Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 92)


Langit nampak gelap. Bahkan sangat pekat. Hanya satwa malam yang terdengar bernyanyi mengisi hening belantara. Aku baru saja melintas menembus belantara, lalu tertarik berhenti di sini. Sebuah sisi bukit yang menghadap ke Selatan dan tersembunyi.

Kehidupan gaib di atas bukit ini cukup ramai. Para penghuninya sibuk dengan aktivitas yang bermacam-macam. Umumnya mereka punya ladang layaknya seperti kehidupan manusia. Informasi ini kudapatkan dari Nenek Kam. Makanya aku sengaja melalui hutan satu ini untuk membuktikannya sebelum menuju bukit Pailan Ayam, Muare Cawang atau Marcawang, demi memenuhi undangan Puyang Bukit Selepah.

Beberapa sosok berusaha mendekat dan tersenyum menatapku. Mereka menyapaku seperti sudah kenal lama.

“Selamat datang di dusun kami cucung Puyang Kedum Tengah Laman. Terimakasih sudah berkenan singgah di dusun kami.” Sosok kakek – kakek menyapaku ramah. Keramahannya murni. Aku melihat cahaya bening di wajahnya. Aku segera mendekat dan memberi hormat pada beliau. Kain sarung yang dipakainya, mirip kain Kakek Haji Yasir. Warna hijau daun sedikit lusuh. Pinggirnya sedikit bergulung. Aku menerka-nerka bahan baju yang beliau pakai. Apakah sama dengan bahan deril seperti di alam manusia?

“Ratusan tahun lamanya tak satu pun cucu Puyang Kedum Tengah Laman menginjakan kaki kembali ke dusun kami. Meski untuk sekadar berburu rusa atau mengambil hasil hutan sebagai tali penyambung silaturahmi. Berbeda dengan hutan bagian utara dan selatan, saat ini sudah penuh dengam kebun dan kehidupan bangsamu.” Ujarnya. Aku sedikit terkesima melihat keramahtamahannya. Mereka makhluk astral yang berbudaya. Lain kelasnya dengan makhluk astral yang kutemukan sepanjang jalan menuju ke mari.

“Jadi zaman dulu, ada manusia yang menginjakkan kaki ke mari? Apakah hanya sekadar berburu dan mencari hasil hutan saja, Puyang?” Tanyaku. Sebab melihat wilayah yang sedikit tersembuyi ini apalagi zaman dulu rasanya memang tidak mungkin ada bangsa manusia yang ke mari secara fisik. Untuk tembus ke belantaranya tidak mudah. Gelap, semak, berpohon besar-besar dan tinggi di alam nyata. Kulihat-lihat untuk bisa sampai ke mari tidaklah muda. Medannya memang sangat sulit. Wajar saja bangsa manusia jarang ke mari. Dan aku justru bersyukur hutan di huluam dusunku ini tidak rusak seperti punggung bukit lainnya. Biarlah bangsa ini hidup tentram damai tanpa ada yang mengusik meski beliau berharap ada anak cucu Puyang Kedum Tengah Laman bisa sampai ke mari.

“Dusun ini ramai sejak ribuan tahun lalu, sebelum ada perkampungan manusia di lembah, namun Puyang-puyangmu telah dekat dengan kehidupan kami sejak dulu. Hubungan kami sangat baik. Tak jarang kami membantu Puyangmu, begitu juga sebaliknya. Tapi sekarang berbeda nilai hubungan silaturahmi manusia dengan bangsa kami. Banyak sekali bangsa kami dan bangsa manusia memanfaatkan hubungan mereka untuk kepentingan dan kebutuhan pribadi.” Ujarnya cerita tanpa kuminta. Beliau sosok seorang laki-laki dengan pakaian kampung yang sederhana. Kumis tipis yang telah beruban dan kerut di keningnya menapakkan jika beliau sudah sepuh. Apalagi melihat tongkat akar di tangannya untuk penompang tubuhnya yang sudah bungkuk ketika berjalan kurasakan energinya sangat kuat.

Mendengar penjelasan beliau, wajar jika Beliau langsung tahu siapa leluhurku. Lalu beliau juga melanjutkan ceritanya tentang orang-orang di dusunku yang dipercaya menjadi perpajangan tangan mereka untuk mengamalkan kebaikan, terutama pengobatan. Lalu diberilah mereka pusaka-pusaka berupa tombak, keris, siwar, kapak, batu akik, dan benda-benda unik lainnya sebagai media pengobatat. Selanjutnya mereka diberi juga seperti alat-alat rumah tangga, ada mangkok keramik disebut mangkok belantan, piring keramik, guren atau guci, nampan, dan lain-lain.

“Namun sayang, benda-benda itu tidak terawat dengan baik. Generasi sekarang banyak tidak menghargai leluhurnya. Benda-benda pusaka itu sebagian besar mereka jual sebagai barang antik” lanjut beliau. Mendengar cerita beliau aku jadi ingat dengan satu keluarga yang gila semua. Akibatnya satu dusun itu mencekam, sehingga penduduk dusun banyak yang pergi meninggalkan dusun itu pindah ke dusun lain. Akhirnya dusun itu hanya diisi oleh keluarga gila. Hingga kini keturunan mereka tetap banyak yang gila.

“Maafkan ketidaktahuan bangsa kami, Puyang. Bangsa kami memang sangat mudah tergiur dengan harta. Keinginan untuk kaya mendadak, tidak sanggup menerima kemiskinan dan rata-rata kurang bersyukur.” Jawabku. Setahuku Nenek Kam-lah yang telah membantu memutuskan ikatan nasab-nya. Bangsa jin yang menuntut tanggungjawab dan tidak terima pindah tangan, mereka protes sehingga menyakiti keluarga itu.

“Yang jelas karena bangsamu banyak yang tidak beriman.” Ujarnya lagi.

Akhirnya kakek- kakek bangsa astral dihadapanku ini mengajakku berjalan menyisir jalan kecil ke arah Barat. Aku mengikuti, berjalan di sampingnya. Bajunya yang tidak berkancing, melambai-lambai ketika beliau berjalan

Tubuhnya sudah bongkok. Tongkat yang dipegangnya menjadi penyanggah yang cukup efektif. Meski sudah sepuh tapi jalannya nampak ringan.

“Usia Puyang berapa tahun. Oh, maaf aku harus panggil Puyang apa? Nama Puyang siapa? Bagaimana aku akan bercerita dengan Puyang, Nenek dan Kakekku jika tidak tahu nama Puyang?” Ujarku panjang lebar setelah menyadari jika aku belum tahu namanya. Beliau tertawa terkekek-kekek.

