Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 88)


Aku merasakan nyeri sangat di punggung kiri setelah diserang makhluk gunung yang mengaku berasal dari Kerinci. Sebelumnya dadaku terasa sesak. Namun aku berhasil menetralisirnya dengan cepat. Sehingga luka dalamku tidak merambat. Sedikit saja aku gagal, maka bisa dipastikan aku akan muntah darah.

Sebenarnya perkelahian tidak akan terjadi kalau saja kami tidak berpapasan dengan pasukan astral yang berasal dari gunung Kerinci ini. Mereka melakukan penyerangan tiba-tiba karena tidak senang melihat kami terus berjalan tanpa menyingkir memberi jalan selebar-lebarnya pada mereka ketika berpapasan. Kebetulan aku ada di posisi paling belakang, mereka langsung menyerangku. Meski aku tidak sampai tersungkur, namun aku merasakan pukulan mereka luar biasa kuatnya. Buktinya rasa nyeri masih terasa hingga kini meski berkali-kali kunetralisir. Pukulannya mengandung racun jahat.

Belum sempat aku memulihkan sepenuhnya rasa nyeri di punggung hingga merambat ke dada karena pukulan makhluk gunung itu, tiba-tiba salah satu senjata mereka seperti godam menghantam punggungku kembali. Untung ketika pukulan ke dua itu mendarat aku sudah siap menerimanya. Jadi meski mereka lakukan diiringi kekuatan dalamnya, paling tidak aku bisa bertahan. Sambil menahan rasa nyeri yang luar biasa dari pukulan pertama, akhirnya aku mencoba melawan sembari melindungi Alif dan Macan Kumbang.

Gerakkan mereka cepat dan kuat sekali. Rata-rata mereka berilmu tinggi. Mereka adalah para petapa di gua-gua gelap seputaran gunung dan bukit Kerinci. Pakaian mereka yang hitam pekat, menandakan mereka satu paguyuban atau satu kelompok, satu seperguruan. Melihat karakternya, makhluk ini tidak bisa diajak kompromi. Oleh sebab itulah tanpa bertanya mereka spontan menyerang.

Beberapa kali kulihat Macan Kumbang dan Alif terguling. Keduanya sama sepertiku tidak menduga akan mendapatkan serangan mendadak itu. Beberapa kali aku mengirimkan energi menahan mereka agar tidak terlempar ke jurang yang mengaga di sisi kanan dan kiri jalan. Kukerahkan kekuatan angin untuk membantu kami bertiga. Serangan lawan seperti ribuan pasukan itu saat tertentu bisa kami lawan seimbang. Namun saat tertentukami bertiga terdorong ke belakang beberapa langkah.

“Berani sekali kalian lewat sini tanpa pamit. Ini wilayah kekuasaan kami tahu. Tidak satu pun boleh lewat sini tanpa seizin aku” Ujar salah satu di antara mereka. Nampaknya dia adalah pemimpin di atara makhluk yang menyerang kami. Wajah seramnya karena bertanduk dan bermata tiga, ditambah taring dan perut buncit. Siapa pun yang melihatnya pasti ngeri. Apalagi melihat tongkat dan kalungnya, ada tengkorak – tengkorak manusia.

Aku masih mengelak serangan-serangan mereka saat mereka berbicara. Sungguh kami tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan alasan mengapa kami lewat sini.

“Sebagai denda kesalahan kalian, anak itu gantinya. Berikan dia pada kami hidup-hidup” Ujarnya lagi menunjuk pada Alif. Alif kaget dan pucat. Mendengar pernyataannya aku mulai waspada. Mereka serius hendak merampas Alif. Sementara Macan Kumbang masih mengimbangi lawan yang seperti gelombang.

Akhirnya kembali aku meningkatkan perlawanan. Aku berusaha melindungi Alif agar mereka tidak mendekat. Makhluk-makhluk astral ini bukan lawan Alif. Apalagi ketika melihat mereka memainkan senjata yang bermacam-macam bentuknya itu. Aku kaget ketika dari seberang jurang tiba-tiba muncul semacam jaring yang bergerak seperti ular. Aku mengeluarkan senjataku berupa pedang. Aku bergerak cepat melindungi diri agar tidak terikat oleh jaring ajaib mereka. Tiba-tiba, pinggangku terikat dari belakang. Aku diseret mereka hendak dibawa ke jurang seberang. Dalam keadaan genting itulah, tiba-tiba sekelebat bayangan melepaskan ikatan yang mencengkram tubuhku. Demikian juga Macan Kumbang dan Alif, diraih oleh bayangan yang berkelebat itu.

Setelah angin yang menderu berhenti, dan kami bertiga Kembali berdiri di atas bebatuan, baru aku dapat melihat dengan jelas, jika bayangan yang berkelebat itu adalah sosok perempuan. Dan perempuan itulah yang menyelamatkan aku, Alif dan Macan Kumbang.

“Putri Kerinci!” Aku kaget menatapnya. Jadi bayangan putih itu Putri Kerinci. Dia mengambil alih melawan rombongan pasukan astral yang menyerang kami. Melihat dia melawan sendiri, aku dan Macan Kumbang serentak maju. Kami bertiga serentak menyerang lawan.

Aku menarik nafas lega ketika melihat Alif masih utuh dan berdiri. Kalau bukan karena Putri Kerinci, mungkin aku sudah celaka. Saat mereka menyerang dengan kekuatan tinggi berikutnya, aku belum sepenuhnya menyadari serangan mereka. Kulihat beberapa kali Macan Kumbang dan Alif tidak sempat mengelak dari serangan beruntun makhluk astral yang tiba-tiba itu. Untung saat genting, Putri Kerinci datang menyelamatkan kami bertiga.

Melihat kehadiran Putri Kerinci, makhluk-makhluk astral itu berusaha kabur. Mereka berlari kalang kabut menembus halimun pegunungan yang pekat. Putri Kerinci membiarkan mereka berlari seperti melihat setan. Bahkan ada di antara mereka saking takut dan kagetnya menabrak-nabrak dinding cadas hendak menyelamatkan diri.

“Hiiiaaat! Ambo dak suko nengok kalian. Tiap kali kalian ke luar dari pertapaan pasti buat keributan” Ujar Putri Kerinci mengayunkan telapak tangannya ke depan. Energi telapak tangan Putri Kerinci berubah menjadi angin kencang mengusir lawan. Sisi jurang kembali senyap.

Akhirnya, setelah semuanya hening, niat kami pergi ke perbukitan Riau, batal. Kami berbelok ke Gunung kerinci bersama Sang Putri. Beliau memaksa kami agar singgah ke istana Bapaknya terlebih dahulu.

“Kau harus diobati dulu oleh Bopo. Nampaknya kau terluka” Ujarnya sambil meraih tanganku untuk mengikuti langkahnya. Akhirnya kami mengambil keputusan untuk ke istana gunung Kerinci terlebih dahulu. Macan Kumbang berusaha menetralisir nyeri punggungku sambil berjalan. Namun hasilnya tidak maksimal. Aku butuh waktu untuk duduk diam sejenak.

Ini kali ke dua aku bersua dengan Putri Kerinci. Wanita cantik, bergaun putih menungang seekor harimau loreng yang gagah. Putri Kerinci, adalah putri Datuk Raden Samangga salah satu penguasa gunung Kerinci. Bangsa nenek gunung, atau inyiak yang pernah mengirimkan pasukannya ke Besemah ketika terjadi perang antara nenek gunung Dempu dengan pasukan Timur Laut Banyuwangi yang hendak menculik sukmaku. Mereka datang bersama pasukan dari Sumatera Barat. Di antaranya ada yang berasal dari gunung Merapi, Singgalang, dan gunung Talang. Mereka juga turut berjasa menyelamatkan aku kala itu.

Mengetahui aku yang datang, Datuk Raden Samangga bergegas menyongsong kehadiran kami di pintu gerbang kerajaannya. Beliau lelaki sepuh yang nampak gagah dan berwibawa. Senyum ramahnya ketika melihat kehadiran kami benar-benar meneduhkan.

“Alhamdulilah…sampai juga akhirnya cucu saudaraku Pekik Nyaring dari Merapi Dempu ke mari. Selamat datang di tanah bertyah, tuanku Ratu Timur Laut Banyuwangi” Datuk Raden Samangga menundukkan kepala. Sikap sopan dan hormat orang tua ini membuatku sedikit kikuk. Aku segera mengucapkan salam lalu menghampiri beliau, sujud mencium tangan beliau dalam-dalam, diikuti Macan Kumbang dan Alif.

“Darimana Datuk tahu jika aku di Timur Laut Banyuwangi? Jangan-jangan Datuk mendapat kabar burung” Candaku. Sambil tertawa ringan beliau menjawab jika angin adalah telinga mereka. Berbagai kabar dengan mudah mereka dapatkan. Demikian juga dengan berita Putri Selasi menjadi Ratu kerajaan Timur Laut Banyuwangi, bukan rahasia lagi di alam gaib. Menurutnya namaku sampai juga ke Ujung Band. Aku tersipu. Akhirnya aku hanya bisa berkata, mohon bimbingan beliau, karena aku masih terlalu muda untuk jadi pemimpin. Bayak kekurangan dan ketidakpahamanku. Akhirnya, kami ngobrol ke sana kemari sambil berjalan kakai menuju istana Datuk Raden Samangga.

Konon, leluhur yang bersemayam di gunung Kerinci ini memiliki kekerabatan dengan leluhurku di gunung Dempu. Dalam menjalankan kebijakan-kebijakan tertentu, mereka akan saling memberitahu dan tukar pendapat. Tidak jarang kerabat dari Kerinci untuk melakukan sesuatu minta restu terlebih dahulu ke gunung Dempu. Menurut Puyang Pekik Nyaring, leluhur di gunung Dempu adalah dulur tua, sementara si gunung Kerinci, adiknya. Atas dasar itu pula, ketika aku bertemu pertama kali dengan Putri Kerinci, beliau menemuiku dengan tiga harimau pengawalnya. Waktu itu aku bermalam di dusun Jambu, dusun yang terletak di kaki gunung Kerinci. Jelang subuh, ketika kabut menyelimuti kebun teh yang menghampar hingga ke perut gunung, aku yang tengah berdiri di tengah jalan setapak, memandang jauh ke puncak gunubg Kerinci dengan perasan rindu. Swbab, alam lembah yang sejuk, hamparan kebun teh seperti lukisan mengingatkan aku pada tangsi dua gunung Dempu. Saat itulah dari kejauhan aku melihat enam pasang mata seperti bola pijar mendekat padaku. Setelah dekat, baru kuketahui tiga sosok harimau, dan seorang gadis bergaun putih tersenyum padaku.

