Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

CERITA TENTANG MEREKA (Part 4) - Sosok Penjaga


Sosok Penjaga

Terheran dengan sikap Mbak Maya, tidak biasanya dia langsung masuk kedalam kamar apalagi saat berjumpa dengan Bima.
“Mbak Maya kenapa Budhe?” tanya Bima heran.

“Kecapean mungkin Bim, dari tadi melamun terus, pas diajak belanja juga cuma diem” ujar Budhe. Merasa mungkin Mbak Maya butuh istirahat Bima mengurungkan niat untuk pergi ke kamarnya.

Kegelisahan menggelayuti Bima, pikirannya terus melayang ke Mbak Maya. Beberapa kali dia mencoba untuk menepis bayangan-bayangan buruk yang silih benganti hinggap dikepalanya.

Tok...tok..tok...
“Bim, Bima, kamu sudah tidur?” terdengar suara wanita yang Bima tahu itu adalah Mbak Maya.

Bergegas dia berdiri dan membuka pintu kamar.
“Belum Mbak, kenapa?” ujar Bima.
“Aku mau liatin kamu sesuatu” katanya sambil menarik Bima untuk mengikutinya. Berjalan mereka berdua, ia meminta Bima untuk masuk kedalam kamarnya.

“Kenapa mbak?” sekali lagi Bima bertanya. Kali ini Mbak Maya sudah duduk di depan meja rias, bau melati didalam kamarnya masih terasa menusuk indra penciuman Bima.

“Mbak Maya, pakai parfum melati?” tanya Bima yang mulai pusing dengan semerbak bau melati yang begitu kuat.
“Enak kan Bim baunya, dari kemarin aku mimpi ditemui wanita, sosoknya begitu cantik. Dia minta kepadaku untuk selalu memakai wewangian melati” ucapnya.

Tidak menoleh ke arah Bima saat berbicara kepadanya, justru sekarang dia malah sedang bercermin dan menyisiri rambutnya yang panjang.

“Kamu gapapa mbak?” ucap Bima yang mulai merinding dengan apa yang dia lihat. Pasalnya senandung lirih tembang jawa juga mulai keluar dari bibir sepupunya itu.

“Enggak papa Bim, justru aku sedang merasakan bahagia” ucapnya tersenyum. Bima mengedarkan pandangannya, mencoba focus untuk mencari keberadaan dari sosok wanita berkebaya hitam itu. Namun nihil tidak ada siapapun kecuali mereka berdua.

“Yauda aku balik ke kamar ya mbak” kata Bima. Tidak ada jawaban dari Mbak Maya, dia masih terus menyisir rambutnya dan terus bersenandung lirih.
“Bim, temenin Mbak dulu” ucap Mbak Maya saat Bima sudah mencapai daun pintu.

Bima membalikan badannya, tatapannya kini beradu dengan Mbak Maya yang sudah duduk menghadap kearah pintu. Senyumnya terlihat mengerikan, tatapan begitu tajam.

Hawa dingin terasa muncul entah dari mana, yang membuat Bima merasakan hawa mencekam yang dia kenali, seluruh bulu romanya berdiri dengan kuat. Suasana di kamar Mbak Maya begitu terasa sesak, ada sesuatu yang membuat Bima merasakan dirinya tertekan saat itu.

“S---siapa kamu?” tanya Bima mencoba memberanikan diri, dia tau kalau sosok yang didepannya saat ini bukanlah sepupunya. Tersenyum Mbak Maya justru kembali bersenandung.

“Aku Maya Bim, kamu lupa?” ucapnya sambil berjalan pelan menuju kearah Bima dengan melenggak lenggokkan pinggulnya. Sungguh aneh, tidak biasanya Mbak Maya berjalan seperti itu.

“Cah bagus” (anak ganteng) ucapnya saat sudah tepat didepan Bima. Terasa belaian tangan Mbak Maya dipipi Bima.
“Sedelet meneh, bocah iki wes bakal turu, wayah e ora sue meneh” (sebentar lagi, anak ini akan tertidur, waktunya sudah tidak lama lagi).

Tersentak Bima melepaskan tangan Mbak Maya. Dia berusaha untuk berani dan membaca doa-doa untuk mengusir Jin.

