama satu sosok yang belum kukenal. Aku segera menghampirinya.

“Kita mau kemana, Kumbang?” Tanyaku.

Macan Kumbang hanya menunjuk kawannya dengan bibir. Artinya kami akan ikut dia. Aku moleh langsung pada temannya dan tersenyum.

“Kenalkan, aku Kamang Depa, Putri Selasih. Kawan lama Macan Kumbang dari Merapi” Lanjutnya penuh kelembutan.

Merapi? Aku berpikir sejenak. Maksudnya gunung Merapi? Merapi mana?

“Nama dusun kami, Merapi, Putri Selasih. Bukan gunung Merapi” Dia buru-buru menjelaskan melihat ekspresiku.

Aku mengangguk meski tidak paham di mana dusun Merapi yang beliau maksud. Apakah masih masuk wilayah Besemah atau bukan. Aku juga belum paham mengapa dia mengajak kami ke dusunnya?

Akhirnya aku berpikir positif saja. Tak ada salahnya memang aku ikut, sekalian jalan-jalan ke daerah yang baru. Apalagi ikut Nenek Kam. Kadang-kadang perjalanannya persis ular tersesat.

Aku segera naik ke punggung Macan Kumbang. Sedangkan Nenek Kam ke punggung Kamang Depa. Tak berapa lama, kami berempat dibawa berlari kencang sekali, menembus kabut yang mulai turun.

Aku menikmati pemandangan malam. Melalui dusun-dusun hening yang masih lelap. Melintasi kebun, ladang, sawah, hutan kecil dan sungai-sungai yang meliuk dari perbukitan. Menatap bintang timur yang bersinar lebih terang dari bintang-bintang kecil yang berkedip-kedip mengelilinginya.

***

Aku mendekap leher Macan Kumbang menembus kabut malam ini. Nenek Kam tidak bersuara seperti biasa. Beliau duduk tenang di punggung Kamang Depa. “Kita mau ke mana, Kumbang. Di mana Merapi itu? Ada apa di sana?” Ujarku dekat telinga Macan Kumbang. Macan Kumbang hanya berbisik sambil mengatakan kita lihat saja nanti. Akhirnya aku diam saja. Nenek Kam memang terbiasa mengajak pergi tanpa menceritakan apankeperluan. Kukira hanya kami bertiga, kenyataannya berempat. “Macan Kumbang, pasti belum mandi. Bau ‘piarit'” Ujarku iseng. “Ah! Sembarangan. Aku tidak biasa sebelum solat tidak mandi. Yang malas mandi itu kamu. Ngakunya dingin melulu” Macan Kumbang protes. Aku cekikikan sendiri. Menjahili Macan Kumbang paling asyik. Dia juga suka menjahili aku. Kalau dulu, jika aku tidak terima, maka kami akan bergulat atau adu ketangkasan. Dari situ juga aku dapat mengukur kemampuan Macan Kumbang yang luar biasa. Secara tidak langsung, beliau guru kuntau ku.

Tak perlu memakan waktu lama kami sudah sampai di daerah berpadang ilalang. Sebagian lagi jurang napal terlihat putih di tengah kelam. Aku mengamati padang ilalang dengan seksama. Luas bertebing-tebing. Daerah yang baru kali ini kudatangi. Kami berdiri di atas tanah napal.yang agak tinggi. Jauh di bagian timur padang ilalang yang miring dan agak curam. Di lembahnya ada sungai. Suara air yang mengalir terdengar lantang dari sini. Di langit bulan sabit seperti coletan kuas berwarna kuning. Cahayanya belum membantu memberikan sinar hingga sampai ke bumi. Sekelilingnya masih tampak gelap. Angin yang bertiup semilir, tidak memberikan isyarat apa-apa bagiku, kecuali terasa dingin karena berada di ketinggian. Aku kembali berbisik pada Macan Kumbang, mengapa ke mari. Lagi-lagi Macan Kumbang menggeleg. Sejenak aku bingung harus melakukan apa. Aku perhatikan gerakkan Kamang Depa dengan Nenek Kam. Belum terlihat pertanda melanjutkan perjalanan, atau melakukan apa sesuai tujuan ke mari. Tak lama kulihat Kamang Depa mengendus-ngendus. Lalu menatap ke nenek Kam. Selanjutnya dia mengendus-ngendus lagi sembari berputar. “Aku kehilangan jejaknya, Nek. Aku tidak bisa mencium aromanya” Suara Kamang Depa sedikit berbisik. Aku dan Macam Kumbang hanya menatap mereka berdua. Mengendus apa, kami berdua tidak tahu.

