Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 89)


Halimun gunung Kerinci, turun sangat tebal. Namun tak mengurangi semangat kami untuk kembali ke puncak, menemui Datuk Raden Samangga. Aramba, nenek gunung kecil asyik menjelaskan beberapa tempat padaku. Termasuk nama sungai, air terjun ajaib yang ke luar dari dinding cadas.

Aku, Macan Kumbang dan Alif diajak Aramba melalui kampungnya. Katanya kampungnya tidak jauh dengan istana Datuk Raden Samangga. Melihat ekspresinya sangat berharap kami singgah, akhirnya kami sepakat ikut Aramba terlebih dahulu. Padahal kami hendak menemui Datuk Raden Samangga untuk melapor tugas sudah selesai sekaligus pamit pulang.

Aramba, nenek gunung kecil berjalan tidak mau jauh denganku. Sesekali wajahnya tengadah menatapku sambil tersenyum. Anak kecil ini mengemaskan memang. Meski wajahnya kekanak-kanakkan, namun sikapnya lebih santun dan dewasa.

“Aku akan kenalkan kalian semua pada Bapo dan Umakku” Ujarnya semangat. Aku tersenyum menyambutnya. Keinginan mengenalkan kami dengan kedua orang tuanya, sepertinya jadi prioritas utama baginya. Sesekali aku bertanya tentang tempat-tempat tertentu pada Aramba. Aramba menjelaskan dengan senang hati.

Dari kejauhan aku melihat ada lentera kelap-keliling antara pohon-pohon tinggi yang lebat.

“Siapa mereka Aramba?” Tanyaku. Sebab aku bisa pastikan lentera itu bukan dari perkampungan orang rimba atau cindaku.

“Itu anak manusia yang sedang istirahat. Mereka para pendaki” Ujar Aramba. Aku tercekat dibuatnya. Baru aku sadar, gunung Kerinci memang salah satu tujuan para pendaki. Sejenak aku berhenti, menatap mereka dari jauh. Aku hanya ingin memastikan apakah benar mereka para pendaki? Ternyata benar, mereka para pendaki senior meski masih tergolong muda. Aku bahagia sekali melihat mereka. Mereka para mahasiswa. Darah pencinta alamku langsung bangkit.

Waktu sudah dini hari. Sebagian besar para pecinta alam masih meringkuk kedinginan. Ada satu di antara mereka kulihat duduk timpuh di sela-sela temannya yang masih pulas. Dia lelaki muda, usai menunaikan sholat malam. Meski sambil duduk karena tenda mereka memang tidak memungkinkan untuk membentangkan sajadah. Pendaki itu masih berzikir. Tubuhnya bergoyang-goyang seirama gerakan jemarinya menghitung jumlah. Cahaya kekuningan yang memancar dari tubuhnya menembus kabut gunung yang tebal. Sinar zikir yang dilantunkannya seperti menaungi area kemah di sela-sela pohon besar yang ada di area. Entahlah aku sangat bersimpati pada mereka.

Kuhitung ada delapan tenda yang tertutup rapat. Tiap tenda berisi empat orang. Sangat sempit memang. Beberapa makhluk astral hanya memandang dari jauh. Mereka tidak berani mendekat. Apalagi ada suara zikir membuat telinga mereka rasa terbakar. Dari kejauhan banyak juga bangsa nenek gunung melintas. Tapi para nenek gunung berjalan pelan sangat hati-hati sekali seperti berjinjit. Mereka khawatir gerakkan mereka diketahui para pendaki sehingga membuat mereka takut. Para nenek gunung sangat pandai menghargai para pendaki. Insting mereka sangat tajam. Mereka tahu hati yang ikhlas atau hati yang culas.

Aku mengayunkan tangan ke atas, diikuti Macan Kumbang. Kutabur energi agar mereka sehat dan tetap waspada. Esok mereka pasti akan melanjutkan perjalanan kembali. Apalagi medan ke gunung Kerinci ini luar biasa sulitnya. Mereka akan lebih banyak menemui jalan setapak lembab dan licin. Apalagi curah hujan beberapa hari ini cukup tinggi. Meski banyak akar yang menonjol, bagian dari medan yang harus dilalui, namun jika tidak hati-hati bisa tergelincir. Belum lagi jika bersua dengan babi hutan, atau harimau yang berkeliaran. Mendaki gunung Kerinci tidak saja harus sehat, namun juga harus bermental ekstra.

Ketika kami melanjutkan perjalanan, Aramba bertanya padaku. Mengapa aku menaburkan energi pada para pendaki? Mengapa aku begitu perhatian pada mereka? Aku hanya menjawab jika mereka juga manusia, bangsaku. Mereka murni pendaki yang ikut melestarikan alam ini. Mereka para pecinta alam yang datang dari berbagai daerah. Jika kita bisa membantunya mengapa tidak?” Ujarku. Selanjutnya sambil berjalan Aramba bercerita, tentang pendaki yang nakal. Hal itu dia dapat dari cerita Umaknya. Para pendaki yang datang ke mari pernah disesatkan gegara berbuat tidak sopan, melanggar adat. Ketika Aramba bercerita, benakku langsung menuju orang yang dia ceritakan. Benar sekali apa yang dikatakannya. Mereka pendaki amatiran yang sengaja bersenang-senang. Mereka menganggap hutan belantara ini tidak ada makhluk lain kecuali mereka. Mereka adalah remaja putra dan putri, mendaki sekadar untuk jalan-jalan. Sepanjang jalan teriak-teriak, cekakak-cekikik, berpelukan, kadang berciuman sambil berjalan. Karena mereka memang pacaran, sepasang-pasangan. Akhirnya salah satu mereka diambil oleh penguasa gunung Kerinci, selebihnya tersesat di belantara, ditemukan dalam keadaan linglung semua. Sukma mereka di tahan di pegunungan. “Nauzubillah, Astaghfirullah adziim” Aku membatin. Akhirnya kutepis bayangan itu. Aku engan memikirkannya. Untuk menolongnya juga percuma, karena jasad anak-anak itu, sebagian sudah lebur jadi tanah, karena sudah mati.

Setelah melewati sungai kecil, dalam dan jernih, tak lama kami sampai di sebuah perkampungan kecil. Kami tidak melihat sosok bangsa apa pun berkeliaran di kampung ini. Di hadapan kami ada rumah panjang persis kulihat seperti ketika kami baru datang bersama Putri Kerinci. Rumah panggung, bertiang bulat berdiri kokoh dengan kayu-kayu berkualitas. Bentuknya yang unik mirip gerbong kereta api, sambung menyambung antara satu dengan lainnya membuat rumah panjang ini bernilai lebih. Rupanya setiap sambungan berupa jembatan.

Di bawah rumah panjang itu ada beberapa tempat duduk dan juga tempat bermain anak-anak. Selain itu ada kayu-kayu bakar tersusun rapi di tiap bawah rumah panggung. Aku jadi berpikir, dimana dapurnya? Apakah setiap ruang punya dapur masing-masing? Aku sangat penasaran dibuatnya. Tidak terlihat aktivitas memasak seperti di perkampungan gunung Dempu. Di sana aku melihat aktivitas nenek gunung, mereka bersawah, menumbuk padi, punya kolam-kolam ikan layaknya hidup bangsa manusia.

Sekarang kami berempat memasuki sebuah halaman yang luas. Nampaknya halaman ini sering digunakan. Entah untuk apa. Semuanya terlihat terawat. Beberapa benda yang kuanggap kuno tertatah rapi di sudut-sudut. Di sisi tempat terbuka ini kulihat alu berjajar rapi. Di bawahnya ada lesung berupa kayu balok panjang yang berlubang-lubang. Persis seperti rumah Panggung, lesungnya pun panjang. Aku berdecak kagum melihat semuanya.

Sampai di pangkal tangga, Aramba mengubah dirinya seperti manusia. Alif terpekik pelan. Matanya terbelalak melihat keajaiban depan mata. Kutepuk tangannya sambil mengingatkan “biasa saja tidak usah kaget” Aku tahu dalam hatinya ingin bertanya mengapa Aramba, Macan Kumbang, dan aku bisa berubah?

Aramba mengajak kami naik melalui tangga terbuat dari kayu bulat tanpa pegangan sisi kiri kanan. Dalam hati aku mengagumi bangsa ini. Mereka turun naik tangga biasa saja. Melihat warna tangga yang licin nampak sekali tangga ini sering digunakan untuk hilir mudik para penghuni rumah. Herannya, berpuluh rumah bergandengan mengapa tangganya hanya satu ini? Mengapa tidak membuat tangga masing-masing atau ada tangga alternatif lainnya? Setelah di atas, kami disambut sebuah selasar yang cukup luas. Lagi-lagi aku menduga selasar ini satu-satunya tempat mereka berkumpul. Nampaknya para tetamu diterima di sini. Rumah-rumah panjang ini seumpama kamar-kamar pribadi, yang posisinya berhadap-hadapan.

Ada lorong panjang dan jembatan tempat semua penghuni berjalan menuju rumah atau kamar mereka masing-masing. Ukuran lorongnyanya cukup luas. Lebih dari cukup untuk duduk-duduk bercekrama di sana. Di dekat pintu masing-masing, tergantung alat tradisional seperti panah, bubu bulat, jaring, dan lain-lain. Melihat itu aku berpikir kehidupan di sini tidak jauh dengan keluarga besarku dari gunung Dempu.

