Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 93)


Aku sudah berdiri di antara dua muara, muara kanan dan muara kiri yang dikenal di Seberang Endikat Muara Cawang atau Marcawang. Sejenak kuhirup udara dalam-dalam. Di sini, pertama kali aku dijemput oleh salah satu Puyangku lalu menuntunku turun menuju air terjun di sisi jurang. Di situ ada pintu gerbang menembus air terjun yang jatuh. Pintu gerbang itulah yang mengantarkan aku ke masjid yang luas. Tempat aku ditatar berzikir nafas “Huu Allah” memperteguh batinku untuk dekat pada Sang Khalik, ketika dunia gaib dihebokan dengan peperangan memperebutkan aku. Dua peri dari Timur Laut Banyuwangi, utusan Kanjeng Ratu dengan berbagai cara mencoba mengambilku untuk memimpin kerajaannya yang hancur. Maka sesepuh dari Seberang Endikat dan gunung Dempu, ditambah oleh sesepuh nenek gunung sepanjang Bukit Barisan turut serta membantu menyelematkan aku.

Di situlah pertama kali aku berjumpa dengan Putri Bulan yang mempertaruhkan nyawa melindungi aku ketika sukmaku ke luar dari persembunyian untuk membantu pasukan Besemah melawan Banyuwangi. Beliaulah yang merebut aku dari tangan Ni Rara, pada akhirnya beliau tewas di medan laga.

Aku menarik nafas panjang. Sungguh perjuangan sesepuh dari tanah Sumatera ini sangat luar biasa mempertahan aku waktu itu. Mereka bersatu menyerang pasukan Banyuwangi yang menyerbu seperti air bah. Sementara aku dilarang keluar masjid, duduk diam dan berzikir. Aku kira kejadian di sana hanya beberapa hari saja, ternyata setelah dihitung dengan waktu di alam gaib, bertahun-tahun lamanya.

Ketika aku sedang asyik mengenang masa lalu, pelan-pelan datang angin semilir dari Timur. Aku menoleh dan fokus pada desirnya. Seseorang mendekat bersama angin. Mungkin utusan Puyang Bukit Selepah hendak menjemputku. Aku membatin. Suasana di atas bukit ini memang senyap. Hanya debur air yang mengalir deras dari dua sungai, menggema di bawah jurang. Atap istana yang berdiri di sudut bibir dua muara masih seperti dulu. Indah dan tenang.

Sejak awal aku memang diarahkan ke Mercawang ini oleh Puyang. Singgah ke bukit emas itu karena aku penasaran setelah mendengar cerita Nenek Kam. Sungguh aku tidak menduga ternyata di sana ada bukit emas yang disilamkan. Dan yang membuatku terkesima sampai saat ini adalah berjumpa dengan saudara Puyang Kedum Tengah Laman, salah satu leluhur di Besemah, utamanya leluhur dari Seberang Endikat ini. Puyang juriat Seberang Endikat.

“Assalamualaikum Cung, kita berjumpa lagi di sini.” Suara sosok berbaju putih, berjengot putih, bertongkat, sudah berdiri di hadapanku. Cahaya putih mengitari seluruh tubuhnya. Tubuhnya seperti bercahaya.

“Waalaikum salam, Puyang. Masya Allah, kita kembali berjumpa di sini Puyang” Aku segera menyongsong mencium tangannya. Tepukkannya di bahuku membuat batinku sangat nyaman di dekatnya. Aroma harum bau bunga menyeruak di antara kabut tipis yang mengitari area bukit.

“Indah sekali perjalananmu malam ini. Kau berjumpa dengan Putri Rambut Emas, bukan? Diajak keliling di Bukit Emas itu. Bersua pula dengan Puyang Tapak Abang dan naga kembar milik Puyang?” Katanya sambil tersenyum sumringah. Janggut putihnya bergerak-gerak ketika berbicara.

Aku membenarkan kata-katanya. Bahkan kuceritakan jika aku diberi hadiah singgasana emas lengkap dengan pakaian, senjata dan aksesorisnya.

“Kau bisa membawa semuanya ke alam nyata, Selasih. Kapan saja jika kau mau” Ujarnya lagi yang kusambut dengan senyum.

“Tidak, biarlah itu menjadi kekayaan dan kenangan di Timur Laut Banyuwangi. Puyang. Aku sangat bahagia diberi semuanya. Aku tidak akan membawanya ke alam nyata, Puyang. Aku khawatir, akan menjadi masalah, bahkan khawatir nanti dipuja-puja manusia” Sambungku. Kembali Puyang tersenyum. Kepalanya sedikit manggut-manggut. Iya, aku takut nanti bangsaku memuja-muja, menyanjung-nyanjung aku karena dianggap hebat bisa membawa emas dari alam gaib. Aku tidak mau pusing dengan hal itu.

“Puyang, apakah Puyang akan kembali membawaku berjalan di sisi jurang menuju air terjun, lalu kembali ke masjid di perut bukit itu?” Tanyaku berdiri di sampingnya.

“Pada akhirnya kita akan ke sana. Tapi sebelumnya, kita ke situ. Para Puyang sudah berkumpul di sana, menunggu kita.” Beliau menunjuk ke arah ceruk bukit yang ada telaganya. Aku memang belum pernah ke sana. Karena memang belum ada alasan untuk ke sana meski aku tahu di sana ada perkampungan dijaga oleh makhluk bersosok kerbau berbadan besar, panjang tanduknya hampir dua meter. Aku hanya tahu di sana perkampungan gaib, tepatnya istana gaib yang dihuni oleh para Puyang.

“Puyang Bukit Selepah ada di sana. Begitu juga Puyang-Puyang dari Uluan lainnya,” ujaranya menyebut gunung Dempu dengan Uluan.

Tubuhku serasa melayang ketika dibimbing Puyang menuju ceruk yang ada telaga. Jika sebelumnya aku hanya melihat ujung-ujung bubunga atap istana, sekarang terlihat semakin dekat. Gaun Puyang yang hingga kini tidak kuketahui namanya berkibar-kibar ditiup angin. Aroma harum bunga dari tubuhnya menyebar kemana-mana.

Aku merasa bahagia melakukan perjalanan malam ini. Pertama, ini kali pertama aku dilepas sendiri berjalan ke mari. Biasanya jika tidak ditemani oleh Macam Kumbang, atau dijemput utusan Puyang Bukit Selepah, atau ditemani Nenek Kam, dengan nenek gunung-nenek gunung dari gunung Dempu. Menyadari ini aku merasa sudah dewasa. Aku sudah bisa dilepas tanpa perlu dikawal dan diawasi.

Puyang mengajakku berhenti di bibir telaga. Beberapa bagian bangunan mirip pagoda, sebagian ada yang mirip masjid, ada pula rumah bari Besema pada umumnya bermubungan seperti tanduk kerbau.

“Uuuuuuaaaah… ” Aku dikejutkan suara kerbau seperti terompet terasa sangat dekat dengan telinga. Aku segera menoleh. Masya Allah! Ini kerbau yang paling besar kulihat seumur hidup. Kakinya yang besar seperti godam melangkah pelan mendekati kami berdua. Aku berdiri sejajar dengan Puyang menunggu kerbau yang masih berjalan. Lenggak-lenggoknya yang anggun, dan goyangan tanduknya yang melengkung panjang, justru kerbau nampak gagah berwibawah. Jadi ingat masa kecilku kerap kali aku naik di punggung kerbau milik Bapak, saban pagi mendongakkan kepala di garang dapur minta air garam. Maka Bapak akan meminumi setiap kerbau dengan air garam yang sengaja dituang di dalam bambu.