“Kau sangat dekat dengan Kakek Njajau, bukan?” Tanyanya.

“Iya, beliau adalah kakekku, guruku. Puyang kenal dengan beliau?” Tanyaku lagi. Beliau kembali tertawa sambil menyekah jenggotnya yang tipis.

“Kakekmu itu, anak tunggal Puyang. Puyang dikenal oleh bangsa kami Puyang Telapak Abang. Usia Puyang mendekati dua ribu tahun, Cung” Jawabnya. Mendengar nama Kakek Njajau disebut, apalagi anak tunggalnya, aku kaget bukan main. Perasaanku menjadi terbang ke mana-mana. Sungguh aku tidak menyangka jika Kakek Njajau masih mempunyai ayah. Masya Allah, sungguh indah takdir hari ini. Aku sungguh tidak menyangka, kakek Njajau masih punya ayah. Puyang Tapak Abang yang baru kukenal malam ini. Aku masih mengimbangi langkahnya yang menurutku masih sangat normal meski tubuhnya bongkok. Usianya mendekati dua ribu tahun. Aku mereka-reka apakah Puyang Tapak Abang penguasa bukit ini?

Makin lama jalan yang kami lalui makin lebar. Aku tak tahu, Puyang Tapak Abang mau mengajakku ke mana. Aku patuh saja ketika beliau mengajakku berjalan masuk ke dusun. Yang jelas, aku juga tertarik dengan dusun yang tersembunyi ini. Semoga aku tidak terlambat untuk berjumpa Puyang Bukit Ulu Selepah. Kampung yang kulalui ini membuatku sangat tertarik.

Aku seperti melihat lukisan ketika menatap semua rumah yang bersusun bentuknya sama. Rumah baghi yang puncak atapnya seperti tanduk kerbau dengan dinding berukir dan beratap ijuk. Tangga-tangganya yang lebar dan berpapan tebal menampakkan kekokohan rumah-rumah baghi di sini. Nyaris setiap rumah di belakangnya ada paok layaknya rumah di perkampungan Besemah. Sebuah perkampungan yang asri. Namun sejauh berjalan aku tidak melihat penghuni rumah-rumah baghi itu. Kemana mereka aku membatin.

“Penunggu dusun pergi ke sawah, tengah ngetam padi” kata Puyang Tapak Abang menjawab batinku. Aku mengangguk-angguk. Jika di alam nyata padi masih hijau, di sini lain lagi.

Beberapa nenek gunung dari kejauhan terlihat melintas. Meski aram temaram, pencahayaannya kurang, namun semuanya tampak jelas. Bahkan tiap rumah ada kilangan pun terlihat dari jalan. Tidak dapat kubanyangkan jika lagi musim kopi. Pasti tiap rumah akan mengeluarkan suara berderit-derit karena setiap penghuni rumah sibuk mengisar buah kopi yang sudah masak. Lalu di halaman akan terbentang tikar-tikar menghampar, berisi buah kopi yang telah diisar.

“Itu bukan isaran kopi seperti di alammu, Cung. Isaran itu untuk menghancurkan pepadi. Kadang isaran tidak terpakai, cukup menggunakan berik di tiap belakang tengkiang. Di belakang itu ada sungai. Cuma adat kita, selain di bawah rumah wajib ada lesung, ada juga isaran” Puyang Tapak Abang mengarahkan telunjuknya ke beberapa rumah. Dalam hati aku mengakui kehebatan orang tua ini. Aku tidak perlu berucap, cukup dalam hati saja beliau sudah tahu.

“Puyang! Puyang!” Seorang anak lelaki kira-kira berumur enam tahun, berlari menuruni anak tangga menyongsong kami. Kami berhenti sejenak. Aku menatap lelaki kecil yang berjalan makin dekat. Matanya yang coklat berkilat-kilat. Aku gemes sekali melihat rambutnya yang ikal berwarna emas.

Setelah dekat dia langsung memeluk Puyang Tapak Abang. Nampak sekali anak kecil ini akrab dan manja dengan Puyang Tapak Abang. Apakah dia cucu kandung Kakek Njajau aku membatin. Tapi wajahnya tidak mirip. Anak ini terlihat sedikit kalem. Apalagi ketika kupegang kedua bahunya, lalu kutatap wajahnya, dia menunduk malu. Kalau kakek Njajau, sudah tak terhitung mengisengiku. Ketika aku kecil cara beliau mengajariku selalu dengan gaya isengnya. Bahkan mengajak aku bertarung sungguhan dan beberapa kali aku nyaris celaka.

“Kamu ganteng sekali sayang. Kalau sudah dewasa, jadilah pemuda yang gagah, jujur, dan hebat ya. Tebarkan kebaikan-kebaikan agar alam ini jadi seimbang” Ucapku menatap matanya tajam-tajam.

“Kamu akan menjadi pemimpin. Jadilah pemimpin yang bijak. Siapa namamu anak ganteng” Lanjutku setelah melihat keningnya makin dalam. Ada cahaya kepemimpinan di dalamnya. Anak ini cerdas, hatinya bersih dan jujur.

“Namaku Manggal Tuangsa. Ibungan mau kemana?” Jawabnya merdu. Dia memanggilku Ibung panggilan khas Besemah untuk perempuan yang dianggapnya lebih muda dari orang tuanya. Bukan dengan sapaan bibi. Sopan sekali anak ini.

“Panggilanmu siapa? Namamu bagus sekali. Kenalkan nama Ibung Putri Selasih” Ujarku senang.

“Tuang” Jawabnya singkat. Oh! Nama yang unik “Tuang”. Aku kembali merangkulnya. Diam-diam kusalurkan energi positif melalui pundaknya. Matanya makin bersinar. Dia tahu apa yang kulakukan. Ketika kutiup ubun-ubunnya, kususupkan sedikit kekuatan dari merapi gunung Dempu. Tuang malah tersenyum ketika keningnya selintas seperti bara.

“Terimakasih Ibungan, bahagia sekali kenal dengan Ibung.” Ujarnya lagi. Anak ini lebih dewasa dari usianya. Tuturnya sopan sekali. Aku mengangguk bahagia.

“Sama-sama calon pemimpin yang hebat. Bolehkah Ibung memeluk dan menciummu?” Tanyaku langsung dijawabnya dengan anggukkan. Aku langsung memeluk dan menciumnya, lalu kuangkat tubuhnya tinggi-tinggi. Tuang tertawa bahagia. Begitu juga Puyang Tapak Abang.

