Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

CERITA TENTANG MEREKA (Part 3) - Teror Sepanjang Hari

Awal mula aku berjumpa dengan mereka...


“Mbak Maya dimana, Budhe?” tanya Bima yang tidak melihat kehadiran Mbak Maya dimeja makan.
“Mbak Maya katanya engga enak badan Bim” jawab Budhe.
“Kamu sehat Bim?” karena terlihat muka Bima yang kusut.

Ia hanya mengangguk tidak mau menambah beban pikiran Budhenya. Segera Bima beranjak, pamit ingin melihat kondisi dari sepupunya itu.

Tok...tok..tok... “Mbak, mbak May” panggil Bima sambil mengetuk pintu kamarnya.
“Masuk aja Bim” ujarnya. Saat Bima masuk memang terlihat Mbak Maya sedang meringkuk didalam selimut.

Semerbak bau bunga melati juga tercium disetiap sudut kamar itu, mirip dengan bau yang muncul kemarin malam.

“Sakit mbak?” tanya Bima saat sudah duduk di pinggir dipan Mbak Maya.
“Iya Bim, cuma demam, kecapean mungkin” ucapnya dengan nada serak. Namun berbeda dengan apa yang Bima rasakan.

Instingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres dengat sakitnya Mbak Maya dan masih berhubungan dengan kejadian semalam yang ia alami.
“Yauda Mbak, istirahat ya” kata Bima sambil beranjak menuju pintu.

Berjalan menuju pintu, dari ekor matanya jelas Bima melihat sosok wanita itu duduk di meja rias Mbak Maya, kali ini dia sedang menyisir rambutnya dengan tangan dan bersenandung tembang jawa yang membuat bulu kuduk meremang.

Tidak tahu harus berbuat apa, Bima melanjutkan berjalan menuju meja makan. “Pakdhe sudah berangkat ya Budhe?” saat sudah kembali lagi ke meja makan.
“Pakdhe libur hari ini Bim, mau anter Mbak Maya ke dokter” kata Budhe yang sudah duduk di meja makan.

“Kamu nanti, kalau Pakdhe sama Budhe belum pulang panasin makanannya sendiri ya Bim”. Bima hanya tersenyum dan mengangguk memberikan isyarat kalau dia mengerti.

“Yauda, Bima berangkat dulu ya Budhe” ujar Bima sambil menyalimi Budhenya.

Perjalanan menuju sekolah masih sama saja seperti kemarin. Banyak angkot bersliweran tapi selalu saja penuh dengan penumpang.
“Ah bisa telat ini” gerutu Bima saat melihat jam sudah menunjukan pukul setengah tujuh lebih.

Benar saja sudah 10 menit berselang, belum juga dia mendapatkan angkot yang menuju sekolahnya.
“Pak... tunggu pak” terengah engah Bima berlari sekuat tenaga menuju gerbang sekolah. Sayang gerbang tersebut sudah ditutup.

Beberapa Guru dan Pak Ogi sudah menanti mereka.
“Sudah jam berapa ini?” ucap salah satu Guru BK yang mendisiplinkan murid-murid disana.

Ada 8 murid kali ini yang terlambat, tentu saja seperti sekolah-sekolah lainnya. Murid-murid yang terlambat pasti akan mendapatkan hukuman, baik secara langsung seperti push up atau membersihkan area sekolah.

Kali ini ada sedikit yang berbeda, terlihat Panji berdiri disalah satu barisan siswa yang terkena hukuman. Biasanya dia diantar jemput oleh orang tuanya atau sopirnya Pak Slamet, sehingga dia tidak pernah terlambat sekalipun.

Tetapi entah kenapa ada yang berbeda pagi ini, memang dia sengaja terlambat atau tidak, ada rasa bahagia yang muncul dari dalam diri Bima saat melihat keberadaaan Panji.