“Selamat datang di Kerinci, cucu Puyang Besemah, kerabat leluhurku dari gunung Dempu. Aku Putri Kerinci, suatu saat kita akan bertemu lagi” Ujarnya kala itu. Belum sempat aku bertanya, dia pamit melanjutkan perjalanan, karena dia sudah ditunggu. Waktu itu aku masih terbilang kecil. Belum banyak tahu seluk-beluk keleluhuran atau pun kekerabatan.

Kami masih terus berjalan sambil bercerita. Kadang Datuk Raden Samangga menanyakan perihal Puyang Pekik Nyaring dan kerabatnya di gunung Dempu. Kadang bertanya tentang kerajaan Timur Laut Banyuwangi. Beberapa petuah beliau berikan dalam kesempatan itu. Salah satunya adalah, menjadikan kepemimpinan sebagai ibadah. Menurut beliau, jika kita ikhlas dan menjadikannya pkerjaaan kita sebagai amanah dan ibadah, maka kita akan melaksanakan semuanya dengan hati. Hati adalah sumur keikhlasan dan keimanan. Aku mengangguk mendengarkan nasihat tersebut. Bagiku menimba petuah dari sesepuh meski berulang kali disampaikan pun tidak membuat bosan dan lelah. Apalagi karisma Datuk Raden Samanggga begitu kental. Semua yang beliau ucapkan, kerap kali jadi kenyataan. Sama halnya dengan Puyang Pekik Nyaring, tak muda untuk berjumpa dengan beliau. Kali ini justru beliau menyongsong kehadiranku. Aku benar-benar bahagia dibuatnya.

Saat tertentu, aku bersama Macan Kumbang dan Alif berjalan sejajar. Datuk Raden Samangga bersebelahan dengan Putri Kerinci di depan kami. Aroma bunga menyeruak dari tubuh Putri Kerinci. Gaun panjangnya yang jatuh, melambai-lambai ketika tertiup angin. Perempuan cantik itu nampak lebih dewasa dari usianya. Sementara harimau belang berjalan santai si sampingnya.

“Anggun sekali Putri Kerinci. Lihatlah, gerakkannya gemulai sekali. Berbeda dengan anak Besemah di sampingku. Dia terlahir perempuan. Tapi karakternya melebihi lelaki. Tidak ada anggun-anggunnya” Macan Kumbang berbisik mengejekku. Putri Kerinci menoleh. Dia tahu jika Macan Kumbang tengah membicarakannya sekaligus mengejekku. Kubalas ucapannya dengan mengerutkan batang hidung. Kalau bukan sedang di tempat orang, sudah kutinju dirinya.

Kami masih terus berjalan. Aku terpukau melihat jalan di kampung ini mirip seperti jembatan. Kayu bulat sebesar lengan anak kecil berukuran sama besar tersusun rapi dengan warna tetap alami. Kayu kering berwarna kecoklatan ini nampak sangat terawat. Melihat bentuknya, jalan dari kayu bulat ini usianya sudah cukup tua. Aku yakin, kayu-kayu ini adalah kayu pilihan. Penataannya yang rapi membuat aku sangat kagum. Sama panjang, sama besar, seperti cetakan mesin saja.

Sesekali aku berjalan pelan, melempar pandang ke sisi kiri kanan jalan yang ditumbuhi pohon pinus yang berjajar rapi. Agak ke dalam, tumbuh pula kayu pacet, pakis sunsang, bahkan tidak jauh dari jalan yang kami lalui beberapa bunga raflesia tengah mekar. Dalam hati aku mengagumi panorama gunung ini. Indah sekali. Aku menoleh kiri-kanan memastikan apakah bunga edelwis ada tumbuh di sini? Menurut Putri Kerinci, bunga abadi itu tumbuh di sisi barat puncak dan sepajang sisi Selatan.

Kala melihat dari kejauhan ada air terjun tumpah dari sisi jurang berbatu, lalu membentuk liukan seperti selendang panjang berwarna perak. Beberapa sosok nenek gunung kulihat berada di lembah dekat sungai.

“Masya Allah, elok sekali panorama kampung ini Datuk. Air terjun dan sungai. Hutan tropisnya sejuk, meski kulihat sudah terjadi penyempitan hutan, membuat area buruan nenek gunung makin sempit” Ujarku mendekat pada beliau. Kami berhenti sejenak. Nampaknya Datuk memberikan kesempatan padaku untuk menikmati panorama dari sisi tebing jalan.

“Manusia makin banyak. Banyak pula yang tamak. Hutan lindung masih saja dijarah. Ya, tidak jauh berbeda dengan sepanjang bukit barisan yang berjajar di pulau Sumatera ini, Dis. Tinggal berapa persen yang masih perawan. Selebihnya telah menjadi perkebunan dan pemukiman.” Datuk Raden Samangga menatap jauh ke belantara kecil di samping kami. Beliau menyapaku dengan sebutan ‘Dis’ singkatan dari ‘gadis’. Sebuah sapaan yang bermakna sayang.

Aku menatap ke beberapa bagian hutan yang masih lebat. Di sana banyak sekali kehidupan para penghuni Bukit Barisan dengan berbagai macam bentuk. Ada kelompok-kelompok kecil yang hidup berdampingan. Ada juga perkampungan yang ramai. Ada yang hidup sendiri-sendiri. Putri Kerinci ikut berdiri di sampingku. Wanita lembut yang berwibawa ini katanya jarang sekali pergi ke luar istana. Beliau lebih betah berada di dalam. Kebetulan saja dia tahu jika aku dihadang oleh kelompok makhluk astral yang tinggal tidak jauh dari puncak ini.

“Jika kita berada di bukit itu, maka kita akan melihat pemandangan yang membuat batin kita miris. Bukit-bukit yang dulunya lebat tempat bersemayamnya para inyiak, kita telah berubah menjadi tanah gersang, jurang-jurang yang rusak karena tanah bukit longsor, tak mampu lagi menahan air ketika curah hujan mulai turun. Itu terjadi, karena campur tangan manusia, menjarah hutan-hutan kita” Ujar Putri Kerinci. Aku mendengarnya dengan seksama sambil sesekali menyembunyikan rasa sakit punggungku.

“Lihatlah Putri Selasih, itu, itu, itu dulu adalah pemukiman cindaku. Padahal wilayah itu bagian dari hutan lindung yang disepakati leluhur bangsa manusia dengan leluhur cindaku. Zaman dulu, kehidupan bangsamu dan bangsaku sangat berdekatan. Hanya sebagian saja masyarakat sekitar hutan lindung dan lembah gunung ini yang masih menjunjung tinggi adat istiadat. Selebihnya sudah tidak peduli. Beberapa tradisi dianggap kuno dan ditinggalkan. Padahal tradisi itu sebagian besar adalah jembatan untuk tetap menjaga keharmonisan dua bangsa yang berbeda, yaitu bangsa manusia dan bangsa cindaku. Tujuannya agar tidak terjadi perselisihan dan keseimbangan alam tetap terjaga” Putri Kerinci berbicara panjang lebar. Aku merasakan keresahan pikiran dan lisannya. Aku menilai beliau sebagai seorang perempuan muda yang cerdas. Sama halnya dengan Putri Bulan tunangan Macan Kumbang. Sopan dan teratur dalam bertutur.

“Beberapa bulan ini, banyak para inyiak yang masuk pemukiman manusia. Mereka pun diburu dan dianggap membahayakan bagi bangsa manusia. Padahal keseimbangan alam sudah tidak dijaga. Tidak ada lagi yang bisa mereka buru di hutan. Hutan telah kehabisan hewan yang bisa dimangsa bangsa para inyiak” Lanjut Putri Kerinci lagi. Dari balik ucapannya, persis mengekspresikan perasaanku. Rasa sedih dan marah bercampur aduk. Namun tidak bisa berbuat banyak. Karena jika bertindak secara kasar, akan memunculkan polemik. Bertindak halus, dianggap zolim. Seperti makan buah simalakama.

Mendengar cerita Putri Kerinci membuat perasaanku kembali miris. Nyaris sepanjang Bukit Barisan ini memiliki problem yang sama. Nenek gunung semua kehilangan tempat tinggal karena hutan ditebang. Tidak ada lagi hewan yang bisa diburu seperti kijang, rusa, kancil, ayam hutan, monyet, kera, dan lain-lain. Belum lagi para pemburu dengan berbagi cara membunuh dan menangkap hidup-hidup harimau Sumatera. Aku jadi ingat ketika bertempur dengan tiga dukun dari pulau Jawa dengan kekuatan mistisnya berusaha menakhlukkan harimau Sumatera. Tidak menutup kemungkinan, di sini pun sama. Orang-orang datangan, pekerja di PT perkebunan karet dan sawit kerap kali jadi pemicu perselisihan dengan raja hutan itu.

“Kamu pahamlah karakter penduduk asli kan Putri Selasih? Penduduk dusun di sepanjang bukit Seblat ini, sangat paham dan mengerti karakter inyiak atau cindaku. Penduduk asli sejak dahulunkala sangat pagam bagaimana menghadapi penguasa rimba itu. Tidak pernah saling menyakiti. Sekarang semua terbalik. Berapa banyak penghuni hutan yang memburu ternak-ternak bangsa manusia, semua karena di hutan tidak ada lagi hewan yang bisa diburu” Nada Putri Kerinci sedih. Aku bisa merasakan duka itu. Sama halnya ketika aku beberapa kali menyelamatkan nenek gunung yang hendak ditangkap bangsa manusia di perbatasan Lampung dan di Bangkulu. Tidak sedikit makhluk yang beradab itu panik dan stress sehingga menyerang bangsa manusia. Tidak sedikit manusia digigit dan mereka bantai seperti mencabik-cabik hewan buruan. Bangsa nenek gunung seakan-akan serentak melampiaskan amarah. Mediasi untuk mufakat tidak ditemukan karena terlalu banyak manusia yang melanggar adat dan mengganggap remeh kehidupan mereka. Bahkan para dukun pun ikut menantang dan mencoba menakhlukan raja rimba.