“Sifatmu sama persis dengan Puyang Kedum Tengah Laman. Beliau sangat senang dengan anak-anak, dan selalu memberi tanpa diminta. Peka dengan lingkungan. Bedanya, beliau sangat penyabar dan pengalah seperti Waknya, Puyang Rie Tabing. Sementara dirimu tegas, dan tidak mau kalah” Ujar Puyang Tapak Abang. Aku tersenyum mendengarnya. Apa yang beliau sampaikan benar adanya. Bahkan kerap kali aku tidak sabar, dalam situasi tertentu bisa bertindak kejam.

Setelah selintas berbincang-bincang, aku dan Puyang Talang Abang kembali berjalan. Tuang melambaikan tangan berkali-kali.

“Ibungan, kutunggu kehadiran Ibungan kembali kemari” Teriaknya dari beranda rumahnya. Aku mengangguk sambil ikut membalas lambaian tangannya. Puyang Tapak Abang hanya tersenyum melihat tingkah kami berdua. Aku juga merasa pertemuan kami sangat singkat. Aku tahu Tuang ingin bermain-main denganku. Namun waktu tak memungkinkan aku berlama-lama. Sebab setelah ini aku harus segera ke Muara Cawang menemui sesepuhku yang sudah menunggu di sana.

“Sedikit lagi kita akan sampai, Cung” Ujar Puyang Tapak Abang.

“Kita ke mana Puyang?” Ujarku setelah melalui dusun dan melihat jalan curam berbatu.

“Sebagai bagian dari leluhurmu, Puyang wajib mengajakmu menginjakkan kaki ke mari. Tempat ini pertamakali kau singgahi bukan? Kalau Nenek Kam tidak bercerita tempat ini, mungkin kau enggan sampai ke mari” Ujarnya.

Selanjutnya beliau bercerita jika budaya di dusun bunian ini banyak berubah. Semula mereka animisme. Bahkan tidak percaya sama sekali dengan Tuhan. Ketika Islam masuk ke Basemah ini, mereka hijrah memeluk agama Islam. Meninggalkan kepercayaan warisan leluhur mereka. Siapa yang menyebarkan agama itu? Tiada lain Puyang Kedum Tengah Laman. Beliau seorang pengelana yang gagah berani, jago di alam manusia dan di alam gaib. Makanya beliau bergelar Tengah Laman, karena beliau seperti ayam jago menjadi pendekar dan pelindung kelompoknya. Beliau mengenalkan agama pada manusia dan kami. Masjid yang ada di dalam perut bukit Marcawang itu, adalah bukit tertua yang pernah ada di sini. Tempat kami pertamakali menimba ilmu agama.” Lajut Puyang Tapak Abang menjelaskan. Usia Puyang Tapak Abang saja sudah ribuan, artinya di alam manusia, masjid itu usianya sudah ratusan tahun. Artinya pula, manusia di seberang Endikat ini mengenal agama sudah ratusan tahun juga.

“Tak tanggung-tanggung, Puyangmu memberi peluang pada semua makhluk untuk memperdalam ilmu agama, belajar ke Mekkah dan Aceh. Kakekmu Njajau juga pernah memperdalam ilmu agama di Aceh dan Yaman. Lalu belajar lagi ke Makkah sebelum dia pulang menjadi penjaga Endikat dari huluan sampai hilir” Lanjut Puyang Tapak Abang lagi. Aku mengangguk-angguk mendengar penjelasan Puyang Tapak Abang. Baru tahu aku jika Kakek Njajau pernah belajar agama sampai ke Aceh bahkan ke negara Arab. Pantas beliau begitu taat, ternyata sudah belajar agama ke mana-mana.

Aku terkagum-kagum melihat batu-batu yang menonjol seperti bongkahan emas. Bahkan bergelimpangan ke sana ke mari besar dan kecil. Demikian juga pasirnya adalah butiran-butiran emas yang terhampar

“Puyang, ini batu dan pasir dari emas semua. Emas murni?” Tanyaku kaget.

“Iya, kau tidak tahu kan kalau dusunmu ini mengandung emas murni. Tak sedikit yang mengincar bukit ini. Mereka adalah bangsamu” Mendengar itu aku berhenti sejenak. Lama aku mengamati batu emas yang berundak-undak lalu di bawahnya butiran emas berserak begitu saja. Puyang Tapak Abang benar, sebelumnya aku pernah mendengar dari Ibu tentang pancuran emas dan Puyang Kedum Tengah Laman. Ibu hanya bercerita sebatas itu. Tidak ada kelanjutannya. Hari terjawab sudah ada hubungan Puyang Kedum Tengah Laman dengan bukit yang berbatu dan pasir emas ini.

Di tengah terpukauku, aku merasakan bukit ini sengaja disilamkan. Selintas aku bersyukur bukit ini disilamkan. Jika tidak, aku yakin bumi tidak akan aman tentram seperti saat ini.

“Tunggu Puyang!” Ujarku sambil mengayunkan tangan ke atas. Aku segera membaca mantra, menguatkan agar bukit ini tidak terlihat terutama oleh bangsaku. Aku tahu, bangsaku adalah bangsa yang serakah. Aku khawatir akan terjadi perpecahan, perang saudara di Seberang Endikat ini jika mereka tahu di sini ada bukit emas. Membayangkannya saja aku ngeri. Aku tidak mau itu terjadi.

Puyang Tapak Abang menatapku diam. Beliau berdiri di batu datar selebar ambal kecil dan tebalny kurang lebih satu meter. Dan itu emas murni semua. Jantungku berdebar-debar melihat keajaiban ini. Belum lagi batu di belakang Puyang, dua kali tinggi orang dewasa. Jadi teringat dengan masjid di bawah bukit Marcawang, enteriorny kuning emas. Bisa jadi emas murni dari bukit ini. Masya Allah, batinku tak henti berucap kagum.

Huf!! Huf! Huf!

Aku mulai bekerja menyelimuti bukit emas ini. Bukit ini kusilamkan sama persis ketika aku menyilamkan istana kerajaan Timur Laut Banyuwangi dari pandangan batin manusia dan makhluk astral. Puyang Tapak Abang benar, huluan Endikat ini perlu diselamatan. Karena sumber air di sini banyak membantu kehidupan di lembah.