“Wah kita memang jodoh ya Bim?” ucapnya keras tanpa ada rasa malu sama sekali. Mendengar itu semua Bima hanya melirik dan berusaha untuk tidak kenal dengan Panji.

“Kalian itu sudah telat masih bisa bercanda, hukuman yang pas buat kalian itu,... yang tidak tertib, bersihin toilet gedung 2 dilantai dasar ya” perintah Guru BK yang terlihat menyebalkan.

Tidak melihat penolakan yang diberikan oleh Bima dan Panji, Guru tersebut malah melenggang pergi saat sudah selesasi mengabsen dan memberikan hukuman bagi tiap-tiap siswa. Dirasa percuma untuk komplain, beriringan mereka berdua berjalan menuju toilet gedung 2.

“Kamu tau enggak Bim? Toilet gedung 2 itu jarang dipakai, pasti kotor” ujar Panji sambil menghela nafasnya.
“Uda kerjain aja ga usah berisik” tukas Bima sebal.

Sudah semalaman suntuk dia tidak tidur, paginya masih harus kerja extra membersihkan kamar mandi. Moodnya benar-benar kacau pagi ini.

Sesampainya disana, Bima sedikit ragu. Terlihat bangunan toilet itu sungguh mengerikan dengan bayang-bayang pohon Tanjung yang lebat, suasana itu membuat Bima seketika bergidik membayangkan apa yang ada didalamnya.

“Kenapa Bim, ayok buruan” ujar Panji yang sudah berada di mulut pintu toilet.
“Kamu ngepel aja Bim, aku nanti sikat kamar mandinya”.

Lanjut Panji yang bersikap sok baik, namun ternyata ada udang dibalik batu. Dia meminta Bima mengepel agar supaya pekerjaannya selesai terlebih dahulu.

Sedangkan Bima sedari tadi menguatkan mental berusaha setenang mungkin, jika dia harus melihat demit yang menunggu tempat tersebut.

Sudah beberapa waktu mereka berdua mengosek dan mengepel lantai kamar mandi. Beberapa kali pula Bima melihat ada tangan yang hilang muncul dari bak kamar mandi seolah sedang bercanda dengan adanya kehadiran Bima dan panji.

Mencoba tidak menghiraukan dan mengusir rasa takut, Bima mulai bersenandung untuk mengusir kegelisahannya.

“Stttt Bim, ngapain nyanyi-nyanyi pamali, jangan nyanyi di toilet” tegur Panji saat mendengar Bima bersenadung.
“Brisik kamu Ji, terusin aja kerjanya biar cepat kelar” tukas Bima yang sedari tadi memperhatikan wanita yang duduk diatas sekat pembatas toilet.

“Demi apapun kedepan aku tidak akan pernah menggunakan toilet ini” batinnya.
“Bim, suara kamu kok double ya?” ucap Panji tiba-tiba.
“Ah salah denger kamu” kilah Bima yang memang sedari tadi tau kalau ada sosok wanita yang mengikutinya bersenandung.

“Tuh double Bim” kata Panji lagi sambil terdiam dan mendengarkan dengan cermat, kemudian dia mencoba berbicara, siapa tau memang ada gaung di toilet itu. Tapi tidak ada gaung yang muncul dari sisi manapun, heran Panji memandang Bima dengan tatapan penuh makna.

“Ji, ayok...” ujar Bima yang setengah panik, sengaja dia menarik tangan Panji dan berlari meninggalkan toilet tersebut.
“Kenapa sih?” kata Panji yang masih ngos-ngosan.

“Ke kantin aja, ngapain kita lama-lama disana” kilah Bima. Sedang Panji yang tidak melihat apapun hanya bisa mengikuti kemana Bima mengajaknya pergi.

Berjalan mereka berdua menuju kantin sekolah, untungnya banyak siswa yang sedang melakukan kegiatan olahraga, yang beberapa dari mereka masih menggunakan pakaian osis jadi tidak ada yang menyadari kalau Bima dan Panji sedang menjalani masa hukuman.