Pernah suatu kali salah satu penduduk datangan dari Jawa, ke salah satu dusun di Seberang Endikat, dengan lantang mengatakan “Hala, tidak perlu pakai etika segala macam. Harimau ya harimau. Tetap saja hewan sampai kapan pun!”. Dia lupa, lain lubuk lain ikannya, lain padang lain pula belalan. Mungkin selama ini dia mendengar harimau dari cerita-cerita saja. Di kampungnya barangkali tidak pernah terlihat harimau berkeliaran, karena memang sudah tidak ada lagi hutan. Sikap sombong dan arogannya, disambut nebek gunung dengan amarah. Ketika orang itu sedang mengasoh, duduk santai siang hari di beranda pondoknya, tiba-tiba, dari belakangnya melompat seekor harimau jantan, lalu menyeretnya hingga ke pinggir dusun. Tidak sedikit orang menyaksikan pemandangan mengerikan itu. Orang tersebut dibiarkannya dalam keadaan luka cakar seluruh tubuh di pinggir dusun. Untung masih bisa selamat setelah dirawat di rumah sakit. Nenek Kam mengetahui peristiwa itu. Dan nenek Kam juga tahu siapa yang melakukannya. Tapi kata Nenek Kam ketika itu, biarlah jadi pelajaran bagi manusia yang sombong. Dimana pun berada, kita harus menjaga lisan kita.

Peristiwa yang sama terjadi di wilayah Kerinci ini pun begitu. Bagi penduduk dusun bertemu dengan cindaku atau melihatnya berkeliaran di dusun, merupakan hal biasa. Mereka paham apa yang makhluk hutan itu kehendaki. Jika bukan mengingatkan akan ada peristiwa besar melanda dusun, misalnya bencana alam, kadang mengingatkan penduduk dusun agar membersihkan dusun secara adat, karena ada warga dusun yang melakukan dosa. Misalnya berzina.

Halimun terasa semakin rendah. Udara dingin dan lembab sangat terasa. Kulihat Alif agak mendekat padaku ketika melihat beberapa ekor harimau sumatera melintas di hadapan kami sembari menundukkan kepala. Aku bahagia melihatnya. Dalam hati aku bersyukur, paling tidak masih ada yang bisa dibanggakan, harimau Sumatera di hutan bukit Barisan yang sempit. Ingin aku memeluk salah satu mereka. Seekor raja hutan, masih muda, berperawakan besar. Jika manusia mungkin berusia sekitar sembilan tahun. Matanya berkedip-kedip ketika menatapku. Dia menyapaku dengam bahasanya. Aku hanya melambaikan tangan dan tersenyum, berharap suatu saat bisa jumpa lagi padanya.

Kami berlima kembali melanjutkan perjalanan. Jalan yang terbuat dari kayu bulat yang disusun rapat nampak masih panjang. Kini di hadapan kami terlihat berjejer rumah-rumah panggung bentuknya sambung-menyambung atar satu dengan yang lainnya. Baru kali ini aku melihat rumah adat sedemikian rupa. Nampaknya Datuk mengetahui jika aku mengagumi bangunan panjang tersebut. Bila diperhatikan secara saksama, rumah sambung-menyambung itu mirip gerbong kereta api. Melihat auranya, rumah panjang itu nampak ada penghuninya. Menurutku sangat unik.

“Nampaknya kau tertarik melihat rumah panjang di hadapan kita, Putri Selasih? Itu rumah panjang atau umoh laheik. Akan Datuk ajak dirimu masuk ke sana. Agar kau tahu, betapa kentalnya kehidupan bersosial di sini” Datuk Raden Samangga menatapku. Beliau tahu isi hatiku. Aku memang tertarik dengan bangunan dari kayu tersebut. Bentuk rumah panggung yang berjajar saling hubung antara satu dengan lainnya.

“Huuuaaaak!” Tiba-tiba aku seperti melayang. Tubuhku sempoyongan. Samar-samar kudengar Datuk Raden Samangga, Putri Selasih, Macan Kumbang dan Alif berteriak cemas.

“Bapo, Putri Selasih keracunan!” Teriak Putri Kerinci. Di tengah setengah sadar, aku mencoba menetralisir rasa nyeri dada dan punggungku semampunya. Sepertinya pukulan beracun yang dilakukan makhluk astral tadi masih menyerangku. Aku memang belum sempat menetralisir sepenuhnya karena keburu berjalan dengan Putri Kerinci. Di tengah suasana setengah panik, aku Merasakan Datuk Raden Samangga meraih tubuhku lalu memanggulku. Entah akan beliau bawa kemana. Putri Kerinci, Macan Kumbang, dan Alif ikut berjalan cepat setengah berlari menyusul langkah Datuk Raden Samangga yang cepat.

***

Aku didudukkan Datuk Raden Samangga di atas dipan yang terbuat dari rotan manau. Putri Kerinci menahan tubuh dari samping. Macan Kumbang dan Alif duduk tidak jauh dari hadapanku.

“Hup!” Datuk Raden Samangga membaca doa dan mantra sembari menempelkan kedua telapak tangannya ke punggungku. Aku pasrah saja. Biarlah Datuk Raden Samangga berusaha mengobatiku, meski sebenarnya aku sendiri bisa mengobati diriku sendiri. Di telapak tanganku ada juga racun ular dan penangkalnya pemberian Ratu Ular dari Dusun Tinggi Sebakas. Termasuk juga pengobatan warisan dari Banyuwangi dan Puyang Purwataka.

Semula aku bermaksud menahan racun itu dulu. Setelah ada waktu yang pas akan aku keluarkan sendiri. Tapi takdir berkata lain. Datuk Raden Samangga harus turun tangan untuk kepulihanku. Sebuah skenario yang tidak pernah kuduga. Pertemuan yang harus diawali dengan merepotkan beliau terlebih dulu.

Aku pasrah ketika hawa hangat mengalir pelan ke bagian dada dan punggungku yang nyeri. Tak lama, energi hangat itu seakan mengumpul turun ke lambung lalu didorong tenaga dalam Datuk Raden Samangga menghentak punggungku dan aku memuntahkan gumpalan hitam seperti darah beku. Anehnya, gumpalan seperti darah beku itu bergerak-gerak dan mengeluarkan cahaya kemerlap-kemerlip seperti miang bambu saat tertimpa sinar matahari. Datuk Raden Samangga meletakkan telapak tangannya di atas gumpalan yang bercahaya itu. Tak lama gumpalan racun itu lebur di tangan Datuk Raden Samangga.

“Alhamdulilah…Selanjutnya Selasih bisa memulihkan diri sendiri. Lakukan Dis” Lanjut Datuk Raden Samangga. Putri Kerinci menyodorkan secangkir air seduan dedauan yang masih hangat untuk kuminum. Aku segera meminumnya. Lalu kulanjutkan duduk diam seperti semedi. Dalam waktu singkat, kusapu semua. racun yang ada dalam tubuhku. Lalu pelan-pelan kudorong ke bumi. Aku menguburnya, menyatu kembali dengan tanah.

Aku membuka mata pelan-pelan dan menatap Datuk Rasden Samangga.

“Terimakasih Datuk, Putri Kerinci, telah menolongku, menolong kami” Aku sujud pada Datuk Raden Samangga. Beliau tertawa kecil mendengar aku mewakili Macan Kumbang dan Alif.

“Sebenarnya kamu bisa mengobati diri sendiri. Cuma racun dari para makhluk gelap itu cukup ganas. Berbeda dengan racun ular pada umumnya.” Ujar Datuk Raden Samangga. Aku tahu, ilmu kuno dari gunung Kerinci ini terkenal di tanah Sumatera. Pada umumnya, baik bangsa makhluk tak kasat mata, mau pun bangsa manusia memiliki ilmu gaib dan kanuragan yang tinggi. Bukan rahasia, banyak makhluk astral mau pun bangsa manusia terkenal kekuatannya. Memang, setiap daerah memiliki kelebihan masing-masing.

Baru saja kami hedak duduk melingkar, tiba-tiba ada lelaki masuk sambil menunduk menyampaikan ada tamu datang dari jauh.

“Suruh mereka masuk, Kalun. Mereka adalah saudaraku dari tanah Besemah, dan Timur Laut Banyuwangi” Ujar Datuk Raden Samangga. Aku tekesiap, siapa yang datang? Dari Besemah dan Timur Laut Banyuwangi?

Nyaris aku melompat ketika mengetahui yang datang Puyang Pekik Nyaring dan Nenek Ceriwis, bersama Nyi Ratih dan salah satu ponggawa kerajaan. Aku segera menyongsong mereka. Dalam hati aku yakin mereka ke mari pasti ada hubungannya dengan keracunan yang kualami.

“Kami melihat Putri Selasih dalam keadaan terluka. Terimakasih adikku Raden Samangga, dan anakku Putri Kerinci telah menolong cucuku Putri Selasih” Puyang Pekik Nyaring menyampaikan maksud Kedatangannya.

“Kami juga mengucapkan terimakasih, Datuk dan Putri Kerinci, telah membantu Kanjeng Ratu kami” Nyai Ratih sujud penuh hikmat.

Datuk Raden Samangga dan Putri Selasih tersenyum ramah. Mereka tidak menyangka begitu besar perhatian leluhur dari Besemah. Bahkan tamu dari seberang lautan pun datang demi memastikan kesehatan Putri Selasih. Aku juga kaget, jika mereka begitu perhatian padaku.

“Inilah hikma peristiwa itu, Kandaku dan Nyi Ratih. Jika bukan karena kecelakaan itu, Putri Selasih, Macan Kumbang dan Alif tindak akan singgah kemari. Termasuk juga kalian, tidak mungkin akan kemari jika Putri Selasih tidak terluka. Allah memang penuh rencana tentang hidup kita. Hal yang tidak pernah kita duga, ternyata pertemuan hari ini sungguh indah. Mohon maaf, jika penyambutan kami kurang sopan, apa adanya kandaku, dan Nyai Ratih” Lanjut Datuk Raden Samangga lembut. Sungguh beliau tidak menampakkan keagungannya sebagai pemimpin. Sikap rendah hati dan kesederhanaannya membuatku makin kagum. Inilah pembelajaran yang tidak kudapatkan di bangku sekolah secara langsung. Kebersahajaan seseorang bukan karena tampilan yang mewah, atau dengan membusung dada agar terlihat gagah lalu semua orang mengagumi dan tunduk menghormati. Tapi sikap sederhana, rendah hati, adalah kekuatan magnit yang mampu melumpuhkan keegoan manusia. Datuk Raden Saminggu adalah contoh itu. Bayak sekali aku menemui makhluk-makhluk sakti namun rendah hati di tanah Sumatera ini. Kalau pun ada golongan putih yang sombong biasanya aku malas mengenalnya lebih jauh.