Lama suasana hening. Nenek Kam kulihat juga ikut fokus. Tak lama Kamang Depa turun beberapa meter. Pun melakukan hal sama, mengendus-ngendus juga. Sepertinya hal yang dicarinya nihil. Kemang Depa naik kembali.

“Coba minta tolong Cucungku” Nenek Kam melihat padaku. Sinar matanya jelas mengisyaratkan menyuruh aku bergerak mendekat padanya.

“Apa yang dicari, Nek? Dari tadi sebelum berangkat hingga sampai ke mari, aku dan Macan Kumbang tidak tahu tujuan kami diajak ke mari” Ujarku bernada protes. Macan Kumbang mencubitku. Aku tahu, dia memberi kode agar aku tidak lancang. Akhirnya aku diam saja. Padahal dia juga bingung mau apa ke mari.

“Apa yang kau ketahui tentang rempat ini, Cung” Ujar Nenek Kam. Aku diam sejenak. Kupenuhi permintaan Nenek Kam mengamati dan mencari tahu area ini. Aku berjalan ke arah Timur. Di situ aku melihat ada pintu gerbang tua yang terbuat dari kayu ulin, tanpa penjaga. Agak lama aku mengawasi pintu gerang itu. Ada jalan cukup lebar namun bersemak. Sehingga jalan yang lebar itu berubah menjadi setapak. Dalam hati aku bertanya-tanya, tempat apa ini? Sepi sekali. Aku mulai memberanikan diri untuk lebih dekat lagi. Ada energi yang menarik-narikku untuk mendekat. Sisi kiri kanan pintu gerbang ada batu besar biasa seperti batu bukit. Namun karena ukurannya besar, membuat kayu ulin yang berdiri seakan bersender pada batu. Pahamlah aku, dulu wilayah ini adalah hutan belantara, ditumbuhi kayu-kayu berkualitas. Lalu di sini berdiri satu kerajaan gaib, yang dipimpin oleh seorang raja. Raja itu mempunyai seorang putra. Sayang putra raja ini tidak mewarisi sikap dan wibawa Bapaknya. Bapaknya raja yang bijak. Penganut hindu yang taat. Sedangkan anaknya hidup sesukanya, tidak pernah menjalankan ibadah. Bekas dupa dan sejen kering nampak tergeletak di dekat batu. Bahkan serupa sampah yang berserakan. Canang-canang kering. Artinya di sini ada kehidupan, aku membatin. Namun istana mereka mengapa tidak nampak? Seperti ditutup kain berlapis-lapis. Sehingga hanya terlihat pintu gerbang dan semak saja. Aku makin penasaran dan mulai hendak menguak apa sebenarnya yang terjadi di sini. Ketika aku tengah bersiap melakukan ritual, sudah mulai duduk dan fokus. Tiba-tiba Nenek Kam memanggil.

“Kembali, Cung. Jangan lanjutkan dulu” Ujarnya. Akhirnya aku kembali membuka mata dan segera menemui Nenek Kam, dan rombongan. Mata Macan Kumbang menatapku penuh tanya. Demikian juga Kamang Depa. Aku melihat sekeliling. Mengapa nampaknya di sini bekas pertempuran? Rumput ilalang yang kulihat sebelumnya berdiri tegak dengan bunganya yang putih, anggun bergoyang ketika diterpa angin, sekarang nampak rebah dan kacau?

“Apa yang terjadi di sini? Siapa yang melakukan ini?” Aku langsung marah. Kulihat Nenek Kam, Macan Kumbang, dan Kamang Depa sehat-sehat saja, membuatku sedikit lega. Mereka belum ada yang menjawab. Tapi dari ekspresi mereka bisa kutangkap, mereka masih menahan cemas. Huuf!!!Aku segera mengangkat tangan ke atas. Aku mencari tahu sendiri peristiwa apa yang terjadi di sini sehingga semua jadi berubah dari sebelumnya? Aku tidak sabar menunggu pejelasan mereka.

