Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

CERITA TENTANG MEREKA (Part 6) - Benda Terkutuk


Benda Terkutuk

Bima mengerjapkan, matanya masih lengket dan berat untuk dibuka, badannya juga terasa pegal semua. Berpaling ternyata Sekar Ibunya sudah tidak ada disisi tempat tidur. Perlahan dia bangun dan beranjak keluar kamar.

Dilihatnya Pakdhe dan Bapak tidur di depan ruang TV. Melihat jam ternyata masih subuh, segera dia melangkah menuju kamar Mbak Maya. Dibukanya pintu kamar tersebut, terlihat Budhe sedang mengompres badan Mbak Maya.

“Budhe” ucap Bima lirih sambil mendekat kearahnya.
“Gimana kondisimu Bim?” tanya Budhe dengan senyum simpulnya.
“Bima gapapa Budhe, Mbak Maya gimana kondisinya?” tanya Bima saat melihat Mbak Maya yang terbaring dengan tangan dan kaki yang diikat.

Menangis Budhe menjelaskan kalau semenjak semalam, Maya selalu meronta-ronta. Dirasa percuma karena ini bukan penyakit medis maka orang dewasa yang ada dirumah tersebut memilih untuk sementara mengikat tubuh Mbak Maya.

Tidak tega dengan apa yang dia lihat, Bima beranjak. Sesekali dia menoleh kearah Mbak Maya, dia tidak melihat sosok yang selama ini mengikutinya. Berjalan menuju kearah toilet Bima mendapati Ibunya sedang menyiapkan sesuatu.

“Bu...” panggil Bima lirih, menoleh kearah sumber suara, segera Sekar memeluk anak semata wayangnya.
“Syukurlah Bim, kamu tidak apa-apa? semalaman badanmu panas banget” ucapnya panik masih merengkuh Bima dengan kuat.

“Bima gapapa Bu, tapi Mbak Maya gimana?” tanya Bima.
“Nanti siang kita berencana menemui teman Bapak dan Pakdhemu, dia tau hal-hal semacam ini” ucapnya sambil mengelap air mata yang tumpah. “Kamu kenapa enggak cerita ke Ibu?” lanjutnya.

“Gapapa Bu, cuma Bima yang terlalu takut untuk bercerita” jawab Bima, yang saat ini duduk di meja makan.
Mendengar itu semua Sekar kembali beranjak kearah dapur dan membuat segelas susu panas.

“Ceritakan sama ibu apa yang sebenarnya sudah kamu lalui seminggu ini” pintanya sembari meletakkan segelas susu panas didepan Bima.

Sebenarnya Bima enggan untuk bercerita, dia tidak mau Sekar khawatir tapi karena Ibunya mendesak, akhirnya Bima menceritakan semua dari awal kejadian dia bisa melihat mereka.

Terlihat raut wajar Sekar begitu khawatir, sesekali dia mengusap matanya
“Maafin Ibu ya Bim” ucap Sekar sambil menggenggam tangan anaknya.
Tersenyum Bima mengatakan kalau dia sudah mulai biasa dengan apa yang dia lihat. Justru sekarang dia merasa khawatir dengan kondisi Mbak Maya.

“Nanti setelah Bapak dan Pakdhe bangun kamu coba jelaskan kepada mereka, ibu juga bingung karena belum pernah menghadapi hal-hal semacam ini” ucapnya.

Pagi sudah datang, kini sinar matahari mulai muncul dibalik tipisnya kabut yang mulai pudar. Sedari tadi setelah melaksanakan sholat subuh berjamaah, mereka duduk berkumpul di taman belakang, sedang Budhe masih menunggui Mbak Maya dikamarnya.

“Jadi gimana Bim ceritanya?" Pakdhe benar-benar shock baru kali ini melihat orang yang baru terbuka kemampuannya bisa langsung seperti itu” tanya Pakdhe tidak sabar.

Sejenak Bima memandangi rokok yang ada didepan meja, mulutnya begitu kecut dan ingin sekali menghisap rokok yang ada didepannya.

