Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

CERITA TENTANG MEREKA (Part 7) - Cempoko Kuning


Cempoko Kuning

Malam sudah menjelang, suasana tidak berubah sama sekali. Entah kenapa aura kesedihan seperti terpancar dari dinding rumah Budhe Yanti. Bima sedari tadi beristirahat dikamar, melakukan seperti yang diperintahkan oleh Pak Arif.

“Bim...Bima” terdengar suara Sekar memanggil Bima dari luar kamar.
“Iya Bu?” sahut Bima.
“Makan dulu Bim, sudah ditunggu yang lainnya”

Beranjak, Bima keluar dari kamar, dilihat Ibunya sudah berjalan menuju meja makan. Mengekorinya Bima bergerak kearah yang sama dengan Sekar. Disana semua orang sudah berkumpul bahkan juga ada Budhe.

“Mbak Maya gimana Budhe?” tanya Bima saat sudah duduk.
“Masih seperti tadi siang Bim” jawab Budhe lesu.
“Kita berdoa terus ya Mbak, agar Maya baik-baik saja dan selalu dilindungi Allah” kata Sekar sambil memeluk kakak perempuannya.

“Gimana kondisi kamu Bim?” kini Pak Arif yang bertanya.
“Baik Pak, kita mulai jam berapa?” ujar Bima yang mulai merasakan kecemasan dengan apa yang akan dilaluinya. Tidak menjawab kini Pak Arif meletakkan benda, sebuah sisir kayu kuno di tengah meja makan.

Melihat itu Bima mengangguk,
“Ini sisir yang diberikan oleh temannya Mbak Maya” ucap Bima saat memperhatikan benda tersebut dengan lebih seksama, saat dia mau menyentuh benda itu.

Tangannya langsung ditepis oleh Pak Arif,
“Jangan kamu sentuh, itu bisa berdampak bagi tubuhmu. Kamu belum sepenuhnya bisa menetralisir energi negatif yang masuk kedalam dirimu Bim”

“Kalau begitu apa tidak berbahaya jika Bima harus berada didunia Astral Rif? Aku mau anakku selamat, tapi aku juga tidak mau mengorbankan keponakanku” kata Pakdhe dengan raut wajah khawatir.

“Kalian lupa, kalau sosok yang menjaga Bima bukan sosok biasa, itu baru salah satu, masih ada yang lain yang belum bisa Bima lihat dan mereka selalu berada disekeliling Bima” Jelas Pak Arif.

“Tapi...”
“Apa kau pikir aku akan membiarkan Bima dalam bahaya? Justru disini keselamatanku sendiri yang menjadi taruhannya, begitu besar resiko yang harus aku ambil ketika membawa Bima masuk kealam mereka” Pak Arif menegaskan suaranya memotong keraguan yang muncul di dalam diri Pakdhe.

Memang benar apa yang dikatakan oleh Pak Arif, justru nyawanya yang saat ini terancam. Membawa Bima masuk kedalam Alas lali jiwo merupakan resiko yang sangat besar. Dimana selain dia harus menemukan Maya tapi juga harus menjaga Bima.

Tapi Bima merupakan kunci dari semua ini, dari Awal Bima juga sudah ditandai oleh sosok Gendiswari, jiwa Bima bisa menjadikan dirinya jauh lebih kuat dibandingkan sebelumnya.

“Lalu bagaimana kita Bisa menyelamatkan Mbak Maya Pak?” tanya Bima yang tidak terpengaruh dengan pertengkaran yang muncul.
“Ikutlah denganku, akan aku jelaskan semuanya” jawab Pak Arif sembari berdiri menuju taman belakang.

Para orang tua heran dengan keputusan Arif, seharusnya mereka berhak mendengar bagaimana proses penyelamatan Maya, tapi justru hanya Bima yang diberitahu dengan mengajaknya keluar menuju taman belakang.

“Dia hanya tidak mau kita khawatir dengan apa yang akan kita dengar” ucap Budhe yang sedari tadi diam. Ia pun ikut beranjak menuju kamar Maya untuk mengecek kondisi anaknya saat ini.