“Assalamualaikum Puyang dan Putri Selasih. Selamat datang di telaga Mercawang.” Sapanya ramah. Kami nyaris serentak menjawab salamnya. Mataku tak lepas menatap tubuhnya. Meski wujudnya seperti kerbau, aku melihat tanduknya bersih hitam mengkilap. Sangat terawat. Ada semacam minyak yang selalu dipoles di tanduknya, sehingga tanduknya pun mengeluarkan aroma wangi. Sekilas kutatap matanya. Bola mata yang besar bulat itu memiliki bulu mata yang panjang. Aku berusaha menyelaminya. Teduh sekali. Kulitnya yang tebal dan berbulu, tidak sekasar kulit kerbau pada umumnya. Kulitnya berbulu hitam keabuan, tetapi bersih. Lagi-lagi mengeluarkan bau wangi. Kuketahui dari Puyang, beliau penjaga pintu gawang ke telaga ini.

Sekilas aku jadi ingat cerita Kakek Haji Yasir ketika masih muda, beliau mencari kerbaunya yang hilang hingga naik ke bukit ini. Di sinilah kata Kakek Haji Yasir pernah melihat kerbau yang menatapnya dari tepi telaga. Kata Kakek dia tidak mengerti mengapa di tepi telaga ini ada kerbau besar sendiri. Padahal, biasanya kerbau hidup berkelompok. Kerbau itu mendongak ke atas seakan bertanya pada Kakek hendak ke mana. Lalu kakek menjawab dengan bahasa manusia bahwa beliau sedang mencari kerbaunya yang hilang. Tak berapa lama, kakek mendengar suara kerbau di lembah. Setelah dilihat benar itu kerbau Kakek yang terpisah dan tersesat hingga naik ke belatara bukit.

Selain beberapa orang dusun juga pernah melihat kerbau bertanduk panjang di telaga. Namun tidak satu pun yang berani mengganggunya. Semuanya yakin jika makhluk itu milik Puyang penjaga bukit dan telaga. Konon ada juga yang berusaha ingin melihat lebih dekat, tiba-tiba kerbaunya menghilang, lalu turun hujan lebat seputar telaga.

Umumnya penduduk Seberang Endikat tahu, jika di Bukit ini ada telaga yang dijaga oleh seekor kerbau besar bertanduk panjang. Konon hanya orang yang berhati bersih, dan sopan saja yang kerap bertemu atau melihat kerbau besar ini meski seluntas

Aku membatin, apa ada hubungannya tingkah-laku penduduk Seberang Endikat ini dengan kebiasaan kerbau di telaga Mercawang? Sebab tiap kali melihat manusia lewat maka ia akan mendongakkan kepala seperti orang bertanya. Selanjutnya, manusia akan menjawab kemana tujuannya. Hal tersebut terterap dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya pada waktu kecil aku melihat kerbau-kerbau yang tengah padang rumput mendongakan kepala tiap kali melihat manusia lewat. Lalu manusia akan menjawab “nak ke ulu, atau nak ke iligh” seperti berbicara dengan manusia. Setelah dijawab, kerbau-kerbau itu melanjutkan makan atau berkubang hingga akhirnya muncul pula ungkapan di kalangan masyarakat Besemah. Jika melihat seseorang yang bengong, sedikit mendongak, maka akan disebutnya “seperti kerbau bertanya.”

“Sudah lama aku menunggu kehadiran Putri Selasih ke mari, Puyang. Baru kali ini bisa bertatap muka. Ternyata, apa yang dibicarakan para Puyang, benar. Putri Selasih anak dara yang berani, berhati bersih, dan memiliki watak yang keras. Seperti cadas.” Ujarnya sambil bergerak-gerakan matanya yang bulat. Aku hanya tersenyum simpul mendapatkan pujian Kerbau Puyang ini. Meski bertubuh besar gagah, Kerabu Puyang ini memiliki hati yang lembut. Selintas aku melihat keempat kuku kakinya. Masya Allah, apakah aku tidak salah lihat? Kukunya berlapis emas! Jangan-jangan giginya pun berlapis emas. Aku membatin.

“Apakah Kerbau Puyang hanya sendiri di sini?” Tanyaku. Kerbau Puyang menggeleng. Dia katakan di puncak bukit itu, ada mata air yang membentuk telaga kecil dijaga oleh Kerbau Putih.

“Kadang Kerbau Putih itu ikut berendam ke mari.” Ujarnya menjelaskan. Lagi-lagi aku ingat cerita Bapak, dulu Ayahnya pernah juga bertemu dengan kerbau putih di bukit ini. Tubuhnya juga besar dan gagah. Hanya saja tanduknya lebih pendek. Kerbau albino itu suka muncul jika melihat ada orang yang tersesat. Lalu dia menunjukkan jalan dengan cara mendahului manusia. Persis seperti nenek gunung ketika membantu bangsa manusia yang tersesat di rimba. Maka ia akan memberikan tanda tinjak kakinya dan gemeretak bunyi ranting yang diijak sebagai petunjuk ke luar dari rimba. Jika bangsa manusia mengikuti jejaknya, maka pasti selamat. Sebab biasanya nenek gunung mengantarkan manusia langsung ke tepi hutan.

Baru saja aku dan Puyang hendak pamit melanjutkan perjalanan, tiba-tiba di atas bukit selatan aku melihat kobaran api sangat besar. Aku terkesima dibuatnya. Api dari mana? Ini bukan ulah manusia. Tapi api dari makhluk astral. Siapakah dia? Aku penasaram dan ingin melompat menghampiri saat itu juga. Terbayang betapa paniknya semua satwa yang ada di sana.

“Puyang” Ujarku tercekat. Aku berharap Puyang memberikan waktu padaku untuk melihat keadaan di atas bukit itu.

“Hmmm…Dewi Laut Secincing Api datang lagi ke mari” Bisiknya.

“Dewi Laut Secincing Api? Siapa dia, Puyang? Makhluk dari lautkah?” Tanyaku yang dijawab Puyang dengan anggukkan. Aku belum puas jawaban Puyang. Aku ingin tahu siapa Dewi Laut Sicincing Api itu. Mengapa dia ke mari. Kata Puyang dia datang lagi. Artinya, sebelumnya dia sudah pernah ke mari. Tapi untuk keperluan apa?

“Dia Dewi Laut dari Bengkulu Selatan. Istananya di laut bagian barat daya gunung Merapi. Ratusan tahun lalu dia pernah ke mari. Dia ingin mandi di telaga ini untuk menyempurnakan tapanya. Dia ingin terlihat cantik seperti bidadari, tidak bersisik seperti sekarang” Jelas Puyang tetap bernada santai.

“Lalu, apa yang terjadi ratusan tahun itu padanya , Puyang. Apakah dia memaksakan diri untuk mandi di telaga?” Tanyaku.

“Setiap bulan purnama, di telaga ini akan turun bidadari untuk mandi. Bidadari itu makhluk astral yang menempati alam di atas angin. Parasnya sangat cantik. Melebihi cantiknya paras peri” Ujar Puyang menjelaskan. Selanjutnya, beliau katakan, Dewi Laut Sicincing Api hendak mengambil alih telaga ini. Maka terjadilah pertempuran. Bidadari-bidadari itu tidak mau telaga tempat mereka mandi ini direbut oleh makhluk laut itu.