Aku sedikit tercengang ketika melihat Nenek Kam, Macan Kumbang, dan Kamang Depa, diserang mendadak. Anehnya, mereka diserang makhluk-makhluk berbentuk pohon ilalang. Aku sedikit bertanya dalam batin, apakah mereka makhluk yang menyamar? Atau memang jenis makhluk lain berbentuk seperti rumpun ilalang? Lalu mengapa mereka menyerang Nenek Kam, Macan Kumbang, dan Kamang Depa? Mereka berhenti menyerang ketika Nenek Kam memanggilku untuk segera kembali ke sini. Melihat kenyataan ini, bisa jadi pintu gerbang yang ditumbuhi semak-semak tadi, adalah wujud makhluk-makhluk ini. Aneh sekali. Aku tidak paham mereka ini makhluk astral golongan mana? Tapi ini bukan sihir? Aku setengah ragu untuk memastikan sihir atau bukan.Otakku segera berpikir. Aku harus tahu siapa mereka. Selama aku bergaul dengan makhluk-makhluk astral, dan dari sekian banyak guru yang mengajarkan aku, mwmbantuku pulang dan pergi ke alam gaib, belum pernah mereka menyeritakam ada jenis makhluk seperti ini.

“Tajamkan mata batinmu kembali, Cu. Kau akan tahu siapa mereka dan dari golongan mana” Tiba-tiba Puyang Purwataka membisikiku. Aku bahagia sekali. Guruku satu itu mengawasi aku. Aku segera melakukan apa yang pernah kuperoleh dari Puyang Purwataka.

“Apa guna sejata cermin dalam telapak tanganmu, Selasih. Kau bacalah mantra sedekap bayu dari Puyang Purwataka” Suara Eyang Putih. Duh aku semakin bahagia, ternyata banyak yang mengingatkan aku untuk mengungkap misteri ini. Tanpa pikir panjang, aku melakukan petunjuk dua guruku itu. Aku segera membaca mantra sedekap bayu, tak lama terlihatlah aktivitas di sini. Rumpun-rumpun ilalang itu bisa bergerak serupa manusia lalu menyerang Nenek Kam, Macan Kumbang, dan Kamang Depa. Setiap tangkai daun siap melilit lawan. Sementara Nenek Kam , Macan Kumbang, dan Kamang Depa tidak meyadari akan mendapatkan serangan yang sangat tiba-tiba itu. Apalagi serangan itu dari rumpun ilalang. Belum usai rasa terpukau mereka, beberapa rumpun telah melilit Nenek Kam, Macan Kumbang dan Kamang Depa. Kulihat ketiganya cukup kuwalahan. Lilitannya sangat erat dan tidak bisa diputuskan. Beberapa kali kaki, tangan, serta tubuh ketiganya terikat erat. Aku kaget melihatnya. Sungguh di luar nalarku. Kejadian ini mirip sebuah sihir. Aku sempat panik melihatnya meski kejadian itu baru saja terjadi. Semuanya beejalan cepat sekali.

Tak berapa lama kulihat rumpun ilalang ikut terbang. Nampaknya rumpun-rumpun itu hendak mengubur Nenek Kam, Macan Kumbang, dan Kamang Depa. Aku terbelalak melihatnya. Padahal perasaanku mereka kutinggal tidak lama untuk melihat pintu gerbang gaib itu. Aku menahan nafas. Ingin rasanya masuk dalam cermin, lalu kembali ke peristiwanya.Aku terus mengamati peristiwa itu dengan dada bergemuruh. Melihat energi mereka nampaknya ada yang mengerakkan. Pemandangan yang tidak masuk akal melihat rumpun ilalang namun bisa menyerang. Bahkan mereka hendak mengubur hidup-hidup lawan. Untung Macan Kumbang, Nenek Kam, dan Kamang Depa memiliki kemampuan yang tidak biasa. Mereka bertiga menyatukan kekuatan melawan rumpun ilalang yang bergerak hendak mengubur mereka. Rumpun-rumpun itu pandai pula menghindar lalu kembali menyerang. Tidak disangka, rumpun dekat kaki-kaki mereka bergerak. Rumpun ilalang itu dengan cepat melilit tubuh Nenek Kam, Macan Kumbang dan Kamang Depa dengan cepat. Saat itulah Nenek Kam memanggilku untuk kembali. Mengetahui aku kembali, seperti dikomando rumpun-rumpun itu kembali ke tempatnya berdesir bersama semilir angin. Aku segera menutup cermin di telapak tanganku. Apa yang kulihat memberikan pembelajaran yang berharga dan mwnuntunku untuk melakukan tindakan.

