Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

CERITA TENTANG MEREKA (Part 8) - Alas Lali Jiwo


Alas Lali Jiwo

Suara gemuruh terdengar dari berbagai sisi, tawa yang muncul dari mulut Kromosengkono tiba-tiba lenyap. Bima merasakan nafasnya tercekat, sedang Pak Arif terkesiap dan memasang kuda-kuda.

“A—ada apa?” ucap Bima yang mencoba menormalkan nafasnya.
“Mereka mengetahui keberadaan kita, penghuni Alas Lali Jiwo” ujar Pak Arif.

Benar saja, satu sosok bertubuh aneh, lehernya begitu panjang menyerupai ular, kepalanya botak matanya juling, kaki tangannya begitu pendek tiba-tiba muncul dari balik pohon.

Belum sempat mereka memperhatikan, muncul lagi sosok pocong tinggi besar dengan kain kafannya yang sudah terbuka sampai tangannya. Kulitnya begitu busuk, banyak koreng dan bisul yang ada di tubuhnya.

Bima benar-benar ketakutan sekarang, mental keberaniannya yang muncul tadi sudah hilang diterpa angin yang entah dari mana terus berhembus kencang.

Tangannya kebas oleh keringat, kakinya terasa lemas untuk bisa menopang tubunya. Dirinya benar-benar takut dengan kepungan demit yang mengelilingi mereka.

Blaaaaammmm cahaya merah kekuningan tiba-tiba menyambar didepan mereka, sosok Banaspati kembali muncul. Kromosengkono dan Pak Arif sudah bersiap untuk bertarung.

“Sek... percuma koe nglawan aku, delokno neng sekitarmu, wes tak omongi ambune bocah kui marai geger, sak iki wes do ngerti nek bocah kui due pengaruh”

(tunggu... percuma kalian melawanku, lihatlah disekitar kalian, sudah ku kasih tahu, bau anak itu membuat huru hara, sekarang mereka sudah tahu anak itu punya pengaruh) ujarnya serius.

Bima yang mendengar itu justru bingung, kenapa dia begitu diinginkan, sedang dia sendiri tidak tau apa yang sedang terjadi. Benda yang kini berada ditangannya dia genggam dengan erat.

Belum sempat Bima bertanya tiba-tiba ada sosok wanita yang melayang menuju kearahnya. Sambil tertawa keras sosok tersebut mendelik kearah Bima, tangannya terjulur kedepan seakan ingin menyambar tubuhnya.

Blaaaammm... sosok itu terpental, Kromosengkono dengan cepat mengayunkan tangannya yang besar dan menganai sosok wanita itu. Sedang disisi lain Pak Arif juga sedang berkelahi dengan sosok sosok lainnya yang ternyata juga sudah mendekat.

“BIM... JANGAN SAMPAI MEREKA MENYENTUH TUBUHMU!!!” teriak Pak Arif kencang.
Kromosengkono juga sedang bertarung, banyak sekali sosok yang mendekat, Bima hanya berdiri mematung memandang mereka.

Bau anyir darah menusuk hidung Bima, suara gemeretak gigi terdengar dari sisi belakang Bima. Kali ini ada sosok yang lebih menjijikkan lagi, saparo mukanya hancur meleleh, giginya hitam kepala dan tubuhnya tidak utuh, merangkak mendekati Bima dengan cepat.

Tinggal sejengkal lagi tangan sosok itu menyentuh leher Bima, tiba-tiba saja kobaran api datang dan mengantam tubuh sosok itu,

Bima ikut terpental beberapa meter, dadanya terasa sakit sekali, darah mengalir dari bibirnya. Banaspati entah datang dari mana menubruk sosok yang ingin membawa pergi Bima.

Kromosengkono yang menyadari Bima dalam bahaya secepat kilat sudah berada di sampingnya, Banaspati kembali berputar-putar, yang sekarang terlihat seperti lingkaran api.

Pak Arif mendekat kearah mereka, dia kualahan dengan sosok-sosok yang datang silih berganti tiada habisnya. Dia terluka dibeberapa bagian.

“Kamu tidak apa-apa Bim?” ucapnya sambil mendekat kearah Bima.
Menggeleng Bima memberikan gesture kalau dia tidak apa-apa, meski dadanya begitu sesak dan panas. Ini semua diluar prediksi Pak Arif, dia tidak menyangka kalau ternyata energi Bima sangat diinginkan oleh mereka.

“Sengkono, kita harus pergi dari sini” ucap Pak Arif panik yang melihat demit alas lali jiwo bertambah banyak. Suara gamelan mulai terdengar kembali menambah keriuhan tempat tersebut.

“Gendiswari.....” (Gendiswari) geram Kromosengkono mengerikan. Bima sudah berdiri, ketakutan masih mendayu-dayu dalam dirinya.