“Jangan disitu, sini aja” sekali lagi Bima menarik lengan Panji.
“Kenapa sih, panas Bim disini!!!” tukas Panji marah.
“Kamu itu lama-lama aneh Bim, kenapa sih?”

“Nanti aku ceritain, jangan dibawah pohon itu” ujarnya. Merasa aneh dengan sikap Bima sedari kemarin Panji berniat untuk mencecar Bima setelah ini.

“Jadi kenapa? dari kemarin kamu keliatan aneh Bim” tanya Panji. Bima tidak menjawab pertanyaan Panji. Ada jeda beberapa saat, tidak ada percakapan yang muncul.

Bima masih mempertimbangkan untuk bercerita atau tidak kepada sahabatnya itu, hingga dia menghela nafas. Kemudian Bima menceritakan kembali apa yang sudah dilaluinya beberapa hari ini...

“Serius kamu?” ujar Panji yang masih tidak percaya dengan apa yang Bima katakan.
“Bener kan, pasti kamu juga enggak bakalan percaya!”
“Bukan enggak percaya Bim, tapi kan semua yang kamu bicarakan itu diluar logika” ujar Panji, sambil memijat mijat keningnya.

Pusing mendengarkan cerita dari temannya itu, tapi Panji juga percaya dengan semua cerita yang diceritakan oleh Bima. Berbohong bukan sifat dari Bima, dia tau karena Panji sudah mengenal Bima sedari lama.
“Terus sekarang kamu gimana?” ucapnya.

“Enggak tau aku Ji, tiap malam aku enggak pernah tidur nyenyak” kata Bima lesu.
“Sepertinya kamu mesti cari pembimbing Bim, siapa tau dengan ada yang ngebimbing kamu... nanti bisa jauh lebih stabil kondisimu, maaf ya aku tidak bisa memberikan solusi selain itu” ucapnya.

Benar, kenapa Bima tidak kepikiran dengan itu semua. Kalau memang ini harus terjadi dengan dirinya, setidaknya dia juga harus belajar untuk mengendalikan apa yang dimilikinya saat ini.

Tapi pertanyaannya adalah siapa?, siapa yang mau dan bisa mengajari Bima tentang hal supranatural seperti ini.

***

Bel pergantian pelajaran sudah berbunyi, Bima dan Panji segera masuk ke kelas untuk mengikuti pelajaran selanjutnya. Sesampainya di depan pintu mereka berdua mengedarkan pandangan keseluruh sudut ruang kelas untuk mencari bangku yang masih kosong.

Sialnya bangku yang kosong berada di ujung dekat jendela, dimana Bima melihat sosok anak laki-laki yang kemarin mengikutinya sedang duduk menghuni bangku tersebut.

“Kenapa lagi? ayok” dorong Panji agar Bima segera bergerak.
“Kamu yang ujung ya” ujar Bima mencoba menghindari untuk menduduki makhluk tersebut.
“Ckkk, iya” ujar Panji. Namun saat Panji hendak duduk sosok itu menghilang entah kemana. Merasa aman, Bima ikut duduk disebelah Panji.

Salah dengan apa yang dia kira, sosok hantu anak laki-laki itu sekarang justru berdiri tepat disamping Bima. Hawa yang dipancarkannya benar-benar membuat perasaannya menjadi sedih.

“Ngapain kamu nangis Bim?” ujar Panji yang heran melihat Bima tiba-tiba mengangis.
“Enggak tau aku,bisa gila kalau gini terus aku Ji” paham akan yang terjadi dengan Bima. Panji hanya diam dan tidak berkata apa-apa lagi.

“Ji, tukeran dong, ngantuk aku mau tidur” ujar Bima yang memang sedari tadi menahan matanya agar tidak tertidur.
“Tadi engga mau disini, sekarang minta tukeran, wes kamu itu angel Bim” tukas Panji marah marah, namun tetap dia beranjak dan memberikan bangku yang dia pakai agar Bima bisa tertidur sebentar. Tidak butuh waktu lama, semilir angin yang berhembus melewati jendela membuat Bima terlelap hanya dalam hitungan menit...