Tak lepas dari pandangan Banyu, segera dia mengambil rokok itu dan menyulut satu batang. Kemudian di berikannya kepada Bima anak laki-lakinya.
“Mau ngerokok ya ngerokok aja” ucapnya. Mendapat lampu hijau akhirnya dia mengambil rokok tersebut dan membakarnya.

“Bima sedari awal sudah tau kalau ada sosok yang berada di belakang Mbak Maya, bahkan pernah beberapa kali dia meniru sosok-sosok yang ada dirumah ini, puncaknya Bima pernah dicekik olehnya lewat media tubuh Mbak Maya” jelas Bima.

Mendengar hal tersebut sontak semua terkaget bahkan Sekar yang tadi sudah mendapatkan cerita dari Bima tidak tau kalau ada kejadian seperti itu. Memegangi lehernya, kemudian dia menunjukan bekas goresan yang kini sudah menghitam kepada mereka semua.

“Kenapa kamu gak bilang sama Pakdhe atau Budhe Bim” ujarnya prihatin,
“Ingat kan Pakdhe waktu malam-malam Bima panik mengetuk-ngetuk pintu kamar Pakdhe, itulah saat kejadian Bima dicekik, tapi anehnya Mbak Maya seolah tidak melakukan apapapun” jawab Bima.

Benar, sosok Gendiswari memang jago berakting pikir Bima, bagaimanapun yang diincarnya adalah Maya dan dirinya. Makannya sebisa mungkin dia berusaha agar Pakdhe dan Budhe tidak tau soal masalah ini.

“Sudah Wan, yang penting sekarang mau bagaimana, kita semalam sudah sepakat untuk menemui Arif, tapi aku khawatir kalau Maya kembali mengamuk jika kita berdua pergi” ucap Bapak yang mencoba menengahi.

“Biar aku dan Mbak Yanti yang dirumah, nanti kalau ada apa-apa aku akan segera kabari dan minta tolong tetangga jika memang keadaan darurat” ucap Sekar.

Mendengar itu semua awalnya Pakdhe tidak mau, tapi dengan semua pertimbangan yang ada akhirnya dia menyetujui kalau sehabis sarapan mereka akan pergi ke Kampung Linggono dimana Arif tinggal.

***

Kali ini Bapak yang menyetir mobil, tidak ada obrolan panjang yang muncul, hanya sesekali menanyakan arah atau sekedar menawari untuk mampir membeli minuman.

Perjalanan terasa begitu lama, setelah beberapa waktu akhirnya gapura Kampung Linggono yang masih berselimut kabut mulai terlihat. Pelan kemudian Bapak memasuki kampung tersebut. Saat sudah sampai di depan Rumah Pak Arif mereka segera turun.

Seperti biasa seolah sudah tahu akan kehadiran mereka, Pak Arif dengan jaket yang lumayan tebal sedang duduk didepan teras rumahnya sambil memegangi sebatang rokok.

“Assalamualaikum Rif” ucap Bapak dan Pakdhe bersamaan, sedang Bima mengekor dibelakangnya. Takut jika Pak Arif menceritakan kalau dia sudah pernah menemuinya dengan Panji.

“Waalaikumsalam” Jawab Pak Arif tersenyum dan meminta mereka semua untuk duduk, dia sendiri segera masuk kedalam rumah.

“Pak, boleh minta rokok? Dingin!!!” pinta Bima yang berbisik ditelinga Bapaknya, Mendengar itu Pakdhe sedikit tersenyum sudah lama dia tidak melihat keponakan tersayangnya seperti itu.

Sedang Banyu malah mencemooh Bima “Wah ya kalau hubungan Bapak Anak tetap sampai mati, tapi kalau urusan rokok kita masing-masing Bim” ujarnya dengan muka serius seolah sedang dimintai jiwanya.

Memberengut Bima beranjak menuju kearah Pakdhenya, dan meminta rokok yang sudah dikeluarkan sedari tadi.
“Yauda nanti Bima pindah ke KK sebelah aja Pak” ucapnya kesal, mendengar itu semua sontak kedua laki-laki itu tertawa, sejenak permasalahan yang sedang mereka hadapi ikut hilang terbawa kabut.

