Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

CERITA TENTANG MEREKA (Part 2) - Nyai Gendiswari

Awal mula aku berjumpa dengan mereka...


Seminggu sudah Bima tinggal ditempat Budhe Yanti. Dia mulai terbiasa dengan apa yang dia lihat, walau kadang Bima masih merasa kaget jika tiba-tiba ada sosok yang muncul dihadapannya.

3 hari setelah Bima sakit, dia memutuskan untuk berangkat ke sekolah kondisinya terbilang sudah sehat.
“Yakin kamu sudah sehat Bim?” kata Pakdhe saat sarapan sebelum berangkat kerja.
“Iya Pakdhe, sudah 3 hari Bima tidak masuk sekolah”

“Ya sudah nanti kamu bareng sama Pakdhe sama Mbak Maya sekalian, ga usah naik angkot” pinta Budhe Yanti yang masih sibuk mondar mandir membawa makanan.

“Bima naik angkot aja Budhe, kan arah sekolah Bima dan Mbak Maya beda” kata Bima yang tidak mau merepotan Pakdhenya jika harus bolak balik.

Karena memang Bima bersikukuh tidak mau diantar, Budhe dan Pakdhe hanya bisa mengiyakan, terlebih memang sifat Bima yang seperti itu di paksapun pasti dia tidak akan mau.

Sedangkan Mbak Maya sedari tadi tidak ikut pembicaraan mereka, dia masih sibuk dengan makanan dan Handphone yang dimainkannya.

“Bima berangkat dulu ya” ucap Bima sambil salim kepada Budhe dan Pakdhe,
“Ati-ati Bim, nanti siang aku jemput kamu ya?” ucap Mbak Maya.

***

Hiruk pikuk kendaraan terlihat ramai, Bima bediri dipinggir jalan yang banyak didominasi oleh pelajar. Beberapa sudah rapi dengan atribut sekolah, menunggu angkot untuk menangantarkan mereka. Beberapa lagi masih duduk santai sambil merokok dipinggir jalan.

Beberapa kali angkot berhenti di depan Bima, tapi semuanya penuh, malas berdesak-desakan Bima memutuskan untuk kembali menunggu.

Tin...Tin...Tin... Terdengar suara klakson mobil yang sudah berumur mendekati Bima yang berdiri dipinggir jalan.
“Manggisan?” tawar kernet yang duduk di pinggir pintu angkot tersebut.

“Penuh gitu pak” ujar Bima yang melihat didalam sudah penuh dengan orang. Jam sudah menunjukan 6.30 kalau dia menunggu angkot lagi bisa dipastikan akan telat. Berdesak-desakan akhirnya Bima naik dan duduk disebelah kernet.

10 menit sudah berlalu, harusnya sebentar lagi dia sampai di jalan masuk ke sekolahnya. Masih sisa 15 menit untuk berjalan menuju kesana, sialnya tidak ada angkot yang langsung turun persis ke depan sekolah. Alhasil Bima masih harus berjalan 300 meter menuju gerbang sekolahnya.

Gerbang sekolah dengan tulisan Pemuda Bangsa sudah terlihat, tampak bangunan yang tinggi menjulang dengan barisan pohon-pohon besar disekelilingnya.

“HEH!!! kamu cepet, gerbangnya mau saya tutup” teriak satpam yang sering di panggil Pak Ogi. Berlari Bima segera masuk kedalam komplek sekolah.

Sadar bahwa ini pertama kalinya Bima keluar rumah, dia harus siap dengan segala sesuatu yang akan ditemuinya. Perasaan ngeri sebenarnya sudah menggerayangi batin Bima, apalagi rumor yang beredar bahwa sekolahnya merupakah sekolah tua dengan banyak cerita-cerita seram didalamnya.

Menghela nafas, Bima melangkah menuju kelasnya. Beberapa kali dia melihat sosok yang duduk diatas pohon. Suara cekikikan mereka sebenarnya mengganggu pendengaran Bima, tapi dia berusaha untuk pura-pura tidak memperhatikan itu semua.