Nyaris semua pintu kuperkirakan semua terutup. Siapa saja yang menghuni kamar-kamar itu aku tidak tahu. Apakah tiap kamar dihuni oleh satu keluarga? Apakah yang tinggal di sini ada hubungan kekerabatan atau tidak? Aku juga belum paham. Kami disilakan Aramba duduk di lantai beralas rotan. Dia minta izin memanggil orang tuanya sambil berlari kecil. Suara hentakan kakinya membuat rumah panggung sedikit berayun. Baru kasadari, semua sudut balok rumah panggung dipasak dan diikat dengan tali enau.

“Bapo, aku datang bersama Ayuk Putri Selasih” Aramba mendorong pintu rumah pertama. Oh, jadi keluarga Aramba tinggal di kamar nomor satu itu? Sementara di hadapan rumahnya pintunya tertutup rapat. Aku tidak mendengar suara menandakan ada kehidupan. Keherananku membuat keingintahuanku lebih dalam. Kehidupan seperti ini sungguh unik menurutku. Mereka pasti punya alasan mengapa bentuk rumah mereka panjang seperti ini. Dan yang lebih penting lagi adalah kemana semua penghuni kamar-kamar itu?

Aku, Macan Kumbang, dan Alif duduk diam menunggu kehadiran orang tua Aramba. Langkah halusnya terdengar pelan. Derit pintu berbunyi. Kami serentak menoleh. Aku berdiri menyambut sosok lelaki muda sembari menundukkan kepala. Lelaki ini kulihat yang berjalan dengan Aramba beberapa jam lalu. Perawakannya sedang. Senyum ramahnya meneduhkan. Tak lama muncul ibunya. Perempuan ayu berbaju kurung warna salem. Sangat padu dengan tengkulok dan kain yang membalut tubuhnya.

“Maafkan kedatangan kami mengganggu, Sanak. Kami senang berkenan dengan Aramba. Anak kecil yang cerdas dan berani” Ujarku jujur.

“Terimakasih Putri Selasih, Macan Kumbang, dan Alif. Maafkan anak kami. Dia terlalu berani. Terimakasih sudah berkenan singgah di pondok kami. Kenalkan namaku Daman, dan ini istriku Putri Baisya” Ujarnya memperkenalkan diri. Beliau tahu nama kami bertiga. Padahal kami belum berkenalan. Tapi aku memakluminya. Mereka dengan cepat bisa mencari tahu siapa kami. Makanya terlihat akrab dan tidak ada canggungnya.

Kami disilakan duduk kembali. Putri Baisya, yang dipanggil Umak oleh Aramba, duduk bersebelahan denganku. Selintas sepasang orang tua yang masih muda ini bercerita tentang Aramba. Aramba suka berkelana sendiri. Dia anak yang tidak betah main di dalam rumah. Selalu ingin bersahabat dengan orang yang lebih dewasa. Dia jarang sekali bermain dengan anak sebayanya. Aramba Termasuk anak pemberani. Karena keberaniannya kerap kali membuat kedua orang tuanya khawatir.

Tidak berapa lama, setelah berbincang seperlunya, kami mohon diri. Orang tua Aramba berusaha menahan kami agar berdiam agak lama. Setelah dijelaskan baru beliau menerima.

“Jarang sekali kami mendapat tamu dari luar, Putri Selasih. Merupakan kebanggan tersendiri bagi kami bisa berkenalan dengan kalian Macan Kumbang, Putri Selasih, dan Alif. Singgahlah kalian ke mari kapan saja” Ujar Daman, Bapak Aramba. Kami mengangguk berbarengan.

Melihat kami hendak bangkit, Aramba berniat hendak ikut. Tentu saja dia langsung dihalangi Bapo dan Umaknya.

“Putri Selasih masih banyak tugas, Aramba. Nanti kapan-kapan Putri Selasih kita ajak lagi ke mari. Biar Bapo dan Umak yang menjemputnya. Untuk saat ini, izinkanlah beliau menghadap Datuk dulu” Ujar Daman menatap Aramba. Meski dengan ekspresi berat, Aramba menggangguk sambil bersembunyi di balik gaun ibunya.

Akhirnya kami pamit melanjutkan perjalanan. Dalam hati aku berjanji suatu saat aku akan ke mari untuk bertemu Aramba, mengajaknya berkelana menyisir gunung dan bukit Sumatera.

Kami bertiga kaget ketika baru masuk pintu gerbang istana Datuk Raden Samangga ditabur beras kunyit dan percikan air tepung tawar. Beberapa sesepuh sembari bergumam mengucapkan mantra, seperti melakukan gerakan tari berkeliling-keliling di hadapan kami. Aku bingung harus melakukan apa? Apakah harus ikut menari, berhenti berjalan atau terus berjalan tak peduli? Aku menoleh ke kanan ke kiri berharap ada yang mberi petunjuk apa yang harus kami lakukan.

Gerakan tari mereka patah-patah seperti elang terbang dengan tangan terbentang, kadang miring ke kiri kadang ke kanan. Yang menari lelaki, namun gerakkannya sangat lincah. Aku jadi bingung menerka hitungan setiap gerakkannya. Mirip seperti gerakan kuntau, indah, lembut namun mematikan. Mulutnya yang merah karena makan sirih, terus menyenandungkan irama mantra-mantra. Matanya sedikit terpenjam. Nampaknya penari ritual ini sangat menghayati setiap gerakannnya.

“Apa yang harus kita lakukan, Kumbang” Aku membatin pada Macan Kumbang. Dia juga nampak bingung harus melakukan apa. Sementara Alif sesekali mengikuti gerakan penari sambil tersenyum ke sana kemari. Aku senyum-senyum menatapnya.

Untung tidak terlalu lama, penari seakan memberikan ruang untuk kami melanjutkan perjalanan menuju pelataran tempat Datuk Raden Samangga, Putri Kerinci dan yang lainnya menunggu. Rupanya ini adalah sebuah ritual sambutan kepada mereka yang dianggap pahlawan.

“Masya Allah, kita dianggap pahlawan, Selasih” Ujar Macan Kumbang antusias.

“Wew..jangan sombong, siapa yang dianggap pahlawan? Macan Kumbang? Jangan salah perasaan yey” Aku sengaja mengejeknya. Hasilnya punggungku kena cubit. Sambil menahan perih aku terus berjalan pura-pura tidak terjadi apa-apa. Apa yang dikatakan Macan Kumbang sebenarnya benar. Kami dianggap pahlawan. Ritual ini adalah penyambutan istimewa. Sebuah penghormatan yang luar biasa menurutku. Seakan-akan apa yang sudah kami lakukan sebuah perjuangan besar dan sangat berjasa.

Rupanya tidak cukup sampai di situ saja, setelah dekat pelataran, kami disuruh berhenti. Tak lama Datuk Raden Samangga turun. Di tangannya membawa sebuah mangkuk kecil berisi air bening. Setelah dekat, beliau merunduk, jongkok, lalu mengusap kedua belah kaki kami. Aku merasakan sesuatu yang berlebihan. Namun karena ini adalah tradisi, akhirnya aku memilih diam dan pasrah.

“Terimakasih, Putri Selasih. Kau telah menyelesaikan masalah besar negeri ini. Sudah lama kami menyimpan gelisah atas musibah yang menimpa para cindaku semoga untuk selanjutnya tidak terjadi lagi. Meski wilayah hutan lindung makin kecil, namun tidak terjadi gesekan kembali dengan bangsa manusia” Ucap Datuk Raden Samangga diaminkan Puyang Pekik Nyaring dan lainnya. Setelah itu, kami baru dibimbing masuk ruangan. Kembali aku terkagum-kagum. Ternyata penyambutan kami belum selesai. Datuk Raden Marangga, baru melakukan pembersihan seperti membasuh kaki kami bertiga. Sampai di ruangan kami disambut ambk tebal dan diapit oleh perempuan-perempuan separuh baya dengan pakaian adat, baju kurung dan kain batik, beserta bertengkuluk tinggi. Di pinggang kanannya mereka bertengger semacam bakul yang ditutup kain beludru biru tua. Entah apa isinya aku tidak tahu. Lalu kami disuruh duduk, bakul-bakul yang tertutup di letakkan di hadapan kami masing-masing. Batinku segera ingin tahu apa isi bakul cantik itu. Rupanya ‘ramuan’ sirih lengkap. Ada sirih, buah pinang, gambir, kapur sirih, lilin lebah untuk pelembab bibir. Di tata sedemikian rupa.

Aku melirik pada perempuan-perempuan cantik yang menyuguhkan minum di cangkir warna keemasan. Semuanya mengenakan pakaian adat. Baju kurung berkain sarung batik, satu setel dengan tengkuluknya yang diikat mengembang. Mereka berjalan sopan di hadapan kami.

Lagi-lagi aku ngobrol dengan Macan Kumbang melalui batin.

“Aku bingung, acara apa ini. Mengapa kita disambut dan diperlakukan seperti raja” Ujarku.

“Iyalah, kamu kan Ratu. Makanya disambut seperti ini. Masak tidak sadar si kalau kamu itu Ratu? Sepantasnya memang demikian” Jawab Macan Kumbang. Aku terdiam mendengar pernyataannya. Meski dalam hati aku ingin protes. Aku tidak suka diperlakukan berlebih-lebihan seperti ini.