Saat ini Bima sedang berdiri disebuah bangunan, mirip sekali dengan kelasnya. Bingung celingukan mencari Panji tetapi tidak ada seorang pun yang dikenalnya ditempat tersebut.

“Kamu” ucap Bima saat melihat anak laki-laki yang duduk tidak jauh darinya tempatnya berdiri. Tidak ada jawaban, anak laki-laki itu terus memandang tajam kearah depan.

Mengikuti arah pandangnya, Bima terkesiap, beberapa orang sedang bergerombol. Dilihatnya beberapa sedang tertawa mencemooh, sebagian lagi terlihat melempari gadis kecil dengan kapur dari tangannya.

“Hentikan, sudah cukup, kalian melukainya” ujarnya sambil menghentikan teman-temannya yang sedang memukuli bocah wanita itu.

“Sekarang kamu jadi pembela pribumi, Willem.
Apa kamu juga berniat menjadi salah satu dari mereka?” kata salah seorang siswa yang dekat dengan mereka.

“Tidak ada urusannya dengan itu semua, kalian sudah keterlaluan” ujar Willem saat ini yang sudah jongkok di sebelah gadis cilik itu.

“Pergilah, atau kubuat kakimu patah” ancam Willem dengan tatapan yang tajam. Tidak ada yang berani menentang, siapa yang berani dengan Willem, anak dari salah satu pembesar didaerah mereka. Kerumunan itu bubar dan hanya menyisakan mereka berdua.

“Siti, kamu tidak apa-apa?” katanya sambil membantu gadis kecil yang dia panggil Siti.
“Tidak apa!!!, kamu pergilah!, nanti mereka akan semakin mempermainkanku” kata Siti dengan tatapan penuh dengan rasa dengki.

“Baik, lain kali aku tidak akan menolongmu lagi” ujar Willem sambil beranjak kembali ke bangkunya. Adegan berganti, kali ini Bima sedang berdiri diluar kelas.

Dilihatnya ke dua bocah tadi sedang duduk mendiskusikan sesuatu. Begitu mencolok, si bocah laki-laki dengan kulit seputih susu, rambut berwana coklat muda sedang si gadis berkulit gelap dengan rambut berwarna hitam terurai.

“Ternyata kamu pandai juga Siti, siapa yang mengajarimu?” kata Willem. Saat itu mereka duduk dibawah rindangnya pohon Tanjung yang memang mendominasi tempat tersebut, sesekali Willem mengerjapkan mata saat sinar matahari menyorot mengenai bola matanya yang berwarna biru cerah.

“Aku membaca dan berlajar” ucap Siti yang masih setia pada buku yang dia pegang. Willem berberapa kali berdecak kagum dengan hasil pekerjaan Siti.

“Willem?” ujar Siti setelah beberapa saat terdiam.
“Ya?”
“kenapa kamu mau berteman denganku?” ucap Siti yang masih tertunduk seolah-olah melihat tulisan dari buku yang ia baca.

“Kenapa? hanya karena ingin kurasa” jawab Willem tersenyum sambil memandang Siti dari samping.
“Ohhh....” hanya itu yang Siti ucapkan.

Melihat senyum Willem, jantung Siti merasa berbebar. Teringat bagaimana Willem selalu mencoba untuk menolongnya disaat teman-temannya berbuat seenaknya, membulinya hanya karena dia seorang pribumi.

Ada perasaan nyaman yang muncul saat dia dekat dengan anak tuannya itu. Memang kedua orang tua siti bekerja untuk Ayah Willem, sudah puluhan taun mereka mengabdi, karena kesetiaan mereka maka Siti diberikan ijin untuk bisa bersekolah disini.