Tapi justru Mbak Maya kali ini tertawa, tawanya begitu menakutkan.
“Sak durunge koe ana, aku wes ngerti kui opo” (sebelum kamu ada, aku sudah tau itu apa) ucap Mbak Maya yang kini menatap Bima dengan penuh kebencian.

Jantung Bima berdebar dengan keras, suaranya bertalu-talu hingga terdengar sampai ditelinganya, batinnya tidak lepas dari bacaan doa untuk mengusir Jin.
“Arep main-main karo aku? Yen kui karepmu, tak sanggupi” (Mau main-main dengan ku?, kalau itu maumu, tak sanggupi).

Langsung saja kali ini Mbak Maya mencoba mencekik Bima, kekuatannya begitu besar. Tersedak sedak Bima kehabisan nafas. Mencoba teriak memanggil Budhe dan Pakdhenya. Namun yang muncul hanya suara dengkuran, tenggorokannya begitu tertekan.

Braaaaakkkkk....
Tiba-tiba Mbak Maya terlempar, kini sosok yang wanita berkebaya hitam itu berdiri tepat di samping tubuh Mbak Maya yang terjatuh ke lantai.

“Gendiswari” terdengar suara menggelegar yang muncul entah dari mana. Bima masih berusaha untuk mengatur nafasnya yang tersenggal-senggal. Mendapati ada kesempatan... Bima membuka pintu dan berlari menuju arah kamar Budhe dan Pakdehnya.

“Budhe... Pakhe....” ucap Bima panik sambil mengetuk pintu kamar mereka.
“Kenapa Bim?” kata Pakdhe saat sudah membuka pintu kamarnya.
“Mbak Maya Pakdhe, Mbak Maya” ucapnya panik. Melihat kepanikan Bima segera Pakdhe dan Budhe berlari menuju kamar Mbak Maya.

Pintu kamarnya terkunci,
“May, Maya, buka May, kamu kenapa?” ucap Pakdhe panik. Beberapa saat tidak ada jawaban, sampai pintu kamar itu terbuka. Mbak Maya dengan muka mengantuk, bingung dengan orang-orang yang menggedor-gedor kamarnya.

“Kenapa, kok rame-rame gini” ujarnya dengan masih mengantuk. Bima yang melihat itu semua bingung.
“Tadi Mbak Maya... tadi kan Mbak Maya teriak teriak” ucap Bima berbohong, tidak mau langsung menceritakan apa yang barusan dialaminya.

“Kamu ngelindur Bim, orang aku dari tadi pulang langsung tidur, badanku sakit semua” ucapnya. Melihat itu semua Bima juga bingung, Pakdhe dan Budhe yang awalnya panik mengira Mbak Maya kenapa-kenapa justru malah sekarang melihat Bima dengan tatapan prihatin.

“Kamu mungkin kecapean Bim, sekarang tidur lagi ya” ucap Budhenya yang terlihat lelah.
“Tapi...”
“Iya Bim, mungkin kamu lelah, sekarang tidur gih” ucap Mbak Maya sambil memberikan senyum penuh arti.

Mau tidak mau, kali ini Bima hanya bisa kembali ke kamar.
“Apa benar tadi aku mimpi” batinnya saat sudah duduk ditepian ranjang. Sesaat dia tidak menyadari, lehernya terasa perih dibeberapa bagian, dipegannya memang ada semacam goresan-goresan kecil.

Penasaran dia mencoba untuk bercermin. Benar saja, ada bekas kemerahan. Berarti yang dialaminya barusan bukanlah mimpi.

“Ji, besok anterin aku ke rumah Pak Arif” Bima mengirimkan pesan singkat kepada Arif. Kondisi ini membuat Bima bingung, hampir dia tidak bisa membedakan mana yang nyata dan halusinasi. Lelah dengan kejadian seharian ini, dengan mudah Bima tertidur pulas malam itu.

***

Disekolah saat Bima masuk kedalam kelas, dia tidak mendapati sosok hantu laki-laki yang sering duduk di bangku ujung dekat dengan jendela. Namun dia merasa beruntung, sudah banyak kejadian di rumah Budhenya yang membuat malam-malamnya penuh dengan teror, tanpa harus ditambah lagi dengan sosok yang memperlihatkan sesuatu yang membuat dirinya makin pusing. Bima hanya ingin segera tau dan mengerti kenapa semua ini terjadi kedapanya.