Nenek Ceriwis dan Nyi Ratih asyik ngobrol. Kadang-kadang mata mereka menatap padaku. Lalu menatap pada Alif. Aku pura-pura tidak memperhatikannya. Yang jelas semua mata tertuju pada kami bertiga. Entah apa yang mereka obrolkan

Ketika aku sedang asyik menikmati suasana dan membaca-baca rangkaian acara, tiba-tiba dari sebelah kanan ruangan masuk dua orang hulubalang. Di tengahnya ada Putri Kerinci membawa sesuatu. Di belakangnya gadis pengiring berjalan santai dengan wajah tersenyum. Lain daerah lain pula tradisi budayanya. Aku melihat di puncak Kerinci ini memiliki budaya yang tinggi. Desain mahkota yang dikenakan Putri Kerinci, kecil namun memiliki nilai tinggi. Aku menyebutnya sunting. Entah kalau di sini apa namanya. Namun pernak-pernik yang menghiasianya semua mengadung filosofi. Cermin alam gunung Kerinci.

Sejenak kuperhatikan mirip-mirip sunting Minang, namun pernak-perniknya mirip sunting Palembang. Dua kebudayaan berbaur menjadi satu saling mengisi dan menguatkan. Senyum Putri Kerinci mengembang. Cantik sekali. Seseorang menyuruh kami berdiri dan turun dari tempat duduk yang memang tempatnya agak tinggi. Kami bertiga turun. Aku di suruh berdiri paling depan. Di belakang kiri kananku Macan Kumbang dan Alif.

“Hari ini, kita kedatangan tamu dari jauh. Beliau Putri Selasih, Ratu dari kerajaan Timur Laut Banyuwangi. Beliau adalah cucu kandaku Pekik Nyaring dari Merapi Gunung Dempu. Di sampingnya ada Macan Kumbang, cucu Kandaku Pekik Nyaring dari bangsa cindaku, dan satu lagi Alif, santri dari tanah seberang, telah kuangkat menjadi muridku. Mereka bertiga telah membantu menyelamatkan bangsa kita dari tangan-tangan bangsa manusia yang tidak bertanggujawab. Beliau telah menyadarkan saudara kita Orang Rimba, untuk kembali menjaga sisa rimba kita yang makin sempit. Untuk itu, sepatutnya secara adat kita ucapkan terimakasih pada mereka bertiga, terutama pada Putri Selasih yang telah memimpin misi ini dengan mulus, tanpa memunculkan pertikaian dan permusuhan” ucap Datuk Raden Samangga. Selanjutnya beliau dibantu beberapa orang tokoh adat, mengambil apa yang dibawa Putri Kerinci. Rupanya pakaian adat. Sekali gerak, aku telah mengenakan pakaian baru tanpa harus melepas pakaian sebelumnya. Demikian juga Macan Kumbang dan Alif. Alif menjerit tertahan saking kagumnya.

Selanjutnya salah satu tokoh adat menyoletkan air berwarna kuning mirip kunyit ke kening kami sebelum dipakaikan tengkolok dan ikat kepala. Aku tidak bisa bayangkan bagaimana warna wajahku saat ini. Semuanya seperti mimpi tiba-tiba serasa diangkat menjadi Ratu baru. Sebuah penghargaan yang luar biasa dari sebuah kerajaan di atas awan, puncak Kerinci yang terkenal penuh misteri.

Kami bertiga diajak berjalan menuju sebuah panggung yang tidak seberapa tinggi. Di sana telah menunggu beberapa orang, sesepuh adat. Mereka tersenyum menunggu kami yang berjalan pelan. Iringan musik tradisional mirip tabuhan syalawat Melayu, domimanan suara gendang. Setelah sampai, kami ikut berhenti bejalan dan tetap beridiri di tempat. Kami diambil dengan wewangian berupa asap yang dikelilingkan seseorang ke arah kami. Tak lama salah satu sesepuh adat mendekati kami bertiga, sembari menyerahkan sesuatu. Aku terima pemberiannya sembari menundukkan badan. Rupanya, semacam lencana lambang kerajaan. Lencana ini sebagai pengenal keluarga besar kerajaan. Artinya siapa pun yang memakainya, maka dianggap keluarga kerajaan. Lencana ini tidak sembarangan diberikan. Ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh penerima di antaranya harus berhati bersih, paling berjasa, dan siap untuk melaksanakan amanah, yaitu menjaga nama baik kerajaan.

Usai mengikuti rangkaian rirual, kami bertiga dijamu untuk menikmati berbagai macam hidangan khas Kerinci. Aku segera mencicipi padi pulut yang dibungkus dengan daun kecil-kecil, mirip daun waru. Rasanya khas sekali. Ketan dan santan kental, beraroma daun.

Di sudut panggung, sekelompok penghibur menyanyikan lagu-lagu daerah bernuansa religi dan syalawat. Suasana sungguh hangat dan gembira.

“Nyi, sepantasnya kita pun melakukan hal yang sama untuk mereka yang telah berjasa dengan kerajaan. Kita bangkitkan kembali seni tradisional kita, kemas menjadi seni yang berbungkus religi. Kita harus punya lembaga adat yang menanggapi hal seperti ini” Ujarku. Nyi Ratih yang duduk di belakangku langsung mengangguk. Dia berjanji akan mewujudkan keinginanku. Kami melanjutkan kembali meminum minuman hangat beraroma kayu manis dan madu. Perpaduan minuman yang baru kali ini pula kutemui. Ada juga aroma air kopi dihidangkan di atas meja yang mereka sebut ‘air kawo’. Kuliner malam ini semakin nikmat ketika putri Kerinci menyodorkan gelamai kentang pada kami yang dibungkus daun sebesar jempol sama besar dan panjang.

***

Suasana yang sedikit ramai tak mengurangi kekhusukan acara adat ini. Ternyata tradisi ini disakralkan. Menurut Datuk Raden Samangga, dalam sejarah kerajaan, ini kali ketiga mereka memberikan penghargaan. Pertama pada Tengku Daramba Ahmad, pendekar sekaligus pengelana berasal dari perbukitan Aceh. Beliau pernah menyelamatkan para cindaku yang terjebak karena penebangan hutan besar-besaran ketika bangsa manusia membuka lahan kebun sawit di punggung bukit Barisan dari Jambi, Riau, hingga Sumut. Tidak sedikit para cindaku yang mati di bantai dan kelaparan.

Penghargaan ke dua diberikan pada Datok Galoh Kartada. Beliau seorang pangeran dari Malaka. Beliau sama dengan Tengku Daramba Ahmad, suka berkelana keliling Nusantara. Beliau mendapatkan penghargaan karena menyelamatkan Dusun Dalam dari marabahaya. Puluhan bangsa cindaku beliau selamatkan dari bencana tanah longsor karena bukit di hulu Dusun Dalam telah gundul. Dengan kemampuannya, dia pindahkan Dusun Dalam ke dinding cadas yang seperti tembok raksasa menghadang sungai di rimba selatan. Dan terakhir, adalah kami bertiga, pun ada kaitannya dengan penyelamatan bangsa cindaku.

Mereka yang hadir di ruangan ini semua terlihat asyik bercerita. Malam ini seperti malam pertemuan karena banyak tokoh yang nampaknya sudah lama tidak berjumpa dan jadi ajang melepas rindu. Tidak sedikit yang menghampiri kami bertiga mengenalkan diri. Mereka ramah-ramah. Wajah mereka polos menggambarkan keikhlasan dan kebersihan batinnya.

Aku duduk berseberangan dengan Puyang Pekik Nyaring. Dulu ketika aku masih kecil, biasanya aku akan duduk di samping beliau, bahkan sambil tidur-tiduran. Beliau persis seperti dua kakekku Haji Majani dan Haji Yasir. Penyayang, lembut dan perhatian. Sekarang aku sudah dewasa. Aku menjaga diri untuk tidak menampakkan jika aku ingin tetap dimanja. Kata Macan Kumbang, aku harus tahu diri, karena aku bukan anak kecil lagi. Tidak boleh ‘nggelendot’ seperti dulu. Malu!

Sembari duduk dan minum, Puyang Pekik Nyaring kembali memberikan petuahnya. Sejatinya petuah itu beliau tujukan padaku. Tapi semua menjadi penyimak.

“Senjata yang paling mulia dalam hidup ini adalah ikhlas. Apa pun yang kita terima, ikhlaskan. Sebab, ketika kita berada dalam kesulitan, senjata yang paling mulia adalah ikhlas. Sebab jika batin kita ikhlas dalam menerima segala macam yang terjadi dalam hidup ini, lalu yakin jika semuanya berasal dari Allah SWT, artinya kita belajar menyadari siapa diri kita sebagai hamba. Maka tidak ada yang patut kita sombongkan. Jagalah segumpal darah dalam dada kita. Sebab segumpal darah itulah kelak akan memberi warna, hitam apa putih” Lanjut Puyang Pekik Nyaring. Yang hadir mengangguk-angguk membenarkan.

Usai berbincang-bincang cukup lama, akhirnya kami izin pulang. Meski Datuk dan Putri Kerinci tetap menginginkan aku untuk tetap tinggal barang beberapa hari. Aku bukan tidak ingin berlama-lama, tapi ada tugas lain diriku sebagai manusia biasa. Aku harus mempersiapkan diri untuk melanjutkan studiku. Aku juga harus membantu Bapak dan Ibu mengolah buah kopi untuk dijual bakal ongkos dan pembayaran pendaftaran kuliahku. Aku akan pulang ke Seberang Endikat barang beberapa hari.

Puyang Pekik Nyaring dan Nenek Ceriwis pulang lebih dulu setelah memberikan beberapa nasehat padaku. Nyi Ratih dan seorang ponggawa juga pulang setelah Puyang Pekik Nyaring dan Nenek Ceriwis pergi. Aku berjanji dua hari lagi akan pulang melihat Timur Laut Banyuwangi. Kini giliran kami meninggalkan puncak Merapi gunung Kerinci.