“Bengong aja, uda sehat?” ujar Panji, yang kini berjalan disisi Bima.
“Uda” hanya itu yang diucapkan Bima. Panji sendiri tidak heran dengan kelakuan Bima, sudah sedari SMP dia berteman dengannya, jadi tidak ada sakit hati yang muncul saat sifat dingin temannya itu muncul.

Setibanya dikelas, mereka segera mencari tempat duduk yang nyaman, diujung dekat tembok agak kebelakang. Memang pengaturan tempat duduk disekolahnya tidak dibuat permanen, siapa cepat mereka yang dapat.

“Kenapa Bim?” ucap Panji yang sedari tadi memperhatikan Bima yang melihat diujung kelas.
“Ada anak baru ya Ji?” tanya Bima.
“Engga ada, dimana emang?”

“Itu” tunjuk Bima kesalah satu bangku yang paling ujung dekat dengan jendela.
“Halu kamu, ga ada orang disana” ucap Panji yang bingung dengan perkataan temannya.

Tersadar Bima langsung menoleh kedepan. Sosok yang dilihatnya terlihat seperti murid biasa, walau seragamnya berbeda dengan apa yang Bima pakai.

Tidak mau berinteraksi dihari pertamanya, Bima meminta Panji untuk menemaninya membeli minum di kantin sekolah.
“Ah uda tinggal 5 menit, abis ini pelajarannya si Parjo, males nanti dihukum” tolak Panji.

Karena malas jika harus keluar sendiri, Bima mengurungkan niatnya. Kembali Bima menoleh kearah siswa tersebut, namun kali ini dia juga menoleh kearah Bima, seolah dia tau kalau Bima sedang memperhatikannya.

***

Bel istirahat berdering, suasana riuh terdengar dari berbagai arah.
“Laper makan yok?” ajak Panji yang memang doyan sekali makan.
“Duluan gih, ntar aku susul” kata Bima yang masih membereskan buku-bukunya. Dilihatnya suasana kelas sudah sepi hanya tinggal beberapa orang.

“Kamu bisa melihatku?” terkaget Bima melihat sosok siswa tersebut sudah berada didepannya. Rambutnya yang coklat dengan kulit seputih susu. Tidak mau menghiraukan sosok tersebut Bima segera beranjak menuju kantin.

“Aku tau kamu melihatku, sudah lama kuperhatikan ada yang berbeda denganmu” ucapnya. Tetap saja Bima tidak menghiraukan sosok tersebut dan terus berjalan menuju kantin sekolah.

“Bim sini” teriak Panji yang berada di salah satu bangku dibawah pohon Tanjung. Terhenti Bima mendapatkan dorongan kuat untuk melihat kearah atas pohon tersebut.

Ada satu sosok, lehernya panjang matanya terlihat besar berwarna kuning sedang di kepalanya ada tanduk mirip sekali dengan kambing.

“Jangan kesitu, dia jahil” sekali lagi ucap sosok siswa yang sedari tadi mengikuti Bima.
“Jahil gimana?” ucap Bima yang lupa dengan kepura-puraannya.
“Sosok itu sering merasuki orang-orang yang ada disini” kata siswa itu.

Tidak mau mengambil resiko, Bima meminta Panji untuk menemuinya.
“Disana lebih adem Bim, malah milih yang panas gini” sungut Panji yang masih membawa piring siomay dan gelas es tehnya.
“Uda disini aja”.
Tidak mau berdebat akhirnya Panji segera duduk disebelah Bima.

“Kamu ngapain sih Bim, dari tadi kuperhatiin aneh banget” kata Panji.
“Engga papa, kuceritain pun kamu ga bakal percaya” tukas Bima. Bingung dengan tingkah Bima, Panji memilih untuk diam.

