Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

CERITA TENTANG MEREKA (Part 5) - Kromosengkono


Kromosengkono

Siangnya saat Bima sudah berada disekolah, seperti biasa suasana tidak jauh berbeda dengan beberapa hari yang lalu.
“Gimana kondisimu Bim?” tanya Panji saat mereka tengah bersantai dibawah pohon, sehabis pelajaran olahraga.

“Jauh lebih baik Ji, aku sudah mulai terbiasa dengan kehadiran mereka, tapi kadang juga masih merasa ngeri dengan sosok yang kerap kali kulihat” ujar Bima.

Mengerti akan kondisi yang sedang dialami oleh sahabatnya, Panji mencoba menyemangati Bima dengan tidak harus menyelesaikan semuanya sendirian.

“Ji, aku heran...” ucap Bima setelah beberapa saat mereka diam.
“Kenapa?”
“Ya setelah kejadian siang kemarin di kelas, sosok anak laki-laki itu tiba-tiba saja tidak muncul sampai sekarang” kata Bima.

Sebetulnya Bima penasaran dan ingin mencari tau lebih lanjut apa yang dimaksudkan oleh sosok tersebut, dengan memberikan penglihatan tentang kejadian yang pernah dia alami dulu.

“Ya, kenapa kamu tidak panggil dia, siapa tau muncul” kata Panji sambil nyengir.
“Benar juga, kenapa dia tidak kepikiran” batin Bima. Sedang Panji saat ini tengah memperhatikan teman-teman kelasnya yang sedang berolahraga terutama para wanita.

“Willem” batin Bima, sesaat ia mengira Willem tiba tiba muncul. Tetapi saat dia mengedarkan pandangannya tidak terlihat satupun sosok astral didekatnya saat ini.

“Mbah... Mbah Kromosengkono” batin Bima, wuuuusss.... angin tiba-tiba datang berhembus cukup kuat membuat pohon-pohon disekitar mereka bergoyang-goyang dan menjatuhkan beberapa daun yang mulai layu.

Sosok Kromosengkono kini tiba-tiba muncul disebelah Bima, terkaget dia hanya bisa merepet “ngapunten mbah” (maaf mbah) ucap Bima. Panji yang ada disebelahnya terheran, tapi dia tau pasti ada sesuatu yang sedang ada disekitar mereka.

“Ono perlu opo le?” (ada perlu apa nak) ucapnya dengan suara geraman yang mendirikan bulu roma.
“Mboten enten mbah, ngapunten pun nyebut namine panjengengan” (tidak ada mbah, maaf sudah menyebut namamu) jawab Bima.

“Ati-ati ojo sembarangan nyebut jenenge bongso alus” (Hati-hati jangan sembarangan menyebut nama dari bangsa halus)

“Bocah sek mbok golek i kui, wedi karo aku, yen koe pengen ketemu engko tak undange bocah kui” (Anak yang kamu cari itu, takut sama aku, kalau kamu pengen ketemu nanti aku panggil anak itu) Lanjutnya yang kini malah sudah duduk bersila disebelah Bima.

Sedang Panji yang sedari tadi hanya merasakan merinding, beberapa kali melihat kearah Bima yang menoleh memunggunginya. Merasa takut Panji pun memutuskan untuk bangkit dan melanjutkan pelajaran olahraga.

“Mau kemana?” tanya Bima.
“Lanjut olahraga Bim, lagian kamu juga masih ada perlu kan?” jawabnya. Bima hanya mengangguk dan minta ke Panji untuk membelikan minuman untuknya. Dengan mengangkat kedua jempolnya Panji pergi melangkah ke tengah lapangan olahraga.

“Koncomu kui, kakean masalah neng omah e” (temenmu itu, banyak masalah dirumahnya) ucap Kromosengkono.

“Masalah nopo mbah?” (masalah apa mbah) tanya Bima.

“Wes kui dudu urusanmu” (sudah itu bukan urusanmu) jawabnya dibarengi dengan menghilangnya sosok tersebut entah kemana.

Sejenak Bima terdiam, menikmati hembusan semilir angin yang menerpa tubuhnya. Sungguh nyaman berada di bawah pohon ini, matanya menerawang jauh memikirkan kondisi Mbak Maya.

“Kalau aku bisa melihat masa lalu dari apa yang dilakukan Mbak Maya mungkin aku bisa sedikit membantu” batinya.

Terdengar suara bel berbunyi yang menggema diseluruh sekolah. Malas untuk beranjak dari tempatnya saat ini dengan berat hati Bima berdiri dan melangkah untuk segera berganti pakaian.