Kekagumanku pun ikut mengarah pada Puyang Pekik Nyaring dan Nenek Ceriwis, ditambah Nyi Ratih bersama ponggawa. Mereka adalah sosok-sosok yang menyayangiku. Akhirnya, malam ini menjadi malam reuni di puncak gunung Kerinci. Datuk RadenSamangga sangat memuliakan Puyang Pekik Nyaring. Sikap santun yang diperhatikan beliau, diikuti oleh Putri Kerinci dan penduduknya.

Obrolan kembali ke permasalahan-permasalah internal, tentang raibnya beberapa nenek gunung, rusaknya perkampungan para cindaku, manusia banyak tidak menghargai kehidupan bangsa tak kasat mata penguasa gunung Merapi Kerinci ini lagi. Makin banyak manusia yang tersesat dan disesatkan. Termasuk juga kehidupan para Suku Anak Dalam atau Orang Rimba yang semula sangat menghormati, menjaga hutan dan merawatnya, menjadikan hutan tempat mereka berlindung, sumber kehidupannya. Sekarang mereka sama seperti para cindaku, kehilangan belantara untuk menggantungkan hidup. Terusir dari rumahnya sendiri.

Aku diam ketika semua mata menatapku dan Macan Kumbang. Mereka seperti menggantungkan harapan pada kami berdua. Terutama Datuk Raden Samangga dan Puyang Pekik Nyaring. Aku dan Macan Kumbang balik saling tatap.

“Apa yang bisa kami bantu, Datuk?” Tanyaku setengah pelan. Sepertinya ada hal yang sangat penting yang harus kami bantu selesaikan. Dalam batin aku sudah menduga, pasti ada kaitannya dengan kehidupan manusia.

“Di seberang bukit itu, jauh di belantara kecil yang sudah terjepit, ada kelompok Suku Anak Dalam. Hadirnya golongan manusia kota, dan mereka berkenalan, sebagian besar telah mengubah pola pikir mereka. Beberapa Suku Anak Dalam ini telah diperalat oleh orang datangan, oleh masyarakat kota dan kampung, untuk menakhlukkan bangsa cindaku. Dengan kemampuan mereka yang rata-rata tinggi, mereka dengan mudah menakhlukan para Cindaku” Lanjut Datuk Raden Samangga.

“Apa yang bisa kau bantu, Cung?” Puyang Pekik Nyaring menatapku setelah semua diam asyik dengan pikiran masing-masing. Aku sudah menduga Puyang pasti akan bertanya perihal apa yang bisa kulakukan untuk menolong saudara-saudaraku bangsa nenek gunung di sepanjang Bukit dan gunung Kerinci. Mirip pula sebuah kasus yang pernah kulakukan di bukit dan gunung Bengkulu. Sebelum menjawab aku berpikir sejenak. Membaca peristiwa-peristiwa yang telah terjadi selama ini. Apa yang disampaikan Datuk Raden Samangga benar adanya. Beberapa suku Anak Dalam atau Orang Rimba di sini ada yang mulai nakal, berkhianat pada sukunya sejak kenal dengan masyarakat luar. Mereka sudah tergoda dan tergiur dengan tawa-tawaran yang dilakukan oleh masyarakat luar rimba.

Masalah cukup rumit sebenarnya. Mengingat Suku Anak Dalam pada dasarnya sangat kental menjunjung tradisi dan budayanya. Mereka dikenal sebagai orang rimba, yang nota bene sangat mencintai alam sebagai warisan leluhurnya. Tapi dengan adanya yang melanggar adat dan tradisi pedalaman, telah membuat keseimbangan alam menjadi goya.

“Baiklah, Puyang, Datuk, kita buat penghalang agar bangsa manusia dari luar rimba tidak bisa masuk ke area hutan lindung tempat para cindaku berdiam, dan para orang rimba atau Suku Anak Dalam berada.” Ujarku.

“Aku akan bantu menawar perangkap dan ucap-ucap anak Rimba yang diniatkan pada para cindaku, tanpa mereka sadari. Akan kubalik mantra mereka. Saat mereka memanggil para cindaku, maka para cindaku bukan mendekat, malah sebaliknya dia akan menjauh. Sementara orang luar rimba, akan kubuat untuk tidak bisa masuk hutan yang kita pagari. Jika mereka masih nekat juga maka tumbuhan dan akar akan menyilamkan pandangan mereka. Mereka tetap akan berada di tempat” Lanjutku lagi.

Tanpa berpikir panjang, Datuk Raden Samangga dan Puyang Pekik Nyaring langsung menjawab setuju. Sebenarnya mereka bukan tidak bisa melakukan hal ini. Namun campur tangan manusia sepertiku memang sangat dibutuhkan untuk menengahi masalah dengan manusia pula. Jika mereka yang melakukannya, khawatir akan terjadi polemik besar bagi semuanya. Aku memandang Alif dan Macan Kumbang untuk membantuku. Nyo Ratih yang semula hanya diam selanjutnya menyatakan diri siap turun tangan membatuku. Aku tersenyum menatap Nyi Ratih. Perempuan cantik yang tertutup semua auratnya ini, memang tipe makhluk yang sangat setia dan sangat pandai memposisikan diri. Untuk sementara aku melarangnya campur tangan.

“Kemari Alif, izinkan Datuk menitipkan sesuatu padamu” Datuk Samangga meraih tangan Alif. Beliau sangat paham mengukur kemampuan Alif. Tanpa ragu-ragu, Alif duduk menghadap Datuk Raden Samangga dengan senyum dikulum. Aku melihat keberuntungan selalu berpihak pada Alif. Entah sudah berapa tokoh yang datang sendiri menjadikan dia muridnya. Menitipkan beberapa kemampuan dan mengamalkan sesuatu. Hingga kini, dia masih dalam gemblengan Eyang Kuda.

Datuk memerintahkan Alif duduk bersila dengan mata terpejam. Selanjutnya disuruhnya bersyalawat sekian kali, lajut membaca ayat pendek, lalu berzikir dengan hitungan tertentu pula. Sementara kami yang berada di sekelilingnya diminta membantu dengan zikir saja. Alif langsung melakukan itu. Nenek ceriwis duduk bersila pula di samping Nyi Ratih dan Putri Kerinci. Mata mereka terpejam sembari memusatkan pikiran agar khusuk.

Tak lama aku merasakan seputar ruangan istana Datuk Raden Samangga yang mirip rumah panggung ini sedikit bergetar. Datuk tengah memindahkan ilmunya pada Alif. Kulihat tubuh Alif seperti kaca bening. Sehingga apa saja yang terletak di samping, atas, bawah, depan dan belakangnya, bisa tembus pandang. Sebuah ilmu langka. Setahuku hanya dimiliki oleh saudara leluhurku di gunung Kerinci saja. Bahkan Puyang Pekik Nyaring saudaranya, tidak memiliki ilmu seperti ini. Jika ilmu ini diamalkan, maka tubuh yang punya akan lebih ringan dari angin. Selanjutnya, jika terkena senjata, selain tidak akan mengeluarkan darah, walau tembus sekali pun tidak pula akan terasa sakit dan luka. Beruntung sekali Alif mendapatkan warisan ilmu dari Datuk Raden Samangga. Mereka memang berjodoh. Aku sendiri tidak mendapatkan apa-apa dari Datuk.

Setelah ruang tengah istana panggung Datuk terasa bergoyang, sekarang hening kembali. Aku bersama Puyang Pekik Nyaring, Nenek Ceriwis, dan Macan Kumbang menghentikan zikir pelan-pelan.

“Bagaimana Kandaku, apakah sudah cukup bekal untuk Alif, Macan Kumbang dan Selasih?” tanya Datuk Raden Samangga sembari menghisap rokok daun yang nyaris mati.

“Sudah adikku. Putri Selasih dibantu Macan Kumbang dan Alif, Insya Allah sudah cukup. Kita bantu mereka dengan doa. Kita awasi mereka dari jauh saja” Jawab Puyang Pekik Nyaring sambil mengusap dagu. Dari pandangan matanya beliau sangat yakin semua akan selesai. Ekspresi optimisme Puyang Pekik Nyaring selalu meyakinkan dan menyemangatiku.

Aku mengalihkan perhatian pada Alif. Ada cahaya terang benderang ke luar dari tubuhnya. Beberapa waktu ini kulihat banyak sekali kemajuan Alif. Bimbingan Eyang Kuda diterimanya nyaris sempurna. Alif berbeda dengan yang kukenal awal dulu. Dulu Alif berperawakan lugu, hanya cahaya orang soleh saja sangat dominan mengitarinya . Kini ditambah dengan cahaya keilmuannya, membuat sinar rautnya berlapis-lapis.

Puyang Pekik Nyaring dan Datuk Raden Samangga kembali melanjutkan obrolan. Aku bangkit bersama Putri Kerinci untuk melihat-lihat ke luar. Kami menuju beranda yang menghadap ke lembah. Di lembah kerlap-kerlip lampu dari kampung dari di rumah -rumah di kota berhamburan seperti bintang. Indah sekali. Menurut Putri Kerinci, beberapa titik-titik cahaya itu baru. Dulu bagian itu adalah hutan dan perkebunan masyarakat. Namun kini sudah berubah menjadi perumahan yang dihuni oleh bangsa manusia. Para pemilik modal dengan mudah menyulap belantara menjadi gedung dan pemukiman. Satu hal yang aneh, ketika terjadi gesekan dengan penghuni hutan, mereka justru menyalahkan makhluk-makhluk hutan lalu berniat melenyapkannya dengan alasan membela diri dari marabahaya. Kehidupan para cindaku sudah terancam sejak lama. Padahal makhluk-makhluk hutan ini tidak akan mengusik bangsa manusia jika kehidupan mereka tidak diusik.