Aku tak ingin orang-orang di lembah berubah haluan menjadi pemburu emas ke mari. Bisa dipastikan, jika di sini jadi tambang emas, maka alam akan rusak. Penambang-penambang emas emas liar akan berdatangan dari mana-mana. Bukit dan sungai akan rusak seperti di bukit pedalaman Muratara yang pernah kudatangi dulu. Akibat penambang liar berapa bukit habis menjadi parit-parit curam, lalu muncul danau-danau kecil dan tanah gersang. Di lembah, air sungai yang tercemar air raksa dikonsumsi oleh penduduk dusun yang tidak mengerti apa-apa. Masa depan generasi mudanya terancam. Berapa tahun lagi penyakit gatal-gatal akan muncul. Salah satu efeksnya janin ibu hamil dan balita akan terhambat pertumbuhannya jika mengkonsumsi air yang telah tercemar tersebut.

Setelah semuanya aman, aku kembali ikut berjalan di belakang Puyang Tapak Abang menyisir tebing yang semakin lama semakin dalam. Dari dasar tebing aku mendengar suara gemericik air pancuran. Semakin ke bawah semakin jelas suaranya. Benar saja, si dasar tebing ini ada pancuran emas, air yang jatuh pun seperti emas cair menimpa batu ceper dari emas juga.

“Putri Selasih, duduklah kau di bawah pancuran emas itu. Biarkan air pancuran itu tumpah persis menimpa ubun-ubunmu.” Puyang Tapak Abang menyuruhku duduk persis di bawah pancuran. Apa maksudnya aku belum paham. Aku patuh saja menututi perintah Puyang Tapak Abang.

Melihat sekelilingku emas murni semua, Masya Allah aku berusaha menenangkan dadaku. Bagaimana pun sebagai manusia aku takjub melihat bukit emas di hadapanku. Sementara di tubuhku hanya ada satu gram emas yang menempel di telinga menjadi subang kecil, hanya sebesar debu di sini. Itupun tidak murni seratus persen emas. Warnanya makin lama makin buram. Menghitam!

Aku mulai melangkah menuju pancuran air emas. Kukira batu emas yang basah tertimpa air yang menyilaukan ini licin. Ternyata tidak. Aku seperti menginjak pualam saja. Dingin meresap.

Bissmillahi rahmanir rahiim. Aku mulai berjalan menuju pancuran. Puyang Tapak Abang mengikutiku dari belakang. Saking takjubnya, aku mengelus-ngelus dinding sambil menuju pancuran.

Dasar tebing ini sebenarnya sunyi. Hanya percikkan air saja mengisi ruang dasar tebing. Instingku mengatakan tidak sembarangan bisa mandi di pancuran emas ini. Mereka ke mari adalah makhluk-makhluk pilihan yang dianggap pantas oleh Puyang Tapak Abang.

Sebelum duduk aku membaca doa terlebih dahulu. Cahaya berwarna ungu muncul menyelubungi area pancuran. Puyang Tapak Abang memilih duduk di sisi selatan batu yang tertimpa air. Jarak kami sekitar empat meter.

Pertama kali air seperti tumpahan emas yang berwarna kuning kubiarkan menimpa kakiku. Terasa hangat!

“Assalamualaikum air emas, izinkan aku menyentuhmu. Sebagai sesama makhluk, aku mengagumimu. Cahayamu yang kemilau membuat dadaku sedikit bergetar. Karena aku tidak pernah melihat bukit emas sebelumnya, dan air yang berwarna emas pula” Ujarku sambil menyentuh air dengan membuka telapak tangan terlebih dahulu. Masya Allah, air emas ini tetap mengucur menembus telapak tanganku. Persis sama ketika ia jatuh seperti biasa di batu.

“Air emas! Kau semakin membuatku takjub. Allahu Akbar!” Aku sedikit berteriak. Dan kembali menadahkan kedua belah tapak tanganku. Aku tidak bisa menampungnya dengan telapak tangan untuk sekadar memastikan warna cairannya. Aku menoleh segera pada Puyang Tapak Abang. Beliau tersenyum melihat tingkahku yang rada aneh.

***

“Bismillah…” Aku berbisik dalam hati mulai mengatur posisi untuk duduk persis di tengah pancuran. Bisa kubayangkan air emas ini pun akan jatuh lurus melalui sekujur tubuhku. Ajaib sekali! Aku akan terlihat seperti kapas karena air yang mengucur langsung menembus tubuhku.

Rasa hangat ke sekujur tubuh langsung aku rasakan ketika air berwarna emas mulai menimpa kepalaku. Baru kali ini jantungku berdebar-debar menghadapi hal baru. Biasanya aku tidak peduli dan mengikuti intruksi dari sesepuh dengan santai. Kali ini tidak. Aku merasakan debur jantungku lebih kencang dari biasanya. Mungkin karena aku manusia, ketika melihat bukit emas muncul keinginan memiliki sedikit saja. Ada nafsu mendorong-dorong batinku untuk memilikinya. Dalam hati, jika aku mau, aku bisa memiliki semuanya.

Ketika ingat harta tidak akan dibawa mati, dan jangan pernah mengambil yang bukan hakmu, aku segera istighfar. Kubuang semua rasa yang dapat menjebakku ke jurang nista. Godaan setan benar-benar membuat jantungku bedegup tidak teratur. Akhirnya aku segera mengendalikan diri dengan mengucapkan istighfar berkali-kali. Kutarik nafas panjang-panjang lalu kuhembuskan kembali. Aku berusaha membersihkan diri lahir batin. Lalu aku sujud sejenak memohon ampun kepada Allah atas semua niat kotor batinku meski hanya selintas saja.

“Tidak! Aku hidup bukan untuk mencari harta. Terimakasih Yaa Allah masih menumbuhkan perasaan manusiawiku. Terimakasih atas kasih sayang-Mu. Kau pelihara aku dari perasaan dan keinginan. Perasaan pertanda aku adalah manusia biasa. Bantu hamba Yaa Allah, agar perasaan ini tidak tumbuh subur di kalbuku.” Batinku berbicara. Lalu secepatnya aku istighfar kembali. Membuang semua keinginan nafsu yang hendak mengendalikan diriku.

Aku mulai fokus merasakan kehangatan air emas yang menimpa tubuhku. Tubuhku terasa semakin ringan. Puyang Tapak Abang mengintruksikan aku membaca beberapa surat pendek dan beberapa ayat. Aku pun membacanya dengan khusuk. Kupasrahkan semuanya sepenuh jiwa. Makin lama tubuhku terasa semakin ringan. Entah bagaimana dan bermula dari mana tiba-tiba aku seperti berdiri di hadapan ruang yang lapang dan terang. Semuanya berwarna emas berkilau-kilau. Berkali-kali aku melafaskan takbir.