Saat sudah mencapai kelasnya sekali lagi dia mengedarkan pandangannya, mencari Panji dan sosok Willem. Namun keduanya tidak terlihat sama sekali.

***

Hari makin siang, suasana dikelas semakin hening karena pelajaran yang membuat kantuk melanda, sejarah kadang seperti sebuah dongeng yang mengundang kantuk dalam waktu 10 menit, 5 menit kalau hawa panas dan semilir angin turut serta masuk kedalam kelas.

“Jangan tidur, nanti kesurupan lagi” goda Panji yang melihat Bima sudah mulai terlelap, sedang Panji sendiri sedari tadi sibuk bermain game yang ada di handphonenya.
“Eh Ji, aku masih penasaran bagaimana aku bisa melihat kejadian masa lalu” tanya Bima.

Ada jeda sebentar, Panji masih focus dengan game yang dia mainkan.
“Kamu tau Bim? Aku percaya bahwa selalu ada jawaban di setiap pertanyaan” ujar Panji bijak.
“Dapet quote dari mana kamu Ji, bisa bijak gitu” kata Bima yang cekikikan melihat sahabatnya itu.

Cengar cengir Panji tidak menjawab pertanyaan dari Bima. Kembali menatap keluar ruangan terlihat pohon Tanjung yang tepat berada didepannya.
“Mencariku?” tiba-tiba terdengar suara yang mengagetkan Bima.

“Astaga Bim, kamu kenapa?” ujar Panji, saat ini semua teman-temannya dan juga guru yang sedang mengajar menatap Bima. Segera ia meminta maaf.
“Gapapa Ji, kaget sosok anak itu tiba-tiba muncul” ujarnya.

Sudah mulai terbiasa, Panji hanya mendengus dan kembali mengambil Hpnya yang buru-buru dia masukan kedalam kantong celananya.

“Bisakah, kamu menemuiku nanti setelah selesai pelajaran?” ucap Bima kepada sosok anak itu. Mengangguk dan tersenyum sosok itu tiba-tiba menghilang entah kemana.

Bel pulang sekolah akhirnya bergema, banyak anak yang buru-buru meninggalkan kelas termasuk Panji yang katanya sudah kebelet boker sedari tadi. Sedangkan Bima menunggu suasana sepi.
“Willem!” panggilnya.

“Ya, ada apa?” ucapnya.
“Namamu Willem?”
“Benar, aku Willem, aku tau siapa kamu, siapa sosok yang menjagamu, jika aku tidak menuruti panggilanmu bisa saja dia melumatku” ucapnya dengan nada sendu.

“Ah... ada yang ingin aku tanyakan, apa tujuan mu memperlihatkan itu semua?” tanya Bima. Kali ini Willem menolehkan wajahnya, begitu pucat dan beberapa darah terlihat didaerah dadanya yang selama ini tidak diperhatikan oleh Bima.

“Hanya karena ingin kurasa” jawabnya, mirip dengan jawaban yang dia berikan kepada teman wanitanya.
“Apa itu juga berlaku untuk sosok yang lainnya? Maksudku apa aku bisa melihat masalalu?” sekali lagi Bima menjawab.

“Jika hanya kalau mereka mau memperlihatkan” ujarnya.
“Bagaimana caranya?”
“Kamu terlalu banyak bertanya, kalau memang itu kemampuan yang kamu miliki pasti dengan mudah kamu akan tau Bima” ujarnya yang dibarengi dengan hilangnya sosok tersebut.

Menghela nafas segera dia memutuskan untuk pulang kerumah Budhenya..... Sesampainya dirumah Budhe, Bima mengenali mobil milik kedua orang tuanya segera dia masuk kedalam rumah. Benar saja, Sekar dan Banyu sudah duduk diruang tamu bersama Pakdhe dan Budhenya.

“Ibu, Bapak....” ujar Bima sembari memeluk ibunya, heran dengan tingkah anaknya Sekar membalas pelukan Bima.
“Wah anak bapak, sepertinya sudah kangen ini?” ujar Banyu. Memberengut melihat Bapaknya, Bima melepaskan diri berjalan kearah Banyu dan mencium punggung tangannya.

“Kapan pulang? Kok enggak ngabarin?” tanya Bima.
“Semalem, uda ngabarin Budhe tapi katanya kamu uda tidur dari abis isya” ujar Sekar.
“Iya semalem, Sekar telp Budhe tapi kamu sudah tidur jadi ya uda Budhe lupa kasih tau paginya”

“ohhh... Mbak Maya kemana Budhe?” tanya Bima yang sedari tadi tidak melihat kehadiran sepupunya.
“Dikamar Bim, dari tadi ga mau keluar kamar” ucap Budhe, terlihat ada sesuatu yang membuat Budhe mulai kawatir dengan kondisi Mbak Maya.