“Duduk sini Bim” pintanya, Bima menurut dan duduk didepan Pak Arif.
“Bagaimana perasaanmu?”
“Bima tidak tau Pak” jawab Bima, memang saat ini perasaannya campur aduk antara takut khawatir dan yang lainnya sampai dia tidak bisa membedakan itu semua.

“Saat ini, kita tidak punya pilihan Bim, temukan jiwa Maya malam ini kalau tidak dia... tidak akan pernah kembali ketubuhnya, dan selamanya akan menjadi budak dari Gendiswari” ujar Pak Arif yang baru kali ini terlihat gusar.

“Aku tau kamu masih muda, tidak sepantasnya kamu menerima tanggung jawab yang begitu besar, ingat apa yang ku katakan kalau kamu juga harus berperan dalam menjaga saudara-saudaramu?” lanjutnya, sedang Bima masih terdiam mencerna setiap kalimat yang terlontar dari bibir Pak Arif.

Sejenak Bima menghela nafas panjang,
“Bagaimanapun juga Mbak Maya harus bisa diselamatkan pak, mungkin terdengar nekat. Tapi Bima...“ ucap Bima terhenti di kalimat terakhir, wajar dia takut dengan apa yang akan terjadi, mentalnya sendiri belum sebesar dan sekuat Pak Arif.

“Kamu lupa kalau punya penjaga Bim, dan kamu lupa kalau kamu punya kemampuan sendiri diluar sosok yang menjagamu?” kata Pak Arif dengan menghembuskan asap rokok dari mulutnya.
“Maksudnya pak?” tanya Bima kebingungan.

“Sosok penjagamu memang punya kemampuan yang luar biasa, tapi dirimu sendiri juga punya kemampuan yang dimana kalian bisa saling membantu satu sama lain, saat ini kamu mungkin belum mengetahui kemampuan yang kamu miliki, apa kamu pikir semua orang yang bisa melihat makhluk astral juga bisa melihat masalalu?” jelasnya.

Bima berfikir, dia kira selama ini ketika bisa melihat masalalu dari satu sosok astral, itu karena memang mereka yang menjijikan. Teringat dengan ucapan Willem,
“Jika kamu memiliki kemampuan itu, pasti dengan mudah kamu bisa melakukannya.”

“Lalu apa yang bisa Bima lakukan Pak?” tanya Bima yang kali ini memandang Pak Arif dengan penuh perhatian. Tersenyum karena Bima yang mudah paham dengan penjelasakannya,

Pak Arif berujar kalau nanti dia akan paham saat sudah berada di alas lali jiwo.
“Nanti kamu akan melihat sendiri kemampuan yang kamu miliki” ujarnya.

Obrolan berlanjut, Pak arif memberitahukan bagaimana cara mereka nanti bisa pergi ke alas lali jiwo. Dengan penuh keyakinan dan kemantapan, kali ini Bima benar-benar siap dengan segala resiko yang harus dia tempuh.

“Ingat jangan pernah percaya dengan apapun dan siapapun disana, ikuti insting dan kata hatimu” Pak Arif memberikan nasihat itu berulang kali.

“Bagaimana dengan sisirnya Pak?” tanya Bima saat sudah paham dengan apa yang harus dia lalukan.
“Kita hancurkan saat sudah menemukan Maya. Jika sekarang kita bakar, bisa saja jiwa Maya dibawa oleh sosok lainnya” jawabnya.

Merasa sudah cukup, akhirnya mereka berdua kembali menuju meja makan, tampak mereka semua masih menunggu Bima dan Pak Arif. Makanan masih belum tersentuh, kegelihasan tertera jelas dari wajah mereka.

“Sudah lah, suasana sudah cukup buruk tanpa kalian harus menampilkan raut wajah yang menyebalkan, Maya masih hidup dan masih bisa diselamatkan, tapi dari raut wajah kalian menunjukkan seperti rumah ini sedang berkabung” ujar Pak Arif lantang.

Dyaaaarrr bagai tersambar petir semua orang dewasa yang ada disana tersadar dengan apa yang mereka lakukan sedari siang. Benar apa yang dikatakan oleh Arif,

Maya masih bisa diselamatkan mereka semestinya semangat dan terus berdoa dan bersiap-siap jika Arif membutuhkan bantuan mereka. Segera setelah itu mereka menyantap hidangan yang sudah tersaji.