Hiiiiiaaaaat!!! Duk! Duk! Duk! Aku menghantamkan kaki ke bumi tiga kali. Darahku serasa mendidih. Nenek Kam, Macan Kumbang, dan Kamang Depa segera melompat karena bumi bergerak, bahkan ikut terhentak-hentak.

“Kurang ajar! Kalian tidak bisa menipu aku. Keluar!!” Bentakku. Karena setelah kuamati, rumpun ilalang itu hanyalah sebuah tipuan. Kami sedang berhadapan dengan makhluk astral yang pandai sihir. Tapi mengapa dia berhenti menyerang setelah Nenek Kam memanggil? Aku segera memagari Nenek Kam, Macan Kumbang dan Kamang Depa. Aku khawatir ada serangan mendadak dari bawah tanah. Aku akan bongkar apa maksud makhluk astral yang menyerang Nenek Kam, Macan Kumbang, dan Kamang Depa ini. Kugerakkan tangan ke atas. Aku akan angkat rumpun ilalang yang ada di sini. Wusssss! Tiba-tiba angin kencang yang kukerahkan untuk mengangkat rumpun ilalang hingga akarnya seperti ribuan lebah mendengung. Aku bertekad akan lawan sihir mereka. Rumpun-rumpun ilalang yang kuangkat semuanya kugulung menjadi satu lalu kuubah menjadi tali. Maka jadilah rumpun ilalang itu tali yang sangat panjang. Lalu kulilitkan pada ilalang-ilalang yang masih tersisa. Kemudian kuputar ke arah langit. Tali yang terbuat dari ilalang, kuserahkan pada Macan Kumbang untuk menggenggamnya.

Kukerahkan energi membantu Macan Kumbang agar rumpun-rumpun ilalang jelmaan makhluk astral itu mendapatkan efeks panas dari zikir yang dilantunkan Macan Kumbang. Sreeeettt!!! Selendang kutarik dari leherku. Dengan cepat kuayunkan ke atas sehingga ujungnya berbentuk api. Beberapa kali kuayunkan untuk mematahkan sihir yang ada di sekitar kami. Rupanya sekitar ini aslinya bukan padang ilalang. Tapi perbukitan yang gersang, tanah liat berbatu. Aku yakin yang mengubah ini pasti berilmu tinggi dan pandai sihir. Tapi mengapa ketika Nenek Kam memanggilku dia langsung lenyap? Nenek Kam juga heran. Satu kesempatan, secepat kilat jilatan api selendangku kuubah menjadi ular naga. Selanjutnya kusuruh menghisap sosok-sosok rumpun ilalang dari jarak jauh. Seperti sebuah liang yang maha besar dan dasyat mulut naga mengangga. Makhluk astral yang menjelma kudorong ke mulut naga selendangku. Seperti debu, rumpun-rumpun itu berterbangan meluncur dengan cepat ke mulut naga. Suara mendesis seperti suara badai yang mengaduk-ngaduk isi bumi.

Sementara ular naga dari selendangku bekerja, aku terus melakukan zikir dalam batin untuk membantu Macan Kumbang. Tak lama Macan Kumbang mengeluarkan kekuatan barunya ketika melihat kekuatan lawan yang tak nampak itu terus menyerang. Ternyata memang tidak sampai di situ, ada kekuatan lain menyerang kami. Batu-batu yang menyembul karena rumpun ilalangnya yang tercabut, berubah menjadi sosok manusia. Lalu tanah-tanah berubah menjadi gundukan-gundukan seperti kuburan. Sosok-sosok manusia itu seperti hantu bangkit dari kubur. Mereka berjalan kaku mendekati kami. Melihat itu aku tidak tinggal diam. Kulihat Nenek Kam juga bersiap- siap untuk melawan. Kamang Depa pun bersiap-siap juga semampunya.