“Jadi kamu sudah tidak berpura-pura lagi, tidak melihatku” kata sosok anak laki-laki yang sedari tadi mengikuti Bima kemanapun.
“Pergilah” kata Bima.
“Pergi kemana Bim?” tanya Panji bingung dengan ucapan Bima.

“Hah? engga, lagi nyanyi aku” kilahnya, sedang Panji hanya geleng-geleng kepala
“Aneh kamu”.

***

Bel sudah berbunyi, yang menandakan jam sekolah sudah berakhir. Gemuruh suara siswa yang beranjak meninggalkan sekolah mulai terdengar riuh ditelinga Bima. Dia tidak langsung beranjak, dia menunggu sejenak agar kondisi koridor sekolah tidak terlalu ramai.

Greee... greeek... greeek.. terasa getar hp dari saku Bima, setelah ia buka ternyata pesan dari Mbak Maya mengabarkan kalau 15 menit lagi dia akan sampai. Suasana didalam kelas sudah sepi kali ini, Panji sedari tadi sudah pulang.

“Pergilah” ucap Bima jengah dengan kehadiran sosok anak laki-laki yang sedari tadi mengikutinya. Tidak bergerak dia hanya menampilkan senyum yang membuat bulu roma berdiri. Tidak mau berlama-lama sendiri dengan mahluk itu segera Bima beranjak untuk menemui sepupupunya.

“Lama banget Bim” keluh Mbak Maya yang terlihat kepanasan.
“Tadi ketoilet sebentar” kilah Bima.
“Yok, ikut mbak jalan-jalan” ujak Mbak Maya. Tidak tau diajak kemana Bima hanya mengikuti langkah sepupunya.

Kali ini Mbak Maya membawanya kesebuah cafe,
“Sini aja Bim” ucap Mbak Maya sambil menarik tangan Bima untuk mengikutinya disalah satu bangku yang masih kosong diujung ruangan.

“Jadi, kamu masih bisa lihat mereka Bim?” kata Mbak Maya sambil menyeruput segelas es kopi.

“Masih Mbak, kenapa?” tanya Bima.

“Aku mau tanya sama kamu, semenjak kepulangan ku kemarin, aku selalu merasa diawasi”

“Diawasi gimana mbak?” ujar Bima yang masih bingung dengan arah pembicaraan sepupunya itu.
“Ya tiap kali aku sedirian, aku selalu merasa sedang diawasi seseorang” ucapnya yang kini melihat celingukan.
“Aku engga liat apa-apa mbak” kata Bima berbohong.

“Yakin kamu Bim? Syukurlah, mungkin aku yang terlalu parno” ucapnya.
“Sudah beberapa malam ini aku bermimpi diajak pergi oleh wanita. Tapi aku sama sekali tidak bisa melihat wajah dari wanita itu” lanjut Mbak Maya.

Bima yang mendengarkan penjelasan sepupunya merasa ada yang aneh, perasaannya mengatakatan ada sesuatu yang tidak baik. Tidak mungkin mimpi yang sama bisa terjadi berulang kali. Tapi dia sendiri juga tidak bisa menafsirkan arti dari mimpi yang dialami oleh Mbak Maya.

Semilir angin lembut tiba-tiba menerpa bagian belakang leher Bima, seketika bulu kuduknya meremang.
“Bocah iki duwek ku” (anak ini punya ku) terdengar suara wanita yang tak berwujud.

Celingukan mencari sumber suara tapi tidak didapati seorangpun didekat mereka.
“Siapa sebenarnya wanita itu” batin Bima yang teringat dengan sosok wanita berkebaya Hitam yang dia lihat dihari pertama bertemu dengan Mbak Maya.

Sepulangnya dari cafe tidak ada kejadian yang aneh, semua terlihat normal. Hanya kali ini Bima merasakan kalau ada sesuatu yang berbeda dengan Mbak Maya.