“Bima kesana ya!” ucapnya sambil beranjak menuju kamar Mbak Maya.

Tok...tok...tok...

“Mbak, Mbak May” panggil Bima.
“Masuk Bim engga ku kunci” ucapnya, terlihat kondisi Mbak Maya begitu parah.

Rambutnya tidak disisir, mukanya pucat. Lingkaran hitam mulai nampak disekitar matanya.
“Mbak Maya gapapa?” tanya Bima mulai kawatir saat melihat kondisi sepupunya itu.

Sedang Mbak Maya hanya menggeleng, ada kesan kamar ini menjadi bengitu singup, hawa yang Bima rasakan begitu mencekam. Nafasnya menjadi begitu berat dengan aroma melati yang kuat.

“Aku kenapa ya Bim, rasanya aku kadang mimpi diajak jalan-jalan sama wanita cantik” ucap Mbak Maya dengan pandangan menerawang.

“Maksudnya?” tanya Bima yang masih bingung.
“Tiap hari aku diajak wanita kesalah satu tempat, disana dia selalu membelai rambutku dan meminta untuk memakan bunga melati, dan tiap kali aku terbangun badanku sudah sakit semua” ujarnya.

“Mbak May, emang nglakuin apa mbak?” sekali lagi Bima tidak menjawab pertanyaan sepupunya tapi malah memberikan pertanyaan lain.
“Engga tau aku Bim, semenjak pulang dari studitour kemarin badanku rasanya engga karuan” jelasnya.

“Aku takut Bim, kalau tiap hari harus bertemu dengan wanita itu, apalagi sekarang kamarku penuh dengan bau melati seperti ini” lanjutnya dengan penuh rasa memelas.

“Nanti kita cari solusinya ya Mbak, Bima nanti enggak pulang ke rumah dulu” ujar Bima. Sedang Mbak Maya hanya mengangguk. Berdiri, Bima keluar ruangan segera menuju kamar mandi dan membersihkan diri.

“Bima mau nginep disini beberapa hari lagi ya Bu?” ucap Bima saat sudah berada di depan Sekar.
“Loh, kenapa?” tanya Sekar heran.

“Mbak Maya minta ditemenin dulu, biar ada temen katanya” jawab Bima mencari alasan.
“Oh yauda engga papa, nanti kalau mau pulang telp Bapak, biar nanti dijemput” ujar Banyu.

Waktu berjalan dengan cepat, tedengar suara Adzan isya berkumandang. Orang tua Bima belum pulang mereka masih menunggu kedatangan Pakdhe, sekalian untuk makan malam bersama. Terlihat Ibu dan Budhe sibuk di dapur sedang Bapak dan pakdhe berada di taman belakang.

Bima kawatir kalau Pakdhe memberitahu semua kejadian yang Bima alami. Pasti Bapaknya Banyu akan segera membawa Bima untuk pulang ke rumah. Tidak mau itu terjadi karena Mbak Maya masih butuh bantuan darinya segera dia menuju taman belakang.

Bima kawatir kalau Pakdhe memberitahu semua kejadian yang Bima alami. Pasti Bapaknya Banyu akan segera membawa Bima untuk pulang ke rumah. Tidak mau itu terjadi karena Mbak Maya masih butuh bantuan darinya segera dia menuju taman belakang.

“Bim, sini” panggil Banyu saat Bima mendekat menuju mereka, duduk didepan Bapak dan Pakdhe seolah dia sedang di sidang.
“Pakdhe bilang ke Bapak, bener kamu ngerokok?” ucap Bapak yang saat ini menatap Bima.

Merasa percuma berbohong dia langsung mengiyakan semuanya, Bapak berdiri sedang Pakdhe terlihat tersenyum melihat kepanikan di wajah Bima.

“Pakdhe jangan cerita ke mereka soal apa yang Bima lihat ya” ujar Bima buru-buru.
“Kenapa, mereka orang tuamu lo Bim?” ujar Pakdhe.
“Iya Pakde, Bima tau, tapi tolong jangan bilang ya?” mohon Bima kepada Pakdhe Wawan.

“Bener Bim, kamu ngerokok?” ucap Sekar yang kini datang dengan Budhe dan Bapak. Budhe yang sama sekali tidak tau hanya melihat suaminya yang hanya mengangkat bahunya.