“Masya Allah Puyang, aku masih hidup di alam manusia bukan? Aku bukan berada si surga, aku belum mati bukan?” Suaraku bergetar sembari menatap ke atas dan sisi pintu gerbang. Tiang besar lalu ornamen atasnya yang melengkung, ditambah lagi dengan pernak-pernik berukiran dan mejuntai. Angin berhembus lembut menyentuh untaian pernak-pernik menghasilkan bunyi gemerincing.

“Ini adalah pintu gerbang masuk ke bukit emas, Selasih.” Lanjut Puyang Tapak Abang.

Aku menoleh. Namun kaget karena pancuran emas lenyap, lalu tiba-tiba aku sudah berada di depan pintu gerbang. Belum usai rasa takjubku, tiba-tiba seorang wanita anggun berambut emas berjalan menghampiri kami. Senyumnya sangat lembut dan manis menyembul di antara cahaya emas yang berkilau. Aku seperti menonton seorang foto model yang berjalan di atas catwalk. Tubuhnya semampai, berambut lurus dan panjang melewati pinggulnya. Tertutup selendang panjang yang sama jatuhnya dengan rambutnya yang panjang. Gaun panjangnya bergerak lembut ketika kakinya melangkah pelan. Dalam hati aku bertanya siapa dia? Alangkah cantiknya makhluk ini. Sempurna!

“Puyang…” Aku menatap Puyang Tapak Abang untuk meminta penjelasan beliau. Wanita anggun itu semakin dekat. Aroma wangi semerbak tersebar memenuhi semesta. Puyang Tapak Abang tersenyum lebar menatapku. Matanya yang berkerut semakin kecil.

“Tataplah Selasih, kau pasti kenal siapa wanita cantik itu” Lanjut Puyang Tapak Abang. Aku berpikir keras. Kenal? Dimana?

“Maafkan Puyang, aku belum pernah bertemu sebelumnya dengan bidadari itu” Jawabku sedikit bergetar. Tapi batinku terasa mengenalnya. Mataku tidak lepas menatapnya. Aku memang seperti dihipnotis menatapnya. Yang membuatku terkesima tidak saja tingginya yang semampai. Tapi rambut, paras, dan kulitnya betul-betul bening berkilau.

“Assalamualaikum Putri Selasih” Sapanya setelah dekat. Aku buru-buru menjawabnya. Aku tak menyangka beliau mengembangkan tangan, mengisyaratkan agar aku memeluknya. Tanpa ragu aku mendekat dan memeluk tubuhnya yang wangi. Rambutnya yang tergerai, tersentuh olehku terasa sangat halus dan lembut.

“Kali kedua kita bertatap muka seperti ini Selasih. Meski secara tak kasat mata, aku sering kali melihatmu melintang pukang di alam gaib dan alam nyata. Akhirnya sampai juga kau kemari” Ujarnya masih merangkul pundakku. Tersenyum lebar menatapnya. Oh! Sinar matanya seperti sangat kukenal. Warna bola matanya tidak hitam, tapi coklat keemasan. Sekilas warna coklatnya seperti bola mataku.

“Maafkan aku, sebelumnya kita pernah jumpa di mana, Puyang?” Tanyaku hingga saat ini tidak menemukan peristiwa bersua dengan wanita cantik ini. Saking terkesimanya, aku lupa menyisir perjumpaan dengan beliau. Padahal dengan melihat matanya, aku bisa mencium berbagai peristiwa yang pernah kami lakukan.

“Akulah yang melayanimu ketika dirimu disimpan di masjid Bukit Mercawang, ketika dua peri dari Banyuwangi hendak menculikmu.” Ujarnya merdu. Aku menatapnya dalam-dalam. Sungguh tidak mirip dengan wanita yang pernah bersua deganku di masjid bawah tanah itu kecuali matanya. Tapi yang mana? Aku meragu. Kembali batinku menyatakan jika beliau dekat denganku.

Tak!

Beliau menjentikkan jarinya. Masya Allah! Aku kaget! Beliaulah yang selalu tersenyum mengarahkan aku ketika sedang berzikir di dekat tiang masjid. Kalau pun penampilannya berbeda, memang beliau menyamarkan diri waktu itu. Beliau pula yang mengambilkan aku madu lalu meminumkannya.

“Aku Putri Rambut Emas, Selasih.

Adik Puyang Kedum Tengah Laman” Ujarnya lagi. Pahamlah aku. Beliau saudara Puyang Kedum Tengah Laman dari bangsa makhluk astral. Pantas terasa ada kontak batin yang membuatku seakan kenal dengannya. Ternyata memang kami pernah berjumpa sebelumnya. Tapi mengapa pada waktu itu beliau tidak mengenalkan diri jika beliau adalah adik Puyang Kedum Tengah Laman?

“Maafkan atas ketidaktahuanku, Puyang.” Aku kembali mencium tangannya. Kulitnya halus sekali. Tidak seperti kulitku. Sebenarnya aku ‘kagok’ memanggilnya Puyang melihat sosoknya yang cantik dan masih terlihat muda. Namun secara adat dan silsilah, tetap saja aku harus memanggilnya Puyang. Puyang Putri Rambut Emas.

“Kau sedang berada di bukit Emas, bukit silam dari jajaran Bukit Barisan, Selasih. Bukit ini adalah saksi jika tanah Besemah ini sangat kaya. Terimakasih kau sudah membantu mengunci bukit ini. Kau benar, Selasih. Tanah ini kelak akan menjadi incaran banyak orang. Di lembah akan hadir para pendatang sedikit banyak akan mengubah pola pikir dan karakter orang seberang Endikat. Tanpa kalian dan orang Besemah sadari, pelan-pelan dengan alasan pembangunan, bukit-bukit di sini menjadi incaran orang-orang tertentu. Bukan menjadi incaran untuk jadi ladang dan perkembunan. Tapi diincar untuk dikeruk hasil buminya; gas alam, emas, dan minyaknya. Suatu saat uluan Endikat akan terbuka dengan dalih pemerataan pembangunan. Padahal mereka tengah mengincar titik-titik yang dianggap potensial untuk diambil hasilnya. Sementara penduduk Seberang Endikat ini tidak menyadarinya” Lanjut Puyang Putri Rambut Emas sambil berdiri.