Sudah waktunya bagi Bima dan Pak Arif melakukan Ritual untuk pergi ke alas lali jiwo, jam sudah menunjukan pukul 23.30 malam. Mbak Maya sudah dipindahan keruang keluarga, Bima dan Pak Arif sudah bersiap.

Pak Arif kali ini memakai pakaian baju lurik, dan kain jarik yang diikatkan dibagian pinggangnya, sedang dia juga memakai celana hitam sebatas dengkul tidak lupa kain bermotif batik juga menghiasi kepalanya yang mulai beruban.

Melihat itu semua itu Bima teringat dengan film-film kolosal yang dulu pernah dia lihat. Sedangkan Bima, menggunakan pakaian biasa, celana jeans dan jumper warna hitam.

Tidak ada yang meminta Bima untuk mengikuti apa yang Pak Arif kenakan. Bahkan mereka yang ada diruangan itu terlihat heran sekaligus terkesan dengan tampilan Pak Arif.

“Kamu keliatan jauh lebih muda Rif” ucap Banyu yang melongo melihat Arif. Sekilas Pak Arif memandang Bapak, tampak dari raut mukanya dia sedang mencemooh bapak, “memang aku jauh lebih muda darimu” hanya itu yang diucapkannya.

“Aku akan memberikan kalian pesan, setelah ini aku dan Bima akan pergi secara astral menuju alas lali Jiwo. Yang berarti tubuh kami saat itu akan kosong, aku akan menaburi air sirih dan garam yang tadi dibuat disekeliling kami agar tidak ada sosok yang mengganggu” jelasnya.

“Lalu apa yang harus kami lakukan Rif?” tanya Pakdhe.
“Kalian berzikirlah, doakan kami selalu diberikan kekuatan, dan satu lagi, jika kami belum membuka mata.

Dan salah satu dari kami atau keduanya mendapatkan luka atau dalam bentuk apapun, tolong jangan mengganggu, apa kalian paham?” tegas Pak Arif.

Mengangguk, mereka semua paham dengan penjelasan Pak Arif. Kali ini dia sedang menaburkan campuran sirih hitam dan garam dilantai, membentuk lingkaran.
“Bim, kita lakukan sekarang”
“Baik pak” ucap Bima sambil duduk bersila menghadap Pak Arif.

Sejenak kepalanya dipegang oleh Pak Arif, serta dia merapalkan mantra yang bima ketahui itu sebagai pembuka portal gaib. Mengatur nafas, seperti sensasi yang sudah pernah dia rasakan. Tarikan tarikan kecil mulai terasa di area kepalanya, makin lama makin kencang.....

Kini Bima sedang berdiri disalah satu tempat, disekelilingnya penuh dengan pohon-pohon tinggi. Suasana malam tidak nampak, lebih mirip dengan waktu dikala maghrib.

“Ingat pesanku Bim, jangan percaya dengan apapun yang ada disini, sekarang panggil penjagamu” ucap Pak Arif yang sedari tadi tidak Bima rasakan kehadirannya.

“Kromosengkono” batin Bima, dalam sekejam sosok itu sudah berdiri disebelah sisi Bima yang lainnya.
“Yakin koe bakal gowo bocah iki?” (yakin kamu mau bawa anak ini) ucap Kromosengkono kepada Pak Arif dengan geraman yang menakutkan.

“Yakin, Bima kunci dari semua ini. Opo koe ra gelem bantu?” (apa kamu tidak mau membantu) ujar Pak Arif dengan berani.
“Koe ngremehke aku bocah?” (kamu meremehkan ku bocah) jawabnya menggelegar yang membuat bulu roma berdiri.

Sedangkan Bima hanya bisa melihat dan mendengarkan percakapan mereka, tidak berani menyela satu sama lain. Baginya saat ini kedua sosok yang ada didepannya begitu menakutkan.

“LE!!!, pisan tak omongi,, ojo sampe koe ucul opo ngadoh seko bedundal cilik iki, aku jogo awakmu tapi iki alas demit, koe ruk mesti nyongko opo sek bakal mbok temoni” (Nak!!!, satu yang ku kasih tau, jangan sampai kamu lepas atau menjauh dari begundal cilik ini, aku menjaga dirimu tapi ini hutan demit, kamu belum tentu menyangka apa yang akan kamu temui) ucapnya jelas dengan tegas.
Menggangguk Bima mengerti dengan apa yang harus dilakukannya.