“Wah wah, bener kalau datang bertamu itu harus ceria, jangan suntuk seperti saat kalian turun dari mobil tadi” ujar Pak Arif yang kini sudah menyajikan 3 gelas kopi panas dan beberapa camilan.

“Mas Bima gimana kabarnya, masih takut sama mereka?” lanjutnya dengan menampilkan senyum penuh arti.

“Alhamdulillah sehat Pak, Bapak Bagaimana?” Ucapnya sambil menyalimi punggung tangan Pak Arif. Sebagai jawaban dia hanya menggangguk dan berpaling memandang Pakdhe.

“Tenangno pikirmu Wan, kabeh ana solusine” (Tenangin pikiranmu Wan, semua ada solusinya),
“Koe yo podo, ra pernah mampir neng omahku” (Kamu juga sama aja, tidak pernah mampir ke rumahku) tunjuk Pak Arif kearah Banyu, sedang Bapak terlihat malu dan menampilkan senyum meminta maaf.
“Jadi gini Rif...” ucap Pakdhe namun kalimatnya segera di potong oleh Pak Arif,
“Sudah, aku sudah tau, waktunya sudah mepet, sebentar lagi kita kerumahmu, Bima segera nanti cari tau benda yang diamanatkan sama kakekmu” ucapnya sambil melihat kearah Bima.

“Maksudnya gimana Rif?” tanya Bapak yang kali ini terlihat bingung dengan apa yang sedang terjadi.
“Sukma anak e Wawan kui digowo neng alas lali jiwo, Bima wes pindo tekan kono, membengi dek ne yo tekan kono meneh lan di kon goleki barang sek berhubungan karo Gendiswari”

(sukma anaknya Wawan itu dibawa ke alas lali Jiwo, Bima sudah dua kali sampai sana, semalam dia kesana lagi dan diminta untuk menemukan barang yang berhubungan dengan Gendiswari) jelas Pak Arif.

Sedang Pakdhe kini mulai terlihat gelisah, pikirannya langsung tertuju pada anak bungsunya.
“Terus Bima gimana Rif?” tanya Bapak sekali lagi. Menggeleng Pak Arif berucap,
“Gapapa, Bima aman dia ada yang menjaga, sosok yang merasukinya semalam merupakan makhluk yang selama ini memiliki perjanjian di darah istrimu” kaget dengan penjelasan Pak Arif, Banyu sama sekali tidak tau tentang sejarah keluarga istrinya terdahulu.

“Sudah itu tidak penting saat ini, yang terpenting sekarang keselamatan dari anak Wawan” ucap Pak Arif. Bima tidak mengucapkan apapun karena dirasa semua kejadian yang sudah terjadi dikeluarganya telah diketahui oleh Pak Arif.

***

Sesampainya di rumah kembali mereka mendengar Mbak Maya mengerang dan menggeram.
Mendengar suara mobil yang berhenti didepan rumah segera Sekar berlari kearah depan.
“Sudah ayok” ucap Bapak yang memandu mereka menuju kamar Maya.

Shock dengan kondisi sepupunya saat ini, Mbak Maya sedang melotot dan liurnya menetes-netes dari sisi samping mulutnya. Budhe sedari tadi mencoba mengelap liur yang tumpah hingga membasahi bantal yang dipakai Mbak Maya.

Pak Arif buru-buru mendekati Maya, dia memegang kepalanya dan merapalkan sesuatu. Sejenak tubuh Maya meronta habis-babisan tapi kemudian badannya melemas dan kembali tertidur.

“Ada sosok yang memasuki tubuh Maya, sudah kukeluarkan, ibarat saat ini Maya hanya wadah tanpa isi, jadi dia menjadi incaran sosok-sosok jin disekitar sini” jelas Pak Arif.

“Terus gimana Rif?” tanya Pakdhe yang mulai kembali terlihat panik. Sedang Budhe kembali menangis dan sedang ditenangkan oleh Ibunya.
“Carikan aku daun sirih hitam, dan air garam” pintanya.