“Nek, ini kekuatan sihir. Nenek akan kelelahan jika melawannya dengan energi batin. Biarlah aku ajak mereka main-main sejenak. Kita tetap diam di sini. Mereka tidak akan sampai ke mari. Ini hanya tipuan belaka seakan-akan mereka menyerang kita” Ujarku menghalangi Nenek Kam melakukan perlawanan. Akhirnya beliau duduk bersama Kamang Depa. Macan Kumbang telah mengakhiri perlawanannya. Makhluk-makhluk yang diikatnya dengan tali terbuat dari ilalang kini lenyap tanpa bekas.

“Mau kau apakan daerah ini Selasih. Mereka hendak menyerang kita. Tapi tak nampak wujudnya” Macan Kumbang siap-siap dengan kuda-kudanya. Huuuuf! Sekali hentakan ular naga yang kulepas kembali menjadi selendang.

“Aku akan ajak mereka bermain-main dulu Macan Kumbang. Semakin lama aku semakin paham ini ilmu dari mana” Ujarku berbisik.

Aku mengembangkan selendangku ke depan. Tak lama selendang kugetarkan sehingga menjadi irama musik yang lincah. Sosok-sosok seperti mayat hidup itu kupaksa bergoyang. Mereka bergerak ke sana kemari, bahkan kadang saling tindih dan saling tabrak. Melihat pemandangan itu Nenek Kam tertawa-tawa. Begitu juga Kamang Depa. Mayat-mayat hidup itu memang seperti tidak ada lelahnya. Meski terinjak-injak dan saling tabrak, mereka terus bergerak. Sesekali kujentikkan jari menyuruh mereka berjoged tapi saling serang. Irama gemerincing selendang kukencangkan. Nenek Kam terpingkal-pingkal makin jadi.

“Lihatlah mereka berjoged tapi saling tinju, saling pukul, saling tendang” Teriak Nenek Kam. Tak lama kubuat mereka saling tampar. Dan terjadilah seperti lomba saling tampar yang membabibuta. Aku ikut tertawa melihatnya sambil terus mengendalikan mereka.Sudah bosan melihat mereka saling tampar dan sesekali terkapar lalu bangkit lagi, dengan cepat tubuh-tubuh palsu itu kuhembus dengan angin panas. Dalam sekejap, sosok dan kuburan hilang. Demikian juga ilalang yang seperti padang. Yang ada tanah gerang, berbatu, tidak ditumbuhi serumpun rumput pun.

“Jadi, selama ini yang kulihat padang ilalang, pada dasarnya bukan ya Selasih?” Kamang Depa bertanya padaku. Matanya sedikit melotot pertanda heran. Bagaimana tidak menurutnya dia berulang kali pergi ke sini bahkan bermalam di padang ilalang. Tidak pernah dia menemukan dan merasakan hal aneh sedikit pun mengapa malam ini jadi berubah?

“Memang itu dibuat semacam perangkat untuk menarik mangsa” Ujarku.