“Tak alangi sedelok, sumingkir seko panggonan iki” (Kuhalangi sebentar, pergilah dari tempat ini) ucap Banaspati. Kromosengkono terheran selama dia mengenal sosok Banaspati, tidak pernah sekalipun dia mau membantu tanpa ada hasil yang dia dapat, ada kewaspadaan yang muncul. Sedang Pak Arif kini sudah kembali bertarung mencoba menghalau demit-demit yang mulai mendekat kearah mereka.

“Cepeeettt..... goblokk....” (Cepaaaattt.... goblokk....) geram Banaspati yang mulai berputar putar lagi menyerupai bola api yang menakutkan.
Keraguan Kromosengkono hilang, dengan cepat dia menyambar tangan Bima dan Pak Arif.

Sensasi terhimpit benda padat yang keras kembali Bima rasakan. Nafasnya begitu sesak, kepalanya berputar putar. Udara segar kembali menerpa wajah Bima, matanya terpejam nafasnya masih memburu, Hoeeeekk.... Hoekkkk... Bima muntah, tidak tahan dengan kepalanya yang berputar hebat.

Pak Arif yang melihat itu segera datang dan menyentuh punggung Bima, perlahan aliran energi yang diberikan oleh Pak Arif membuat kondisinya kembali bugar.

“Apa itu tadi Pak?” tanya Bima saat sudah duduk, tertera sekali dari wajahnya mimik ketakutan masih tergambar dengan jelas.
“Ini semua diluar prediksiku Bim, saat ini Alas lali jiwo benar-benar berbahaya untukmu, lebih baik kita pulang saat ini” ucapnya.

“Lalu bagaimana dengan Mbak Maya? Bukannya dia harus diselamatkan malam ini juga?” Bima berkata panik. Pak Arif hanya terdiam tidak menjawab pertanyaan dari Bima. Dia merasa bersalah, dia terlalu nekat membawa Bima masuk ke Alas Lali Jiwo.

Bima yang tidak mendapat jawaban dari Pak Arif, kini mengedarkan pandangannya mencari sosok penjaganya. Dilihat tempatnya saat ini tidak asing, segera dia berdiri dan berjalan menuju gubuk yang familiar.

Ya Gubuk tempat si kakek itu tinggal.
“Bim kamu mau kemana?” ucap Pak Arif yang juga sudah berdiri.
“Bima tau tempat ini pak, ini rumah kakek” jawab Bima yang terus melangkah.

Kromosengkono yang sedari tadi diam juga mengikuti arah Bima melangkah, ketiganya berjalan beriringan menuju gubuk tersebut.
“Assalamualaikum, mbah” ucap Bima saat sudah sampai didepan gubuk tersebut. Tidak ada jawaban sama sekali, gubuk tersebut terlihat sepi.

“Waalaikumsalam” terdengar suara kakek penghuni gubuk dari arah belakang mereka, melihat itu sontak Kromosengkono langsung bersimpuh didepan kakek, sedang Bima dan Pak Arif yang melihatnya terheran.

“Babak belur koe?” ucapnya pada Kromosengkono sambil terkekeh.
“Wes kene do jagong kene sek” (sudah sini, semua duduk disini) lanjut kakek sambil berjalan menuju amben yang ada didepan gubuk miliknya.

“Sek delet” (tunggu sebentar) katanya saat berjalan masuk kearah gubuk. Beberapa saat mereka bertiga diam.
“Mbah Kromosengkono, panjengenan ngertos ini ting pundi?” (Mbah Kromosengkono, kamu tau ini dimana?) tanya Bima.

“Dudu hak ku ngomong, ben simbah sek jelaske” (Bukan hak ku untuk bicara, biar kakek yang menjelaskan) jawabnya. Jika dilihat dari dekat memang Kromosengkono banyak memiliki luka dibadannya, beberapa cairan hitam yang Bima pikir itu darah mengalir dibeberapa bagian.

“Wes, nyoh simbah muk due wedang bening, diombe disik” (Sudah, ini simbah Cuma punya air bening, diminum dulu) ucapnya saat sudah kembali dari dalam.
Kromosengkono awalnya sungkan dengan itu semua, ada ketakutan yang menyelimuti wajahnya.

Berbeda dengan Bima yang pernah merasakan air dari kendi tersebut, dia langsung mengambil dan meminumnya. Sedang Pak Arif yang melihat itu bertanya-tanya siapa sebenarnya sosok laki-laki yang ada didepannya saat ini.

“Ora gelem ngombe koe Rif?” ucap kakek tersebut, tersentak Pak Arif menyadari sosok yang ada didepannya, dia langsung berdiri dan sungkem kepada Kakek tersebut.
“Ngapunten, Arif mboten prego yen niki simbah” (Maaf, Arif tidak tau kalau ini simbah) ujarnya.