“Iya Bu” Kata Bima tertunduk, sedang malah Bapaknya tertawa melihat Bima yang seperti ini, sontak Bima mengadahkan wajahnya, terlihat Sekar Ibunya menempelkan tangannya di jidad sedang Budhe hanya geleng-geleng kepala.

“Jangan banyak-banyak gimanapun itu salah Ibu” ujarnya sambil kembali ke arah dapur. Melihat itu semua Bima terheran melihat Bapaknya.
“Dulu Bapak, waktu SMP uda ngerokok, jadi ya Bapak ga bisa marahin kamu” kekehnya sambil mengusap-usap kepala anak semata wayangnya.

Kembali mereka berbincang satu sama lain, sesekali Bima mencoba mengetuk kamar Mbak Maya tapi tidak ada jawaban sama sekali. Akhirnya makan malam sudah siap, semua sudah dimeja makan termasuk Mbak Maya.

“Sudah sehat May” tanya Sekar saat pertama kali melihat Maya sedari tadi datang.
“Sudah Bulek” ucapnya dengan tersenyum centil.

Melihat itu semua Sekar sedikit heran tidak biasanya Maya bersikap seperti itu, bahkan sekarang dia menggunakan makeup, padahal biasanya dia tidak begitu peduli dengan tampilannya saat berada di rumah.

“Kamu habis ini mau kemana emang May?” tanya Pakdhe.
“Enggak kemana-mana kok Pak” jawabnya singkat. Kembali mereka semua menikmati hidangan yang sudah tersaji.

Mbak Maya yang biasanya makan sedikit kali ini terlihat rakus, tanpa menggunakan sendok dia mencaplok makanan banyak-banyak membuat orang-orang disekitarnya risih dengan kelakuannya.

Bukan hanya itu saja, kakinya saat ini juga sudah naik satu diatas kursi bak preman yang sedang mangkal di terminal.

“Maya, yang sopan kamu?” tegur Pakdhe saat melihat anak terakhirnya itu. Sejenak Mbak Maya berhenti dan malah membanting piring dan berjalan menuju kamarnya. Jengkel, Pakdhe Wawan segera bangkit berniat menyusul Mbak Maya namun ditahan oleh Bapak.

Melihat itu semua, Budhe yang sedari tadi diam kini berjalan menuju arah kamar anaknya itu.
“Heran akhir-akhir ini aku merasa aneh dengan Maya” ucap Pakdhe yang masih terengah menahan emosinya.

“Sedang ada masalah mungkin Mas, kamu yang sabar, jangan emosi” kata Bapak menenangkannya.
Brukkkkk terdengar suara bantingan barang dari arah kamar Mbak Maya, sontak mereka semua berlari menuju tempat kamar tersebut.

“May, kamu kenapa?” ucap Budhe yang sudah terduduk di bawah lantai, sedang Mbak Maya kali ini hanya berdiri memandangi mereka semua.
“Urusanku, arep ngopo wae” (urusanku, mau mangapain aja) ucap Mbak Maya setengah teriak.

Bima sendiri hanya diam memperhatikan di balik punggung Bapaknya. Dilihatnya sosok wanita berkebaya hitam itu kini tengah merengkuh Mbak Maya dengan senyum yang mengerikan.

“Kurang ajar” Kata Pakdhe yang emosi mendengar istrinya diperlakukan sedemikian rupa oleh anaknya sendiri.
“Jaluk mati koe?” (minta mati kamu?) Ucap Maya Saat Pakdhe mendekatinya. Melihat itu semua Bima mencoba untuk tetap tenang.

“Gendiswari” tiba-tiba Bima mengucapan itu semua, sontak mereka semua menoleh ke arah Bima yang kali ini berjalan menuju arah Mbak Maya.
“Bocah wes tak omongi ojo meluk-meluk urusanku” (Bocah sudah kukasih tahu untuk tidak ikut campur urusanku) ucapnya sambil tersenyum garang.

“Ojo dumeh, koe due bolo, cah bagus” (jangan hanya karena kamu punya teman, anak ganteng).

“Dadi urusanku yen koe wani ngusik keluargaku” (jadi urusanku kalau kamu mengusik keluargaku) kata Bima yang suaranya tiba-tiba menjadi berat, tangannya dia taruh dipinggang seolah sedang menantang sosok Gendiswari.

“Kromosengkono” ucap Gendiswari yang masih menggunakan tubuh Mbak Maya,
“Bocah ini wes dadi duwekku, koe ngerti batesan e” (anak ini sudah menjadi miliku, kamu tau batasannya) lanjutnya yang masih menatap Bima dengan tajam.