Adegan tiba-tiba berganti lagi, kali ini Bima berdiri disebuah rumah yang cukup besar. Terlihat ada beberapa orang yang sedang bertengkar.
“Tidak tolong, hentikan, dia tidak bersalah” ucap Willem mengiba kepada orang tuanya.

“Apa istimewanya gadis ini willem, sampai kau membelanya setengah mati” ujar salah seorang pria yang berdiri tepat di depan Willem.
“Tidak, aku hanya berteman dengannya, tolong” kata Willem yang sudah memohon untuk membebaskan gadis kecil yang saat ini sudah terlihat lemas.

Badannya penuh dengan luka memar, beberapa darah sudah mengering, bahkan sesekali masih terdengar rintihan kesakitan dari gadis itu.

Ayah Willem memang terkenal dengan keangkuhan dan kekejiannya. Tidak pandang bulu, siapa yang berani dengannya pasti akan langsung mendapatkan ganjaran.

Seperti saat ini, Siti sedang meringkuk kesakitan. Sudah beberapa waktu ini dia disiksa dengan keji, hanya karena berinteraksi dengan anaknya Willem.

“Kamu tidak apa-apa ?” ucap Willem saat Papanya sudah pergi dari hadapan mereka. Siti hanya mengerang dan menggeleng. Takut dengan Willem, dia mencoba menghindar saat bocah laki-laki itu mencoba menolongnya.
“Pergilah, aku sudah cukup merasakan ini semua” kata Siti lirih.

Adegan berubah lagi, terlihat kali ini riuh orang-orang disekitar rumah itu. Beberapa dari mereka terlihat panik dan khawatir. Bima mendekat, kali ini yang dilihatnya Siti sudah dalam posisi menungging, kedua tangannya terikat pada balok kayu yang membentang secara horisontal.
“Sudah kuberi tahu untuk tidak mendekati Willem” teriak salah seorang laki-laki.

Sementara Siti hanya bisa menangis dan meratap. Dilihatnya kali ini Willem hanya berusaha untuk membebaskan diri dari orang yang sedang memeganginya.
“Tolong, tolong itu salahku, jangan dia jangan” ucap Willem serak.

“Maafkan aku” dengan sekali tebas, kepala bocah itu terjatuh dengan bunyi Dug pelan di tanah rerumputan. Darah mengucur hebat dari leher gadis kecil tersebut. Sedang Willem masih teriak-teriak melihat kejadian yang terjadi didepan matanya.

“Bim..Bima... kamu kenapa, bangun Bim” ujar Panji panik saat melihat Bima teriak-teriak meminta tolong. Dilihatnya kali ini teman-temannya sudah mengelilinginya, badannya bergetar hebat tidak terkendali nafasnya memburu dan masih meronta-ronta saat di pegangi oleh Panji.

“Hoeeek....hoeeek....” seketika Bima muntah dengan hebat, kejadian yang baru saja dia alami benar-benar terasa nyata. Tubuhnya masih gemetar hebat,

“Bima, kamu kenapa,.... ayo hey bantu teman kalian, bawa ke UKS dulu” perintah Pak Hanif salah seorang guru yang sedang mengajar waktu itu.

Dipapah oleh Panji dan dan Pak Hanif menuju UKS, Bima terlihat lemas kakinya tidak kuat untuk melangkah, pikirannya masih melayang dengan kejadian yang barusan dia liat.

“Saya ke ruang Guru dulu, hubungi orang tua Bima. Kamu tungguin Bima ya” pinta Pak Hanif sambil berlalu kelur ruangan. Panji sedari tadi hanya melihat keadaan Bima.

Dilihatnya mata Bima masih tidak terfocus, badannya masih gemetaran bahkan keringat masih keluar dibagian pelipisnya.

“Kamu Kenapa Bim?” tanya Panji. Menoleh sesaat, Bima kembali memejamkan mata.
“Jauh lebih buruk Ji” ujar Bima lirih.
“itu seperti... tidak... tidak seperti mimpi, aku seperti ada di waktu kejadian itu” Bima merepet dengan tidak jelas.