Kamang Depa mulai bercerita, jika apa yang kujelaskan benar adanya. Banyak sekali nenek gunung yang terjebak dan hilang di sini. Dan malam ini, Kamang Depa mengajak kami kemari tiada lain untuk minta tolong mencari jejak kedua orang tuanya yang hilang. Bagaimana mungkin dia akan menemukan jejak Umak dan Baknya jika jejak itu disihir oleh makhluk yang belum kutahu siapa dia. Belum sempat aku bertanya lagi perihal kejadian yang dia alami tiba-tiba angin basah menghembus ke arah kami. Aku segera membuat dinding pembatas agar tidak masuk ke pagar yang kubuat untuk melindungi Nenek Kam, Macan Kumbang dan Kamang Depa. Dinding yang kubuat berhasil menolak bahkan mengembalikan angin basah yang dikirimkan pada kami dengan hawa panas. Rupanya belum cukup sampai di situ. Kali ini kulihat ada semacam hujan jarum yang tak terlihat oleh mata telanjang. Bahkan Kamang Depa, dan Macam Kumbang pun tak bisa melihatnya. Suara desingnya sangat halus. Aku segera menyapukan selendangku menangkap jarum-jarum gaib itu. Lagi-lagi di alam gaib aku menemukan hal gaib. Jarum-jarum itu menancap di selendangku. Selendangku bergetar hebat. Aku seperti memegang gumpalan batu yang berguncang-guncang. Kekuatan jarum-jarum itu luar biasa. Macan Kumbang kaget menyadari jika yang berhasil kutangkap itu adalah senjata rahasia yang dikirim dari jauh. Aku tidak menyangka jika di tanahku ada yang memiliki ilmu begitu dasyat seperti ini. Puyang Pekik Nyaring dan Puyang Bukit Selepah tidak pernah bercerita jika di seputaran bukit barisan ini ada yang memiliki ilmu sihir yang dasyat seperti ini. Tapi siapa dia? Dari tadi kami seperti berhadapaan dengan angin? Rasa tidak sabarku mulai naik. Kali ini kuayunkan kedua tanganku ke atas, lalu dengan cepat sumber kekuatan itu kutarik dengan sosoknya. Aku harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk menarik sosok dan kekuataannya itu. Energinya mengeluarkan suara gemuruh seperti guruh yang saling kejar di langit. Percikan-percikam kembang api pun memancar pertanda ada benturan keras dalam dua kekuatan yaitu kekuatanku dan kekuatan sosok itu.

Hiiiiiaaaat! Gerakkan menangkap sesuatu kukerahkan maksimal. Gedebuk! Buk!! Buk!!Seperti benda berat jatuh mental beberapa kali seperti bola. Tak lama kobaran api seperti peluru meluncur ke arahku. Aku terperanjat melihat serangan begitu cepat. Nyaris api itu membakarku yang masih terperangah. Tiba-tiba sabuk dipinggangku berubah menjadi tameng melawan kekuatan api. Beberapa kali kobaran api terpental dan terbang lagi. Tiba-tiba langit seperti bara. Kekuatan makhluk astral yang belum kuketahui sosoknya benar-benar hebat. Apakah benar pintu gerbang yang kulihat tadi adalah sebuah kerajaan besar yang menahan para nenek gunung, manusia harimau di seputaran dusun Merapi ini? Tapi apa pasal? Aku cukup kewalahan menghadapi kekuatan aneh ini. Tubuh yang kuseret ternyata bisa melepaskan diri malah berganti dengan cahaya merah yang membuat langit berwarna jingga tua. Belum lagi aku harus bertahan supaya Macan Kumbang, Nenek Kam dan Kamang Depa tidak terseret kekuatan yang berkali-kali hendak menarik kami. Aku kembali menghantamkan pukulan badai dan menghalangi kekuatan yang mendesak dengan tameng gunung. Al hasil kami aman. Tapi bukan sosok sakti namanya jika tidak banyak akal. Sekarang mereka melakukan kekuatan dari atas. Aku kaget bukan main ketika tiba-tiba hujan yang turun berupa cairan seperti bara. Masya Allah! Seumur hidup baru kali ini aku berhadapan dengan kemampuan luar biasa dasyatnya. Aku sudah mulai putus asa untuk bertahan, melindungi diri dan melindungi Nenek Kam, Kamang Depa, dan Macan Kumbang. Aku bukan meremehkan kemampuan mereka. Namun yang kami hadapi ini bukan main-main lagi. Bukan lagi sihir. Tapi ini adalah kekuatan dasyat ilmu yang dimiliki oleh sosok yang belum kuketahui wujudnya.