“Datanglah ke mari, kapan saja kalian suka Putri Selasih, Macan Kumbang, dan Alif. Pintu gerbang Merapi akan selalu terbuka untuk kalian. Sebelumnya Datuk mohon maaf jika sewaktu-waktu Datuk memanggilmu, Selasih.” Kata Datuk Raden Semangga sambil menatapku.

Aku mengangguk takzim. Siapa yang tega menolak permintaan orang tua yang berwibawa ini? Sikap santunnya yang hangat cukup menjadi alasan untuk selalu ingat padanya.

Kami bertiga diantar beliau sampai di perbatasan. Lambaian tangan Datuk Raden Samangga dan Putri Kerinci serupa pucuk-pucuk sawit diterpa angin. Aku menoleh sejenak sambil membalas lambaian tangan mereka.

“Kutunggu kehadiranmu kembali, Putri Selasih!” Teriak Putri Kerinci.

Aku mengangguk dari jauh. Angin segera membawa kami melintasi bukit, gunung, dan lembah. Aku hanya berdiri diam. Sementara Macan Kumbang dan Alif asyik bercerita. Mereka berdua nampaknya sangat cocok. Bicara soal agama, keilmuan, tirakat, dan lain sebagainya keduanya nyambung.

Belum berapa jauh melaju di atas bukit perbatasan Jambi, tiba-tiba aku melihat seberkas cahaya putih seakan sengaja menghalangi perjalanan kami. Beberapa kali angin kusuruh berjalan pelan untuk menghidari cahaya putih itu. Akhirnya perjalanan kuhentikan sejenak dan memperhatikan sumber cahaya. Apakah ini sama seperti peristiwa sebelumnya? Cahaya itu berasal dari kekuatan-kekuatan para makhluk astral yang hendak meyerangku.

“Bantulah kami Anak Gadis, aku tahu hanya kau yang bisa membantu” Suara gaib tanpa wujud.

Ini untuk ke sekian kalinya aku menemukan hal di alam gaib ada gaib. Macan Kumbang dan Alif ikut menyimak interaksiku.

“Maaf, saya sedang berbicara pada siapa? Mengapa hanya suara saja, saya tidak bisa melihat wujud Anda. Mengapa tidak menampakkan wujud?” Ujarku tetap fokus pada suara.

Batinku berusaha menembus untuk mengetahui dari mana sumber suara itu. Suara itu asalnya sangat jauh.

“Aku Raden Asmaga Garung. Aku pengawal Datuk Baginda Raden Sudan Malingga. Kerajaan kecil di lereng Bukit Barisan yang menghadap ke laut lepas Samudera Hindia. Aku tidak bisa mewujudkan diri Anak Gadis. Alam kita berbeda” Ujarnya lagi.

“Saat ini aku bukan di alam nyata, Datuk. Mengapa berbeda?” Ujarku penasaran.

Akhirnya aku, Macan Kumbang dan Alif duduk sejenak demi mendengarkan bersama. Nampaknya masalah yang ingin diceritakan beliau cukup serius.

Cahaya yang menghadang kami tiba-tiba berhenti. Beberapa makhluk astral menatap tajam pada kami. Tapi aku tidak peduli. Aku fokus pada suara gaib itu.

“Panjang sekali ceritanya, Anak Gadis untuk menjelaskannya padamu. Namun yang jelas, ribuan tahun yang lalu, di lereng bukit Barisan di tanah leluhur ini berdiri salah satu kerajaan yang dipimpin Datuk Raden Sudan Malingga. Suatu hari kerajaan kami diserang tiba-tiba oleh kerajaan kecil dari tanah Minang. Mereka berasal dari kerajaan kecil yang terusir di tanahnya sendiri. Kerajaan Barareh namanya. Karena diserang tiba-tiba, banyak rakyat kami yang tewas dalam serangan itu. Sementara aku dan Datuk Raden Sudan Malingga, mereka tahan. Selama ribuan tahun dalam tahanan, dalam keadaan terpasung, kami berdua melakukan tapa. Sebab hanya itu yang bisa kami lakukan. Hingga akhirnya kami mencapai puncak tapa, kami lepas dari tahanan dan pindah ke lain alam”. Ujar Raden Asmaga Garung. Ada perasaan berat meski beliau sampaikan dengan santai.

Wuuuuuusssttttt!!

Tiba-tiba angin kencang berputar mengelilingi kami. Alif nampak kaget melihat fenomena itu. Tubuh kami serasa terdorong. Alif menoleh ke sana ke mari mencari pegangan. Aku segera menjaga keseimbangan kami bertiga. Sebelum aku menyadari suasana, Datuk Raden Asmaga Garung mengingatkan aku agar hati-hati karena angin yang berputar sengaja dikirim dari kerajaan Barareh.

Aku segera mencari arah angin. Sebelumnya aku berjanji pada Datuk Raden Asmaga Garung akan melaksanakan permintaan beliau mengembalikan kerajaannya dan mengumpulkan rakyatnya yang terpasung. Aku berjanji akan mencari rakyatnya yang mungkin masih tersisa.

Kami bertiga nyaris tumbang gegara terpaan angin kencang. Luar biasa. Angin ini dikendalikan dari tempat yang sangat jauh. Aku akui yang mengendalikannya pasti sosok sakti. Sebab tidak semua makhluk memiliki kemampuan menyerang dari jarak yang sangat jauh. Entah berapa mil dari sini.

“Baiklah, akan kulayani dulu serangan ini Datuk. Aku ingin tahu apa maksudnya. Yakinlah, aku akan bantu Datuk. Aku berjanji” Jawabku sambil melompat tinggi.

Aku segera melakukan gerakan berputar. Angin yang mengelilingi kami kubuat berlawanan arah. Akibatnya angin sekitaran kami seperti diaduk. Kulihat Macan Kumbang dan Alif duduk diam tidak melakukan apa-apa. Nampaknya mereka berdua tengah membaca situasi kapan harus melakukan tindakan.

Usai mengaduk angin, aku segera mengembalikan angin ke arah sumbernya. Kukerahkan kekuatan badai mendorong angin seperti gumpalan bukit. Tak lama suara menderu seperti hendak mengangkat bebatuan cadas yang berdiri kokoh sepanjang lereng mirip seperti lukisan itu. Aku berusaha menahan rumpun-rumpun bambu agar tidak rebah dan patah. Suara berderit batang bambu saling gesek mengingatkan aku roda gerobak sapi yang membawa beban berat meniti jalan berbatu.

Hiiiiiaaaat!!

Aku mengirimkan pukulan balasan ketika tiba-tiba dari arah berlawanan seberkas cahaya kembali melintas. Aku mulai serius dan waspada sembari mengingatkan Macan Kumbang dan Alif untuk berhati-hati. Lawan kali ini bukan lawan biasa. Ilmu jarak jauhnya mirip dengan ilmu sahabat Puyang Pekik Nyaring, Opung Gorodo dari Sibolga. Lelaki petapa yang bertingkah aneh.

Ternyata, kekuatan yang kukirimkan balik, cukup membuat seputaran bukit Barisan bergetar. Beberapa kali deru angin seperti hendak mengangkat semua isi bumi. Kilatan-kilatan energi mulai menghiasi langit. Aku sudah tidak berpikir panjang kecuali ingin tahu sosok yang menyerangku. Dia harus kutarik dari tempat persembunyiannya meski jaraknya sangat jauh. Rasa ingin tahuku mendorong untuk segera menyelesaikan pertempuran jarak jauh.

Aku kembali duduk timpuh menghimpun kekuatan baru. Kukerahkan beberapa ilmu Besemah dan Timur Laut Banyuwangi.

“Mau apa kau Selasih”

Macam Kumbang sedikit kaget. Sebab mamang tidak lazim memadukan dua kekuatan dari asal yang berbeda. Tapi aku yakin, dua kekuatan ini bisa dipadukan. Sebab yang merasakannya aku. Dan ini kesempatan bagiku untuk membuktikannya.

Aku tahu Macan Kumbang pasti tidak menyangka jika aku melakukan hal ini. Di tengah kegalauannya dia ajak Alif untuk berzikir. Aku melihat bahasa tubuhnya sedikit cemas. Macan Kumbang pindah posisi duduk di belakangku. Kuakui, adik bujang Nenek Kam satu ini sangat setia. Aku tahu dia tengah berusaha menjaga dan melindungiku. Alif juga terlihat sedikit bingung. Akhirnya dia pilih duduk di samping Macan Kumbang lalu berzikir sesuai saran Macan Kumbang. Kulihat ekspresinya lebih parah dari Macan Kumbang. Tidak hanya gelisah, tapi ekspresinya sedikit pucat pertanda dia sedang tegang.

Sejenak kupejamkan mata. Aku fokus pada dua kekuatan yang akan kupadukan. Doa dan mantra telah kubaca cepat. Tidak lama dari tanganku keluar gelombang warna biru bercampur warna putih. Dua warna itu berbaur menjadi satu. Gelombang warna putih lambat laun berubah menjadi biru muda. Selanjutnya gelombang itu seperti anak panah meliuk-liuk menuju sumber kekuatan yang menyerangku. Kemudian kuangkat tanganku tinggi-tinggi. Kekuatan langit kuikutsertakan pula pada gelombang yang meluncur cepat itu.

“Allahu Akbar!”

Aku mendorong ke depan.

Tak lama, gelombang cahaya itu sampai pada tujuan. Kekuatan langit kukerahkan menarik sosok yang bersembunyi itu.

Tarik menarik pun terjadi. Sosok yang kutarik memberontak melakukan perlawanan. Aku mengubah cahaya menjadi bergulung sehingga sosok misterius itu tidak bisa menolak lagi. Cahaya putih dan biruku kuubah menjadi bergelombang. Tubuh misteriusnya menjadi terhentak-hentak sambil terus kuseret.