Namun aku merasa lega, ketika Putri Kerinci mengatakan beberapa masyarakat adat di seputaran gunung dan bukit ini masih ada dusunnya yang menjunjung adat dan tradisi. Misalnya, ketika hajatan entah itu pernikahan, atau hajatan lainnya, lalu mereka memotong kerbau atau sapi, maka biasanya Temenggung akan membawa beberapa potong daging lalu diletakkannya di pinggir dusun. Daging-daging itu mereka berikan untuk para cindaku sebagai tanda berbagi dan kebersamaan. Mengapa harus ke pinggir dusun? Agar kehadiran mereka tidak terlihat oleh masyarakat. Mereka tidak ingin masyarakat dusun takut. Sekaligus bentuk penghargaan mereka sebagai makhluk hidup untuk saling mendukung dan melindungi. Oleh karena itu, beberapa dusun tidak pernah didatangi oleh para cindaku secara nyata. Kalau pun para cindaku melintas mereka tidak saling mengganggu dan menakutkan. Biasa-biasa saja. Masyarakat dilarang keras membunuh cindaku. Demikian juga para cindaku dilarang keras menakuti atau mengancam para manusia.

Aku mendengarkan pernyataan Putri Kerinci sembari menikmati angin gunung yang semilir. Aroma daun dan lembab hutan sangat terasa. Kunang-kunang terbang bebas ke sana ke mari, kerlap-kerlip lalu menghilang. Andai sepanjang Bukit Barisan dan gunung yang berjajar ini masyarakat adatnya berperilaku seperti cerita Putri Kerinci, alangkah indahnya. Namun ketika aku kembali berpikir yang menyebabkan semua ini terjadi karena ulah manusia, dan sebagian besar manusia sudah tidak amanah. Darahku jadi mendidih. Ingin rasanya memberontak, tapi pada siapa?

“Suuur tar tankarup hitam diwo angen, diwo tanah, diwo langet, diwo ayo, kembang setaman dorang-dorang, paku tiang paku alas, tanah abang tanah barR Tok Atok kemarilah tunduk sujud padaku” Dari kejauhan aku mendengar suara orang tengah membaca mantra. Kembali aku tajamkan telinga untuk memastikan apakah suara mantra itu dari bangsa manusia atau bangsa cindaku. Kulihat Putri Kerinci pun melakukan hal yang sama. Mencermati mantra yang terdengar samar-samar.

“Apa yang kau dengar Putri Selasih?” Tanya Putri Kerinci mendekat. Aku langsung menjawab, ada yang tengah mengucapkan mantra penakhluk para cindaku.

“Siapa mereka Putri Kerinci?” Tanyaku balik dan penasaran.

“Mereka orang rimba yang diperbudak oleh orang-orang kampung itu. Nampaknya mereka tengah memanggil para cindaku” Suara Putri Kerinci sedikit bergetar. Mendengar itu aku langsung masuk memanggil Alif dan Macan Kumbang untuk ikut padaku.

Setelah pamit dengan Datuk Raden Samangga dan Puyang Pekik Nyaring aku segera meluncur ke tanah. Sejenak aku diam, fokus mencari arah suara mantra tadi. Alif dan Macan Kumbang berdiri di belakangku. Tak lama kupanggil angin, kami segera naik dan meluncur jauh ke sisi barat gunung Kerinci. Sesampainya di sana, aku melihat beberapa sosok nenek gunung gemerusuk ke luar dari semak-semak. Ada beberapa ekor seperti tergesah-gosah menuju sumber mantra. Di antara nenek gunung dari semak-semak itu kulihat ada yang sudah sangat tua. Meski penampilannya masih gagah, namun gerakkannya aku yakin tidak lincah lagi. Sejenak aku diam menatap mereka. Alif berkedap-kedip melihat sosok nenek gunung di depan hidung. Meski tidak takut seperti sebelumnya, namun nampak sekali Alif kaget dan kagum.

Aku mulai melangkah mengikuti para nenek gunung yang berjalan kaku. Nampak sekali jika makhluk ini seperti manusia kena kemat. Linglung dan lupa. Mereka berjalan tanpa menoleh, lurus menatap ke depan.

“Mengapa mereka seperti bengong, Kanjeng” Alif berbisik. Aku mengangguk dan menyuruhnya diam dan memberi kode agar ikut padaku. Aku kembali mendorong angin untuk membawa kami cepat menuju tepi hutan.

Tidak berapa lama, sampai di sisi hutan lindung. Benar saja, di sana kulihat seorang lelaki tua dengan cawat dan ikat kepala duduk bersila. Di hadapannya ada sesembahan berupa ayam hitam, lalu ada sayak berisi cairan darah. Asap mengepul, tongkat berkepala ular diletakkannya di sampingnya. Beberapa kembang teraebar dinhadpannya. Beberapa pusaka yang terbungkus dengan kain hitam dibelakang di hadapannya. Aku mengira-ngira siapa beliau. Seorang temenggung atau rakyat biasa. Lalu dari suku mana? Sambil membakar kemenyan, mulutnya masih komat-kamit memanggil nenek gunung atai cindak, hendak menakhlukan mereka.

Di sisi hutan, beberapa orang di luar rimba duduk di atas pohon sembari meningkatkan kewaspadaan. Jumlah mereka tidak kurang dari lima orang. Semuanya berpakaian lengkap dengan senjata api laras panjang dan pendek, di tambah parang dengan besi putih mengkilap. Berada-benda itu seperti meminta darah. Melihat gelagat mereka, jiwaku kembali marah. Aku kembali terkenang beberapa kejadian yang sama seperti ini.Tidak sedikit memang pemburu-pemburu nenek gunung melibatkan para dukun untuk menakhlukkan raja rimba itu.

Aku segera mengambil tindakan. Sebelum para nenek gunung itu sampai ke tempat ritual, jalan mereka kuhalangi, dan kulepaskan mereka dari mantra-matra temenggung sekaligus dukun itu. Tak berapa lama mereka berputar arah. Selanjutnya kuajak Alif dan Macan Kumbang menyatukan kekuatan untuk memperkuat mantraku agar semua yg berniat jahat pada nenek gunung atau cindaku tidak tembus. Selanjutnya, kami bertiga memagari area hutan larangan dari niat jahat siapa pun. Kutabur mantra agar bangsa manusia yang berniat di hutan ini, menjadi batal dengan niat jahatnya. Macan Kumbang dan Alif kuajak untuk menyatukan energinya.

Rupanya apa yang kami lakukan diketahui oleh Temenggung. Beliau marah karena kami campur tangan. Beberapa balatentara yang mendampinginya menyerang kami. Mantra-mantra yang beliau rapalkan sengaja menyerang kami. Muncullah sosok-sosok yang selama ini membantu beliau. Aku mengingatkan Alif dan Macan Kumbang agar tidak balik menyerang mereka.

Hiiiat!

Sosok-sosok itu kutangkap dan kukurung dengan selendangku. Mereka memberontak sambil mengancam. Sang Temenggung kembali membaca mantranya. Ribuan pasukannya kebali menyerang. Aku kembali menangkapi mereka.

“Kumbang, para nenek gunung itu baiknya giring jauh ke dalam” Bisikku pada Macan Kumbang yang dari tadi ikut membersihkan nenek gunung dari mantra-mantra yang mempengaruhinya. Benar saja, Macan Kumbang menggiring para nenek gunung masuk lebih jauh ke dalam sambil berpesan pada mereka agar selalu hati-hati. Aku menarik nafas lega.

“Kurang ajar, siapa kalian? Berani sekali kalian campur tangan dengan urusan kami. Kalian kira aku tidak tahu keberadaan kalian?” Tiba-tiba Temenggung sudah berada di hadapanku. Perawakannya tidak terlalu tegap. Namun jika melihat batinnya, nyaris semua tubuhnya dijaga oleh makhluk-makhluk berkepandaian tinggi. Mereka menyatu ditubuh Temenggung. Bahkan lidah Temenggung kulihat adalah bagian tubuhnya yang paling berpengaruh. Kekuatannya berkumpul di sana. Aku mencoba memahami apa yang beliau sampaikan dengan bahasa mereka.

“Maaf Temenggung, terimalah hormat saya. Kenalkan nama saya Putri Selasih dari tanah Besemah. Aku kemari, sengaja untuk menghalangi niat Temenggung hendak menakhlukkan para cindaku penghuni hutan ini. Temenggung, sebagai pemimpin harusnya tetap pada warisan leluhur menjaga hutan dan penghuninya, menjaga keseimbangan alam sebagai warisan seperti selama ini. Tapi mengapa jadi berubah? Justru Temenggung yang menjadi perusak? Tahukah Temenggung, semua penguasa di gunung Kerinci ini marah pada Temenggung. Sebelum terlambat, mari Temenggung, jangan berkhianat pada tradisi leluhur” Ujarku panjang lebar.

Mendengar ucapanku, Temenggung diam. Matanya tajam menatapku. Beliau hendak menyampaikan sesuatu namun tidak terucap.

“Jangan dikira orang-orang di luar sana itu baik semua. Mereka tengah memanfaatkan kemampuan Temenggung untuk merusak kestabilan, keharmonisan alam kita. Baiknya Temenggung ikut merawat alam, mengajak rakyat Temenggung untuk terus menjaga rimba ini. Bukan ikut merusaknya. Temenggung sadar tidak, jika hutan kita makin sempit. Kelak anak cucu kita kehilangan sumber makanan. Saat ini tidak sama dengan cerita orang tua kita dulu, Temenggung. Tiap kali kita ke pinggir sungai, ikan akan berkumpul, lalu kita tinggal menangkapnya. Kita ambil secukupnya untuk makan, memenuhi kebutuhan keluarga. Di hutan pun demikian, babi, monyet, kijang, rusa, ayam hutan, dan lain-lain berkeliaran. Mereka hidyp dan berkembangbiak dengan aman. Kita tinggal menangkapnya menjadi sumber makanan. Gadung, buah hutan, nyaris tidak pernah kehabisan. Sadarkah Temenggung jika saat ini kehidupan para hewan itu selalu teracam. Akhirnya mereka menyerang manusia” Ujarku lagi. Aku menatapnya dengan perasaan lelah. Nampaknya Temenggung sudah bisa kupengruhi. Dia sudah mulai berpikir dengan apa yang kuucapkan. Diam-diam kubantu agar pikiranmu tidakbterkontamisani oleh hasutan makhluk astral yang mendampinginya.