Akhirnya aku meraih tangan Nenek Kam, Macan Kumbang, dan Kamang Depa. Kami satukan kekuatan. Kupandu mereka bertiga untuk mengeluarkan dan menyatukan energi, sementara aku menyalurkan kekuatan gunung es untuk membuat beku udara yang menyelimuti kami. Aku tidak bisa bayangkan jika cairan bara itu menimpa kami, bisa meleleh langsung. Kulihat wajah Kamang Depa sudah bersemu merah mengerahkan semua kekuatannya. Macan Kumbang juga bergetar membuat rahangnya makin menonjol. Rambutnya yang disanggul tinggi lepas, tergerai, sebagian menutupi wajahnya yang tampan. Sementara Nenek Kam nampak tenang memejamkan mata. Beliau sedang fokus mengerahkan kekuatannya. Kami mulai diselimuti kabut tebal dan segera menjadi es. Kusalurkan kekuatan baru pada lapisan es agar tidak cair dan tembus tertimpa cairan bara yang terus menimpa. Efeknya luar biasa. Suara mendesis bara api terkena air seperti suara jutaan ular. Nenek Kam sempat pula menetralisir seputaran kami agar cuacanya tetap normal. Tak lama petir menyambar beberapa kali. Jilatan api itu berusaha membelah lapisan es yang menyelimuti kami. Dalam keadaan kalut, aku bingung, apa yang harus kulakukan selanjutnya? Tidak mungkin hanya bertahan seperti ini tanpa melakukan perlawanan. Aku tengah berpikir keras bagaimana untuk melawan kekuatan cairan bara di luar lingkaran es-ku. Mau ke luar dari lingkaran ini, aku tidak yakin. Nenek Kam langsung memecah dirinya menjadi enam. Lalu bayangan-bayangannya duduk melingkar dan berzikir. Aku melakukan hal yang sama. Enam bayanganku ikut duduk melingkar bergabung dengan bayangan Nenek Kam berzikir pula. Lawan kami kali ini tidak bisa dianggap enteng. Aku tidak bisa bayangkan jika tanpa dilindungi lingkaran es yang tebal. Dalam suasana seperti ini, aku khawatir pertahanan es kami akan hancur di sambar petir bertubi-tubi. Jika hancur maka tamatlah riwayat kami.

“Kumbang, segeralah azan sementara yang lain berzikir” Ujarku menyuruh Macan Kumbang segera mengumandangkan azan. Ini adalah cara terakhir setelah rasanya aku kewalahan tak tahu bagaimana caranya melawan hujan bara. Tak lama berselang, Macan Kumbang azan. Suara merdunya menggambarkan jiwanya yang tetap tenang. Macan Kumbang azan dengan suara mendayu-dayu. Indah sekali. Sementara bayanganku dan bayangan Nenek Kam terus berzikir meski tidak sekencang suara Macan Kumbang. Tiba-tiba kami mendengarkan suara gemuruh lebih kencang dari sebelumnya, begitu juga petir menyambar -nyambar seperti kacau. Cahaya seperti tembaga sampai tembus di balutan es yang tebal. Sementara aku masih terus bertahan agar bola es es yang membalut kami tetap kokoh ditambah energi Nenek Kam dan Kamang Depa. Cahaya biru, ungu, putih, kuning, seperti pelangi menaungi langit-langit yang membalut kami. Energi itu muncul dari aluan azan yang dikumandangkan Macan Kumbang. Ini adalah perlawanan terakhir kami setelah aku tidak mendapatkan sela untuk melawan serangan itu. Lambat laun cahaya yang serupa tembaga panas makin pudar. Begitu juga petir yang menyambar makin lama makin jarang. Akhirnya berhenti sama sekali seiring usai azan yang dikumandangkan Macan Kumbang.

Setelah terasa aman bayanganku dan bayanganku Nenek Kam menyatu kembali. Aku segera membuka dan balutan batu es segera. Masya Allah!Aku terkejut bukan main ketika balutan es-ku terbuka, di sekeliling kami berdiri Puyang Pekik Nyaring, Puyang Ulu Bukit Selepah, Eyang Kuda, Eyang Putih, Puyang Purwataka, Putri Bulan, Nenek Ceriwis, Kakek Ghabuk. Mereka berdiri dalam posisi melingkar. Sementara dataran dan tanah liat curam yang semula seperti padang ilalang, berubah menjadi tanah liat kering dan tandus. Langit berubah temaram, bulan sabit masih mengintip. Aku menyapa semuanya sembari menyimpan kekagetanku.