Ternyata upaya menyeret sosok misterius dengan cara menghentak-hentakannya itu berhasil. Dia tidak sempat untuk fokus memusatkan kekuatan atau membaca mantra-mantra. Angin yang bergulung kusuruh mengacaukan konsentrasinya agar tidak fokus pada perlawanan. Beberapa kali dia nyaris berhasil menjebol pertahananku dalam mengolah kekuatan dan angin. Aku tahu di tengah usahanya menyelamatkan diri dia juga tengah berusaha untuk melihat kelemahanku. Tapi dia selalu gagal. Caranya yang licik mengamatiku dari tadi tidak lain untuk mempelajari tiap gerak-gerikku. Rasa penasaranku makin menjadi ingin segera melihat sosok yang hebat ini.

“Huuuuuaaaah siapa kau Anak Gadis! Ribuan tahun aku melanglangbuana di belahan Nusantara, bahkan belahan dunia. Aaaghhhh…kurang ajar!”

Suara sosok misterius itu berusaha melepaskan tarikanku. Tarik menarik pun terjadi. Kuakui kekuatannya luar biasa. Nyaris aku kehabisan nafas menahan tenaganya.

“Hiiiiiaaaat!!” Aku kembali mengirimkan kekuatan langit.

Suara orang misterius makin ‘nyeracau’ karena merasa aku mampu mengimbanginya.

Angin terus menggulung dan menarik tubuhnya semakin kencang. Gemuruh seperti suara petir dan guruh memercikkan cahaya api di beberapa tempat. Macan Kumbang membantu Alif untuk bertahan menahan efek dua energi yang saling beradu.

“Huuuuaagh. Uuhh..aaggh. Hanya kau yang mampu mengalahkan aku perempuan kunti! Hanya kau yang berani menantangku. Siapa kau! Akulah yang paling hebat di tanah Sumatera ini. Bahkan Nusantara. Tidak ada yang mampu mengalahkan aku”

Sosok itu masih juga nyeracau. Padahal beliau sudah tersungkur tidak jauh di hadapanku. Tapi masih saja mengatakan dirinya yang paling hebat.

“Iya, makanya Datuk saya tarik, karena saya ingin tahu siapa Datuk yang hebat. Pasti tidak mudah untuk bisa bertemu dengan Datuk” Ujarku sedikit membuatnya tidak merasa dikalahkan.

Namun aku tetap waspada. Siapa tahu ini hanya salah satu strategi melemahkan lawan.

DuuARRR!!

Suara ledakan kencang sekali. Rupanya kekuatan sosok misterius beradu dengan kekuatan Macan Kumbang. Macan Kumbang berhasil menghalangi serangan sosok misterius yang hendak menjegalku diam-diam.

Tak lama aku mendengar erangannya. Nafasnya sedikit tersengal. Pukulan yang dikirimkan Macan Kumbang nampaknya telah melukainya.

“Iih…ada juga anak muda yang mampu menolak pukulanku. Murid siapa kau! Ribuan tahun, belum ada yang mampu mengalahkan pukulanku satu ini. Aduh! Sekarang aku terluka. Iiihh…sakit sekali” Suaranya sedikit bergetar.

Tapi aku heran, nada suara itu seperti main-main padahal apa yang dilakukannya nyawa taruhannya. Ilmu yang dia lakukan bukan ilmu biasa. Tapi ilmu tua yang hanya dimiliki oleh beberapa orang saja. Bisa jadi hanya dia yang memiliki, melihat usianya sudah ribuan tahun lamanya.

Macan Kumbang membuat satu gerakan cepat. Sosok misteri diikatnya dengan cepat. Seluruh tubuhnya sekarang tidak bisa bergerak.

“Aduh! Hebat sekali kau anak muda, kau berhasil mengikatku. Sialan! Ternyata banyak yang hebat di muka bumi ini. Masih muda-muda lagi. Ribuan tahun aku berjuang mempelajari berbagai ilmu. Hingga renta seperti ini masih juga tak henti mencari. Sekarang, kamu mengalahkan aku. Ah! Sialan!” Suaranya kembali menceracau.

Antara ingin tertawa dan marah campur aduk menjadi satu. Bagaimanan tidak, dalam suasana seperti ini beliau masih saja berbicara datar seperti main-main. Padahal dirinya sudah tidak bisa bergerak, jika saja aku atau Macan Kumbang membunuhnya, maka dia tidak bisa apa-apa. Tapi mendengar suaranya yang datar, membuat emosi kami pun datar juga.

Huup!!!

Aku melakukan gerakan menarik tubuhnya. Aku kaget, tubuh misterius yang tidak terlalu besar itu seperti lengket. Tidak bisa digerakkan sama sekali. Pahamlah aku beliau masih sempat menggunakan ilmunya. Aku menotok beberapa bagian tubuhnya agar dia tidak bisa menggunakan kemampuannya lagi. Termasuk niatnya hendak melenyapkan diri dari pandanganku. Orang aneh ini memang pandai membuat lawan terkecoh jika tidak jeli.

“Aiii…aiii..aiii…anak Gadis, kenapa kamu totok aku. Hebat juga rupanya kamu ya. Kamu tahu rupanya jika aku ingin lenyap dari pandangan kalian. Jeli sekali instingmu. Tapi aku tidak suka, aku benci denganmu. Meski berbeda aliran, tapi kehebatanmu sama dengan kekuatan Nini Pelet dari Merapi” Lagi-lagi orang aneh ini tidak risau. Malah beliau menyebut Nini Pelet, tokoh antagonis yang pernah kudengar di drama radio.

“Siapa Nini Pelet itu, Datuk. Istrimu?” Ujarku memancingnya.

“Aaah..tidak! Aku tidak sudi beristrikan perempuan dari gunung Merapi itu. Meski kami sama-sama dari alam kegelapan. Dulu, ketika dia masih muda, masih tinggal di gunung Merapi Sumatera Utara, banyak yang tengila-gila padanya. Termasuk juga aku”

“Tetapi Nini Pelet menolak cinta Datuk, bukan?” Sengaja aku memotong pembicaraannya.

“Aah! Tidak! Bukan itu. Justru aku jatuh cinta pada Putri Hijau dari Toba. Mengetahui aku tidak mengejarnya, Nini Pelet marah. Dia hendak membunuh Putri Hijau. Akibatnya, banyak yang marah pada Nini Pelet, termasuk gurunya. itulah salah satu penyebab mengapa Nini Pelet terusir dari tanah Sumatera. Bahkan selamanya. Sebab jika dia kembali menginjakkan kaki di tanah Sumatera ini, maka dia akan mati. Dia itu tukang onar makanya disumpah demikian” Sambung orang aneh ini santai tanpa beban. Dia lupa jika tubuhnya terikat dan sedang berbicara dengan lawan. Tapi dengan santainya dia bercerita seperti dengan teman.

Haaap!

Sekejap mata, tubuhnya sudah berada di hadapanku.

Dia kaget. Lagi-lagi dia ‘nyeracau’ menyesali diri kalah cepat denganku.

“Aduh! Aduh! Aduh! Anak gadis! Cepat sekali gerakanmu. Sampai-sampai aku tidak merasakan sedikitpun angin gerakkanmu. Masih muda, cantik, berilmu tinggi pula. Coba kalau aku masih muda, akan kulayani bagaimana pun bentuknya ilmumu. Sekarang aku sudah tua, kena totok pula. Aku tidak bisa menggunakan ilmuku. Sudah kau kunci di mana-mana. Ternyata kamu cantik-cantik curang juga, Anak Gadis.” Ujarnya lagi. Sambil berbicara, dia sebarkan hawa racun dari mulutnya. Jika terhirup maka kita akan dibuatnya mengantuk berat lalu tertidur entah berapa lama. Aku ayunkan selendangku menyedot semua racunnya.

“Justru ini kulakukan karena Datuk sangat pandai memancing untuk mengalihkan perhatian lawan. Yang curang itu datuk. Bukan saya” Ujarku masih sambil memperhatikan wajahnya. Lelaki bertubuh kerempeng, matanya cekung. Tulang pipinya menonjol tinggi sekali. Lama-lama aku jadi gemes juga melihat tingkahnya yang santai. Tapi batinku mengatakan, aku tidak boleh terpancing emosi. Justru harus sama bersikap santai sepertinya.

Melihat orang tua terikat, terbujur tanpa bisa bergerak, muncul juga ibaku. Aku berusaha mendudukkannya cukup dengan gerakan mata. Tak lama Beliau terduduk meski masih dalam posisi terikat.

“Wow..wow..wow…ilmu apa ini, Anak Gadis? Aku bisa duduk nyaman”

Dia tertawa lebar sangat santai. Padahal dia sedang berhadapan dengan kami yang dianggapnya musuh. Tapi beliau masih seperti berhadapan dengan sahabat bahkan terkesan mengajak main-main. Tapi jika ada kesempatan dia melakukan penyerangan. Serangannya mematikan.

“Datuk yang hebat, sakti, ‘pandeka’ tak ada lawan di Nusantara bahkan belahan dunia. Siapa Datuk sebenarnya? Benarkah Datuk berasal dari kerajaan Barereh dari tanah Minang?” Aku mengembalikan kata-katanya yang menyebutkan dirinya hebat. Kepalanya mengangguk-angguk.

“Iya, aku memang pendekar tidak ada lawan. Tapi sekarang aku tidak bisa menggunakan ilmuku gara-gara bertemu dengan Anak Gadis hebat seperti Mak Lampir dan Nini Pelet ketika muda. Cantik dan sakti!” Sambungnya lagi.