Tanpa menunggu lagi segera Bapak mencari apa yang Pak Arif minta, sedang Pakdhe tetap dirumah jika sewaktu-waktu dimintai bantuan.

“Bima kamu cari barang yang dimaksud kakekmu, panggil Kromosengkono kalau perlu” ucapnya lagi tanpa memperdulikan kebingungan yang timbul di wajah Ibu-ibu yang ada disana.

“Cc—caranya gimana Pak?” ujar Bima bingung. Segera Pak Arif memberikan penjelasan kepada Bima bagaimana untuk bisa secara sadar kembali melihat masa lalu, tapi kali ini karena baru pertama kali dia diminta untuk memanggil Kromosengkono agar membantunya.

“Jika salah satu dari kalian melihat ada yang aneh atau ada sosok yang berada di dekat Bima jangan sekali-kali mengganggunya” jelas Pak Arif tegas.

Karena saat Bima sudah masuk kedalam dimensi yang lain tubuh dan jiwanya sedang terpisah, jadi sebisa mungkin jangan mengganggu, apapun yang terjadi.

Bima sudah kembali dari berwudhu, kali ini dia diminta untuk meditasi dan memusatkan pikiran berniat agar diberitahu akan kejadian beberapa hari lalu...

Suasana didalam kamar tiba-tiba terasa sesak, semua orang disana kecuali Pak Arif merasakan kegelisahan luar biasa. Sedang Sosok Kromosengkono kini sudah hadir dan duduk persis dibelakang Bima.

10 menit telah berlalu, Bima merasakan adanya tarikan tarikan kecil diatas ubun-ubunnya, dengan sekali sentakan tiba-tiba saja dia sudah berpindah tempat.

Terlihat Mbak Maya dan teman-temannya sedang berada disalah satu sanggar tari yang berada di kota dimana dia tengah melakukan studitournya. Rombongan tersebut sedang menikmati suguhan tarian-tarian jawa yang dibarengi dengan suara gamelan.

Adegan berganti, kini mereka sedang berjalan disalah satu Museum dangan suasana yang sama, Bima pikir mereka masih dalam satu komplek lokasi. Terlihat Mbak Maya sedang bersendau gurau dengan teman-temannya.

Tetapi ada yang aneh, sedari tadi Bima memperhatikan kalau ada sosok perempuan yang mengikuti mereka dari jauh, wanita itu juga Bima lihat berada di sanggar tari tadi.

“Ikuti wanita itu Bim” ucap Kromosengkono yang kini berdiri disamping Bima.
Sementara itu....

“Astaghfirulloh” ucap Sekar saat melihat tubuh Bima mengeluarkan asap tipis, dia panik melihat ke arah Pak Arif, yang saat ini sedang mencoba mencari keberadaan Maya, tapi sia-sia dia harus menunggu Bima untuk segera mengetahui barang yang menjadi sumber penyebab ini semua.

“Biarkan, memang seperti itu” ucap Pak Arif yang membuat bingung Pakdhe dan Budhe.
“Kenapa dengan Bima?” tanya Pakdhe yang saat ini berdiri disamping Sekar.
“Aku melihat ada asap tipis yang muncul dari tubuh Bima, Mas” jawab Sekar.

Lambat laut asap yang dilihat Sekar sudah mulai berbentuk, menjadi sebuah sosok yang duduk dibelakang Bima. Melihat itu semua Sekar teriak dan mengacung acungkan tangannya kearah Bima, Pakdhe menahannya agar Sekar tidak mengganggu proses ritual yang sedang Bima lakukan.

“Mas, itu Mas, tolongin Bima” ucapnya panik,
“Tenangkan dirimu Sekar, apa yang kamu lihat itu adalah sosok yang menjaga Bima selama ini” ucap Pak Arif dengan nada sedikit membentak.

Mulai tenang, kali ini Sekar paham apa yang Bima lihat. Begitu mengerikan, bagaimana anaknya bisa begitu tahan dengan ini semua.

“Rif, mreneo” (Rif, kesini) ucap Bima masih dengan kondisi terpejam. Pak Arif yang mengerti langsung menuju kearah Bima dan segera duduk bersila.
“Njih Mbah” (Ya mbah) ucapnya sambil menunduk.