Terlihat seperti ada kabut tipis berwarna gelap yang muncul tepat diatas kepalanya. Bingung harus berbuat apa, Bima sekali lagi memutuskan untuk diam dan tidak menceritakan hal tersebut.

“Kamu gapapa Bim? Muka kamu pucet gitu” tanya Mbak Maya kawatir melihat raut wajah Bima yang begitu pucat. Sedari tadi Bima hanya diam dan terlihat sesekali memperhatikan Maya.
“Engga mbak, cuma sedikit pusing” ujarnya.

Setibanya di rumah Budhe kepala Bima masih terasa pusing, ditambah kali ini rasa mual mulai dirasakannya.
“Mbak aku langsung istirahat ya” ucap Bima.

“Engga makan dulu Bim?” kata Mbak Maya yang sudah duduk di meja makan.
Menggeleng Bima kembali menuju kamar, ingin sekali rasanya dia merebahkan tubuhnya. Kepalanya begitu pusing dan perutnya serasa diaduk-aduk.

Lambat laut Bima merasakan ada sentakan kecil dikepalanya, ada tarikan tarikan seperti rambutnya sedang dicabuti. Membuka mata disadarinya tidak ada seorangpun dikamar itu kecuali dirinya sendiri.

Namun anehnya setelah beberapa saat rasa pusing dikepalanya mulai hilang, badannya yang sedari tadi merasa berat mulai terasa ringan. Hingga matanya terpejam.....

“Sini le” ucap laki-laki renta didepan gubuk yang belum pernah Bima lihat sama sekali. Ia ragu, tapi tanpa bisa dikomando tubuhnya perlahan dia mendekat kearah kakek tersebut.

“Ngapunten, mbah, simbah sinten? kulo ting pundi ngih?” (maaf kek, kakek siapa? Saya dimana ya) kata Bima sambil melihat sekitar.

Saat ini dirinya duduk disalah satu amben didepan gubuk, disekelilingnya banyak sekali pohon-pohon besar yang menjulang tinggi. Langit terlihat gelap, seperti mendung atau maghrib yang sudah mulai menjelang.

Tersenyum kakek itu menepuk-nepuk dipan meminta agar Bima duduk disebelahnya.
“Kenopo cah bagus, wes reneo” (kenapa anak ganteng, sudah kesini) ujarnya sekali lagi meminta Bima untuk duduk disebelahnya.

Bima yang masih bingung dengan apa yang sedang terjadi, mengikuti nalurinya dan duduk disebelah kakek tersebut. Dari dekat Kakek itu memiliki raut muka yang sendu, tetapi berwibawa.

Senyumnya begitu menentramkan bahkan selama beberapa saat Bima tidak bisa mengalihkan pandangannya dari sang kakek.

“Wes, rasah sumelang, aku ngerti koe bakal kuat nrimo iki kabeh” (sudah, gak usah khawatir, aku tau kamu kuat menerima ini semua) kembali si kakek berucap yang membuat Bima kebingungan.

“seng ketok apik durung mesti apik sek ketok olo durung mesti olo” (yang terlihat bagus belum tentu bagus, yang terlihat jelek belum tentu jelek) lanjutnya.

“Ngapunten Mbah” (maaf mbah) ucap Bima yang tidak mengerti maksud dari kalimat yang diucapkan oleh laki-laki didepannya. Tersenyum si kakek beranjak, kali ini Bima ditinggalkan sendirian didepan gubuk tersebut.

Dilihat lagi suasana begitu mencekam, banyak sekali sosok-sosok yang mengintip dibalik pohon-pohon besar yang ada disekelilingnya.

Beberapa saat Bima terdiam mematung, dia tidak berani menggerakan badannya sesentipun.
“Dimana ini” batinnya berulang kali mengucapkan kalimat tersebut.

Ingin rasanya segera beranjak dan mencari jalan keluar. Tapi suasana disini begitu mengerikan bahkan dia sendiri tidak tau harus kemana.