“Terakhir, para bidadari itu mengambil batu dari kayangan, lalu dilemparkannya ke telaga. Seketika air telaga berubah menjadi merah seperti darah. Padahal air telaga tidak berubah merah. Yang merah adalah batu yang jatuh di dasar telaga yang mempengaruhi pemandangan seperti telaga darah. Melihat air telaga berwarnah merah Dewi Laut Sicincing Api merasa takut. Rupanya makhluk itu takut dengan warna darah. Ia pun kabur dan melanjutkan tapanya semata-mata untuk kembali memperebutkan telaga ini. Sekarang ia muncul kembali. Pasti ingin memastikan apakah air telaga masih berwarna merah darah atau tidak” Penjelasan Puyang panjang sekali. Aku langsung dapat menyimpulkan, jika api yang menyala itu berasal dari Dewi Laut Sicincing Api. Aku akan akan usir dia untuk kembali ke asalnya.

“Izinkan aku melihat-lihat ke sana Puyang?” Kataku sedikit tergesah-gesah.

“Iya, kau memang harus melakukannya. Mengusir mereka dari tanah Besemah sebelum terjadi kekacauan” Ujar Puyang.

Baru saja aku hendak bergerak, tiba-tiba suara Alif memanggil-manggiku. Menanyakan kabarku. Aku buru-buru menjawab baik-baik saja dan mohon maaf padanya jika sedang melakukan satu misi. Lalu kututup sementara agar dia tidak bisa menghubungiku lagi. Aku langsung meluncur ke atas bukit yang menyala.

Setelah dekat, kulihat di atas pepohonan mertengger api-api yang mengeluarkan hawa panas dan energi. Di tengah api yang menyala seperti api unggun itu berdiri seorang perempuan berparas cantik. Mahkotanya berkilau-kilau karena semuanya terbuat dari intan. Tubuhnya tinggi semampai. Matanya sipit dan terlihat hanya bola matanya mirip ikan. Rambutnya panjang terurai sampai melebihi panjang kakinya. Benar kata Puyang, tubuhnya bersisik. Dan yang membuat dirinya sedikit menyeramkan, meski cantik namun ada sirip yang muncul di kaki dan tangannya, lalu rambutnya bergerak-gerak berwarna hitam dan kuning. Setelah kuamati, ternyata rambutnya berupa ular seperti ular cincin, bertubuh hitam lalu diselingi warna kuning melingkar seperti cincin. Aneh sekali! Ular dan api itu adalah pasukkannya. Balatentaranya.

Aku berdiri di salah satu pohon. Menatap tajam kehadiran Dewi Laut Sicincing dan pasukannya. Melihat kehadiranku, nampak sekali ketidaksukaanya. Hidungnya mengendus-ngendus. Matanya berkilat-kilat. Spontanitas rambut ularnya yang menjuntai beralih posisi ke depan semua. Aneh-aneh saja memang makhluk astral ini. Dulu ketika aku membaca komik silat, kerap kali ditampilkan gambar tokoh-tokoh sakti dalam bentuk yang aneh-aneh. Kukira itu hanya rekayasa, hasil imajinasi manusia. Ternyata, tidak. Ribuan macam bentuk makhluk astral di alam gaib ini aneh-aneh bentuk dan wujudny sesuai pula dengan asalnya. Ada makhluk dari gunung, dan bukit-bukit, maka dia akan berbeda denga makhluk dari air, lembah, apalagi dari laut. Ada yang setengah hewan, menyerupai hewan, ada yang seperti hewan benaran. Ada lagi yang setengah manusia setengah hewan, ada yang seperti manusia, dan menyerupai manusia. Ada yang seperti tumbuh-tumbuhan, seperti akar yang bergerak dan lain sebagainya. Di hadapanku saat ini wujudnya seperti manusia, cantik luar biasa, tapi kulitnya bersisik, matanya seperti ikan, ada lagi didampingi wujud seperti api dan ular berbisa.

“Selamat datang di ranah Besemah, Dewi Laut Sicincing Api. Ada keperluan apa kalian datang ke mari” Tanyaku dengan nada sopan.

“Rupanya nyalih sedulur tanah Besemah ini kecil sekali. Mereka mengutusmu untuk menemui kami ya Cucu Adam?” Dewi Laut Sicincing tertawa. Tapi aku melihatnya tidak lebih seperti seringai karena ketika mulutnya terbuka, giginya kecil-kecil runcing seperti gergaji. Lalu ular-ular yang menjuntai menjadi rambutnya itu seakan-akan hendak menyerbuku.

“Jangan berkoar-koar dulu Dewi yang cantik. Sadarilah kamu berada di mana. Kamu berada di wilayah nenek moyangku. Ini tanah Besemah. Kami punya kehidupan di sini. Sementara kalian berada di laut Selatan Bengkulu. Kamu masuk ke mari tanpa pamit terlebih dahulu. Kau kira semua alam semesta ini milikmu? Kalian makhluk yang tidak punya etika, dan tatakrama rupanya” Ujarku masih bernada datar.

Melihat gelagatnya, makhluk ini memang tidak punya tatakrama. Atau karena dia telah pernah datang ke mari lalu bertapa selama ratusan tahun, sehingga sangat percaya diri kali ini bisa menakhlukkan penghuni bukit ini lalu menguasai telaga yang diyakininya dapat mengubah Wujudnya agar tidak bersisik?

“Untuk apa permisi? Bukankah derajat nenek moyangmu penghuni tanah ini lebih rendah daripada derajat Dewi Laut Sicincing Api. Bahkan aku lebih sakti! Jika dulu, ratusan tahun yang lalu aku kalah, diusir oleh bidadari dan nenek moyangmu, mereka melarangku untuk mandi di telaga, tepat bulan purnama itu. Tapi kali ini, aku bersumpah, telaga itu akan jadi milikku” Dewi Laut Sicincing kembali tertawa seperti seringai. Aku masih tenang menghadapinya. Rupanya makhluk ini termasuk makhluk yang suka bermimpi. Makhluk laut yang tidak mengukur tingginya gunung. Dari nadanya, dia sangat percaya diri karena ratusan tahun telah membekali diri.

Selintas melihatnya aku yakin Dewi Laut Sicincing Api ini makhluk yang berilmu tinggi. Pasukannya saja aneh-aneh seperti ini. Rambutnya saja berbentuk ular, dan itu bala tentaranya. Belum lagi api dan senjata yang tersembunyi di tubuhnya. Tapi aku tidak gentar. Sambil berbicara aku berusaha mencari kelemahan makhluk laut ini. Kadang-kadang makhluk ini tampilannya saja menyeramkan, tapi kenyataannya dia makhluk yang sangat lemah. Bahkan kelemahan yang mereka miliki sangat sepele, dan tidak terpikirkan oleh makhluk lain.

“Pulang sajalah Dewi Sicincing Api. Bawalah pasukanmu meninggalkan tanah Besemah ini, sebelum kamu menyesal. Sebab meski ribuan tahun dirimu bertapa, kamu tidak akan bisa menakhlukkan ranah ini. Tanah Besemah ini tanah bertuah, perempuan cantik. Tanah pepuyang yang sejak dulu selalu mereka pertahankan. Tanah Pepuyang yang selalu bertahan memberi keberkahan bagi penduduk Besemah” Aku masih bersikap sabar dan hati-hati. Kulihat matanya sudah berubah berkilat-kilat. Dia tidak suka aku nasehati. Api yang melingkarinya menyala tambah tinggi. Ular di rambutnya malah naik-naik ke atas lalu menjalar-jalar ke depan seakan menyatakan; Minggir! Jangan halangi!