Jika tadi menyebutku seperti Nini Pelet sekarang bertambah pula dengan Mak Lampir. Aku pusing dibuatnya.

“Datuk, apa hubungannya dirimu dengan kerajaan Datuk Raden Sudan Malingga. Dimana kau penjarakan rakyatnya. Mengapa kau merampas kerajaan itu?” Sekarang Macan Kumbang gantian bertanya.

Bibir orang misterius itu mencibir.

“Ganteng aku dari pada kamu. Dulu waktu aku muda banyak yang mengejar-ngejar aku mengharapkan cintaku” Ujarnya. Lain yang tanya lain pula yang dijawab. Rupanya dia tidak suka jika lelaki yang mengajaknya berbicara.

Macam Kumbang sudah mulai mau marah. Apalagi melihat lirikkan matanya meremehkan.

“Datuk pendekar hebat, saya mau tanya. Apakah rakyat kerajaan Datuk Raden Sudan Malingga masih ada yang hidup? Dimana mereka? Mengapa Datuk merampas kerajaannya? Padahal kita sama-sama dari tanah Perca” Ujarku mulai serius.

Sosok aneh ini mulai tertawa. Entah apa yang lucu yang membuatnya tertawa.

“Mak Lampir dulu juga seperti kamu kalau marah. Apalagi sekarang ya. Dua nenek peot itu kalau melihat kamu pasti cemburu” Lagi-lagi dia mengalihkan pembicaraan.

Akhirnya aku ubah strategi, bukan mencercahnya dengan pertanyaan seperti ini. Akhirnya aku ikut-ikutan tertawa. Alif dan Macan Kumbang saling pandang melihatku.

“Pastilah Tuk, mereka pasti cemburu. Karena aku cantik se-Nusantara”

Aku kembali tertawa terbahak-bahak yang disambutnya dengan tawa yang makin kencang. Tawanya memiliki energi. Aku kagum dengan ilmu lelaki ceking kayak papan cuci ini. Tertawanya kencang sekali. Dia menyerangku melalui tawanya yang makin lama makin menggelegar. Siapa yang mendengarnya, jika tidak punya kemampuan menutup indera dengarnya, bisa pecah gendang telinga.

Demi mendengar suara kencang tawanya, aku menarik jaring dari pinggangku. Kukembangkan lalu kutampung suara menggelegar tawanya sambil terus kutarik hingga semakin lama semakin kecil, lalu meleot-leot persis suara radio soak. Tak lama tawanya berhenti.

“Wuiii…hebat jaringmu, Anak Gadis. Habis ilmu tawa dewaku kau tarik. Lagi-lagi kau bisa tangkis aku. Aah! Capek aku. Baru kali ini Datuk Dewo Salangik dimainkan anak kecil, perempuan sakti seperti Nini Pelet dan Mak Lampir. Onde mande! Sakik wak sadonyo” Orang misterius menarik nafas panjang.

Rupanya namanya Datuk Dewo Salangik. Pantas luar biasa, Dewa Selangit!

“Datuk Dewo Salangik. Pantas saktinya tidak ada duanya. Dari namanya saja memang sudah luar biasa. Datuk letakkan dimana rakyat Datuk Sudan Malingga?”

“Ini, di betisku” Jawabnya cepat. Tapi tiba-tiba dia kaget. Nampaknya keceplosan. Ingin meralat ucapannya sudah tidak bisa.

“Aku kan hebat. Tak ada satu pun yang dapat membebaskannya. Bahkan sampai aku mati mereka tetap akan ikut mati bersamaku” Ujar terlanjur berbicara.

Tidak ambil waktu panjang, aku segera melakukan gerakan untuk membuka pintu tahanan yang disimpan di dalam tubuhnya. Aneh sekali sosok ini. Tak biasa makhluk sebangsanya menyimpan tahanan beribu tahun lamanya di dalam tubuh. Setahuku dalam dunia gaib, hanya Datuk Ratu Agung penguasa Bengkulu yang membawa anaknya dari alam gaib ke alam nyata melalui bagian tubuhnya.

“Heiiit! Jangan diambil Anak Gadis! Bahaya. Nanti mereka menyerangmu. Mereka itu musuh-musuhku” Ujar Datuk Dewo Salangik dengan tubuh masih terikat kaku.

Aku tidak mendengarkan peringatannya, di bantu Macan Kumbang, kutarik semua yang disembunyikannya di tubuhnya. Satu persatu mereka bebas dan ke luar.

“Silakan berkumpul berdasarkan suku dan kelompok kalian, sanak” Ujar Macan Kumbang di sela-sela suara mendengung seperti lebah.

Ribuan makhluk astral ke luar dari tubuh Datuk Dewo Salangik. Mereka berkumpul sesuatu intruksi Macan Kumbang.

“Wiii…eiiii…pandai sekali kau mencari mereka padahal mereka kusembunyikan paling dalam dan rahasia” Ujar Datuk yang aneh ini.

Apa yang disampaikan Datuk Dewo Salangik memang benar. Para tahanananya disembunyikannya di tempat-tempat yang tersembunyi di dalam tubuhnya. Ada di tumit, di belakang telinga, di bahu kiri kanan. Semuanya dalam keadaan dibelenggu. Ternyata Datuk Dewo Selangik ini lumayan kejam. Semua tahanan dibuatnya tersiksa. Ada yang digantung kaki, leher, dan tangan terikat. Kondisi mereka menyedihkan semua.

Macan Kumbang dibantu Alif mengarahkan mereka sesuai kelompoknya. Mereka pun berkelompok sesuai dengan kelompok masing-masing. Nyaris semuanya ingin ikut bersamaku. Akhirnya disarankan oleh Macan Kumbang agar mereka kembali membangun kerajaan mereka yang sudah hancur. Atau kembali pada kerajaan mereka yang lama.

“Aduh…aduh…aduuuuh Anak Gadis, jangan biarkan mereka menyerangku. Ayo lindungi aku dulu. Ikatan anak lanang ini menyulitkan aku bergerak, Anak Gadis” tanpa dia minta sebenarnya aku sudah melindunginya. Rupanya Datuk Dewo Salangik tidak menyadari hal itu.

“Selasih, mereka ini tidak semuanya makhluk yang baik. Tapi melihat kondisi mereka yang memprihatinkan jadi miris juga. Mari kita bantu untuk memulihkan kesehatan mereka terlebih dahulu” Macan Kumbang menatapku.

Aku setuju. Akhirnya kami taburi mereka dengan energi positif. Mereka yang semula lumpuh lambat laun bisa bergerak kembali. Tidak disangka, menyadari diri mereka ditolong, secara serentak mereka sujud mengucapkan terimakasih.

“Iyaiiii..yaiiii…yaiiii mengapa mereka jadi tunduk padamu, Anak Gadis. Aku tidak sudi seperti mereka. Lebih baik aku mati saja. Bunuhlah aku Buyuang” Ujarnya ke arah Alif dan Macan Kumbang.

Alif menghampirinya. Sebelumnya kuingatkan agar ia waspada. Bagaimana pun meski tidak dalam keadaan terikat Datuk Dewo Salangik tetap berbahaya. Dia masih juga bisa menyerang. Bahkan Berbagai cara.

“Tubuhku sudah lemas, aku sudah tidak punya energi lagi. Jadi sangat mudah kalau kamu mau membunuhku, Yuang. Ambillah tanah kuning segenggam, lalu ulaskan ke tubuhku. Dengan cara itu aku baru bisa mati sempurna” Ujarnya.

Alif tersenyum mendekat padanya.

“Datuk, saya diajarkan oleh agama saya, oleh junjugan saya Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam. Jangan pernah bermusuhan sesama makhluk hidup. Bahkan kami diajarkan untuk tetap menyayangi musuh. Apalagi Datuk bukan musuh kami. Tidak ada alasan untuk kami membunuh Datuk” Alif menjelaskan.

“Tapi aku kan beberapa kali hendak membunuh kawanmu, Si Gadis itu. Tapi dia sakti. Aku selalu gagal. Padahal aku hebat” Ujarnya lagi.

Akhirnya kembali Alif mengatakan dengan cara yang lembut, bahwa Datuk melakukan itu karena menganggap kami bertiga musuh. Tapi kalau dari awal Datuk menganggap kami sahabat, Datuk tidak akan pernah melakukan hal itu.

Lagi-lagi Datuk Dewo Salangit berdalih, seingat dia, dia hanya punya sahabat ketika ia masih muda. Ketika banyak wanita yang jatuh cinta padanya. Selebihnya, semua memusuhinya. Bahkan dia lupa katanya bagaimana cara bersahabat.

***

Di tengah kesibukanku dan Macan Kumbang menghimpun makhluk-makhluk astral yang baru bebas, akhirnya sebagian mereka sepakat ingin kembali ke kerajaan mereka masing-masing. Sebagian lagi ingin bebas. Namun mereka yang ingin bebas kuancam akan kutarik kembali. Sebab, aku tidak ingin mereka menjadi makhluk liar yang tidak mempunyai tujuan hidup. Jika mereka ada di dalam naungan kerajaan, minimal mereka punya batasan-batasan yang harus mereka patuhi. Aku inginkan mereka punya budaya sedikit banyak akan mejadi satu bentuk peradaban bagi koloninya.

Sebagian mereka yang berniat bebas tidak bisa berkata apa-apa ketika aku berbicara. Mereka menunduk diam. Aku memang menatap mereka penuh ancaman.