“Siapo kau gadis? Anak siapo kau” Nadanya masih tidak suka. Aku berusaha mendekat dan duduk di hadapannya.

“Namaku Putri Selasih, Temenggung. Aku tinggal jauh dari sini. Aku dari Gunung Dempu, tanah Besemah. Aku ke mari, kebetulan lewat dan dihadang oleh pasukan gelap dari hutan larangan sisi gunung Kerinci, Temenggung” Lanjutku lagi. Keningnya berkerut menatapku. Melihat emosinya sedikit turun, ribuan makhluk pengawalnya turut diam. Mereka seperti jinak dan tinduk.

“Hmm jauh sekali. Tanah Besemah, tanah betuah. Salah satu tanah larangan leluhur kami. Tanah yang tidak pernah menerima pelarian dari sini. Dari suku rimba. Sebab menurut leluhurku, ada perjanjian semacam sumpah tanah, membuat anak rimba tak anak sampai ke sana” Suara Temenggung berat. Mendengar penjelasan, aku mulai tertarik. Beliau tidak lagi terlihat seram seperti tadi.

“Lepaskan pasukanku, Gadis. Aku menghormati leluhur tanah Besemah. Leluhur Kerinci ada kaitan kekerabatan pada leluhurmu” Lanjutnya lagi.

“Maafkan aku Temenggung. Aku telah lancang. Izinkan aku bersama saudaraku Macan Kumbang dan Alif, mengamankan wilayah ini sesuai amanah Datuk Rade Samangga” Ujarku lagi. Selanjutnya kuangkat tanganku tinggi-tinggi lalu selendang yang melilit ribuan sosok pasukan Temenggung orang rimba kulepas semua.

Mendengar nama Datuk Raden Samangga, Temenggung langsung mengatup tangannya ke atas. Mulutnya komat-kamit . Beliau tengah berkomunikasi batin dengan Datuk Raden Samangga. Hal yang tidak pernah beliau lakukan selama ini, berdialog dengan penguasa hutan lindung, hutan larangan, dan penguasa gunung merapi Kerinci.

Ketika beliau membuka matanya dan menatapku, mata beliau berair. Ternyata Datuk Raden Samangga langsung menegurnya mengatakan sebagai kepala suku, beliau tidak amanah. Dia tidak bertanggujawab pada keturunannya. Padahal, apa yang dilakukannya hari akan terekam oleh anak cucu. Selanjutnya Datuk mengingatkan, apa yang akan beliau wariskan pada mereka jika segala macam adat telah kita rusak sendiri. Ke depan, setelah kita tidak ada, maka anak cucu rimba akan kehilangan pijakan. Mereka tidak bisa menetukan nasibnya sendiri. Mendengar nasihat Datuk Raden Samangga, makin terbuka pikiran Temenggung. Beliau seperti baru menyadari jika langkah yang beliau lakukan selama ini salah. Selama ini beliau telah membuka jalan untuk menghancurkan sukunya sendiri.

“Bagaimana Temenggung, apakah yang saya lakukan salah?” Ujarku bertanya. Pertanyaan yang tidak terlalu penting sebenarnya. Karena suku rimba ini rata-rata tidak bisa diajak diskusi dan bertukar pendapat jika isinya menyalahkan mereka. Mereka bangsa manusia yang lugu dan polos. Selalu menerima, dan selalu berprasangka baik terhadap setiap orang. Mereka akan terlihat liar ketika mereka mencurigai orang baru, pada dasarnya mereka takut berjumpa dengan manusia luar. Takut dicelakakan, takut berkomunikasi karena memang tidak paham bahasa yang dipakai pada umumnya.

“Aku menyesal, telah salah jalan” Suara Temenggung berubah berat. Aku segera menimpalinya agar dirinya tidak merasa bersalah.

“Semua karena Temenggung belum tahu. Sekarang, Temenggung sudah tahu akibatnya sungguh besar, bukan? Belum terlambat, Temenggung. Mari kita jaga hutan kita yang sudah semakin kecil ini, lalu membiarkan makhluk yang ada di dalamnya hidup damai bersama kita” Lanjutku meyakinkan. Temenggung mengangguk-angguk paham sambil mengemasi pusaka dan benda ritualnya.

Aku bersyukur tidak ada korban dalam kejadian ini.

“Harus aku apakan orang luar di pinggir hutan itu? Aku bisa membunuh mereka dengan halus!” Ujarnya. Ada nada marah meletup-letup di irama bicaranya. Aku mencoba meredakan emosinya. Kuingingatkan agar dia tidak berhubungan lagi dengan orang-orang itu. Selanjutnya kuajak beliau menemui mereka. Sementara Alif dan Macan Kumbang masih menggiring beberapa cindaku yang enggan masuk ke hutan lebih dalam.

***

Akhirnya aku dan Temenggung berjalan ke tepi hutan. Sebelumnya aku wujudkan diriku terlebih dahulu agar bisa dilihat oleh para pemburu. Aku sepakat bersama Temenggung, agar aku saja yang menjelaskan pada gerombolan pemburu itu. Temenggung sepakat.

“Kalau dia mengancam dirimu Putri Selasih, maka akan kutujah dengan tombak ini” Ujarnya gagah. Beliau terlihat berbalik seratus derajad, menyadari kekeliruannya. Memang untuk menjaga keseimbangan alam, kaum orang luar rimba, tetap harus komunikasi dengan Orang Rimba. Begitu juga sebaliknya. Rasa kesetiakawanan sebagai salah satu sifat Orang Rimba kadang membuat mereka tergelincir. Mereka tidak paham jika banyak orang licik yang memanfaatkan keluguan mereka.

Aku berjalan di belakang Temenggung. Sungguh wajar beliau dan masyarakatnya mendapat sebutan sebagai Orang Rimba. Ketika menyisir semak belukar yang berduri sedikitpun tidak membuat kulitnya luka. Postur tubuhnya tidak tegap berdiri, berjalan agak merunduk, tanpa alas kaki, namun langkahnya sangat lincah dan cepat. Semak belukar, onak dan duri dengan mudah dilaluinya. Jangan heran jika berjumpa sekilas dengan mereka di hutan, secepat kilat mereka menghilang. Alam telah membentuk mereka selalu waspada, terampil dan cekatan.

Suku Anak Dalam atau Orang Rimba ini terkenal keilmuannya. Dari kabar yang kudapat, konon tidak sedikit orang menuntut ilmu, berguru pada mereka. Tentu saja, yang menginginkan ilmu mereka, harus menyatu, hidup di alam terbuka di dalam rimba bersama-sama. Mengikuti cara mereka bertahan hidup di dalam hutan. Keseharian mereka, tidak memakai busana. Yang lelaki hanya pakai cawat selembar kain untuk menutupi kemaluan mereka, sedangkan yang perempuan, berkain blacu warna hitam, atau sejenis kain mori, yang diikat di dada. Sementara anak-anak yang masih kecil, telanjang bulat tanpa busana.

Meski tidak memakai busana lengkap, namun mereka tidak pernah sakit, masuk angin dan lain sebagainya. Mereka ahli dibidang pengobatan. Ada beberapa jenis daun dan akar yang mereka konsumsi sehingga nyamuk hutan, dan serangga enggan menggigit mereka. Mereka tidak punya rumah sebagaimana tempat menetap pada umumnya. Hutan rimba adalah rumah mereka, langit adalah atap, bumi dasar berpijak. Untuk sekadar menghindari dari serangan hewan liar, mereka akan membuat semacam amben dari kayu-kayu bulat yang disusun sedemikian rupa sebagai alas, lalu diberi atap seadanya dari daun-daun pohon kecil di sekitar mereka. Itu pun tidak terlalu tinggi. Tempat itulah mereka jadikan sebagai rumah singgah, tempat istirahat anak-anak mereka dan kaum perempuannya sementara. Cara hidup mereka berpindah-pindah dari tempat satu ke tempat lainnya, dari hutan satu ke hutan lainnya.

Dulu, ketika belantara ini masih utuh. Belum banyak manusia yang mengembangkan sayap kehidupan hingga ke dalam-dalam rimba. Rimba belum dijamah oleh para cukong yang memperalat masyarakat kampung yang miskin dan aparat, kehidupan Suku Anak Dalam damai sejahtera. Hutan memberikan kehidupan pada mereka lebih dari cukup.

Sebelum hutan berubah menjadi kebun-kebun sawit, Orang Rimba menjaga sedikit memberi jarak berkomunikasi dengan orang luar. Bahkan pantang bagi mereka bertemu, apalagi bekerjasama. Hal itu mereka lakukan karena mereka tidak ingin adat dan tradisi mereka terkontaminasi. Mereka masyarakat yang tertutup. Tapi kini berubah. Desakan perut dan tuntutan hidup, ditambah banyak hewan dan tumbuhan yang telah punah, membuat mereka seperti kehilangan penghidupan. Sebagian mereka menjadi liar dan tidak terhimpun oleh Temenggungnya. Bahkan tidak jarang mereka menerobos belantara hingga sampai ke perbatasan Provinsi Jambi, memasuki hutan Kabupaten Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan terpisah dengan kelompoknya dalam waktu lama.

“Kita tetap berbicara baik-baik dengan mereka, Temenggung. Jangan kotori tangan Temenggung dengan darah. Mereka sama dengan kita, bangsa manusia. Jika jiwa kita terancam, baru kita lakukan perlawanan. Tapi jika masih bisa diajak bicara, biarlah saya yang berbicara pada mereka Temenggung” Aku kembali meyakinkan beliau. Akhirnya kami kembali menembus hutan belentara yang gelap. Sesekali aku harus berpegangan dengan akar ketika melalui bagian yang terjal.

Setelah melintasi sungai kecil, dari balik semak-semak kulihat lima pemburu tengah berdiang, mamanaskan tubuh mengusir halimun pegunungan yang tebal. Api unggun menyala kecil. Masing-masing mereka memegang senjata sambil mengembangkan tangan ke arah api. Melihat kesiapan mereka, bisa dipastikan setiap waktu benda itu siap meledak. Mereka rata-rata pemburu ulung yang memiliki insting dan penciuman yang tajam. Mirip anjing pelacak.