“Kekuatan iblis” aku membatin. Energinya semakin kurasakan. Tidak hanya bergetar, namun menarik-narik energiku. Ini adalah salah satu ilmu menakhlukan lawan dari awal. Agar kita lemah.

“Kau tidak perlu menakut-nakuti aku Cucu Adam. Aku sudah ribuan tahun hidup. Berbeda denganmu yang masih berbau kencur. Apalah sulitnya hanya sekadar memberikan telaga itu untukku. Untuk aku melakukan ritual. Alangkah pelitnya makhluk darat ini” Ujarnya lagi dengan nada seakan-akan menyudutkan dan mengembalikan kesalahan pada Puyang Besemah. Iblis memang diutus untuk menghasut dan menghancurkan kehidupan di muka bumi ini. Demikian juga makhluk di hadapanku ini. Mereka berguru dengan iblis. Lambang api yang melingkar sudah menunjukkan siapa mereka.

Huuf!!

Aku langsung memecah diri menjadi enam setelah pelan-pelan kekuatan mereka sudah mulai mencoba menguasaiku. Area bukit ini sudah mulai menjadi bara. Hawa panas yang berasal dari makhluk-makhluk ini sangat terasa. Bayanganku segera duduk berjejer membentuk sebuah pagar, lalu dengan sigap mereka langsung fokus untuk melawan kekuatan-kekuatan iblis ini dengan zikir.

Lafas ta’auz, dilanjut dengan syahadat, syalawat, dan surat-surat pendek terdengar lirih. Sementara diam-diam tanah, batu, pohon, dan semua makhluk di area ini kuperintahkan untuk ikut berzikir bersama bayanganku. Ini baru pembukaan saja. Tapi energi makhluk laut ini sudah menyerang.

“Minggirlah Cucu Adam. Percuma kau kerahkan kemampuan dengan mantra-mantramu itu. Kau kira di antara kami tidak bisa mengucapkan mantra-mantra?” Kembali Seringai Dewi Laut Sicincing Api penampakan giginya yang runcing. Lafaz al qur’an dia katakan mantra-mantra. Aku tidak menyangkal memang banyak makhluk astral yang kafir bisa melafaskan ayat dan surat pendek. Mereka makhluk dari golongan yang cerdas. Cukup mendengar lalu mereka hafal. Kerap mengikuti makhluk lain saat sedang mengaji. Tapi kebanyakan mereka tidak mendapat hidayah. Mereka hafal bacaan-bacaan doa, surat pendek dan ayat tiada lain untuk memperdaya makhluk lain, terutama mencelakakan golongan manusia.

“Dewi Laut Sacincing Api. Ini peringatan terakhir, tinggalkan tempat ini. Jangan buat kehancuran dan keonaran kembali. Sebab jika kalian berani merusak tanah ini, jangan menyesal. Akulah yang akan menghancurkan kalian hingga ke dasar laut. Tidak akan kubiarkan secuil pun tinjak kalian tertinggal di sini” Nadaku mulai tinggi ketika melihat pasukannya sudah mulai bergerak untuk menyerang.

“Huu Allah….Huu Allah…Huu Allah” bayanganku mulai berzikir diikuti desir angin, batu, tanah, pohon dan dedaunan. Getar-getar mulai kurasakan.

Emosiku mulai naik kerena di area ini bersemayam puyang-puyang dengan istana, masjid dan dusun-dusun yang damai sejak dulu. Dengan hadirnya makhluk laut ini pasti semua terusik.

“Iblis Dewi Laut Sicincing Api, sekali lagi aku ingatkan. Tinggalkan tempat ini, atau kumusnakan kalian. Ingat! Tidak sejengkal pun kami mengizinkanmu mendekati telaga Mercawang ini. Jangankan memiliki atau bisa mandi melakukan ritual di sini, untuk sekadar mendekat pun kau tidak akan bisa. Jangan coba-coba, Dewi Laut. Akan kuhancurkan dirimu” Kali ini aku mengancamnya. Aku sudah tidak bisa lagi menahan diri. Apalagi terlalu lama bincang-bincang dengannya menghabiskan waktu saja. Percuma aku memberikan pengertian dan menawar-nawar. Pasukan iblis ini tidak bisa menerima.

Hiiiiiaaaat!!

***

Aku mengangkat tangan tinggi-tinggi lalu mengurung pasukan Dewi Laut Silincing Api dengan kabut dingin. Seketika kabut yang kukumpulkan kutingkatkan dinginnya untuk menetralisir hawa panas sekaligus pengenaln pembukaan pada mereka. Tak lama terdengar suara jeritan dan erangan perlawanan pasukan Dewi Laut Silincing Api. Kabut dingin berulang kali seperti digempur dentuman geledek berkali-kali. Mereka memberontak hendak menjebol dinding kabutku. Aku segera membaca doa dan mantra untuk mengokohkan lingkaran kabut yang mengurung pasukan Dewi Laut Silincing Api.

Hiiiiat! DuaaaR ! Aku segera masuk ke dalam kabut dingin buatanku. Hantaman maut salah satu pasukan Dewi Laut Silincing Api kupatahkan sehingga terjadinya benturan dasyat dan mengeluarkanpercikan api. Api yang berkobar seperti bola menyambar dan menyerang ke sana ke mari. Mengetahui aku ada di dalamnya, akhirnya semua terpusat hendak menyerangku.

“Bagus! Jika mati, kita akan mati bersama-sama di sini, Cucu Adam” Dewi Laut kembali tertawa. Tangannya diangkat ke atas tinggi-tinggi. Dia tengah memusatkan kekuatan. Tangan sebelah kiri menggenggam semacam tongkat sekaligus senjatanya. Rabutnya yang berbentuk ular mulai siap-siap menjalar dan hendak menyerang.

“Masih ada kesempatan terakhir Dewi Laut Silincing Api. Jika hendak kembali dalam keadaan utuh, aku akan bantu mengembalikan kalian semua” Ujarku memberikan kesempatan kembali. Sebab aku yakin, aku tidak akan sendiri memusnakan makhluk satu ini. Pasti sesepuhku tengah mengawasi kerjaku.

“Tidak usah banyak tanya lagi, anak manusia. Kau sombong sekali sesumbar hendak menghancurkan kami. Memangnya kau memiliki apa berani menghadang aku” Ujarnya dengan nada tinggi. Dagunya sedikit mendongak menampakkan kesombonganya diikuti dengan sinar matanya kadang seperti kilatan api. Hal ini segaja dilakukannya untuk melemahkan mentalku agar aku takut. Semacam gertak sambal makhluk astral bernama Dewi Laut Silincing Api.

Perdebatan Dewi Laut Silincing Api denganku berlangsung beberapa menit. Hasilnya dia tetap bersikeras ingin melakukan ritual di telaga merah itu. Dalam perdebatan dia menyebut-nyebut guru-gurunya. Salah satu gurunya yaitu disebutnya penguasa laut Selatan Nyi Roro Kidul, lalu Dewi Lanjar, Nyi Blorong, bahkan semua tokoh-tokoh hutam penguasa laut disebutnya. Terakhir disebutnya Tuhannya adalah Dajjal.