“Sekarang kamu rasakan energi dari Gendiswari” ucap Pak Arif sambil memberikan sisir tua dari tangannya.
“Tapi, Pak Arif bilang, Bima tidak boleh menyentuh benda itu?” tanya Bima ragu.

“Apa kamu membawa jasadmu saat ini Bima?, walau nanti jika ada pertarungan akan mempengaruhi jasad kita, tapi berbeda ketika kita sudah disini” ucap Pak Arif yang masih menyodorkan sisir itu.

Menerima, sesaat Bima merasakan ada sensasi yang mengalir dari sisir itu, luka yang ada diarea lehernya pun merespon dengan rasa panas menyengat. Bima mendapatkan visual, sosok gendiswari saat ini tengah memeluk Mbak Maya. Ia berada di salah satu bangunan mirip dengan pendopo....

“Sudah melihat dimana mereka?” tanya Pak Arif.
“Di salah satu pendopo, mirip dengan apa yang aku lihat saat mencari keberadaan sisir itu, pendopo untuk menari... tari-tarian jawa” ujar Bima.
“Sekarang ikuti Instingmu, tunjukan kepada kami dimana Gendiswari berada”

Bima dengan mantap melangkah kedepan, merasa ada yang aneh dia menengok. Pak Arif dan Kromosengkono tidak bergerak sama sekali.
“Kenapa?” ucap Bima bingung dengan kediaman mereka. Saling pandang mereka berdua tertawa.
“Kamu mau jalan kaki Bim?” ujar Pak Arif mencemooh.

“Sini,...” kembali Bima menuju arah mereka.
“Aku lupa memberitahumu, disini berbeda dengan dunia manusia apa yang kamu lihat bisa saja seperti dunia fantasi. Jangan mudah kaget, sekarang pegang tangan Kromosengkono!” pinta Pak Arif.

Ragu, karena baru kali ini dia diminta untuk menyentuh bagian tubuh sosok penjaganya.
“Alah, kesuen...” (alah, kelamaan) geram Kromosengkono tidak sabar.

Bukan memegang tangan Bima justru kali ini dia malah mencengkeram kepala Bima, ukuran tangannya pas sekali dengan batok kepala Bima.

Slllaaaaap... Bima merasakan dirinya ditarik kembali, nafasnya terasa sesak. Seperi semua badannya dijejalkan ditempat yang teramat sempit. Mengerjap kali ini dia sudah berpindah tempat, sepertinya mereka sudah masuk jauh kedalam hutan.

“Apa itu tadi” engah Bima masih mengatur nafasnya.
“Didunia kita orang-orang mengatakan kalau ini teleportasi” jelas Pak Arif. Dilihatnya Kromosengkono kali ini sedang mengedarkan pandangannya.
“Ono sek teko” ujarnya.

Benar saja, warna langit berubah dalam sekejap terlihat semburat merah kuning yang meluncur begitu cepat. Dyaarrrr beberapa pohon didepan mereka terbakar di beberapa bagian. Bima kaget, badannya gemetar ketakutan.

“Metuo, opo pengenmu” (keluar, apa maumu) geram Kromosenkono, didepan mereka jatuh sebuah bola api yang cukup besar. Dalam ketergesaan mundur, Bima tersungkur tepat dibawah Kromosengkono.

Kini Bola api itu menyerupai sesosok anak kecil, menggunakan kain hitam yang dibalut kain jarik, bertelanjang dada, dikepalanya terlihat sumping berwarna emas.

Api berkobar mengelilingi tubuh anak itu.
“Aku penasaran ana menungso wani mlebu alas iki” (aku penasaran ada manusia yang berani memasuki alas ini) ujarnya menyeringai.

“Urusanmu opo?, wes lungo” (urusanmu apa? Sudah pergi) kata Kromosengkono sambil mengusir bocah itu.