“Ajarno Bocah iki ngasi iso nulungi uwong” (Ajari ana ini sampai bisa menolong orang) ucapnya.
“Ngapunten mbah, nopo kulo saget?” (maaf mbah, apa saya sanggup?) ucap Pak Arif yang masih tertunduk.

Melihat itu semua, mereka bingung bukan kepalang. Sosok Arif yang mereka kenal begitu tegas dan keras, kali ini malah mendapati bahwa Arif tertunduk didepan bocah berumur belasan tahun.

“Koe ora gelem?” (kamu tidak mau) ucap Bima yang saat ini mirip seorang kakek-kakek.
“Purun mbah” jawab Pak Arif,
“Urusane Bocah iki ben karo Kromosengkono, koe ra usah sumelang, jogonen putuku wedok” (Urusan anak ini biar sama Kromosengkono, kamu tidak perlu khawatir, jaga saja cucu perempuanku) lanjut Bima yang kembali menutup kelopak matanya.
“Njih mbah”.

Segera Pak Arif berdiri dan duduk bersila didepan Maya. Dia berpesan jika Banyu sudah kembali segera masak air daun sirih hitam yang sudah ditumbuk dan dicampur dengan garam. Mereka semua mengangguk mengerti.

***

Sudah beberapa waktu Bima mengamati sosok wanita itu, kembali dia merasakan energi yang membuat dirinya mual.

Wanita muda itu tidak terlihat mencurigakan, pakaian yang dia kenakan juga sama dengan orang-orang lainnya, tapi yang membuat Bima penasaran, dia selalu menutupi wajahnya dengan menggeraikan rambut bagian kanan mukanya.

“Nyai, aku sudah menemukan orang yang kamu inginkan” ucapnya lirih. Sesaat dia melangkah menuju Mbak Maya dan teman-temannya yang kali ini sudah berada diluaran Museum,
“Nak mau beli minumannya?” ucapnya,

Merasa kasian dengan wanita tersebut terlebih udara begitu panas, Mbak Maya membeli minuman dingin yang dia tawarkan, namun berbeda dengan yang Bima lihat. Saat dia mengulurkan kembalian dan menyentuh tangan Mbak Maya ada asap hitam yang menyelimuti tangannya.

“Sirep” jelas Kromosengkono yang masih setia menemaninya.
“Apa itu menjadi media?” tanya Bima.
“Wes, delengo” (sudah lihat saja) jawabnya tanpa menoleh kearah Bima.

Memberengut merasa kesal Bima kembali melihat kearah Mbak Maya yang kali ini ditempeli sosok wanita dengan muka hancur menjijikan.

Adegan kembali berubah, kali ini Bima sedang berada disebuah hotel dengan gaya khas rumah Jawa. Dilihatnya wanita itu ternyata mengikuti Mbak Maya sampai ketempat dimana dia singgah.

“Badanku kok ga enak gini ya Ver” kata Mbak Maya kepada salah satu temannya.
“Kecapean, kamu tidur aja istirahat ga usah ikut acara gathering malam ini” ujar teman Mbak Maya sembari memberikan obat anti masuk angin yang dia bawa.

Setuju, akhirnya Mbak Maya memutuskan untuk tidak mengikuti acara gathering. Badannya terasa begitu berat, kepalanya juga pusing tidak kuat akhirnya dia mencoba untuk tidur, tidak butuh waktu lama Mbak Maya sudah terlelap karena efek obat yang dia minum.

Jam sudah berganti, teman-teman dari Mbak Maya mulai masuk kedalam kamar, salah satu yang bernama Vera segera menuju ke ranjang Mbak Maya,
“May, bangun, May” kata Vera sambil menggoyang goyangkan tubuh Maya.

Bima yang melihat itu geleng-geleng,
“Koe ora weruh cah?” (kamu tidak lihat Nak?) ucap Kromosengkono, kali ini Bima mendapati ternyata Vera juga diikuti oleh sosok wanita dengan muka hancur sebelah.