“Alhamdulilah, kalian tidak cedera. Serangan Nogo Emas Segoro mampu kalian tepis. Kami datang ketika melihat serangan maut mereka begitu dasyat sementara kalian tidak dapat melakukan perlawanan selain bertahan” Ujar Puyang Purwaraka. Aku tak mau banyak tanya kecuali tak henti bersyukur. Ternyata kami baru saja lolos dari maut. Dari Puyang Pekik Nyaring kuketahui, jika Nogo Emas Segoro salah satu pegawal kepercayaan Nyi Roro Kidul. Beliau salah satu saudara seperguruan Nini Ratu. Makanya sangat menguasai ilmu sihir dari laut Selatan.

“Mengapa beliau kemari, Puyang jika beliau hidup di dasar laut?” Tanyaku. Rupanya, kata Puyang kebetulan saja beliau sedang melancong ke mari melihat kerajaan muridnya di bukitan dusun Merapi.

“Salah satu kesombongan mereka, kerap kali ingin menguji kemampuan seseorang, seperti yang beliau lakukan pada kalian. Sekarang beliau kabur, dan kembali ke Pantai Selatan. Tidak usah dikejar. Sebab dia tahu, kau murid adik seperguruannya Nini Ratu” Lanjut Puyang Purwataka.

Di tengah jantungku yang masih berdebur kencang, aku berusaha menelisik tujuan utama mencari jejak ke dua orang tua Kamang Depa. Aku segera pamit pada mereka meluncur ke lembah menuju sungai setela instingku mendorong untuk turun ke lembah. Aku terperanga ketika sudah berdiri di sisi sungai yang curam, melihat reruntuhan istana yang tinggal puing. Tidak satu pun kulihat penghuninya. Sejenak aku berpikir apakah ini sihir atau nyata? Oh ternyata efeks pertempuran tadi telah membuat kerajaan mereka hancur. Lalu mana orang tua Kamang Depa? Aku mencium aromanya di sini. Aku segera mengangkat tangan untuk mendeteksi lokasi orang tua Kamang Depa. Ternyata mereka disembunyikan di dalam gua batu di dinding cadas yang pintunya menghadap ke sungai. Gua bunga itu silamkan. Tidak bisa dilihat oleh makhluk astral biasa. Aku segera melakukan kekuatanku untuk menembus dinding gaibnya. Tiba-tiba aku mendengar suara adzan Macan Kumbang berkumandang di lembah. Suaranya menggema sepanjang sungai yang dalam. Ajaib! Perlahan pintu terkuak menghancurkan rantai gaib yang menguncinya termasuk menghancurkan ikatan-ikatan yang membelenggu nenek gunung yang berkurung. Ada enam nenek gunung yang terkurung Selebihnya makhluk-makhluk astral sebagai tahanan yang jumlahnya ratusan. Aku tak tahu, tahanan apa ini. Apa motif penahanan ini. Aku segera melempar seledangku menjadi jembatan menghubungkan dua sisi sungai. Makhluk-makhluk astral berhamburan ke luar, berlari cepat di atas jembatan buatanku. Kamang Depa menyongsong ke dua orang tuanya. Mereka menangis sambil berpelukan. Semua tersenyum menatapnya. Aku merasa lega setelah selendang kutarik kembali. Prok! Prok! Prok! Aku mendongak ke atas bukit di seberang. Kakek Njajau bertepuk tangan sembari tersenyum. Wah! Ternyata lengkap, semua hadir di sini. Setelah berbincang sejenak, dan merasa misi sudah selesai, Puyang Pekik Nyaring menyarankan kami segera pulang. Akhirnya kami semua pulang setelah mengobati beberapa nenek gunung yang kehilangan tenanga. Selanjutnya mereka disuruh pulang ke kampung mereka masing-masing. Dusun Merapi hening kembali. Tak ada lagi rumpun ilalang yang mendesah ketika diterpa angin. Yang ada adalah tanah perbukitan yang tandus, curam hingga ke lembah. Suara air sungai yang mengalir deras, dan bulan sabit menyembul malu di balik awan.

Bersambung…
close