“Wes, kabeh wes ana titiwancine, ayo tak terke muleh” (sudah, semua sudah ada waktunya, ayoo aku antar pulang) ucap si kakek yang ntah dari mana sudah duduk di samping Bima.

Terbangun Bima kaget dengan apa yang barusan dia mimpikan, begitu nyata. Terengah dia melihat jam sudah menunjukan pukul 17.30 sore, yang memang sebentar lagi magrib akan tiba. Segera dia bangkit untuk pergi ke kamar mandi. Badannya basah dan lengket dengan keringat.

Ketika dia melewati ruang keluarga dilihatnya Mbak Maya sedang duduk menonton TV, dilihatnya sosok wanita kebaya itu sekarang mulai mengelusi rambut Mbak Maya dengan lembut.

Melihat kejanggalan itu, sejenak ingin Bima memberitahukan semua yang dia lihat. Tapi seringai dari sosok itu benar-benar membuat mental Bima jatuh dan tidak berani menatapnya.

Maghrib sudah berkumandang, malam mulai datang dengan suara serangga yang mulai bersahutan. Suasana rumah itu begitu tidak enak, tidak seperti malam-malam sebelumnya. Budhe dan Pakdhe juga pergi sedari sore dan belum pulang.

“Kita pesen makan aja ya Bim” ucap Mbak Maya
“Iya Mbak, Budhe sama Pakdhe kemana?” tanya Bima.
“Lagi kondangan Bim, paling pulangnya maleman”

Tidak bertanya lebih lanjut Bima kembali duduk disebelah Mbak Maya, terasa begitu tidak nyaman. Sedari tadi bulu kuduknya meremang, sesekali dia melirik sosok yang ada dibelakang Mbak Maya yang masih terus mengusap usap kepalanya.

“Ada apa ini sebenarnya” batin Bima, karena perasaannya begitu tidak enak dengan apa yang dia liat. Seolah tahu apa yang Bima batin, sosok tersebut kali ini berjalan menuju Bima.

“Bocah iki, kudu melu aku” (anak ini, harus ikut aku) ucapnya dengan tanpa membuka mulut sama sekali. Yang kali ini dibarengi dengan munculnya bau bunga melati yang kuat.

“Kamu pakai parfum melati Bim?” ujar Mbak Maya sambil mengendus endus udara disekitarnya.
“Engga Mbak, kirain Mbak Maya yang pakai” jawab Bima.
“Kok bau melati sih” bisik Mbak Maya yang mulai merasa merinding.

“Enggak ada hantu lewat kan Bim?” tanyanya.
“Engga mbak, ga ada apa-apa” jawab Bima bohong. Dilihatnya lagi sosok tersebut seolah-olah Bima terpesona dengan sosok itu.
“Gendiswari” tiba-tiba suara laki-laki yang familiar muncul dalam benaknya.

“Gendiswari?” batinnya bingung, namun ketika dia mengucapkan kata itu...
Sosok wanita berkebaya hitam itu langsung menoleh, raut mukanya marah dan menampilkan seringai yang menakutkan.
“Bocah wingi sore ora usah melu-melu” ( Bocah kemarin sore tidak usah ikut campur ) bentaknya.

Kaget Bima hanya menundukan kepalanya, dia bingung dengan apa yang sedang terjadi.
“Apa itu Gendiswari, kenapa sosok tersebut tiba-tiba marah kepadanya?” sekali lagi batin Bima bergejolak.

Tidak sampai disitu kali ini sosok wanita berkebaya itu justru menampilkan muka yang begitu seram, separo dari wajahnya hancur, terlihat belatung menggeliat disetiap lubang-lubang kecil disetiap senti wajahnya.

“Astaghfirulloh” ucap Bima. Sementara Mbak Maya yang melihat Bima tau kalau pasti ada sesuatu yang tidak beres. Tapi tetap saja ketika ditanya Bima hanya menjawab tidak ada apa-apa.