“Kami tidak ingin setelah menyelamatka kalian, lalu membebaskan kalian begitu saja. Kalian tetap harus punya kehidupan, etika dan tatakrama. Oleh sebab itu kami akan memanggil pemimpin -pemimpin kerajaan kalian.

Aku berpikir keras, bagaimana kelanjutan mereka. Sebagian nampak juga karakter liarnya hendak kabur ke mana-mana. Pikirnya mungkin akan mendapatkan siksaan lagi, makanya mereka dikumpulkan. Akhirnya mereka kupagari agar tidak bisa kabur. Tatapan mereka banyak juga liar, seram, dan melotot. Tapi ada juga yang layu dan pasrah.

Demi melihat kondisi mereka, muncul juga rasa kasihanku. Aku memohon kepada Allah agar dihadirkan air yang bisa mengenyangkan mereka. Tangan kuangkat tinggi-tinggi. Lalu aku mercoba mengeruk tanah, lalu melimpahlah air membentuk sebuah kolam. Melihat air yang bening makhluk-makhluk astral beramai-ramai minum dan nyebur ke dalam kolam. Aku kembali berdoa agar air tetap melimpah untuk mereka minum dan mandir sepuasnya.

“Terimakasih, Nyai. Engkau cucu Adam yang baik sekali. Air ini menyegarkan aku. Mengenyangkan juga” Salah satu makhluk astral sujud padaku. Seluruh tubuhnya basah. Namun nampak sekali dia bahagia.

Aku mengangguk sambil tersenyum. Mereka memang sangat kalap ketika melihat air. Aku sangat memaklumi, ratusan tahun, mungkin juga ada yang ribuan tahun yang mengalami penyiksaan di penjara. Dalam hati aku ngeri membayangkan kekejaman yang dilakukan Datuk Dewo Salangik. Jika tidak kejam, mana mungkin beliau tega menghukum makhluk astral ini sampai sekian lama.

Melihat semua makhluk astral sudah mulai segar, akhirnya aku memanggil beberapa pemimpin mereka agar menjemput rakyatnya. Aku tidak peduli mereka dari golongan mana. Angin berdesir kencang. Tak lama datanglah sosok-sosok yang diundang berdiri di hadapanku. Kusampaikan, jika sebagian besar makhluk astral ini adalah rakyat mereka yang lama ditahan oleh Datuk Dewo Salangik. Sekarang sudah bebas.

Beberapa pemimpin makhluk astral langsung menghumpun rakyatnya. Mersi tatapan mereka liar, namun aku paham mereka juga mengucapkan terimakasih meski tidak semua mau mengucapkan.

Melihat rajanya, makhluk-makhluk astral ini langsung sujud di hadapan pemimpin-pemimpin mereka. Mereka berbicara dengan bahasa mereka masing-masing. Mereka mengungkapkan rasa harunya pada rajanya. Aku jadi ikut terharu melihat mereka. Ternyata ada juga perasan rindu dan hormat pada rajanya meski sebagian besar mereka berwajah buruk mengerikan. Ada yang tersedu-sedu sambil mendekap kaki rajanya, ada yang hanya terisak sambil menatap wajah pemimpinnya dengan perasaan rindu dan haru. Melihat pemandangan itu kami bertiga merasa sangat bahagia.

Terakhir, rakyat Datuk Raden Sudan Malingga yang masih tertinggal. Aku Kembali mengajak Macan Kumbang membersihkan kerajaan mereka yang sudah diubah oleh Datuk Dewo Salangik. Semua makhluk astral yang ada di sana kutarik dan kujadikan satu dengan Datuk Dewo Salangik. Untung jumlah mereka tidak terlalu banyak. Mereka tak berkutik ketika kuperlihatkan pemimpinnya dalam keadaan terikat.

“Eii..eii..eii kalian sudah di sini semua. Rupanya Anak Gadis itu menarik kalian juga. Ya sudah, mati sama-samalah kita ya” Ujarnya ringan.

“Hidup dan mati itu milik Allah, Datuk. Bukan milik kami atau milik makhluk mana pun. Kalian tidak akan mati jika Allah belum mengizinkan untuk mati” Ujar Alif.

“Minta izin ke mana kalau mati, Yuang?” Ujar Datuk Dewo Salangik menyapa Alif dengan sebutan ‘Yuang’ singkatan dari kata Buyuang sebutan untuk anak lelaki suku Minang.

“Bukan minta izin, Datuk. Tapi jika Allah belum menghendaki kita untuk mati, maka kita tidak akan mati. Allah itu yang menciptakan bumi dan langit. Meciptakan makhluk berbangsa-banga. Ada bangsa manusia sepertiku, ada juga bangsa makhluk astral seperti kalian” Lanjut Alif lagi. Tak lama aku melihat pandangan Datuk Dewo Salangit sudah berubah. Nampaknya dia tertarik dengan apa yang disampaikan Alif. Berkali-kali beliau mengatakan jika dirinya lahir dan hidup begitu saja. Tidak tahu siapa Bapaknya. Tidak pernah dia mendengar jika makhluk seperti dia Allah yang menciptakan.

Alif berbicara tetap lembut membuat Datuk aneh mulai terpengaruh. Jiwa dakwa Alif telah membuat pikiran Datuk sedikit terbuka. Cukup lama mereka berbicara. Bahkan sedikit berdebat. Banyak hal yang dijelaskan Alif untuk meyakinkan Datuk yang aneh itu.

“Ah, kalau akan membuat aku tidak bisa menggunakan keilmuanku, untuk apa? Aku tidak mau. Eh Yuang ribuan tahun aku menuntut ilmu. Aku tidak mau ilmuku lenyap. Ah, kamu becanda aja. Biarlah aku mau mati aja kalau tidak dibebaskan” Lagi-lagi Datuk Dewo Salangik berkata datar. Untuk kesekian kalinya pula Alif menjelaskan dengan lemah lembut jika setiap makhluk hidup pasti akan mati. Tanpa diminta, jika tiba waktunya mati, semua makhluk hidup akan mati.

“Kamu berbicara lembut sekali? Mengapa?” Ujarnya lagi. Kedengarannya lucu juga. Harusnya Alif yang bertanya, sosok jahat seperti dia dari tadi tidak ada bengisnya. Meski marah sekali pun tapi nadanya tetap datar, biasa saja.

Tak lama Datuk aneh bertanya siapa Allah itu. Kembali Alif menjelaskannya dengan sederhana. Tak lama Datuk Dewo Salangik terdiam. Tidak lagi nyeracau tak jelas. Aku juga tidak melihat gelagat dia akan menyerang. Anak buahnya pun mendengarkan dengan seksama. Ketika ada yang hendak protes dan bertanya langsung di stop Datuk Dewo Salangik. Mereka dilarangnya menyela pembicaraannya.

Usai berdebat sengit, berargumentasi ke sana ke mari, tak lama dia mengatakan ingin menyembah Allah bersama rakyatnya. Bagaimana caranya? Apakah mereka harus melakukan tapa? Mendengar itu aku memikirkan air mata haru. Akhirnya Alif menjelaskan untuk menyembah Allah tidak perlu melakukan tapa seperti hendak mencari ilmu. Tapi cukup dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Akhirnya Alif membantunya bersyahadat. Bulu kudukku merinding ketika Datuk Dewo Salangik dan pengikutnya terbata-bata mengucapkan dua kalimat syahadat, dilanjutkan artinya, lalu bersyalawat.

Cahaya putih menanungi sosok-sosok mereka. Energi positif langsung terserah memenuhi area. Aroma kembang harum mewangi, seakan-akan bau malaikat yang ikut bergembira.

“Aiii…mengapa aku jadi berubah bersih putih seperti ini?” Ujar Datuk Dewo Salangik menyadari ada perubahan pada fisiknya. Memang nampak dirinya tidak seperti tadi. Tubuhnya menjadi bercahaya. Berkali-kali dia mengamati kulit tangan, dan kakinya. Sayang, makhluk ini tidak paham dengan kaca, kalau saja dia berkaca, dia akan menemukan wajah kurusnya tidak kumal seperti sebelumnya. Aku menarik nafas panjang. Setidaknya kondisinya telah membuat Datuk dan pengikutnya yakin akan kebesaran Allah.

Dari sekian banyak aku bersua dengan makhluk astral selalu saja makhluk yang berilmu tinggi, jika dianjurkan kebaikan lebih mudah menerimanya. Mereka yang cerdas lebih mudah menerima kebenaran dibandingkan mereka yang hanya punya kemampuan setengah-setengah.

“Alhamdulilah” Aku mengucapkan syukur berbarengan dengan Alif. Sementara Macan Kumbang masih fokus membantu mengembalikan rakyat kerajaan tebing Bukit Barisan, rakyat Datuk Raden Sudan Malinga.

Selanjutnya kulihat Alif masih mengajarkan berbagai macam hal yang ringan-ringan pada Datuk dan Dewo Salangik dan rakyatnya . Alif mengajarkan bagaimana menyapa sesama muslim ketika bersua. Kewajiban apa yang harus dilakukan sebagai muslim dan lain sebagainya.

“Jika Datuk hendak belajar, bisa belajar ke gunung Dempu. Akan aku antarkan ke sana. Di sana Datuk bisa belajar agama bersama para mualaf yang lain” Ujarku. Ternyata tawaranku disambutnya dengan antusias. Datuk ingin pergi ke sana sekarang juga.

“Eiiit…bagaimana dengan tubuhku yang masih terikat ini? Kanciaaaang! Lepaskan dulu Anak Gadis” Datuk Dewo Salangik kembali nyeracau sambil menatapku. Aku kaget! Aku memang lupa melepaskan ikatan yang dilakukan Macan Kumbang dan membuka totoknya. Sambil senyum-senyum sendiri aku berusaha melepaskan ikatan dan totokannya. Setelah lepas Datuk Dewo Salangik langsung berdiri lalu ngulet persis orang bangun tidur.