“Uwes ora popo, ngadek o” (sudah tidak apa-apa, berdiri sekarang) ucap kakek tersebut sambil menyuruh Pak Arif berdiri.
“Iki kabeh pelajaran go koe-koe” (ini semua pelajaran untuk kalian semua) ujarnya setelah diam beberapa saat.

Sementara itu....

“Mas, Bima mas... Bima...” ratap Sekar yang melihat anaknya mengeluarkan darah dari bibirnya, Banyu tidak kalah panik. Sedari tadi dia menahan Sekar yang mencoba untuk membangunkan Bima.

Kondisi Arif juga tidak lebih baik, beberapa kali dia mengeluarkan darah dari hidung dan mulutnya.
“Sekar, maafkan aku...” ucap Budhe yang masih setia berada di samping anaknya.

Mendengar itu Sekar berpaling serta menuju kearah Kakaknya, direngkuhnya sosok wanita itu.
“Tidak mbak, ini semua bukan salahmu, aku benar-benar khawatir dengan keadaan mereka saat ini” ucapnya sambil meniktikan air mata.

Suasana di rumah itu kini benar-benar mencekam, udara begitu menyesakan. Bau bangkai dan amis menguar dari berbagai arah.

Suara-suara tanpa sosok saling bersahutan, tidak ada yang berani beranjak dari ruang keluarga tersebut bahkan keinginan untuk pergi ke kamar mandipun mereka urungkan.

Maya tiba-tiba tersentak, dia berteriak dengan keras. Panik Budhe segera memeluk anaknya, tangisnya pecah.

Tidak tau harus berbuat apa, pikirannya kalut mikirkan keselamatan anaknya serta Bima dan Arif. Semua orang yang ada disitu merasakan tidak bisa berbuat apa-apa kecuali terus berdoa.

Disisi lain....

“Mbak Maya gimana Pak” tanya Bima kepada Pak Arif yang sedari tadi diam setelah diam mendengar apa yang diucapkan oleh si kakek.
“Ojo sumelang cah bagus, Mbakmu ora opo, Ben mengko Kromosengkono karo Arif sek rono”

(jangan khawatir anak ganteng, Mbakmu tidak apa-apa, biar nanti Kromosengkono dan Arif yan kesana) ucap si kakek.
“Bima angsal nderek mbah?” Bima sampun janji kalian Mbak Maya” (Bima boleh ikut Kek? Bima sudah janji sama Mbak Maya) ucap Bima.

Walau ketakutan tapi dia sadar tujuannya datang kesini untuk menyelamatkan sepupunya dari Gendiswari. Dia tetap tidak bisa duduk disini dan hanya menunggu, bagaimanapun juga Bima sedari dulu selalu memegang teguh dengan apa yang sudah diucapkan olehnya. Banyu selalu mengajarkan Bima untuk menjadi laki-laki yang bertanggung jawab.

“Disana teralu berbahaya Bim, lebih baik kamu disini menunggu, aku sudah tau keberadaan Maya” ucap Pak Arif. Sedang Kakek hanya tersenyum melihat Bima yang mememang teguh janjinya.

“Oleh koe melu, tapi siji... nek wani ya wani, ojo wedi-wedi” (boleh kamu ikut, tapi satu... kalo berani ya berani, jangan takut-takut). Mendengar itu Bima terkesiap, mengingat setiap kejadian yang tadi dilaluinya.

Mentalnya masih jauh dari kata berani, bahkan dikala ada sosok yang datang menghampirinya justru malah dia terdiam tidak bisa melakukan apa-apa.

“Pie, tetep arep melu?” (gimana, tetap mau ikut?) ucap Kakek tersebut yang kini malah membelai kepala Bima dengan lembut. Bima bingung, bagaimana nantinya jika dia malah menjadi Beban bagi mereka, tapi dia juga sudah berjanji untuk menyelamatkan Mbak Maya.

“Bima siap... janji tetap janji” ujar Bima mantap, mendengar itu Kromosengkono tertawa, orang yang dilindunginya benar-benar bocah yang menarik.

“Yoh, nek kui pilihanmu, sak iki melu aku sedelet” (ya, kalau itu pilihanmu, sekarang ikut aku sebentar) Kata si kakek sambil berdiri. “Njih Mbah” (iya Mbah) ucap Bima sambil mengikuti simbah menuju halaman depan rumahnya.

“Koe ngerti opo sek mbok cekeli sak iki?” (Kamu tau apa itu yang kamu pegang saat ini?) ucap kakek sambil menunjuk mata tombak yang sedari tadi Bima genggam.

“Senjata Mbah” ucap Bima polos teringat dengan perkataan Pak Arif kalau dia bisa membuat senjata. Mendengar itu si kakek justru malah tertawa.
“Wes kene jilih” (sudah sini pinjam) pinta si kakek sambil menjulurkan tangannya.