Mendengar penjelasannya aku tidak bisa menganggap enteng makhluk ini. Ratusan tahun dia bertapa lalu kembali lagi ke sini pasti sudah menyiapkan diri dan yakin akan menang. Aku segera memanggil Nyi Ratih agar membawa para santri dari Timur Laut Banyuwangi untuk membantu zikir di area ini. Demikian juga paman Raksasa kumintai tolong bersama syech dan santri yang kerap belajar di Uluan. Kalau sudah berbicara dajjal, kekuatan iblis itu sedikit banyak pasti dimiliki oleh makhluk laut ini. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Pengikut dajjal satu ini harus kumusnakan.

“Siapa yang kau panggil Cucu Adam? Kau takut mendengar nama guru-guru yang akan membantuku bukan? Kau tidak punya nyalih sebenarnya kecuali minta bantuan dari bangsa kami” Dewi Laut meremehkan aku. Aku tidak menanggapinya. Aku terus konsentrasi menghalau kekuatan negatif yang menyerang kabutku.

“Tidak usah sesumbar terus Dewi Laut Silincing Api. Jika kau hebat, harusnya kau tidak bisa terkurung di dalam kabutku ini. Kalau aku pengecut tidak perlu aku ikut masuk ke mari. Aku juga bisa memusnakanmu tanpa harus masuk ke mari” Ujarku datar dan dilawannya dengan satu pukulan. Aku segera menghindari pukulannya dengan memberikan gerakan lembut seperti bayangan. Meski berulang-ulang kali dia berikan pukulan seperti menghantam ruang kosong.

Sebelum aku melakukan penyerangan balik kembali, aku segera mengambil tindakan agar kabutku tidak rata dengan bumi. “Huu Allah, Huu Allah, Huu Allah”. Aku fokus membawa kabut ke atas membuat jarak dengan bumi. Hal ini kulakukan agar radiasi kekuatan iblis ini tidak berefeks pada alam sekitar Marcawang. Pelan-pelan kabut naik. Kulihat mata Dewi Laut Silincing Api terbelalak. Dia kaget kabut ini bisa terangkat ke awang-awang dengan hanya mengucapkan zikir. Makhluk-makhluk pendampingnya hendak menirukan zikir yang kulafazkan, namun gagal. Mereka hanya bisa menyebut “Huu…Huu…” tanpa bisa menyambungnya dengan “Allah”. Lidah mereka seperti patah. Tetapi saat aku mengucapkan beberapa ayat pendek mereka justru nyeracau mendahului. Aku tersenyum melihat pola tingkah laku mereka. Makhluk ini kepintarannya hanya bisa menggoda dan menjerumuskan manusia saja rupanya. Andai kata dia masuk ke dalam tubuh manusia, lalu mengaku jin muslim, kemudian dia mengucapkan ayat-ayat Al Qur’an dengan fasih, siapa yang menyangka jika sebenarnya itu hanya tipu daya mereka untuk menyimpangkan keimanan manusia?

Kuakui mereka bukan makhluk astral dari golongan rendah. Kemampuan mereka tidak bisa dianggap remeh. Aku sudah menakar-nakar kamampuan mereka. Selanjutnya aku memberi batas kabut yang sudah di atas agar tidak kembali turun ke bumi. Aku tidak main-main kali ini. Bisa jadi semua kemampuanku akan terkuras. Satu pasukan api Dewi Laut Silincing Api saja sudah luar biasa. Apalagi jumlahnya puluhan. Dari kejauhan aku mendengar auman nenek gunung. Nampaknya nenek gunung juga turut mendekat ke mari. Penciumannya yang tajam pasti mengendus bahaya di langit Mercawang ini. Deru langkah mereka nyaris sama seperti pasukan kuda, semakin lama semakin dekat. Beberapa kali mereka mengaum seperti marah.

Dalam suasana konsentrasi penuh, aku mendengar suara derap pasukan kuda lagi. Kali ini derapnya terdengar tidak hanya gagah namun juga sangat cepat seperti pasukan yang ramai. Nampaknya pasukan itu pasukan Eyang Kuda. Aku paham betul suara ringkiknya. Entah siapa yang mengabarkan hal ini pada mereka. Mereka nampaknya mencium akan terjadi pertempuran besar di sini. Ada perasaan lega batinku. Paling tidak kehadiran para sesepuh memberikan energi baru bagiku.

Desir angin yang terdengar mendesau pelan, membawa para santri dari berbagai penjuru. Mereka telah mengelompokkan diri bersama pasukannya masing-masing, menyatukan niat bersyalawat dan zikir. Batinku juga melihat pasukan dari ranah Minang. Suara basilek diiringi alat musik tambur dan talempong, terdengar seperti genderang perang. Bersemangat dan ramai. Entah pasukan siapa pula itu. Aku tidak tahu. Tak berapa lama hening. Nampaknya semua sedang fokus dengan kekuatan masing-masing. Sesegerah mungkin mereka serentak seperti focus pada titik kabut yang mengurung pasukan Dewi Laut Silincing Api.

“Bagaimana Dewi Laut Silincing Api, masih mau bertahan? Kau jangan mengira aku takut mendengar nama guru-gurumu, apalagi iblis Tuhanmu itu. Akan aku hancurkan kalian” Aku mulai menantangnya. Teriakanku disambutnya dengan pukulan dasyat. Hanya dalam hitungan detik, Dewi Laut Silincing Api mengirimkan pukulan-pukulan maut yang mematikan.

Sejak awal aku sudah mengerahkan kemampuan yang kumiliki warisan dari Eyang Putih. Aku seperti bayangan yang melayang lembut mengepak seperti elang. Meski pukulannya bertubi-tubi, namun tak satu pun mengenai tubuhku. Pukulannya seperti lewat menembus angin. NAmun sayang, ajian ini hanya bisa untuk bertahan dan menghindar. Sementara untuk melakukan serangan balik aku harus meningkatkannya ke level yang lebih tinggi lagi. Sebuah ajian yang baru kali ini kulakukan.

“Hmmm…ajian bayangan malaikat!” Mulut Dewi Laut Silincing Api berucap. Entah darimana dia mengetahui ajian yang kumiliki. Setahuku ajian ini belum pernah diwariskan Eyang Putih kecuali padaku. Bahkan pada Nyi Ratih yang lebih dulu menjadi muridnya saja tidak diwariskannya. Yang penting bagiku, Dewi Laut Silincing Api mengetahu ilmu yang kugunakan. Semoga saja dia kenal dengan guruku Enyang Putih.

“Apa hubunganmu dengan perempuan gila itu, anak manusia. Hanya perempuan sinting itu yang punya ilmu bayangan malaikat. Selebihnya tidak ada” Ujarnya lagi. Aku hanya tersenyum sambil menggeleng. Untuk apa aku memberitahu siapa guruku, apalagi siapa yang mewariskannya padaku. Tidak penting! Hanya mengabis-ngabiskan waktu saja. Apalagi ketika aku melihat sinar matanya berkilat-kilat seperti bara.