Apa yang beliau sampaikan benar adanya. Saat ini entah berapa persen Seberang Endikat ini sudah kehilangan belantaranya. Beberapa bukit telah didaki oleh para pendatang dengan alasan hendak menguak sejarah tentang sepakterjang puyang, tentang perjuangan suku Besemah masa peperangan, tentang keindahan alamnya, konon ada ornamen indah, lukisan-lukisan di dinding cadas, ada danau yang berwarna merah, lalu pernah ada yang melihat di dasar danau seperti berdiri candi-candi yang terendam mirip istana. Bangsa manusia tidak tahu jika itu pemandangan gaib yang diperlihatkan oleh sesepuh di huluan bukit.

Setelah berbincang yang kuanggap cukup rumit dan berat, akhirnya aku diajak Puyang Rambut Emas dan Puyang Tapak Abang berjalan memasuki pintu gerbang. Sekali lagi aku takjub dengan semua yang ada. Tidak satu pun yang kulihat di sini tidak terbuat dari emas. Jalan yang kami telusuri halus namun tidak licin. Ketika aku menatap ke bawah, telapak kakiku berkilat seperti cahaya emas juga.

Aku berjalan pelan di antara dua Puyang. Menikmati perut bukit yang berlorong lurus. Setelah berjalan kira-kira seratus meter, aku lebih terkesima lagi, di hadapan kami ada ruang yang sangat luas, di tengah-tengah ruangan ada semacam meja bundar yang tingginya hanya sebatas lutut. Lalu di alas permadani berwarna keemasan juga. Nampaknya ini tempat berkumpul, semacam meja bundar tempat rapat jika di alam manusia. Di beberapa sudut ruangan, ada sofa-sofa mewah yang berukiran khas Palembang. Belum lagi gerobok besar, bupet, kendi dan guci yang tertatah. Satu sudut aku melihat berbagai macam senjata. Ada gubang, kuduk, gerpu, gerahang, pedang, balau, sengkuit, tuai, pangkur, pegait, dan panah. Entah berapa ratus jumlanya berjejer mirip sebuah dagangan. Di sudut satu lagi, alat-alat rumah tangga tertatah rapi. Ada bubu, sesauk, nighu, kinjagh, bake, bakul betakup bertanggung-tunggung, tikagh pugghun, adas, serindak, dan lain-lain. Yang membuatku terbelalak adalah baju-baju serupa gamis, baik untuk lelaki mau pun perempuan yang tergantung semua terbuat dari emas. Masya Allah!

Puyang, terimakasih sudah mengajakku kemari. Aku terkagum-kagum melihat semuanya ini. Baru kali aku melihat semua terbuat dari emas. Bahkan batu dan pasir pun emas. Kolam berair emas mengalir gemricik. Tiba-tiba aku kaget dari sebuah lorong muncul kepala ular naga yang berkumis panjang merangkak berjalan menuju kami.

Langkahnya sedikit berbunyi seperti berat sekali. Matanya berkilat-kilat ke sana ke mari. Ketika mata itu bertabrakan dengan mataku, tiba-tiba naga emas itu berubah menjadi sosok manusia. Dia seorang lelaki berkumis tipis, memakai celana tiga perempat, berbalut songket di pinggang, memakai tanjak dan rompi yang tidak menutupi dadanya yang bidang. Tak lama muncul satu lagi ular naga berwarna emas sama besarnya dengan yang pertama, ketika berdiri di depanku berubah juga menjadi pemuda yang gagah. Pakaian mereka sama. Wajah mereka mirip. Aku mengamati keduanya untuk melihat apa yang membedakan dua pemuda ini?

Melihat keherananku, Puyang Putri Rambut Emas menjelaskan kedua pemuda yang berdiri di hadapanku adalah penjaga bukit ini. Biasanya mereka akan menjaga di atas bukit. Aku mengangguk paham dan berkenalan dengan mereka berdua. Namanya Naga Paila dan Naga Paili. Mereka terlahir kembar. Melihat sosok mereka aku yakin mereka memiliki kemampuan yang tidak biasa. Mustahil mereka dipercaya menjadi penjaga bukit emas kalau biasa-biasa saja. Apalagi bukit emas ini tidak hanya diminati oleh bangsa manusia, tapi juga oleh bangsa makhluk astral, kata Puyang Tapak Abang.

“Paila dan Paili, ajaklah Putri Selasih keliling di bukit ini sebelum beliau ke Mercawang bertemu dengan para Puyang” Ujar Puyang Putri Rambut Emas. Aku menatap keduanya. Keliling?

Cliing!

Tiba-tiba salah satu Naga menggerakkan tangannya ke atas, lalu seperti menarik sesuatu, muncullah permadani seperti lempengan emas membentang di hadapan kami. Aku disilakan naik permadani oleh Puyang Tapak Abang. Lalu diikuti oleh Naga Paila dan Naga Paili. Puyang Tapak Abang dan Puyang Putri Rambut Emas tidak ikut rupanya. Beliau menyuruhku keliling untuk melihat tiap sudut ruangan di perut bukit ini.

Suiiiiing! Permadani mulai bergerak naik. Aku meringankan tubuh agar tidak limbung. Naga Paili dan Naga Paila berdiri di belakangku.

“Kalian berdua, nampak sangat gagah dan berwibawa. Baik dalam bentuk sosok seperti ini apalagi ketika dalam bentuk ular naga” Ujarku jujur sambil menikmati setiap ruang yang berkilau.

“Alhamdulilah, Terimakasih Putri Selasih. Baru kali ini kami mendapatkan pujian dari bangsa manusia. Dan baru kali ini pula kami berinteraksi dengan manusia. Sebelumnya meski kami kerap melihat manusia, namun tidak pernah berinteraksi apalagi penampakan diri. Ujar salah satu mereka. Karena sangat mirip aku tidak bisa membedakan yang mana Paili yang mana Paila.

Sambil melihat-lihat dari ruang satu ke ruang lainnya, kedua kembar ini bergantian menjelaskan beberapa tempat yang kutanyakan. Semua ruangan punya nama, pun terbuat dari emas. Mulai dari lantai, dinding, langit-langit dan berbagai macam properti yang ada. Yang membuat aku terpukau kala melihat kaligrafi berisi tulisan Ayatul qursy terpampang lebar di salah satu dinding. Lalu di tiang-tiang yang melindungi atasnya, huruf timbul Asmaul Husna.