“Sek nunggu alas iki ngerti ambune bocah kui, cilakane yen koe koe kilangan bocah kui iso gae geger panggonan iki” (penunggu alas ini tau bau dari bocah itu, sialnya kalau kamu kamu kehilangan anak itu bisa membuat ramai tempat ini)

“Opo maksudmu?” tanya Pak Arif, sedang Bima saat ini hanya berdiri mematung melihat mereka, dihatinya tidak lepas dengan zikir menyebut asma Allah.

Tertawa sosok tersebut pergi meninggalkan mereka,
“Banaspati” ucap Pak Arif.
“Apa itu pak?” tanya Bima,
“Sosok yang berbahaya Bim, aura penghancurnya begitu kuat, sering kali digunakan untuk menyantet orang” jelas Pak Arif.

“Setelah ini, kita kemungkinan akan bertemu dengan Gendiswari. Semoga tidak ada sosok lain yang mengikuti....”
Sementara itu...

Dirumah Budhe, mereka semua yang melihat Bima dan Arif begitu khawatir dengan kondisi keduanya, bulir-bulir keringat terlihat jelas didahi mereka.
“Apa kita sama sekali tidak bisa melakukan sesuatu?” ucap Sekar.

“Aku pun merasa tidak berguna menjadi orang tua, tapi semua sudah memiliki tugas masing-masing kita terus berdoa untuk yang terbaik” ujar Banyu terdengar nada getir disetiap ucapannya.

Sudah 10 menit berjalan semenjak Bima dan Pak Arif pergi meninggalkan tubuh mereka, tidak ada pula hal lain yang bisa mereka lakukan selain berdoa.

Pakdhe duduk disalah satu sofa, batinnya tidak lepas dari zikir. Sedang Budhe duduk disamping anaknya yang terus melantunkan bacaan Quran. Tiba-tiba tubuh Maya menggelepar, darah segar keluar dari bibirnya.

Budhe teriak melihat itu, sontak mereka mendekati dan mencoba menenangkannya, Sekar yang melihat itu langsung mengusap darah yang mulai menetes dibantal yang dipakai untuk mengganjal kepala Maya.

Udara disekitar ruangan itu kini terasa mencekam, angin dingin tiba-tiba masuk entah dari mana membuat bulu kuduk meremang.

Braaaakkkkk..... terdengar suara benda yang jatuh diatas kepala mereka.

“Apa itu mas” ucap Sekar ketakutan.
“Kita terus berdoa” sahut Pakdhe yang paham kalau itu gangguan gaib. Selama ini dia hanya mendengar cerita-cerita bagaimana kejadian gaib bisa saja merenggut nyawa seseorang.

Tapi kali ini dia benar-benar merasakan sendiri betapa ngerinya jika sudah berhubungan dengan dengan “Mereka”.

“Aaaarrrrgggggg”
Sekar berteriak kencang dan menghambur kedalam pelukan suaminya saat melihat sekelebat kain putih menyebrangi ruangan. Bau amis kini menusuk hidung mereka.

“Hihihihihih” terdengar suara tawa lirih mendirikan bulu roma.

“Apa itu mas?” ucapnya.
“Sosok yang akan mengganggu kita” sahut Pakdhe yang berani, tidak mungkin lagi baginya untuk merasa takut, dia sudah merasa gagal menjadi orang tua, teman dan keponakannya sedang berjuang menyelamatkan anaknya, maka dengan penuh tekad dia juga akan menjaga yang ada disini.

“Aku ora wedi karo koe-koe, metuo” (aku tidak takut dengan kalian semua, keluarlah) tantang Pakdhe. Tiba-tiba lampu berkedip suasana begitu mencekam. Ingat dengan apa yang dipesankan oleh Arif tadi siang, dia mulai membaca doa yang di berikan kepadanya.

“Aaarrrrggggg, panassss,” terdengar suara wanita yang kucup kencang dari arah dapur. Bau amis mulai menghilang. Mereka berempat kembali duduk di sofa sedang budhe masih setia di samping Mbak Maya.
Disisi lain....

“Bim, sekali lagi rasakan dengan sungguh-sungguh, mintalah untuk ditunjukan kemana kita harus pergi” ucap Pak Arif. Terdiam kali ini bima menutup matanya, dia melakukan instruksi yang minta oleh Pak Arif, tangannya dengan kuat menggenggam batang sisir kayu itu.