Tiba-tiba bola kabutku bergetar seperti gempa. Tenaga pasukan Dewi Laut Silincing Api bergerak serentak mengeroyokku. Di bawah komando Dewi Laut Silincing Api beberapa kali aku nyaris kena senjata mereka. Tentu saja aku melakukan perlawanan. Aku tidak mau cidera apalagi mati sia-sia. Sejenak aku kaget, mengapa pukulan-pukulan yang kukirimkan seperti menyentuh karet, selalu mental dan berbalik? Sambil menghindar sertangan mereka aku berpikir untuk mengubah strategi. Aku segera berpikir cepat mencari siasat. Jika tidak, aku bisa mati konyol di sini. Kekuatan mereka yang super seperti kekuatan jutaan ton bukit menghantam aku dan dinding kabut buatanku. Aku terus mencoba mencari sela untuk megubah strategi. Pukulan mereka nyaris tidak ada jedah. Kobaran api mengeluarkan suara menyeramkan persisi suara bara ketika pandai besi memanggang besi untuk dibuat senjata. Wussss!! Wuuusss!! Api berseleweran hendak menyambar tubuhku. Belum lagi suara Dewi Laut kadang melengking, kadang tertawa cekikikkan, kadang menggeram menyakitkan telinga. Suara-suara yang dikeluarkannya memang senjata untuk membuyarkan konsentrasi lawan. Beberapa kali aku harus menutup pancainderaku agar tidak kena efeksnya. Jika tidak, aku yakin, darah akan ke laur dari hidung dan telinga.

Semakin lama, aku merasakan kekuatan mereka semakin bertambah. Kobaran api meski tidak berseleweran seperti tadi namun dengan sikap diamnya justru kekuatan merekabertambahn berpuluh kali lipat. Api berubah bentuk menjadi wajah-wajah bengis dengan telinga dan mata runcing. Mata mereka merah menyala. Taringnya yang tajam menyeringai mengerikan siap mencabik apa saja. Bentuk kepalanya dari api cukup aneh juga, lancip seperti ujung mulut ikan gergaji. Sebagian bertubuh utuh dengan kaki dari api, sebagian lagi hanya kepalanya saja. Tubuh-tubuh berkaki itu seperti karet elastis, kadang tubuh mereka membulat, kadang lurus terbentang, kadang berdiri tegak layaknya manusia api.

Ini pertama kali aku melihat makhluk api dalam bentuk yang aneh. Mereka bukan banaspati yang kutemui dibeberapa daerah. Tapi memang makhluk yang berasal dari api. Kuku-kuku mereka siap pula mencakar. Aku membayangkan kuku-kuku panjang mereka serupa pisau yang tajam dan runcing itu menikam bahkan mengoyak-ngonyak tubuh lawan. Sekaligus menghanguskannya. Sebab panasa yang berasal dari tubuh mereka entah berapa derajad panasnya. Kupastikan, semua benda bumi yang dekat pasti akan lebur.

Aku masih berdiri tegak ketika kami sama-sama mengerjakan kekuatan masing-masing. Benar saja mereka mulai membulat menyatukan kekuatan lalu serentak menyerang. Aku kerahkan kekuatan gunung, kusatukan dengan kekuatan badai. Gelombang energi mulai memenuhi baluran kabutku. Kami bergumul di kobaran api dan gelombang yang menderu. Kekuatan gunungku tak mampu mereka lumpuhkan. Namun berapa kali aku nyaris disambar api. Namun tiap kali kusebut asma Allah, gumpalan api selalu menjauh. Mereka seperti terpental. Inilah senjata pamungkas yang tak terkalahkan. Seperti pesan Eyang Purwataka yang selalu mengingatkan aku untuk selalu melatih detak nadiku dengan menyebut asma Allah meski dalam keadaan tidur sekali pun. Ternyata untuk inilah. Aku tidak boleh lupa.

Di luar kabut, suara zikir para santri mulai menyatu. Ratih ikut serta bersama santri dari bangsa makhluk astral dan gurunya. Di bumi semua daun, tanah, pohon, air, angin, batu ikut pula melafaskan asma Allah dalam tasbihnya yang bertasbih tidak henti. Aku bersyukur banyak sesepuh yang memusatkan zikir di area ini.

DuuaRR! DuuuaRR!

Beberapa benturan terjadi. Tangan dan kakiku turut bergetar. Bahkan beberapa kali aku terdorong ke belakang. Bersyukur bara api tak mampu mendekatiku. Mereka hanya bisa memberikan pukulan-pukulan dari jauh, tak bisa menyentuh. Sementara beberapa sosok berhasil kulebur. Baru kali ini aku bertempur nyaris tidak punya hati. Tapi nafsu hendak melebur mereka.

Saat ada kesempatan, aku angkat tanganku tinggi-tinggi. Dan Hap!!

Aku mengenakan pakaian kebesaranku, lengkap dengan tongkat kerajaan. Segera aku bergerak menyerang lawan. Kali ini kukerahkan kekuatan pada tongkat kebesaranku. Dalam waktu singkat, semua berubah menjadi cahaya putih dan keemasan. Pergulatan terjadi kembali. Berkali-kali aku terdesak lalu berganti giliran mereka yang terdesak. Satu-satu sosok api kulebur dengan ujung tongkatku. Saat beberapa sosok api dan ribuan ular dari rambut Dewi Laut Silincing Api menyerang, tiba-tiba Dewi Laut Silincing Api melengking. Secepat kilat pasukannya berhenti menyerang.

“Siapa kau sebenarnya Cucu Adam! Mengapa kau memakai kebesaran Nini Ratu dari tanah seberang” Mata Dewi Laut Silincing Api tiba-tiba meredup. Aku tidak peduli pertanyaannya. Justru serangan kutingkatkan dan hantaman matahariku kembali melebur beberapa sosok pasukan Dewi Laut Silincing Api.

“Berhenti anak manusia! Apa hubunganmu dengan Nini Ratu? Beliau adalah salah satu guruku” Dewi Laut Silincing Api kembali bertanya. Sejenak aku berdiri tegak namun tetap waspada. Saling serang kami hentikan sejenak. Dewi Laut Silincing Api masih nyeracau menanyakan hubunganku dengan Nini Ratu. Apalagi kebesaran Timur Laut itu ada padaku.

“Jika beliau masih hidup, pasti beliau sangat menyesal mempunyai murid iblis sepertimu, hanya pandai merusak dan menyebar kejahatan. Kau termasuk salah satu yang menginginkan Timur Laut Banyuwangi hancur bukan? Kau murid durhaka! Kini akulah yang akan menghancurkanmu” Ujarku kembali menyerangannya. Sebab tiba-tiba aku melihat masa lalu Dewi Laut Silincing Api. Dia merupakan salah satu cucu raja tang berdiam di sisi gunung merapi bawah laut Samudera Hindia. Jika ditelusuri, mereka ada hubungan kekerabatan. Oleh sebab itulah Nini Ratu bersedia menjadikannya murid. Tapi ternyata Dewi Laut Silincing Api sama persis dengan sifat ayahnya. Suka merusak dan membuat keonaran. Tinggi hati dan merasa dirinya paling hebat dan sakti.

“Jadi dirimu pewaris kerajaan itu? Atau sebenarnya kau adalah perampok yang berwujud setengah manusia sengaja ingin menguasai alam kami? Hmm..bagus! Artinya, jika dulu Timur Laut Banyuwangi tidak bisa kurebut dari tangan guru Nini Ratu, maka akan kurebut di tanganmu. Inilah namanya pucuk dicita ulam tiba” Dewi Laut Silincing Api sesumbar lagi. Tawanya membuat ruang kabut ini kembali berguncang. Kuakui tenaga dalamnya luar biasa kuatnya. Hanya tertawa biasa membuat ruangan ini berguncang.

Melihat keseriusannya hendak merebut tongkatku yang tengah bergerak melawannya, membuat aku habis kesabaran. Apalagi setelah kuketahui jika Dewi Laut salah satu penyebab hancurnya kerajaan Timur Laut Banyuwangi ketika mental Nini Ratu tengah lemah saat dia frustasi tidak bisa memiliki kekasih hatinya dari bangsa manusia. Aku harus balaskan kemarahan Eyang Nini Ratu.