“Bagian atas dinding kaligarafi Asmaul Husna, Selasih. Dan tiang-tiang yang berukiran itu jumlahnya ada tujuh belas melambangkan jumlah rakaat solat fardu siang malam. Di langit-langit mulai dari sana cuplikan doa para nabi.” Naga Paila menjelaskan. Aku tidak mampu berkata apa-apa. Semuanya membuatku berdecak kagum. Padahal ini bukan ruang masjid.

Akhirnya sampai pada satu ruangan, aku melihat perhiasan dengan berbagai bentuk dari yang kecil hingga paling besar. Jika sebelumnya aku melihat baju yang terbuat dari emas, ternyata belum seberapa jika dibandingkan baju-baju emas yang ada di sini.

“Wow! Allahu Akbar!” Aku berdecak kagum. Naga Paila menyuruhku mengambil perhiasan, lempengan, batangan atau gulungan emas yang kusuka. Aku segera menolaknya. Kembali Naga Paila menyuruhku mengambil sesukaku. Dibantu pula Naga Paili menegaskan agar aku mengambil emas sebanyak-banyaknya sesuai pilihanku. Sejenak aku berdiri di hadapan ruang yang luar biasa ini. Entah mengapa tak ada sedikit pun keinginanku untuk mengambilnya. Bahkan memegangnya pun aku tak berminat. Aku hanya mengagumi keajaiban di depan mata.

“Tidak Naga Paila dan Naga Paili. Aku tidak inginkan emas-emas ini meski secuil. Biarlah dia menjadi milik kalian, milik alam Seberang Endikat ini” Ujarku.

Meski mereka menyuruhku mengambil, dan ada hubungan kekerabatan dengan Puyang Kedum Tengah Laman leluhurku, tapi bukan berarti aku hendak memanfaatkan kesempatan. Jika aku mengambilnya, bukan berarti mengambil begitu saja. Namun benda-benda ini akan menjadi jembatan, semacam perjanjian gaib baik langsung maupun tidak sebagai syarat meski tidak dilisankan. Aku tidak ingin kelak terkait pada anak cucuku sementara mereka tidak paham dan mengerti tentang hal ini. Sebab tidak sedikit aku melihat peristiwa hubungan manusia dengan jin yang semula tanpa syarat, pada akhirnya membuat bangsa manusia dalam kesulitan. Ada yang sakit menahun meski berobat namun tidak sembuh-sembuh. Ada yang gila, dan lain sebagainya. Keluarga mereka seperti diterror oleh perjanjian antar mereka. Aku tidak ingin seperti itu. Aku akan menerima pemberian mereka, tapi tidak dengan cara seperti ini.

Aku berdiri di depan sudut ruangan yang pohon emasnya. Pohon emas itu ditumbuhi jamur dengan berbagai bentuk besar dan kecil, bertumpuk-tumpuk layaknya jamur di alam manusia. Aku jadi ingat cerita para Kakek dan Nenekku tentang puyang Rie Tabeng kebunnya selalu ditumbuhi jamur emas sehingga membuat Puyang Serunting Sakti iri dan menghasut istrinya untuk membujuk Rie Tabing agar mau diajak tukaran dengan kebunnya. Padahal kebunnya semak belukar tak terurus.

Akhirnya kami ke luar dari ruangan itu. Aku baru sadar jika sejak tadi aku tidak bertemu dengam sosok penghuni istana emas ini kecuali dengan Putri Rambut Emas dan naga Paila dan Naga Paili.

“Mengapa setiap ruangan sunyi sepi. Kemana penghuninya? Dari tadi aku hanya melihat kalian berdua dan Puyang Rambut Emas bersama Puyang Tapak Abang” Ujarku setelah menyadari kondisi.

“Semua sedang berada di masjid, ada pengajian Akbar di sana” Ujar Paili. Masjid? Di mana masjidnya? Bisa kubanyangkan semua ruangan di sini saja semuanya dari emas. Apalagi masjidnya.

Tanpa kuminta, permadani emas bergerak mengantarkan aku ke masjid. Jiwaku bergetar hebat ketika berada dipelataran masjid. Masya Allah, keindahan masjid ini tidak ada sedikit pun menyamai keindahan di alam nyata. Kilauan emas dengan ornamen yang religi terlihat jelas menghiasi dinding dan sisi jendela. Tiang-tiang besar semua berukir terbuat dari emas murni. Lampu-lampu kristal dengan bentuknya yang beragam pun dibalut dengan emas. Cahayanya kemilau, mewah, dan tidak membosankan. Aku menongolkan kepala sedikit dari jarak yang jauh. Masya Allah, benar! Ruangan masjid yang luas dipenuhi oleh jamaah lelaki dan perempuan dengan bentuk sempurna seperti manusia. Dan yang membuatku kagum mereka mirip boneka yang sedang duduk karena kepala, kerudung, semuanya bercahaya emas semua.

Kajian keagamaan disampaikan dalam bahasa yang asing ditelingaku. Bukan bahasa Arab, tapi ada mirip-mirip bahasa Besemah.

“Bahasa yang disampaikan oleh Puyang guru itu adalah Bahasa Besemah Kuno, Selasih.” Ujar Naga Paili.

“Bahasa Besemah Kuno?” Aku membatin. Jadi bahasa yang kami pakai dalam kehidupan sehari-hari ini telah banyak mengalami perubahan. Tidak sama dengan bahasa nenek moyangku. Masya Allah kembali aku kagum. Artinya beberapa abad yang lalu tanah Besemah ini sudah ada kehidupan. Sudah ada peradaban.

“Apa bedanya dengan bahasa Besemah saat ini, Naga Paila?” Tanyaku.

“Banyak sekali, Selasih. Nyaris setiap kata.” Jawabnya.

“Untuk menyatakan sesuatu pada benda yang kita sayang, disebut ‘kadok’. Menyebut benda terbuat dari plastik disebut ‘penyu’, dan lain sebagainya.” Aku mengangguk-angguk mengingat Kakek Haji Yasir pernah juga menyebut plastik penyu. Lalu pernah pula kudengar kata kadok sesekali ketika beliau menyatakan sayang pada benda tertentu. Bahkan beberapa ungkapan untuk sesuatu hal yang dianggap tabu, waktu aku kecil sering kali mendengar dari tutur orang-orang tua jika menyebut seseorang yang sedang mengandung dengan sebutan “dang bayang bumi”. Bukan seperti sekarang dengan mudahnya menyebut kata hamil di depan orang tua, atau lawan jenis. Jika hal itu diucapkan seorang gadis, perempuan di depan saudara lelakinya, atau ayahnya, maka dapat disimpulkan anak perempuan itu tidak beradab, tidak punya etika dan kurang ajar.