“Kita pergi sekarang aja Ji” ajak Bima yang sudah tidak tahan dengan semua ini.
“Ngawur kamu, mau bolos?” ucap Aji yang heran, belum pernah selama berteman, Bima mengajaknya untuk bolos sekolah.

“Uda ayok, buruan” kata Bima yang sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Pak Arif. Dengan sedikit paksaan, akhirnya mereka berdua saat ini sudah berada diluar sekolah.

Berkat kemampuan Panji dalam hal membolos, dengan mudah mereka bisa keluar dari sekolah dengan melompat pagar dinding yang bersebelahan dengan perumahan warga.

Segera setelah itu mereka, berlari menuju tempat yang aman.
“Uda buruan pesen ojeknya” kata Panji. Setelah menunggu 15 menit akhirnya mereka berdua sudah duduk didalam taksi online yang Bima pesan, tujuannya kali ini adalah bertemu dengan Pak Arif.

“Ini Bim kampungya?” tanya Arif saat melihat gerbang perkampungan yang bertuliskan Kampung Linggono.
“Benar, ayok” ajak Bima.

Mereka berdua berjalan menyusuri jalanan kampung, beberapa warga masih beraktivitas, sebagian membawa rumput dan sebagian lainnya membawa cangkul di pundaknya.

Sudah 15 menit mereka berjalan, hingga Bima melihat salah satu rumah yang pernah dia kunjungi beberapa hari lalu. Saat sudah mendekat kearah rumah itu, terlihat seorang laki-laki sedang duduk didepan teras yang tak lain adalah Pak Arif.

“Asalamualaikum Pak” ucap Bima saat sudah dekat dengan Pak Arif.
“Waalaikumsalam, Mas Bima, mari duduk” kata Pak Arif mempersilahkan Bima dan Panji untuk duduk.

“Sebentar” ucapnya sambil masuk kedalam rumah.
“Rumahnya adem ya Bim” ujar Panji yang mengedarkan pandangannya melihat-lihat kondisi sekitar rumah. Tidak menjawab Bima hanya memberikan isyarat untuk diam.

“Silahkan diminum tehnya” kata Pak Arif saat sudah kembali dengan membawakan minuman dan makanan ringan.
“Jadi ada yang bisa saya bantu mas?”

“Maaf sebelumnya Pak, bertamu pagi pagi sekali, ada yang ingin saya tanyakan kepada Pak Arif” kata Bima. Pak Arif tersenyum.
“Soal apa yang kamu lihat?” ujarnya. Mengangguk Bima mulai menceritakan apa yang sudah terjadi setelah dia bisa melihat mereka....

Saat Bima sudah selesai bercerita, Pak Arif hanya terdiam. Matanya terpejam tidak berani menegur, Bima hanya bisa menunggu.
“Mau tidak mau memang harus seperti ini Mas, ini memang jalan yang harus kamu tempuh.

Kamu juga harus mengendalikan ketakutanmu, mereka juga tidak lebih dari kita, mereka juga makhluk ciptaannya” ujarnya.

“Berarti kejadian semalam memang nyata Pak?” tanya Bima, spontan ia juga menyentuh lehernya yang masih terasa perih. Tak luput dari pandangan Pak Arif dia meminta ijin untuk melihat luka yang ada dileher Bima.

Saat tangan Pak Arif menyentuh luka itu, rasanya benar-benar panas.
“Aduh” erang Bima.
“Sudah tidak apa-apa, setelah ini akan sembuh” ujar Pak Arif.

“Sosok yang wanita yang kamu lihat di belakang anak Wawan memiliki energi negatif yang kuat, beruntung kamu punya penjaga yang melindungimu”

“Penjaga?”
“Iya penjaga, bukannya kemarin saya sudah bilang kalau leluhurmu memiliki perjanjian dengan mereka untuk melindungi seluruh keturunannya?” kata Pak Arif yang mulai menyalakan rokoknya.