Hiiiiat!

Pukulan sambar nyawaku kulemparkan ke arah Dewi Laut Silincing Api.

Aku tidak sudi dia ajak berbicara lagi. Apalagi menjawab pertanyaannnya perihal Eyang Nini Ratu. Aku yakin, jika beliau masih ada, dia pun pasti sepakat denganku. Memusanakan perempuan iblis ini. Menyadari pukulan mautku, Dewi Laut Silincing Api berkelit dengan cepat. Dia pun memberikan pukulan balasan. Pertempuran kembali terjadi. Jika orang melihat pertempuran ini, aku yakin mereka tidak bisa lagi melihat mana bayanganku dan mana Dewi Laut Silincing Api dan pasukannya. Kami kembali bergulung seperti kabut menderu mengeluarkan suara dan percikan api. Dari tongkatku keluar racun api yang turut serta memusnakan pasukan Dewi Laut Silincing Api. Kulihat banyak yang tunggang-langgang roboh tak bisa bangkit lagi. Selanjutnya satu sabetan cahaya emasku, berhasil memotong rambut Dewi Laut Silincing Api yang berbentuk ular. Lalu kuhantam lagi dengan kilatan. Seketika ular-ular itu berubah menjadi debu. Dewi Laut Silincing Api menjerit tertahan. Kemarahannya makin memuncak.

Bukan Dewi Laut Silincing Api nampaknya jika tidak bisa melawan. Menyadari rambut ularnya terpotong, dia bergerak cepat mengeluarkan ajian barunya. Kali ini ruang kabutku berubah menjadi laut. Penuh dengan air.

“Rasakan ini anak manusia. Apakah kau bisa bertahan dalam air laut” Ujarnya tertawa riang. Dia nampak sangat bahagia. Apalagi ketika dihantamkannya pukulan gelombang sehingga air yang ada di dalam bola kabutku membuncah seperti diaduk. Tujuannya agar aku pusing. Area kabutku persis seperti laut bergelombang.

Aku mengikuti gelombang air ciptaan Dewi Laut Silincing Api. Dia semakin kencang tertawa melihat aku terombang-ambing. Dewi Laut mengira aku akan terlelap dan mati. Tak lama, aku turun lalu berdiri dengan kaki menyilang rendah. Tongkatku kuubah menjadi naga, lalu dengan cepat Sang naga menghisap semua air yang ada. Mata Dewi Laut Silincing Api terbelalak. Mungkin dia tidak menyangka secepat itu air lautnya bisa kukeringkan. Matanya tajam menatap tongkatku. Aku tahu, dirinya semakin penasaran dengan kekuatan tongkat kebesaran Eyang Ratu. Diam-diam dia mengerahkan pasukannya kembali untuk membekukku dan menrebut tongkatku. Aku sudah perkiraan pasti serangan mautnya kembali diarahkan padaku. Sayang siasatnya sudah kebaca lebih dulu.

Sreeet! Sreeet!

Aku mengeluarkan pedang di lenganku. Lalu dengan cepat berubah menjadi sosok lelaki, kemudian kuperintahkan untuk azan. Tak berapa lama terdengarlah suara merdunya. Beberapa waktu pasukan Dewi Laut masih menyerang. Aku terus melakukan perlawanan. Beberapa kali mereka hendak menyambar sosok pedangku yang menjelma menjadi lelaki gagah bersorban, namu selalu terpental. Demikian saat dia hendak menyambar tubuhku, selalu gagal. Beberapa kali cakaran dan api mereka melintas dihadapanku, beberapa kali pula jantungku berdebar karena nyaris mencabikku. Kalau bukan ajian halimun yang diberikan Puyang Purwataka, mungkin aku sudah terbakar dan luka.

Adzan terus berkumandang. Ternyata kelemahan mereka menjadi berkurang saat azan dikumandangkan. Hal ini kujadikan kesempatan menyerang mereka. Dalam sekali pukul tubuh api pasukan Dewi Laut kembali lebur. Hal ini membuat Dewi Laut makin meradang dan makin meningkatkan serangan.

Saat sosok api tinggal beberapa, tiba-tiba Dewi Laut mengubah gerakan. Kali ini tubuhnya berubah juga menjadi api. Lidah dan rambutnya me nyambar-nyambar ke mana-mana. Dalam sekejab ruang kabutku mendidih. Aku juga merasakan tubuhku sangat panas. Sihir!

Sosok pedangku kembali adzan berusaha melindungi aku dari panas yang mematikan. Aku merasakan. seluruh tubuhku berwarna merah. Sambil berpegangan pada sosok pedangku, aku terus berzikir. Tiba-tiba kibasaan lidah Dewi Laut mengenai bagian belakang tubuhku. Seketika aku merasakan tubuhku melepuh. Dan nafasku terasa sesak. Semua senjata simpananku seketika melesat melakukan perlawanan tanpa kuminta. Mereka serentak menyerang Dewi Laut Silincing Api dan sisa anak buahnya. Dalam keadaan setengah mati, aku masih sempat membaca mantra penawar luka bakar yang kualami. Ternyata sosok pedangku tidak tinggal diam. Telapak tagannya langsung mengusap punggungku dan mengalirkan hawa dingin yang sejuk. Aku legah dan bisa menarik nafas kembali. Selanjutnya siap-siap untuk melakukan penyerangan selanjutnya.

Di tengah serunya semua senjataku membantu melakukan penyerangan melawan Dewi Laut Silincing Api dan sisa pasukannya, tak lama aku mendengar suara gemuruh di luar kabut. Suara gemuruh itu seperti geledek memekakkan gendang telinga. Belum lagi suara mencuing seperti suling yang bisa membuat pancaidera dengar kita pecah. Tak lama udara seperti beputar. Lingkaran kabutku pun ikut bergoncang meski berada di awang-awang. Oh! Rupanya Dewi Laut Silincing Api memanggil balatentaranya untuk menyerang bola kabutku dari luar. Namun dihalangi oleh pasukan Eyang Kuda, bersama Datuk yang sengaja datang dari ranah Minang.

Aku mendengar pertempuran di luar cukup ramai. Jeritan dan erangan serta nafas yang tertahan seperti gemuruh gunung yang runtuh. Mendengar suaranya yang menggetarkan, tidak bisa kubayangkan bagaimana bentuk perkelahian di luar sana. Aku yakin para sesepuhku bisa mengatasi pasukan iblis ini. Meski kurasakan kehadiran pasukan lawan, justru memberikan energi baru pada Dewi Laut Silincing Api. Aku melihat dirinya tidak ada lelahnya. Dari awal sampai sekarang dia selalu stabil, kuakui Ilmu kanuragannya telah sempurna.

Kali ke dua aku disambar Dewi Laut Silincing Api. Jika tadi punggungku yang terasa terbakar, kali ini dadaku. Aku kembali merasakan kepanasan yang sangat. Kulitku mulai terasa membengkak panas dan merah. Entah bagaimaa, tiba-tiba aku merasakan kalung yang diberi Datuk Sutan Barareh seperti berjalan menghapus semua bagian tubuhku yang sakit. Aku tidak merasa panas sama sekali.