Aku meraih tangan Temenggung agar berhenti sejenak. Aku menyuruh agar beliau tidak bergerak. Aku segera duduk lalu dengan cepat aku bergerak, diam-diam bayanganku menekuk dan merusak sejata mereka agar tidak berfungsi tanpa mereka sadari. Pelatuk senjata api mereka kupatahkan. Aku tersenyum pada Temenggung ketika membuka mata. Beliau belum paham apa yang kulakukan. Beliau tidak tahu jika aku telah mematahkan pelatuk-pelatuk sejata api para pemburu.

“Hati-hati, Selasih. Mereka punya sejata yang bisa meledak. Senjata itu bisa ke luar api” Bisiknya dalam bahasa rimba. Kujawab dengan anggukan.

Kami terus berjalan. Kali ini kuajak Temenggung berbicara. Kami ngobrol sambil berjalan. Tidak berbisik-bisik lagi seperti tadi. Sengaja aku keluarkan suara sedikit kencang agar para pemburu mendengar jika ada orang selain mereka. Suara kami berdua memecah malam yang berkabut. Bahkan sedikit bergema, menggusik beberapa hewan yang terlelap.

Dalam batin aku bahagia bisa menginjakkan kaki di hutan belantara ini. Jadi ingat bagaimana pertama kali nenek Kam mengajari aku masuk hutan tanpa alas kaki, malam-malam blusukan di dalam hutan belantara yang aku sendiri tidak tahu belantara mana. Aku tidak diizinkan menggunakan alas kaki. Menginjak onak dan duri. Semula aku mengira telapak kakiku akan tertusuk duri. Ternyata tidak sama sekali. Waktu itu, setiap kali bangun tidur Ibuku kerap kaget dan marah, pasalnya dibajuku sering kali menempel bunga dan rumput dari hutan. Bahkan di kasur dan di bawah selimut ibu pernah menemukan buah rotan lantaran aku lupa meletakkannya di dapur. Terbayang masa itu aku senyum sendiri. Ada perasaan senang ketika melihat Ibuku khawatir dan takut. “Ah! Dedek yang nakal!” aku membatin.

Di belantara Kerinci ini, banyak sekali aku melihat buah hutan yang masih utuh. Hampir sama dengan hutan di tanah Besemah. Biasanya buah-buah hutan ini menjadi makanan para monyet, kera, beruk, siamang, simpai, dan cingkuk. Juga menjadi santapan para Orang Rimba. Selain daun-daunan untuk obat ada juga kulit kayu dan akar yang bermanfaat dan berkasiat.

“Temenggung, aku bahagia sekali melihat hutan masih perawan seperti ini. Meski tidak seluas dulu lagi. Jangan biarkan hutan ini dijarah orang luar lagi, Temenggung. Biarkan semuanya hidup dan tumbuh menjadi belantara” Ujarku sembari mengelus akar-akar yang menonjol. Air bening mengalir di bawahnya. Aku tahu, banyak makhluk astral hidup damai di sana.

Benar saja, ketika mendengar suara kami yang bercakap-cakap tengah malam buta di hutan belentara, para pemburu serentak menoleh dan waspada. Senjata mereka sudah siap di tangan, mengarah ke arah kami. Kulihat masing-masing mereka memiliki belati yang terselip di celana samping dan pinggang. Sebelumnya aku bertanya pada Temenggung siapa nama pemimpinnya. Ternyata kelompok ini dipimpin oleh Bapak Baron. Menurut Temenggung, beliau mantan tentara. Jika melihat fisik dan romannya, benar beliau gagah, rautnya tegas, cocok jadi tentara.

“Selamat malam Bapak Baron dan kawan-kawan. Saya Putri Selasih sengaja ikut Temenggung untuk menemui Bapak-bapak terhormat” Ujarku berhenti di sisi semak hutan lindung. Mereka serentak menatap ke arah kami. Dari tatapannya aku tahu mereka kaget dan heran melihat ada perempuan tengah malam di hutan. Moncong senjata mereka sudah mengarah padaku. Temenggung kutarik ketika beliau maju ke depan hendak melindungi.

“Tidak usah Temenggung. Biarkan mereka” Bisikku.

“Jangan sakiti anak gadis ini, Pak Baron. Dia adalah sahabatku. Cucu kerabat leluhur kami. Jika kalian menyakitinya, kalian berhadapan denganku!” Suara Temenggung lantang. Pak Baron dan kawan-kawannya terbengong.

Di antara cahaya api unggun yang remang-remang wajah mereka bagiku tetap jelas. Nafas mereka sedikit memburu. Dada mereka turun naik menahan emosi. Tegang, cemas, takut, dan tidak yakin berhadapan dengan perempuan di rimba yang gelap, sepertinya membuat mereka seperti bermimpi. Mungkin ini adalah pengalaman pertama mereka melihat wanita di hutan malam-malam.

“Simpanlah senjata kalian. Saya ke mari hanya ingin berbicara baik-baik” Ujarku.

“Berhenti! Jangan mendekat. Engkau manusia atau demit sekali pun jangan mendekat kalau tidak kuberondong dengan senjata api ini. Apa urusannya dengan kami perempuan. Siapa kau!” Suara Bapak Bondan tinggi. Kuakui beliau sosok yang berani dan tegas. Sayang rasa cinta tanah air tidak menjiwa di batinnya. Buktinya beliau yang memimpin para anak buahnya menjarah hutan dan isinya.Mereka sengaja mendekatkan diri pada orang rimba untuk melancarkan misi pribadi.

“Aku manusia sepertimu Bapak Bondan. Tapi aku bukan maling licik seperti Bapak. Bapak telah memperalat Orang Rimba untuk memuluskan keinginan pribadi Bapak. Bapak tidak saja menjarah isi hutan. Tapi juga telah membodohi saudara-saudara kita Orang Rimba. Harusnya Bapak malu dengan jabatan Bapak” Ujarku masih sambil mendekat. Mata pak Bondan makin membesar. Mulutnya sedikit mengaga. Beliau masih tidak yakin ada manusia selain mereka.

Klek…klek..klek!

Beberapa kali tangan pak Bondan menarik pelatuk untuk memastikan senjata itu siap memuntahkan timah panasnya. Kutatap wajahnya mirip orang dungu. Di tengah remang dan kabut hutan, peluh pak Bondan mengucur deras. Bahkan anak buahnya menggigil seperti orang kedinginan. Tersenyum dalam hati. Begini ekspresi orang yang ketakutan. Hilang semua kegagahannya.

“Mengapa senjatanya, Pak? Tidak berfungsi?” Tanyaku. Wajah Pak Bondan makin panik.

Hiiiiaaat!

Tiba-tiba Pak Bondan mengayunkan senjata laras panjangnya ke arahku. Aku masih berdiri tidak jauh di hadapannya tidak menghindar sama sekali. Melihat gerakan cepat pak Bondan, Temenggung menjerit tertahan. Aku berkelit dengan cepat. Justru hantaman pak Bondan nyaris mengenai Temenggung kalau tidak kutepis tangan pak Bondan dengan kaki.

Melihat pukulannya mengenai angin kosong, emosi pak Bondan makin memuncak. Urat di wajahnya seperti hendak ke luar. Warna kulitnya bersemu merah. Tatapannya liar, semua otot di tangan dan lehernya pun ikut tegang. Ketika beliau bergerak ke dua kali hendak memukul, tubuhnya kubuat kaku. Pak Bondan berdiri seperti patung.

“Percuma marah pak Bondan. Bapak akan termakan oleh emosi Bapak sendiri. Senjata api kalian tidak berfungsi sama sekali. Pelatuknya sudah kurusak sejak tadi. Kalian tidak sadar bukan?” Ujarku membuat mereka semakin takut. Pak Bondan hanya bisa menatapku lurus dengan urat leher mengencang.

Aku maju selangkah mendekati Pak Bondan.

“Aku tahu, Pak Bondan punya ilmu kanuragan. Jika sudah mematung seperti ini apakah masih bisa menggunakan ilmu itu?” tanyaku. Matanya melotot merah. Kidam di dalam tubuhnya ikut marah. Bukan seorang pemburu kalau tangan kosong. Beberapa jimat dimiliki pak Bondan dengan berbagai macam fungsi. Ada penakhluk, pengasihan, kebal, dan lain-lain. Bahkan salah satu jimat yang dimilikinya pemberian Temenggung yang dibungkus dengan kain hitam, melilit di pinggangnya.

Prok..prok..prok!

Aku bertepuk tangan ke atas tiga kali. Tak lama dari hutan terdengar gemerusuk seperti banyak kaki menginjak daun kering dan ranting. Dalam gelap hanya terlihat sepasang mata biru makin dekat ke tempat kami berdiri. Rombongan pemburu langsung mengkeret saling himpit. Mereka ada yang memegang kaki pak Bondan, ada yang memeluk tubuh gempalnya, ada yang terkapar setengah pingsan, bahkan terkencing-kencing di celana. Sementara pak Bondan masih kaku berdiri dengan mata membelalak. Mereka tahu yang datang adalah sosok nenek gunung.

“Ampuuun neng, ampuun” suara gemetar salah satu mereka. Macan Kumbang dan Alif berdiri di sampingku. Temenggung juga ikut menjauh dengan menaiki pohon tidak jauh di hadapanku. Melihat tubuh besar hitam pekat Macan Kumbang, membuat mereka bergidik.

“Lihat pak Bondan, apa yang bisa Bapak lakukan dalam situasi seperti ini? Jika harimau kumbang ini hendak membunuh kalian, bukan hal sulit baginya. Sekali terkam habis kalian semua” Ujarku. Tidak ada yang menjawab kecuali gemeletak gigi yang beradu karena takut.

Sambil mengelus-ngelus punggung Macan Kumbang, aku kembali menggertak para pemburu.

“Berapa banyak bangsa cindaku yang kalian ambil, kalian bantai, kalian jual hidup-hidup? Kalian telah memperalat Suku Anak Dalam, Orang Rimba untuk menakhukan cindaku. Kalian telah merusak ekosistem rimba ini” Ujarku lagi. Tidak ada jawaban. Kutatap mereka satu-satu. Ingin sekali aku mencekik mereka satu-satu. Tapi tangan kananku seakan ditarik ke belakang, agar tidak melakukannya.