“Kamu ngomong apa Bim?” ucap Panji kebingungan. Sedang Bima masih terus menghela nafas, mencoba menenangkan diri. Kejadian dimana dia melihat kepala gadis kecil itu ditebas membuat Bima benar-benar terguncang.

“Ini minum dulu” kata Panji sambil menyerahkan sebotol air mineral. Setelah dirasa tenang, Bima mulai menceritakan saat dia tertidur didalam kelas tadi....

“Sumpah Bim?” ujar Panji yang sekarang juga terlihat panik.
“Terus gimana, beneran kamu liat sosok itu?”.
Bima hanya mengangguk dengan apa yang Panji katakan. Dia sendiri bingung dengan semua rentetan kejadian ini.

“Pak Arif” ucap Bima lirih,
“Siapa Bim?”
“Pak Arif, Ji, teman dari Pakdhe ku, dia orang yang bisa dengan hal-hal seperti ini”
“Maksudmu? Kamu mau bertemu dengan dia?” tanya Panji.
“Rumahnya dimana?”

“Aku lupa jalan kearah rumahnya, yang kuingat cuma masuk kesebuah kampung, kampung Linggono” ucap Bima sambil mengingat-ingat jalan yang dilalui bersama Pakdhenya kemarin.

“Itu jauh Bim dari sini, lebih baik kamu istirahat dulu, nanti setelah kondisimu sudah baik baru kita pikiran untuk kesana” ujar Panji. Seharian itu Bima hanya duduk rebahan di UKS, sempat Pak Hanif menawarinya untuk pulang.

Tapi karena kondisi rumah Budhe yang juga tidak ada orang, Bima memilih untuk sementara beristirahat di UKS. Dia tidak mau mengambil resiko bertemu dengan wanita berkebaya Hitam itu di saat kondisinya seperti ini.

“Kalaupun itu mimpi kenapa terasa nyata” batin Bima yang masih teringat kejadian yang dilaluinya.
“Siapa Willem?, siapa Siti? Kenapa aku diperlihatkan kejadian naas itu”

Tok...tok...tok... terdengar ketukan dari arah pintu yang membuyarkan lamunan Bima, tanpa menunggu jawaban Panji sudah masuk dan duduk disebelah Bima.

“Pulang aku antar Bim, aku minta dijemput sama Pak Slamet” ucap Panji. Mengangguk Bima segera beranjak untuk pergi meninggalkan sekolah bersama Panji. 

***

Sesampainya dirumah Budhe, rumah itu terlihat sepi, mobil yang biasa terparkir di garasi rumah juga tidak ada.
“Belum pulang ya?” batin Bima saat mengecek jam tangannya yang sudah menunjukan pukul 3 sore.

Awalnya memang Bima merasa was-was untuk masuk kedalam rumah, takut jika harus bertemu dengan sosok wanita itu lagi. Tapi badannya begitu lelah dan ingin segera di rebahkan. Memantapkan diri, Bima akhirnya mengambil kunci yang ada di pot dan membuka pintu rumah tersebut.

Baru selangkah dia masuk kedalam rumah, semerbak bau bunga melati sudah masuk kedalam indera penciumannya. Sempat ragu untuk melangkah lebih jauh, tapi badannya benar-benar terasa letih ingin sekali dia merebahkan diri diatas kasur yang empuk.

Nekat, Bima melangkah masuk. Buru-buru dia pergi ke kamar mandi tanpa menengok kanan kiri. Bahkan saat melewati kamar Mbak Maya yang sedikit terbuka, dia memilih untuk mempercepat langkahnya. Dia tau ada sosok wanita didalam kamar tersebut.