“Kurang ajar! Kau jangan bangga dulu anak manusia, aku belum kalah” Ujarnya berubah bentuk lagi menjadi perempuan cantik yang bersisik. Selanjutnya entah dia akan jadi apa lagi. Tongkat kebesaranku kembali hendak bergerak. Dari seluruh permukaan tongkat tiba-tiba mengeluarkan cahaya menyilaukan. Kulihat Dewi Laut Silincing Api mengecilkan mata menahan silau. Aku seperti ditarik oleh tongkat kebesaran kerajaan Timur Laut Banyuwangi untuk menancapkan kaki sekuat-kuatnya membentuk kuda-kuda dengan kedua belah tangan memegang tongkat erat. Tak lama, cahaya putih menyilaukan itu berubah menjadi jaring yang sangat halus bergerak menuju Dewi Laut Silincing Api. Dewi Laut Silincing Api berusaha menghindar dan melakukan perlawanan dengan pukulan apinya. Namun jaring halus itu terus maju tidak dimakan api. Dewi Laut Silincing Api mengerahkan semua kemampuannya. Ruangan kabutku tiba-tiba buyar dan sambaran api kembali menjalar ke mana-mana. Secepat kilat kupagari area pertempuran agar tidak menjalar di area pertempuran pasukan Dewi Laut Silincing Api melawan pasukan dari ranah minang dan Eyang Kuda.

Hiiiiiaaat!! Seperti ada yang menggerakkan tanganku berputar membentuk sebuah gelombang. Tak lama kobaran api seperti tersibak dan jaring halus yang bergerak semakin cepat mengarah pada Dewi Laut Silincing Api.

Di saat aku berusaha mengimbangi gerakan jaring halus yang menyerang Dewi Laut Silincing Api tiba-tiba aku melihat bayangan putih dengan pedang terhunus mengarah pada Dewi Laut Silincing Api sama cepatnya dengan jaring halus yang ke luar dari tongkat kebesaran Timur Laut Banyuwangi. Tiba-tiba kobaran api padam. Aku hanya melihat bayangan putih yang berpitar cepat sekali. Selanjutnya dengan tangan kiriku kukerahkan semua kekuatan menyerang pasukan api yang masih berusaha menyerangku. Sebagain besar mereka lebur dan mati. Tiba-tiba kurasakan tongkatku terasa sangat ringan. Cahaya putih yang membentuk jaring sudah putus. Dewi Laut Silincing Api kulihat bergumul dengan bayangan putih dan jarring halusku. Beberapa kali bunyi ledakan dari tangan dan kaki Dewi Laut Silincing Api menyambar ke mana-mana. Sebagain besar rambut ularnya telah terpotong dan hangus. Aroma sangit menyeruak hitam di antara cahaya putih yang terus berputar.

Pada satu kesempatan, aku mendapat sela menyerang Dewi Laut Silincing Api kembali. Tongkatku kuarahkan persis ke hulu hatinya. Tubuhnya yang terlilit jaring halusku membuat gerakkan sedikit lamban. Beberapa kali cahaya api yang ke luar dari tubuhnya padam disambar cahaya pedang sosok putih yang berkelebat.

DUUARRRR!!

Tiba-tiba suara ledakan keras seperti ke luar dari tubuh Dewi Laut Silincing Api. Lalu diiringi erangan keras dari mulutnya yang bertaring. Tak lama kulihat wajah cantiknya berubah menjadi sangat keriput dan tua. Demikian juga tubuhnya, persis kayu rapuh yang hendak roboh. Matanya yang semula jalang dan liar, sekarang redup penuh penderitaan. Aku hanya mendengar desahan dari mulutnya yang sedikit menganga dengan nada yang tidak jelas. Entah apa yang dibicarakannya. Bahasa yang digunakannya mirip gelembung udara dri air yang berbunyi ‘blubup blubup’. Bersamaan dengan itu, gelombang pasaukan yang tengah bertarung dengan nenek gunung, Eyang Kuda, dan pasukan dari ranah Minang terhenti seketika. Tiba-tiba pasukan itu lebur seperti debu. Di langit, gemuruh guruh saling kejar seakan hendak meruntuhkan semua yang ada di dalamnya. Angin yang bertiup kencang, diiringi petir membuat suasana mencekam. Beberapa saat semua hanya bisa terpaku. Anehnya, sambaran kilat bukan mengarah ke bumi. Namun justru sebaliknya mengarah ke langit.

“Aaaahhhh blup blup blup” Suara Dewi Laut Silincing Api semakin lemah. Pelan-pelan tubuhnya seperti kain jatuh tergeletak di tanah lalu lenyap. Aku terperangah melihat keajaiban seperti ini. Baru kali ini aku melihat kejadian aneh seperti ini. Dari tubuh Dewi Laut Silincing Api yang sudah raib, ada mustika biru laut yang mengeluarkan cahaya terang. Aku berusaha mendekat untuk memastikannya. Namun baru saja hendak melangkah, tiba-tiba bayajang putih yang berkelebat secepat kilat menyambar mustika itu lalu berdiri di hadapanku.

“Alif!!” Aku kaget bukan main. Jadi tubuh yang berkelebat sangat cepat tadi adalah Alif. Aku terkagum-kagum dibuatnya. Alif telah menunjukkan perkembangan yang sangat pesat sekali. Murid Eyang Kuda satu ini telah membantuku melumpuhkan Dewi Laut Silincing Api.

“Kau hebat sekali!” Ujarku setengah tidak percaya. Senyumnya mengembang sembari membuka tangannya untuk menyerahkan permata berwarna biru laut padaku.

“Ambillah, permata ini bisa kau ubah kekuatanny menjadi berkekuatan positif” Ujar Alif membuka telapak tanganhya. Aku mengambilnya pelan-pelan lalu menetralisir kekuatan yang ada di dalamnya. Dalam hati aku kagum dengan Alif. Jika orang biasa yang memegang permata ini, pasti akan merasakan seluruh tubuhnya seakan tersedot energinya. Namun Alif telah mampu menolak energi negatifnya sehingga dia tidak merasakan apa-apa.

“Selasih” Aku tersentak. Suara Eyang Kuda menyadarkanku. Aku segera berlari menghampiri beliau. Ternyata di belakangnya telah berdiri sesepuh-sesepuhku; ada yang dari gunuhg Dempu, Bukit Selepah, Mercawang, dan ranah Minang. Ketika aku menoleh ke kanan, kulihat Putri Bulan tersenyum di samping Macan Kumbang dan Nyi Ratih. Berikut para santri dari Timur Laut Banyuwangi. Di antara sosok-sosok yang berdiri tiba-tiba aku melihat tubuh kecil menyembul sambil merunduk-runduk.

“Kakak!!” Wajah polos yang sangat kukenal. Siapa lagi kalau bukan A Fung adik gaibku yang mualaf berlari cepat ke arahku. Aku mengembangkan tangan sambil sedikit jongkok. A Fung memelukku erat sekali. Aroma harum bunga menyeruak dari tubuhnya yang berbalut gamis berwarna putih. Pelan-pelan aku berdiri, kubuka kopiah dan sorbannya pelan-pelan. Aku ingin melihat wajah lugunya. A Fung pasrah saja. Aku histeris ketika melihat wajah polosnya. Sinar matanya bersinar ternag seperti cahaya bintang.

“Hantu kecil yang jelek!” Teriakku sambil mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi. A Fung tertawa gembira. Semua tersenyum menatap kami berdua.

Suasana kembali hening. Kami melangkah serentak menuju pintu di samping telaga merah diiringi suara menguak-menguak kerbau panjaga telaga. Iringan-iringan panjang seperti arak-arakan seiring kegembiraanku telah mengalahkan pasukan Dewi Laut Silincing Api dan bersua dengan adik kesayanganku, A Fung.

Bersambung…
close