Semua orang disana terdiam dengan apa yang mereka lihat, namun hanya Pakdhe yang sadar apa yang tengah terjadi.
“May, sadar May, istifar” ratap Budhe yang kini mulai menangis melihat kondisi anaknya yang sedang kesurupan.

“Bim, Bima kamu ngapain?” kata Banyu sambil mencoba menarik tangan Bima. Namun Bima tak bergeming.
“Metuo, ojo sampe tak lumat ndasmu” (keluar, jangan sampai aku lumat kepalamu) kata Bima yang membuat semua orang merinding saat mendengar apa yang diucapkan olehnya.

“Ora, yo Ora” (Tidak ya tidak) ucapnya malah menantang, merasa marah Bima langsung melompat menubruk Mbak Maya dan memegangi kepala Mbak Maya, semua orang teriak melihat kejadian tersebut. Pakdhe dan Bapak mencoba untuk maju tapi Bima menyuruhnya untuk tidak mendekat.

Suasana dikamar itu begitu mencekam, 2 remaja kesurupan membuat orang dewasa disekitar mereka kebingungan. Sekar Dan Yanti menangis melihat itu semua, Bima kali ini memegani kepala Maya dan merapalkan sesuatu.

Beberapa saat kemudian tubuh Maya mulai melemas dan tertidur. Sedang Bima berdiri dan berbalik menatap mereka semua.

“Sopo wae sek wani ganggu bocah iki (Bima), bakal due urusan karo aku“ (siapa saja yang berani mengganggu anak ini (Bima), bakal punya urusan denganku) ucap Bima yang dibarengi dengan tubunya yang jatuh ke lantai.

***

Mengerjap, Bima saat ini sedang duduk disalah satu amben ditengah hutan. “Le?” panggil kakek yang dulu pernah ditemuinya. Spontan entah kenapa Bima langsung mencium pungung tangan kakek tersebut.

“Bima ting pundi Mbah” (Bima dimana mbah?) tanya Bima yang sudah mulai bisa terlihat lebih santai.

“Wes neng kene sek, ben bocah kae ngurusi rogomu delet” (sudah disini dulu, biar anak itu mengurus ragamu sebentar) ucapnya sambil tersenyum.

Tidak paham dengan apa yang dimaksudkan oleh si Kakek, Bima hanya mengangguk.
“Niki ting pundi to Mbah” (ini dimana ya mbah) tanya Bima sekali lagi.

“Opo ora betah awakmu neng kene? Omah e simbah elek yo?” (apa tidak betah kamu disini? Rumahnya simbah jelek ya?)

Mendengar itu semua Bima menggeleng kuat, tersenyum simbah.
“Iki alas lali Jiwo, yen koe sembarangan mlebu kene simbah ora iso jamin bakal iso metu” (ini hutan lupa jiwa, kalau kamu sembarangan masuk kesini, kakek tidak bisa menjamin kamu bisa keluar) Kata kakek tersebut.

Mendengar itu semua Bima terdiam dan mengedarkan pandangan, benar saja setelah diamati lebih lanjut banyak sekali sosok yang bergentayangan disini. Menghela nafas, Bima membatin bagaimana caranya dia agar bisa pulang.

“Engko nek meh muleh tak terke, ojo sumeleng, sak iki ngombe iki disik” (nanti kalau mau pulang saya antar, jangan khawatir, sekarang ini minum ini dulu) ucap si kakek sambil menyorkan kendi kepada Bima.

Ada keraguan yang muncul, tapi dengan mantap dia menerima dan meminum air didalam kendi tersebut. Saat air menyentuh lidah dan kerongkongannya terasa begitu segar dan nikmat, air bening ini terasa manis.

Saat selesai meminum air kendi tersebut sosok kakek sudah hilang entah kemana. Tersentak kebelakang seolah sedang ditarik, Bima merasakan dirinya jatuh kedalam lubang yang dalam.

“Golek ono barang sek ana hubungan e ro Gendiswari” (cari barang yang ada hubungannya dengan Gediswari) terdengar gema suara si kakek ditelinga Bima.

Terengah, Bima membuka mata. Saat ini dia sudah berbaring ditempat tidur, terlihat Sekar menungguinya. Ada sesuatu dikepala Bima yang basah dan berat, saat menyentuh benda itu ternyata handuk yang dipakai untuk mengkompres.

Sejenak dia pandangi Ibunya, dia tidak berusaha untuk membangunkannya. Didepan juga terdengar suara percakapan yang Bima pikir itu adalah Pakdhe dan Bapak. Matanya masih begitu berat, sampai akhirnya dia kembali tertidur....

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close