Malam kian larut, Pakdeh dan Budhe sudah pulang, semua penghuni rumah sudah masuk kedalam kamar masing-masing. Bima masih termenung memikirkan kejadian sore tadi, dari mimpinya yang aneh sampai dengan nama Gendiswari.

Apa arti dari Gendiwari sampai sosok yang mengikuti Mbak Maya marah. Sayup sayup dia mendengar ada suara, suara wanita yang sedang menyinden. Suaranya sungguh memilukan dan membuat bulu kuduk merinding.

Penasaran dengan sumber suara, Bima bangkit untuk mengecek siapa yang malam-malam seperti ini menyinden. Dibukanya pintu kamar, semua lampu sudah dimatikan.

Tapi... ada satu orang yang terlihat sedang duduk disofa depan TV. Ya pandangannya tidak salah, itu sosok Mbak Maya.
“Sejak kapan dia bisa menyinden?” ucap Bima.

Heran dengan apa yang dia lihat Bima mencoba mendekati sosok tersebut, masih tidak percaya dengan apa yang dia lihat.
“Mbak,... Mbak May” panggilnya lirih. Tidak ada sahutan, masih saja dia menyinden dengan alunan nada yang menyeramkan.

Semakin penasaran dibuatnya, Bima kembali berjalan menuju sepupunya.
“Mbak...Mbak May” ucapnya masih sambil mendekat.
“Iya kenapa Bim” ucapnya tersenyum, tapi senyumnya bukan seperti Mbak Maya, begitu dingin dan menyeramkan.

“Mbak Maya tadi yang nyinden?” tanya Bima. Masih tersenyum dia kembali menoleh kedepan dan mulai menyinden lagi. Sedang Bimo yang kebingungan dengan sikap sepupunya itu berniat untuk kembali ke kamarnya. Dan baru saja saat dia berbalik....

“Wes tak omongi to cah, ojo melu-melu sek udu urusanmu” (Sudah aku kasih tau kan nak, jangan ikut campur apa yang bukan urusanmu). Terkesiap Bima kembali menoleh, tapi kali ini sosok Mbak Maya sudah berubah menjadi wanita berkebaya hitam, seringai diwajahnya begitu menakutkan. Matanya penuh dengan dendam dan ancaman, raut muka kemarahan muncul disetiap guratan wajahnya.

Seketika Bima gemetaran, tidak bisa menggerakan badannya sama sekali. Keberanian yang dia dapatkan sudah hilang entah kemana.

Sosok tersebut kini sudah berdiri,
“Aku ngerti koe sopo, tapi aku ora bakal ngeculke bocah wedok kae” (Aku tau kamu siapa, tapi aku tidak akan melepaskan anak perempuan itu) kembali sosok tersebut berucap.

Tersadar Bima berlari menuju pintu kamarnya. Suara tawa wanita itu terdengar jelas ditelinganya. Terengah Bima sudah duduk diatas dipan miliknya.
“Ikut campur apa?” batinnya, bahkan dia sendiri tidak tau apa yang sedang terjadi.

Kalut dengan kejadian yang baru saja terjadi Bima berharap ada seseorang yang menemaninya malam ini. Matanya tidak mau terpejam. Suara sinden itu masih terus terngiang-ngiang di telinganya.

Ketukan demi ketukan ia dengar dari arah pintu kamarnya. Berkali-kali namanya dipanggil. Bima tidak berani membuka mata dan terus berdoa berharap malam segera beranjak.

Kali ini Bima menyerah dengan keadaan, dia menangis dalam diam. Rindu dengan kedua orang tuanya. Malam ini dia begitu takut dengan apa yang dia lihat, sosok tersebut memang tidak mengerikan, sepertii sosok yang penuh dengan darah disekujur tubuhnya.

Tapi aura intimidasi yang kuat entah kenapa Bima rasakan, ketakukan yang menjalar dibatinnya membuat dia tidak berani melakukan apa-apa.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close