“Bocah ini istimewa” ucap lirih Pak Arif,
“Bedo karo koe yo” (beda sama kamu ya) timpal Kromosengkono yang mendengar ucapannya. Menyeringai Arif kembali focus melihat Bima, pendar keunguan mulai terlihat diatas kepalanya.

“Ayo” ajak Pak Arif, segera Kromosengkono memegangi pundak Bima. Sekali lagi Bima merasakan sensasi yang tidak mengenakan, badannya terasa terhimpit sesuatu yang keras, nafasnya begitu sesak.

“Ini bukan Bim tempatnya?” ucap Pak Arif saat mereka sudah mendarat disuatu tempat yang penuh dengan suara gamelan.
“Iya pak, ini bangunan yang Bima lihat.”

“Ada satu hal yang ingin Bima tanyakan dari tadi Pak?” lanjut Bima saat melihat pintu masuk bangunan dengan bentuk kayu yang sudah lapuk tanaman rambat memenuhi dinding-dindingnya.

“Terkait apa?” ujar Pak Arif penasaran.
“Kenapa Mbah Kromosengkono tidak bisa langsung menuju kesini, bukannya dia juga penghuni tempat ini?” tanya Bima.

“Mergo aturan, kabeh ana batesan e, ora kabeh iso di trabas sak enak e udelmu” (karena aturan, semua ada batasannya, tidak semua bisa ditrabas seenaknya pusar mu) jawab Kromosengkono sebelum Pak Arif membuka mulut.
“Dan sekarang mbah melanggar batas itu?” lanjut Bima.

“Tugasku, jogo awakmu, batasan kui tak langgar, tapi aku ra iso nglanggar janji sek wes diucapke karo simbahmu” (tugasku, menjaga dirimu, batasan itu aku langgar, tapi aku tidak bisa melanggar janji yang sudah diucapkan dengan kakekmu) ujarnya dengan suara geraman. Mengangguk Bima sedikit mengerti tentang aturan yang aneh ini.

“Lebih baik kita masuk” ajak pak Arif. Keraguan kembali menggelayuti Bima, takut apa yang akan terjadi kali ini. Dipimpin oleh Pak Arif mereka melangkah, sejengkal lagi mereka sampai tepat didepan pintu kayu lapuk itu, suara gamelan yang tadi terdengar menghilang.

Tiba-tiba saja Bima ditarik mundur oleh penjaganya, begitu pula dengan Pak Arif yang mundur beberapa langkah.
“Dia tau keberadaan kita” ucapnya, pintu itu tiba-tiba terbakar hebat.

Bima masih belum bisa seperti mereka yang dapat merasakan sesuatu yang buruk. Menghela nafas dia merasa hanya menjadi beban.

“Kamu hanya belum tau kemampuanmu Bim” ucap Pak Arif membaca apa yang Bima pikirkan.
“Bagaimana caranya untuk tau kemampuan yang kita miliki?” tanya Bima.

“Koe ra ngajari putuku, pekok, memang pekok koe rif, nekat koe” (kamu tidak ngajari cucuku, goblok, memang goblok kamu rif, nekat kamu) bentak Kromosengkono kepada Pak Arif.
Sedangkan Pak Arif tidak terpengaruh dan meminta Bima untuk mendekat kearahnya.

“Coba uluran telapak tanganmu, hadapkan keatas, sekarang bayangkan dirimu sedang memegangi sebuah senjata” Pak Arif memberikan Instruksi.
Bima kembali memejamkan mata, membayangkan sebuah mata tombak yang pernah dia lihat disalah satu tempat yang tidak diingatnya,

Kromosengkono menyeringai, “cempokokuning“ ujarnya, Pak Arif yang mendengar itu terkaget.
Cempokokuning merupakan sebuah senjata yang melegenda dimana pernah digunakan untuk membunuh salah seorang Raja pada jaman dahulu kala.
“Opo maksudmu?” (apa maksudmu) ujar Pak Arif heran.

“Turunan buangan, wes tangi seko turune” (Keturunan buangan, sudah bangun dari tidurnya) ucap Kromosengkono tertawa gembira, sedang Pak Arif yang mendengar itu langsung merasakan merinding disekujur tubuhnya. 

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close