“Kalau begitu kenapa sosok wanita itu mengikuti Mbak Maya Pak?, bukannya kami dijaga?” tanya Bima. Otaknya berpikir keras, kalau memang ada sosok penjaga yang melindungi seluruh keluarga mereka, kenapa dia dan Mbak Maya mendapatkan gangguan gaib dari sosok lainnya.

“Tidak semua wadah dari keturunan simbahmu bisa memiliki kemampuan untuk berinteraksi secara langsung, wadah yang dipilih sudah merupakan takdir, yang berarti kamu sendiri juga harus berperan dalam menjaga saudara-saudaramu, Bim” jelas Pak Arif.

Bima merasakan merinding disekujur tubuhnya, dia merasa bahwa ini terlalu besar untuknya. Diumurnya yang masih sangat muda apa dia punya kekuatan untuk melindungi orang-orang yang ada disekitarnya.

“Waktu akan terus berjalan, dimana saat itu kamu sudah mencapai kematangan tanpa harus mendapatkan bimbingan dari orang lain, kamu akan tau apa yang harus dilakukan.

Terutama yang berhubungan dengan hal gaib, kemampuan itu berkembang Bim, ibarat pisau kalau tidak diasah juga pasti akan tumpul” ucapnya.

Bima terdiam mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh Pak Arif, dia ingat dengan mimpinya bertemu dengan kakek-kakek yang mengucapkan hal serupa.

“Sekarang apa yang harus saya lakukan Pak?, saya masih merasa bingung dan takut dengan segala sesuatu yang saya lihat” ujar Bima dengan pandangan menunduk, jujur dia masih takut dan khawatir dengan apa yang akan ditemuinya nanti.

“Temui penjagamu, berinteraksilah dengannya, jangan langsung percaya dengan apa yang mereka ucapkan. Mereka juga tergantung dengan dirimu” jawab Pak Arif yang kini menatap Bima dengan pandangan serius.

“Maksudnya Pak?”
“Bersihkan dirimu dari segala niatan-niatan buruk, setan selalu menggoda kita. Jika kamu bisa mengendalikan dirimu untuk tetap di jalan yang sesuai dia akan mengikutimu untuk berada di jalan yang kamu pilih, begitu pula sebaliknya.

Jika kamu berniat untuk menyakiti seseorang dia akan mengikuti apa yang kamu inginkan” Jelas Pak Arif.

“Berarti saya harus mengendalikan diri saya pak?” tanya Bima,
“Benar, tingkah laku, pikiran dan perasaan mu harus benar-benar kamu kendalikan” kata Pak Arif.

Panji yang mendengarkan itu semua justru merasa bersyukur tidak memiliki sesuatu yang Bima punya, baginya kehidupan normal sudah cukup untuk bisa disyukuri tanpa harus melewati berbagai keadaan diluar logika manusia.

“Bagaimana saya bisa bertemu dengan penjaga saya Pak Arif, bisakah Bapak membantu saya?” pinta Bima yang kali ini menatap Pak Arif dengan sedikit takut.
“Apa kamu sudah siap melihat sosok penjagamu?” ujarnya.

“Kalau memang ini jalan yang harus saya tempuh, saya harus siap Pak” ucap Bima dengan polosnya. Sedikit rasa prihatin muncul di hati Pak Arif, dia tau bagaimana rasanya menjadi Bima.

Bahkan mungkin dulu saat dia mengetahui kemampuannya, dia mungkin jauh lebih muda dari usia Bima saat ini.

“Aku akan mengajarimu, bagaimana caranya bisa bertemu dengan penjagamu. Aku akan membimbingmu sampai kamu bisa mengendalikan apa yang kamu miliki, tapi sekali lagi itu semua kembali kepadamu Bim, aku hanya menunjukan caranya” ujarnya saat setelah menimbang-nimbang resiko yang harus dia hadapi nantinya.

Kemudian Pak Arif mengajak Bima untuk masuk kedalam rumahnya, sedang panji yang jujur tidak mau ikut campur memilih untuk duduk menunggu di teras rumah.