Terengah, dia sudah berada didalam kamarnya. Dia selalu merasa aman disini. Seolah ada perlindungan yang tidak terlihat yang membuat mereka tidak bisa masuk kedalam kamarnya itu.
“Bim, Bima kamu uda pulang Bim” terdengar sapaan Budhenya dari arah luar kamar.

Lega, karena ada orang lain didalam rumah ini Bima sedikit merasa rileks.
“Iya Budhe, ini baru aja dateng” ucapnya.
“Yauda makan dulu Bim” ujar Budhe dengan suara langkah kaki menjauh dari kamar Bima.

Tidak enak jika harus diminta 2 kali, Bima beranjak menuju meja makan. Budhenya sudah duduk disana dengan raut wajah datar.
“Mbak Maya sama Pakdhe kemana, Budhe?” tanya Bima yang sudah duduk di meja Makan.
“Lagi keluar, sebentar lagi pulang kok, kamu makan dulu” ujarnya.

Ada yang aneh, Budhenya jarang sekali senyum senyum sendiri melihat Bima, seolah tatapannya kosong. Lagi pula sejak kapan Budhe suka menelengkan kepalanya kekanan dan kekiri.
“Iya Budhe, Bima masih kenyang” ucap Bima.

Greee... greeek... greeek.. terasa Hp yang ada dikantung Bima bergetar. Didengarnya, Budhe kali ini dia sedang bersenangdung lirih dengan bahasa yang tidak Bima pahami.

Penasaran siapa yang mengiriminya pesan segera Bima membuka Hp tersebut.
“Bim, Budhe sama yang lain, pulang agak sore, makanan sudah Budhe siapkan, kamu makan dulu aja” Deg.... pesan itu berasal dari Budhe.

Kalau Budhenya sedang pergi, siapa yang ada didepan Bima saat ini. Perlahan Bima mengangkat kepalanya, betapa kagetnya dia, sosok Budhe sudah berubah menjadi wanita berkebaya hitam yang selalu mengikuti Mbak Maya.

Tersenyum sosok tersebut melihat kearah Bima,
“Soyo wangi wae ambumu cah” (Makin wangi saja baumu nak) ucapnya dengan masih menelengkan kepalanya kekanan dan kekiri.

Kaget Bukan main Bima berlari menuju kamarnya. Suara tembang lagu jawa yang dia dengar semalam terdengar lagi ditelinganya dibarengi dengan aroma bunga melati yang menguar hebat.

Setres dengan kejadian beruntung yang Bima alami, kali ini dia hanya bisa meringkuk berharap Budhe dan yang lainnya segera pulang. Berfikir untuk menghubungi Panji tapi hpnya terjatuh saat dia kaget melihat sosok wanita itu.

“Bima, cah bagus, sek kuat, ojo kalah karo barang ora enak” (Bima, anak ganteng, yang kuat, jangan kalah sama yang tidak baik) terdengar suara laki-laki itu. Suara yang selalu menentramkan Bima saat kekalutan dan ketakutan menghantuinya.

Berulang kali Bima berdoa dan menghela nafasnya agar bisa tenang. Suara tembang jawa masih terdengar dari arah luar. Entah sudah berapa lama dia tidak tau, tidak berani untuk menengok jam yang terpasang di dinding kamarnya.

Waktu terasa begitu lama, hingga terdengar deru suara mobil yang masuk kedalam carport rumah itu. Sesaat Bima tidak menggubris, takut itu hanya tipudaya mereka agar Bima kembali keluar kamar.

“Assalamualaikum” terdengar suara Budhe dan beberapa orang yang masuk kedalam rumah. Lega sungguh lega, Bima langsung beranjak dan membuka pintu kamarnya. Benar itu adalah Budhe dan yang lainnya.

“Waalaikumsalam, gimana Mbak May uda sehat?” kata Bima yang langsung menyalami Budhe dan Pakdhenya. Sedangkan Mbak Maya justru terlihat aneh, tanpa mengucapkan apa-apa dia langsung beranjak menuju kamar tidurnya.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close