Aku segera duduk mendengarkan semacam kajian yang disampaikan Puyang guru. Semuanya nampak khusyuk mendengarkan. Tidak ada yang menoleh atau sekadar melemparkan pandang melihat kehadiranku. Tak lama pelan-pelan aku mengundurkan diri ke luar dari barisan jamaah perempuan untuk melanjutkan perjalanan kembali.

“Akan kemana lagi kita, Naga?” Tanyaku setelah berada di pelataran masjid. Aku bergerak menaiki permadani kembali. Permadani tetap terbang rendah. Kali ini aku seperti diajak di alam terbuka. Dan kembali kulihat bongkahan batu emas dan pasir di pelataran masjid berupa taman dan bukit. Aku seperti berada di alam mimpi saat melihat pohon, bunga, dan rumput, semuanya mengilaukan cahaya emas. Aku menggeleng-geleng ketika menyentuh satu daun kering, ternyata emas juga. Lalu kuletakan kembali sambil menatap buah yang menjuntai.

“Pohon apa ini, Naga?” Tanyaku melihat pohonnya besar tinggi dan kekar. Buahnya berbentuk agak pipih menyembul di antara daun. Lebat sekali.

“Ini pohon gayam, Selasih.” Aku segera mendongak kembali. Pohon gayam? Pohon ini kutemui ketika aku masih kecil tumbuh di dekat paok kak Haji Yusuf dekat rumah kami di Talamg Jeruk Pagaralam dulu. Di bawahnya ada mata air yang sangat bening. Jika melihat buah gayam jatuh, serasa dapat rezeki. Karena kalau digoreng, rasanya enak sekali. Lalu di alam gaib ini aku melihat pohon gayam yang usianya mungkin ribuan tahun berbuah lebat seperti pohon emas. Aku segera menatap ke bawah. Oh! Ternyata ada mata air yang menyembul dari sela akar. Mungkin air dari sinilah yang mengalir di pancuran tadi. Pohon ini kalau di alam dunia, diyakini pohon yang paling digemari oleh bangsa gundorowo, kuntilanak, dan makhluk astral lainnya.

Kami kembali bergeser. Permadani meliuk persis mengikuti jalan kecil yang lurus dan berliku. Sementara kiri kanan jalan ditumbuhi bunga-bunga kecil dan besar yang ditata sedemikan rupa

Ada yang tumbuh di tebing-tebing, di dinding-dinding. Semuanya mengeluarkan cahaya.

“Sudah habis waktumu, Selasih, saatnya pulang melanjutkan perjalanan ke huluan” Suara Puyang Bukit Selepah. Aku terkesima mendapatkan teguran itu. Nyaris aku lupa jika aku dalam perjalanan.

“Iya Puyang. Aku segera pulang” Ujarku buru-buru.

Aku segera menoleh pada Naga Paila dan Naga Paili. Keduanya memahami maksudku. Permadani yang kami tumpangi dengan cepat menuju tempat pertama kali kami jumpa. Puyang Tapak Abang dan Puyang Putri Rambut Emas tersenyum menyambutku. Ada tiga sosok sesepuh yang belum kukenal ikut tersenyum menatapku. Aku membalas senyum mereka dan mengganggukkan kepala memberi hormat.

“Puyang, maafkan aku. Sebenarnya belum puas aku berjalan berkeliling di istana dan bukit emas ini. Tapi aku harus segera ke bukit Selepah untuk bertemu dengan para Puyang di sana. Terimakasih sudah mengizinkan aku menginjakkan kaki di sini.” Aku membungkuk pada Puyang Putri Rambut Emas dan Puyang Tapak Abang.

Tiga sosok di samping Puyang Tapak Abang serentak menghampiriku. Aku tidak tahu siapa mereka. Aku belum pernah bertatap muka sebelumnya.

“Putri Selasih, kenalkan, aku Puyang Jalak, yang ini Puyang Elang, ini Puyang Enggang. Kami bertiga mendapat tugas untuk mengantarkan itu ke kerajaanmu” Ujar Puyang Jalak sembari menunjuk singgasana emas, tongkat kebesaran berkepala harimau terbuat dari emas murni, mahkota wanita pun terbuat dari emas lengkap dengan aksesorisnya ada kalung, gelang, sabuk, sandal dan sepatu. Lalu di dalam peti ada gaun emas. Aku terbelalak tidak percaya.

“Semua untukku? Mengapa banyak sekali?. Singgasananya saja sudah lebih dari cukup bagiku. Terimakasih Puyang.” Ujarku haru. Mereka tersenyum.

“Sudah sepatasnya kau mendapatkan ini, Selasih. Ini bukan pemberian, tapi kita sama memiliki. Kami juga inginkan istanamu menerima emas dari sini, sebagai ikatan batin jika yang memimpin di Timur Laut Banyuwangi, berdarah Besemah sehingga silaturahmi tetap terjalin sampai kapan pun. Kau jangan menolak, Cung. Ikatan batin kita tidak bisa diabaikan. Anggaplah pemberian itu ungkapan rasa sayang Puyang pada cucunya.” Ujar Puyang Putri Rambut Emas dibenarkan oleh Puyang Tapak Abang. Aku kembali mengangguk dalam-dalam.

Sepeninggal Puyang Jalak, Puyang Enggang, dan Puyang Elang pergi, aku kembali pamit mohon diri. Usai memelukku Puyang Putri Rambut Emas mengarahkan aku dan Puyang Tapak Abang untuk menyisir jalan setapak yang ada di seberang. Aku bersama Puyang Tapak Abang menuju jalan itu. Tak lama kami sudah berada di hadapan pancuran emas yang kulihat tadi. Rupanya aku berada di mulut gua dan harus menembus pancuran emas itu untuk ke luar.

Akhiranya aku lebih dulu melangkah dan melalui pancuran emas seperti orang mandi merundukan kepala di bawah air yang mengucur. Setelah kembali di bibir batu ceper tempat air pancuran melimpah, aku mengangkat pinggang sejenak. Aku akan menemui Puyang Bukit selepah segera. Puyang Tapak Abang menolak ketika kutawarkan untuk mengantarnya pulang. Alasannya ia ingin singgah-singgah sembari melihat sekeliling bukit dan melihat kepergian ku. Akhirnya aku segera mengembangkan selendangku. Lalu dengan cepat selendangku bergerak meliuk-liuk menghindari pohon-pohon besar, menembus kabut yang sudah turun, meninggalkan bukit emas dan perkampungan yang damai.

Bersambung…
close