Bondan dan anak buahnya makin gemetar ketika aku mundur beberapa langkah, lalu aku ubah diriku menjadi harimau putih. Aku melompat lalu menggeram sambil mengais tanah hingga berlubang. Lalu aku dan Macan Kumbang mendekati Bondan dan kawan-kawannya. Sengaja kuendus-endus tubuh mereka. Bahkan Macan Kumbang menjilat wajah mereka satu-satu. Kelimanya pingsan dengan tubuh saling tindih seperti tumpukan manusia, kecuali pak Bondan pingsan sambil berdiri dengan mata terbelalak namun kosong. Air liurnya meleler hingga ke dada. Temenggung yang melihat kejadian di depan mata, semakin tinggi naik pohon. Beliau tidak bisa berkata-kata. Meski dia mengeluarkan mantra-mantra perisai diri tetap saja tidak berpengaruh baik padaku mau pun Macan Kumbang.

Setelah kembali ke asal, aku tidak bisa menahan tawa. Ternyata nyalih mereka tidak sebesar biji padi. Godam Pak Bondan memberontak, berusaha menyerangku. Beberapa pusaka yang ada di dalam tubuhnya bergerak-gerak hendak melawan.

“Jangan bergerak kalian, kalau tidak ingin kubakar” Alif maju mengancam. Makhluk-makhluk astral, godam pak Bondan akhirnya bersembunyi kembali.

“Kalau kalian hendak makan, makanlah Tuan kalian. Karena selama ini, kalian bodoh! Diperbudak oleh Bondan, manusia serakah. Dia kaya raya, kalian hanya diberi kembang, darah, sekadarnya. Tidak ada yang membuat kalian lebih sakti. Ternyata kalian bodoh sekali” Lanjut Alif. Aku senyum-senyum sendiri. Ternyata Alif bisa juga menjadi propokator dengan mengadu domba bangsa tak kasat mata dengan tuannya.

“Tapi pak Bondan selalu memberi kami makan. Tidak pernah terlambat sekali pun” Ujar salah satu makhluk astral itu.

“Itu pak Bondan melakukan itu karena beliau butuh tenaga kalian. Supaya kalian bisa beliau perintah ini dan itu. Selalu menjaganya, bahkan melakukan apa saja demi dia. Padahal kalian sedang diperbudaknya. Kalian bekerja, pak Bondan bahagia menunggu laporan kalian. Iya kan? Pak Bondan duduk-duduk bahagia menikmati jerih payah kalian. Yang hebat itu Pak Bondan, bukan kalian” Lanjut Alif lagi. Mendengar perkataan Alif mata mereka memerah menatap pak Bondan yang masih pingsan.

“Kamilah yang paling hebat. Kamilah yang punya kuasa. Bukan dia” Kata salah satu mereka sambil menunjuk pada Pak Bondan. Lalu dengan cepat dicakarnya kepala Pak Bondan. Yang lain ikut memukul-mukul kepala, jantung, hati, bahkan otak pak Bondan. Pak Bondan mereka siksa beramai-ramai.

Aku membiarkan makhluk peliharaan Pak Bondan menyiksanya. Beliau memang pantas mendapatkannya. Beliau terkenal kaya dan dianggap pengusaha sukses. Padahal beliau adalah maling, berotak licik dan keji. Segala cara beliau lakukan untuk kepentingan dan memperkaya diri.

Aku menatap Temenggung yang masih memeluk dahan di atas pohon.

“Kemarilah Temenggung. Mendekatlah ke mari. Temenggung melihat sendiri bukan jika kami bisa memutarbalikkan godam yang selama ini mengabdi dan menjadi bala tentara Pak Bondan, berbalik menyiksa tuannya. Demikian juga dengan balantentara Temenggung. Bisa kami putarbalikkan. Namun kami tidak hendak melakukannya, Temenggung. Kami menghargai Temenggung sebagai pewaris belantara ini” Ujarku meyakinkan. Temenggung makin merunduk malu. Wajah polosnya makin terlihat. Beliau mirip seperti tikus tercebur minyak. Tubuhnya makin kuncup seperti kedinginan.

“Saya berjanji, tidak akan menjual harga diri kami lagi, Selasih. Kami akan kembali merawat belentara yang tinggal secuil ini. Aku akan menghimpun rakyatku kembali untuk bersama-sama kembali merawatnya” Ujar Temenggung penuh penyesalan.

“Benar Temenggung, ajaklah Suku Anak Dalam, Orang Rimba lainnya yang masih tersebar di Bukit Barisan ini. Terutama di hutan-hutan Kerinci, seputara Bukit Dua Belas, Bukit Seblat, hingga ke hutan lindung bagian Selatan, Utara, Barat gunung Kerinci. Bangkitkan kembali hukum adat yang telah diwariskan oleh leluhur kalian Temenggung. Karena kedekatan dan kekukuhan itu telah banyak membantu kestabilan alam yang kita cintai ini” Lanjutku menyelipkan kembali atas nama leluhurnya. Sebab hanya dengan cara itu aku bisa meyakinkan mereka betapa pentingnya menjaga semesta alam. Dan Orang Rimba umumnya sangat menghormati leluhurnya. Temenggung turun lalu terbungkuk-bungkuk mendekat.

“Jika berkenan, izinkan aku dan rakyatku, berguru denganmu, Dis” Lanjut Temenggung. Mendengar keinginannya aku tertawa. Kedengarannya aneh Orang Rimba mau berguru dengan orang luar. Aku tahu mereka punya ilmu kuno yang aneh dan unik, dasyatnya luar biasa.

“Temenggung, apa yang Temenggung miliki luar biasa. Bukankah orang di luar rimba lebih banyak berguru pada Orang Rimba? Itu karena Temenggung hebat” Ujarku memujinya. Sebab meski sudah tua namun beliau tetap energik dan gagah.

“Tidak Putri Selasih, kami tidak punya ilmu yang bisa membuat orang seperti pohon. Diam di tempat seperti pak Bondan” Ujarnya. Mendengar itu lagi-lagi aku tertawa. Padahal kemampuan mereka melebihi sekadar membuat lawan seperti patung. Dalam sekejab mata, Orang Rimba mampu membuat lawan mati tanpa menyentuhnya. Akhirnya kujelaskan, jika mereka belajar padaku, maka mereka harus siap kehilangan ilmu-ilmu mereka yang bermacam-macam itu. Lalu mereka harus siap pula untuk meninggalkan belantara, hidup bersosialisasi dengan banyak manusia dari luar. Mendengar pernyataanku Temenggung berkerut berat menentukan pilihan.

Ketika kami masih asyik membahas tentang kemampuan dan keinginan Temenggung, tiba-tiba anak buah Pak Bondan ada yang siuman. Wajah cemas dan ketakutan membuatnya terlihat seperti orang setengah gila.

“Ampuuun Neng…ampuuun! Temenggung selamatkan kami. Mati aku. Kami tidak akan mengulanginya lagi. Aku menyesal. Ampuuun” Dia menangis seperti anak kecil. Ada rasa kasihan ada juga rasa ingin tertawa. Ketika ketakutan sudah sampai pada puncaknya, ternyata manusia sedikit rada aneh. Hilang rasa malu bahkan siap menggadaikan harga diri.

“Temenggung, kelima orang ini kuserahkan pada Temenggung. Silakan urus mereka. Kami izin hendak pulang” Ujarku lagi. Mendengar itu Temenggung kaget.

“Biarlah mereka di sini. Aku tidak mau mengurus mereka. Biarlah mereka dimakan beruang hutan, atau digigit babi hutan” Ujarnya menegaskan penyesalannya atau melampiaskan amarah, sulit dirumuskan. Dalam hati aku kasihan juga dengan lima orang ini. Akhirnya, kusadarkan kelimanya. Wajah kuyuh, pucat, seperti tidak dialiri darah membuat mereka nampak sedikit menyeramkan.

Kabut sisi hutan lindung ini makin tebal. Udara dingin makin menggigit. Api unggun para pemburu sudah mati. Akhirnya kami sepakat mereka ditinggalkan di sini saja., Biarlah mereka pulang sendiri setelah siang dan siuman. Sebelum pergi aku pagari mereka terlebih dahulu agar tidak diganggu oleh binatang buas.

Setelah semuanya beres, aku saling tatap dengan Macan Kumbang dan Alif. Keduanya tersenyum. Di samping mereka ada harimau kecil yang pertamakali kujumpai ketika masuk rimba gunung Kerinci beberapa jam yang lalu.

“Dia ingin berkenalan denganmu, Selasih. Namanya Aramba. Salah satu penghuni rimba larangan ini” Macan Kumbang menjelaskan. Aku menatapnya dalam-dalam. Dari awal bersua kami memang sudah saling sapa.

“Sini Aramba, aku Putri Selasih. Jadilah anak yang sehat, jujur, dan perkasa. Kamulah kelak yang bertugas melajutkan keturunananmu dan keamanan hutan ini. Jagalah bangsa kalian agar tetap lestari” Aku memelukknya erat. Serasa dihadapanku saat ini A Fung yang manja, yang selalu minta diperhatikan. Aku bahagia sekali bisa berkenan dengan Aramba.

Ketika aku merenggangkan pelukan, di balik semak belukar ke luar beberapa Orang Rimba laki-laki dan perempuan. Semuanya langsung mendekati Temenggung dan berdiri di belakangnya. Mereka berbincang dalam bahasa yang tidak kupahami.

Aku segera mohon diri pada Temenggung. Dan mengingatkan kembali beliau untuk terus menjadi gardah terdepan hutan lindung di sini. Melihat kami memutar belakang, Temenggung nampak menguaraikan air mata. Aku Alif dan Macan Kumbang, kembali menyilamkan diri, menuju istana Datuk Raden Samangga. Menemui Puyang Pekik Nyaring, Nenek Ceriwis, dan Nyi Ratih yang masih menunggu kami di sana. Ternyata, Aramba ingin ikut kami sampai ke puncak gunung.

Angin peggunungan medesing. Kami menembus halimun yang turun rendah. Aramba nampak sangat bahagia. Wajahnya selalu tersenyum. Anak kecil ini akan tumbuh menjadi nenek gunung yang hebat. Semua terlihat dari raut dan sinar matanya.

Bersambung…
close