Bergerak perlahan, Maya membuka mata “kenapa Ver?” tanya Maya.
“Ini ada yang nitipin barang, katanya kamu beli tadi dan belum sempat terbawa malah bus kita keburu melaju, makannya ibu penjualnya nututin kesini, takut engga berkah” jelasnya.
“Yauda taruh disitu” ucap Maya sambil mengacungan jarinya kearah meja dimana dia meletakan tasnya.

“Wes eruh?” (sudah lihat) sekali lagi Kromosengkono menanyai Bima. “Sampun mbah” jawab Bima.
“Wes ayo muleh” (sudah ayo pulang) ketika mengucapkan itu tubuh Bima tersentak, terengah membuka mata dia mendapati orang-orang sedang melihatnya.

Bapaknya sudah pulang, saat ini tubuh Mbak Maya sedang dibaluri sesuatu yang Bima tidak tahu. Melihat Bima berdiri Sekar berlari menuju anaknya dan memeluknya. Takut terjadi sesuatu dan dia sama sekali tidak bisa membantu.

“Bagaimana Bim?” ucap Pak Arif. Dengan masih terengah Bima meminum air yang diberikan Pak Arif, ajaib kondisi tubuhnya perlahan terasa bugar.
“Sisir, sisir kayu” ucap Bima.

Mengangguk, Pak Arif segera meminta Bima untuk beristirahat, tapi Pakdhe dan yang lainnya ingin Bima menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.

Akhirnya mereka semua kecuali Budhe yang masih membalurkan air daun sirih hitam dan garam keluar ruangan menuju taman belakang rumah.

Sesampainya disana setelah semua duduk tanpa diminta Bapak menyodorkan rokok 1 bungkus kepada Bima,
“Daripada kamu pindah KK sebelah” ucapnya tersenyum.

3 orang dewasa dengan satu remaja berkumpul siang itu, Bima menceritakan apa yang dia lihat. Beberapa kali Pakdhe mencoba ingin menyela tapi ditahan oleh Pak Arif, Bima bersyukur karena jauh lebih mudah bercerita dari awal hingga akhir tanpa adanya jeda.

“Jadi sisir itu menjadi media untuk menyantet anaku?” gerap Pakdhe setelah mendengar cerita Bima.
“Benar, sekarang kita perlu tau dimana sisir itu berada, harus ketemu siang ini nanti malam aku dan Bima akan melalukan ritual untuk pergi ke alas lali Jiwo” ucap Pak Arif.

Mendengar itu semua Sekar komplain kenapa Bima harus ikut serta masuk kealam gaib,
“Kenapa anakku kau ajak ke dunia mereka Mas?” tanya Sekar.

“Karena Bima yang menjadi kunci dari semua ini, Gendiswari sudah pernah melukai Bima, dengan luka yang ada di leher Bima aku Bisa merasakan energi dari Gendiswari” jelas Pak Arif.

“T—tapi?” “Kamu tenangin diri kamu Sekar, Aku percaya Bima bisa melalui ini semua” ucap Banyu yang kini merengkuh Sekar kedalam pelukannya.
“Bagaimana Bim? kamu siap?” ucap Pak Arif.
“Siap Pak, Bima sudah berjanji kepada Mbak Maya untuk menolongnya” kata Bima mantap.

Mendengar itu semua Pakdhe beranjak dan memeluk Bima mengucapkan terima kasih karena mau menolong Maya.

“Terima kasih Rif, sudah mau membantu” ucap nya kepada Pak Arif,
“Setelah selesai aku minta dibelikan makanan yang banyak” jawabnya sambil tertawa, mendengar itu mau tidak mau Pakdhe juga ikut tertawa.
“Apapun maumu akan kubelikan” jawab Pakdhe yang sudah kembali duduk.

“Kamu setelah ini istirahat Bim, kumpulkan tenagamu, biar para orang tua yang mencari sisir itu” kata Pak Arif.
“Lalu sisir itu mau diapakan pak?”
“Kita bakar untuk menghancurkan sosok Gendiswari” ucapnya sembari menghembuskan asap rokok dari mulut dan hidungnya.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close