“Ada satu ritual yang harus kamu lakukan Bim, ini mengenai tradisi leluhur jawa” ucap Pak Arif saat sudah berada di dalam rumah.
“Apa itu Pak?”
“Kamu harus membersihkan dirimu terlebih dahulu”

“Membersihkan diri? mandi maksudnya pak?” ujar Bima, tersenyum Pak Arif berjalan menuju arah belakang rumahnya, saat kembali dia sudah membawa tampah yang diatasnya ada beberapa macam bunga.

“Mandilah dengan bunga macan kerah ini, niatkan untuk membersihkan diri dari segala energi negatif yang selama ini menempel ditubuhmu” kata Pak Arif.

Sejenak dia ragu, belum pernah Bima melakukan hal-hal seperti ini. Tapi dia juga sudah lelah dengan ketakutan yang selama ini menghantuinya.

Memantapkan diri, dia menerima tampah tersebut dan meminta ijin untuk ke kamar mandi. Namun sebelumnya Pak Arif sudah duduk bersila diatas tampah dan membacakan sesuatu, ntah doa atau mantra Bima tidak bisa mendengar apa yang dia ucapkan.

Beberapa menit sudah Bima mandi, ada persaan aneh yang muncul. Pada guyuran pertama dia merasakan tubuhnya merinding hebat, dia pikir karena hawa dingin yang berasal dari daerah tersebut tapi tubuh Bima tidak menggigil sama sekali.

Guyuran kedua, sekali lagi dia merasakan ada keanehan, ada sesuatu yang lepas dari tubuhnya seolah badannya menjadi begitu ringan dan segar.

Hal itu terjadi terus menerus hingga pada guyuran ketujuh, Bima merasakan sensasi yang aneh. Tiba-tiba dia merasakan ada sesuatu yang keluar dari dalam tubuhnya, yang dia lihat hanya kabut tipis menyerupai uap air.

Setelah selesai, dia melihat Pak Arif sudah berada di teras rumah, sedang membicarakan sesuatu dengan Panji, keduanya tertawa entah apa yang mereka bicarakan.

“Sudah selesai?” ucap Pak Arif,
“Sudah Pak” ucap Bisa sambil tersenyum.
“Wah keliatan segeran kamu Bim” timpal Panji yang memang melihat Bima tidak sekusut tadi.

Memberengut kepada Panji, dia duduk kembali di kursi ruang tamu.
“Aku akan beri satu amalan untukmu Bim, jika kamu memang benar-benar siap maka kamu akan langsung bertemu dengan sosok penjagamu, jika kamu memang belum siap dan masih ada keraguan dihatimu kemungkinan kamu akan bertemu dengannya lewat mimpi” ujar Pak Arif.

“Saya siap pak” kata Bima mantap. Tersenyum kemudian Pak Arif menuliskan sesuatu diatas kertas, dan memberikan cara bagaimana dia bisa bertemu dengan sosok yang menjaganya selama ini.

“Pak Arif, lalu bagaimana dengan Mbak Maya?” tanya Bima yang teringat dengan kondisi sepupunya.
“Aku akan membantu dari sini, tapi alangkah baiknya jika Wawan sendiri yang memintaku, ada batasan-batasan yang tidak bisa aku langgar” ucapnya.

“Dan untuk kejadian yang kamu mimpikan saat didalam kelas, itu hanya fragmen ingatan kejadian yang di berikan oleh sosok-sosok tertentu, bisa ada maksud dibalik itu semua atau hanya sekedar memperlihatkan” lanjut Pak Arif yang membuat Bima dan Panji heran, bagaimana bisa Pak Arif tau kejadian disekolah kemarin hari.

***

Belum pernah Bima merasakan jantungnya berdebar begitu cepat ada sesuatu yang membuatnya gugup. Setelah pulang dari tempat Pak Arif dia merasa ada sesuatu yang menunggunya, entah apa dia sendiripun tidak tahu.

Dilihatnya waktu sudah menunjukan pukul 11 malam, sesuai dengan penjelasan Pak Arif, ia kini mulai bersiap-siap.

Beranjak dari tempat tidurnya, menyiapkan mental, Bima beberapa kali menghela nafas panjang. Sedari tadi setelah makan malam dia memang langsung masuk kedalam kamar, masih malas jika harus berinteraksi dengan sosok wanita berkebaya hitam itu.

Menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu, dilihatnya suasana rumah begitu sepi dan damai. Seolah penghuninya sedang terlelap begitu dalam dialam mimpi, Namun begitu melewati kamar Mbak Maya. Ia mendengar lirih suara wanita sedang bersenangdung kidung jawa.

Kembali saat sudah di dalam kamar, Bima melakukan sholat sunah 2 rokaat. Kemudian duduk beroa meminta pertolongan serta kekuatan agar bisa menghadapi setiap cobaan dan ujian yang sedang dilaluinya.

Terdiam bersila untuk mengatur nafas, Bima meniatkan dirinya untuk bertemu dengan sosok penjaganya. Hatinya terus mengucapkan wirid yang diberikan oleh Pak Arif.

15 menit sudah dia duduk dengan posisi bersila, punggungnya mulai merasakan kebas. Didahinya muncul bulir-bulir keringat, badannya terasa panas di area punggung seoalah sedang ada pusaran energi disana.

“Assalamualaikum” ucap suara berat yang pernah Bima dengar sebelumnya. Terkaget, sontak dia membuka kelopak matanya.
“Waalaikumsalam” ucap Bima dengan suara terbata-bata.
Mengerikan jauh lebih mengerikan dari pada sosok wanita berkebaya hitam itu.

Masih tertera jelas dalam ingatannya waktu pertama kali sosok itu mendatangi dan memegangi tubuh Bima.
“Apa butuhmu Le” (apa kebutuhan mu, nak) ucapnya dengan senyum yang menampakan gigi-giginya yang runcing.

“Pp---panjenengan sinten” (kamu siapa) tanya Bima tidak menjawab sosok tersebut. Rasa was-was masih terus menyelubungi nuraninya, takut sosok ini bukan penjaga yang Pak Arif maksudkan.

“Koe pengen ngerti aku sopo?” (kamu pengen tau aku siapa) kata sosok itu dengan tawa yang mendirikan bulu roma.
“Koe ngundang aku supoyo ngerti aku sopo?” (kamu memanggilku untuk tahu siapa aku?) lanjutnya.

Kali ini Bima benar-benar merasa kecil, sosok yang sedang jongkok didepannya begitu mengerikan.
“Inn-nnjih mbah” Bima terbata-bata menjawab pertanyaan dari sosok tersebut.

“Ora usah wedi” (tidak usah takut) ucapnya lagi dengan tawa,
“Aku Kromosengkono, sak iki koe wes ngerti aku sopo. Janji tetep janji ngasi rampunge donyo tak jogo kabeh anak turune simbahmu” (Aku Kromosengkono, sekarang kamu sudah tau aku siapa.

Janji tetaplah janji sampai akhir dunia akan kujaga semua anak turunan kakekmu) yang kali ini menatap Bima tajam.

“Ngapunten, mbah, kenopo mesti kulo?” (maaf mbah, kenapa mesti saya) kata Bima yang mulai berani dengan kondisi yang dia lihat.

“Kui dudu urusanku, simbahmu sek milih wadah e, sak iki gari lakumu arep pie” (itu bukan urusan saya, kakekmu yang memilih wadahnya, sekarang tinggal lelakonmu mau seperti apa)

“Matursuwun mbah” ucap Bima, karena dirasa sudah cukup dia berinteraksi dengan sosok tersebut. Pesan dari Pak Arif jelas, kalau dia belum bisa terlalu lama untuk berinteraksi secara langsung, takut jika Bima kehabisan energy malah justru bisa membahayakan dirinya.

“Tetegno atimu, eleng kabeh wes dadi dalane Gusti” (mantapkan hatimu, ingat semua sudah merupakan ketentuan Tuhan) byaarrr sosok tersebut hilang dalam sekejam mata.

Bima yang melihat itu langsung menyebut asma Allah berulang kali. Masih ragu dengan apa yang dia lihat, Bima berniat untuk memvalidasi kepada Pak Arif keesokan harinya.

Sementara itu di kamar Mbak Maya sosok yang wanita berkebaya hitam itu semakin menjadi-jadi, akhirnya sekarang sosok itu bisa dengan leluasa keluar masuk tubuh Mbak Maya. Bahkan disaat Mbak Maya tertidur sosok tersebut merasuki dan membuat dirinya menari-nari layaknya sinden.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close