“Uuuhhhhaaaaa pegel juga aku dibuatnya. Ayo Anak Gadis, antar aku dan anak buahku sekarang juga” Ujarnya mulai tidak sabar.

Aku mengangkat tanganku ke dada, lalu kupanggil Paman Raksasa. Tak lama hembusan angin mulai semilir manandakan beliau datang. Benar saja, tidak perlu menunggu lama, Paman Raksasa sudah ada di hadapan kami.

“Assalamualaikum Putri Selasih, apa kabar anakku. Rindu rasanya sudah lama tidak berjumpa. Ada apa memanggilku jauh-jauh, Selasih” Paman Raksasa berdiri di hadapanku sambil menunduk. Kami serentak menjawab salamnya.

“Alhamdulilah, Paman. Aku sehat-sehat saja. Mohon bantuan Paman untuk membawa Datuk Dewo Salangik dan rakyatnya ke gunung Dempu. Mereka hendak belajar, untuk berguru agama bersama syech dan ustad di sana” Ujarku. Paman Raksasa tertawa bahagia dan langsung menyapa Datuk Dewo Salangik dan rakyatnya. Tak lama, Paman Raksasa mohon diri membawa Datuk Dewo Salangik berangakat menuju gunung Dempo.

“Sampai jumpa Datuk. Semoga Datuk betah” Lanjutku. Bersamaan dengan hal itu, Macan Kumbang selesai mengembalikan rakyat Datuk Raden Sudan Malinga menduduki kembali kerajaannya. Mereka bahagia sekali seperti mendapat kehidupan baru. Macan Kumbang membantu mereka sambil meminta salah satu yang sudah sepuh di antara mereka untuk menjadi pemimpin sementara.

“Hidup layaklah kalian, benahi kembali kerajaan kalian yang sudah lama tidak kalian miliki. Aku sudah membantu membersihkan kerajaan Tebing Bukit Barisan ini. Untuk hal lain, silakan dilanjutkan” Ujar Macan Kumbang.

Karena memang mereka berasal dari kerajaan yang maju, berbudaya tinggi, tidak sulit untuk mengatur dan menyesuaikan diri. Mereka dengan cepat berbenah meski perasaan masih diliputi rasa haru. Sekilas Macan Kumbang menceritakan tentang dimana kini raja mereka Datuk Raden Sudan Malingga dan Raden Asmaga Garung. Dalam suasana haru tak sedikit mereka yang menangis dan meratapi nasib mereka. Sebagian ada yang mengelus-ngelus prasasti lambang kerajaan mereka sambil tetap menangis.

Tiba-tiba, langit berubah gelap. Tak lama suara gemuruh petir seakan memecahkan gendang telinga. Kilatannya menyambar tak henti ke mana-mana.

“Kanjeng, ada apa ini?” Alif berteriak kaget. Aku dan Macan Kumbang masih menunggu apa yang akan terjadi. Tak lama awan hitam yang bergumpal seakan meluncur ke arah kami. Dalam keadaan kaget, aku segera siap-siap untuk menahan gumpalan awan jika hendak menyerang kami. Kutunggu gumpalan itu mendekat. Perkiraanku dalam hitungan detik maka akan terjadi benturan dasyat. Dalam keadaaan genting itu aku sedikit cemas karena sudah bisa dipastikan jika terjadi benturan, Alif tidak bisa menghindar. Dia pasti akan kena radiasi dasyatnya. Yang kukhawatirkan dia pasti akan terluka. Sementara aku mengumpulkan kekuatan untuk melawannya. Macan Kumbang pun nampak sangat siap menyambut serangan itu.

Baru hitungan detik, tiba-tiba gumpalan awan hitam itu semakin lama bergerak semakin pelan. Lalu berubah seperti wujud sosok besar tinggi. Aku menahan diri untuk tidak mengeluarkan serangan. Apalagi melihat sosok itu wajahnya terlihat tersenyum. Hanya wajah! Aku terpukau melihatnya. Gumpalan awan hitam membentuk kepala, tubuh dan kakinya tidak jelas. Tapi di kepalanya bertengger mahkota. Meski aku tidak bisa melihat warna sosok itu dengan jelas kecuali awan hitam, namun aku merasakan karismatiknya. Wajah itu sangat wibawa menurutku. Matanya tajam, rahangnya pun sangat tegas. Di atas bibirnya bertengger kumis tipis melintang, menandakan sikap tegas seorang pemimpin

Jika dicermati tampilannya, beliau seorang raja.

“Om suwastiastu. Salam kenal Ratu Timur Laut Banyuwangi. Senang bisa berjumpa denganmu. Angin bukit Barisan telah mengundangku untuk menemuimu. Aroma kembang yang harum, sampai pula ke istanaku. Kenalkan nama saya Hyang Sanda warmana dari huluan Batanghari” Sapanya ramah dengan tangan mengatup di dada. Aku membalas salamnya. Dalam hati aku bertanya-tanya ada apa beliau payah-payah menemuiku? Bukankah beliau seorang raja meskipun baru kali ini aku mendengar namanya. Nama yang masih berbau hindu. Aku tidak pernah tahu dimana hulu Batanghari. Sungai yang membelah kota Jambi itu.

“Oh! Terimakasih, salam kenal kembali, Baginda. Kenalkan nama saya Putri Selasih, dan ini saudara saya Macan Kumbang dan Alif” Ujarku sedikit membungkuk memberi hormat. Sosok setiap gumpalan awan itu nampak tersenyum. Aku tidak berani bertanya mengapa hanya sosok bayangan di gumpalan awan saja yang hadir di sini? Mengapa bukan sosok aslinya. Ilmu beliau pasti luar biasa. Pengalaman malam ini benar-benar membuatku kagum. Bersua dengan sosok-sosok sakti yang memiliki ilmu aneh-aneh dan sulit diprediksi.

“Saya menemuimu untuk mengucapkan terimakasih, karena telah menyelamatkan anak cucuku, rakyat kerajaan Lereng Tebing Bukit Barisan. Raden Sudan Malingga, salah satu keturunanku. Selama ini, kami tidak mampu mengalahkan Datuk dari kerajaan Barereh itu. Beliau sakti dan licik. Ratusan bahkan ribuan tahun dia menguasai kerajaan Malingga. Mengubah budaya dan tradisinya menjadi liar. Sekali lagi saya haturkan terimakasih Putri dari tanah Besemah. Sampaikan salamku pada leluhur kalian. Saya izin pamit. Sampai jumpa. Om Suwastiastu”

Tiba-tiba gumpalan awan hitam yang menyerupai sosok raja itu kembali berputar balik arah. Aku merunduk memberi hormat dan melambaikan tangan.

Suasana perbukitan kembali hening. Angin yang bertiup semilir, mengubah suasana seperti tidak terjadi apa-apa. Kami bertiga saling pandang. Aku bersyukur di antara kami tidak ada yang terluka. Wajah Alif nampak lebih berseri dari biasanya. Mungkin karena merasa dapat pengalaman yang tidak dia dapatkan sebelumnya. Perjalanan kami memang sangat padat dengam peristiwa. Ada saja hal-hal yang membuat kami harus turun tangan membantu. Jika tengah berhadapan seperti ini, kerap kali aku lupa jika aku tengah berada di alam lain. Kadang di alam tak kasat mata lebih nyaman dibandingkan di alam nyata yang hiruk-pikuk.

“Mari kita segera pulang Selasih. Fajar sudah menyingsing. Sebentar lagi waktu subuh tiba” Ujar Macan Kumbang. Aku sepakat ingin segera pulang. Bagaimana pun sebentar lagi aktivitas dua kehidupan akan berubah. Aku akan kembali ke lama nyata, sementara di alam lain gantian aktvitas makhluk astral. Aku segera memanggil angin. Tak lama, kami meluncur cepat melintasi gunung, bukit, hutan, sungai, dan lembah. Samar-samar terdengar semesta bertasbih seiring fajar yang mulai mengintip di ufuk timur, menggambarkan waktu untuk kembali terserah pada sang Maha Khalik, yang telah memberi cahaya kehidupan.

Suara mengaji dari toah-toah masjid serupa lampu sorot yang mengarah ke langit. Semesta tampak terang benderang. Usai mengantar Alif ke rumahnya, aku dan Macan Kumbang bergegas pulang ke rumahku. Setelah duduk di kamar, baru terasa jika aku sangat lelah. Suara percikkan air wudu mengajakku untuk membuka pintu kamar menuju kamar mandi. Macan Kumbang kulihat sudah duduk timpuh di belakang Bapak yang sedang menunggu azan. Aku senyum-senyum sendiri. Pasalnya Bapak tidak melihat jika ada sosok yang ikut solat bersamanya.

“Allahu Akbar!” Suara berat Bapak takbir di pagi yang masih basah, terasa menyejukkan. Alam terasa sangat damai. Kusibak air yang mengucur lewat kran, sejuk meresap seluruh tubuh. Di dalam benak, kejadian semalam penuh masih sangat lekat. Aku serasa usai melakukan perjalanan jauh dan lama. Berbagai peristiwa tadi malam benar-benar memberi warna baru bagiku. Aku bergegas masuk kamar lalu memakai mukena. Hanya dengan cara ini aku kembali pasrah dan terasa sangat dekat untuk menyelesaikan segala masalah. “Allahu Akbar” Aku larut dalam doa.

Bersambung…
close