Bima yang bingungpun langsung memberikan benda itu, “munduro” (Mundur kamu) ucap si kakek menyuruh Bima untuk sedikit mundur. Sejenak Kakek diam, lalu dengan kekuatan yang mengejutkan dia menancapkan mata tombak itu kedalam tanah.

Tiba-tiba angin berembus dengan kencang, asap keluar dari arah mata tombak yang ditancapkan oleh Kakek. Kali ini tergantikan dengan sosok wanita. Wanita yang begitu cantik dengan menggunakan baju jawa berwarna kuning cerah.

"Bima" ucapnya lembut,
“Nn---njih mbah” ucap Bima merepet, Melihat itu semua Pak Arif dan Kromosengkono kaget sosok yang ada didepan Bima benar-benar memiliki energi yang luar biasa.

“Wes sak iki, jaganen putuku” ucapnya sambil beranjak pergi meninggalkan mereka berdua menuju Kromosengkono dan Pak Arif.

“Aku Cempoko Kuning, ora usah wedi ora usah sumelang, aku wes ngerti masalahmu, sak durunge koe ketemu karo Gendiswari, koe kudu siap mental, ojo wedi karo barang ora enak dipangan”

(aku Cempoko Kuning, tidak usah takut tidak usah khawatir, aku sudah tau masalahmu, sebelum kamu bertemu dengan Gendiswari, kamu harus siap mental, jangan takut dengan barang yang tidak enak dimakan) ucapnya lembut dan kembali lagi menjadi sebuah mata tombak.







Mengambil mata tombak itu Bima segera kembali ke Gubuk dimana mereka sedang duduk memperhatikan Bima.

“Uwes?” (sudah?) tanya si Kakek tersenyum.
“Sampun Mbah” (sudah Mbah) jawab Bima mantap.
“Wes kono nek arep diteruske, ojo sumelang, madep mantep marang Gusti”

(Sudah sana kalau mau diteruskan, jangan khawatir, tetap berpegang teguh dengan yang Maha Kuasa) ucapnya tegas. Mereka bertiga berdiri, meminta restu kepada Kakek dan segera kembali berjalan kearah halaman Gubuk.

Saat sudah sampai di halaman, Kromosengkono memegangi pundak Bima dan Pak Arif, kembali sensasi terhimpit benda keras Bima rasakan...,

Tiba-tiba mereka sudah berada ditempat dimana tadi mereka dikepung oleh sosok penghuni Alas Lali Jiwo. Dilihatnya sekeliling banyak pohon yang masih berasap,
“Banaspati ngamuk” (Banaspati mengamuk) ujar Kromosengkono singkat. Api yang berkobar didaun pintu juga sudah padam.

Mengucap Basmallah, Pak Arif memimpin mereka untuk melangkah masuk kedalam. Benar bangunan yang didalamnya mirip sekali dengan apa yang Bima lihat. Sebuah pendopo yang besar dengan banyak gamelan di dalamnya.

Tapi tempat itu begitu sepi, tidak ada tanda-tanda keberadaan Mbak Maya dan Gendisari, hanya ada satu kursi rotan kayu yang berada tepat ditengah pendopo.

“Dimana Mbak Maya Pak?” ucap Bima mengedarkan pandangannya.
“Aku tidak tau Bim, lebih baik kita berhati-hati” ucapnya yang juga sedang mengedarkan pandangannya.

“Kamu coba sekali lagi lihat dimana keberadaan Gendiswari, Bim” pinta Pak Arif, mengerti segera Bima mengambil sisir kayu yang dia masukan kedalam kantung celananya.

Dia berkonsentrasi penuh mencoba melihat dimana Gendiswari, mengunakan media sisir yang sedang dia pegang. Tapi tetap sama Bima hanya melihat bangunan pendopo yang ada didepannya.

“Bagaimana Bim?” tanya Pak Arif sesaat setelah Bima membuka matanya.
“Tidak berubah Pak, Bima hanya melihat bangunan pendopo yang mirip dengan yang ada didepan kita” jawab Bima mantap.

Mendengar itu Pak Arif kini duduk bersila segera dia merapalkan sesuatu yang tidak bisa bima dengar dengan jelas.

Terdengar dentuman keras dari arah depan mereka, Kini sosok yang mereka cari sedang berdiri tepat didepan mereka bertiga, Gendiswari sosok yang selama ini meneror Bima dan keluarganya berdiri dengan senyum yang mengerikan.

Sosok Maya ada dibelakangnya, duduk di atas kursi rotan kayu yang sudah tampak berumur.
“Ora kaget yen koe kabeh iso tekan panggonanku, Kromosengkono dalange” (Tidak kaget kalau kalian semua bisa sampai ditempatku, Kromosengkono dalangnya) ucap Gendiswari yang kini berjalan mendekati Maya yang tampak tertidur.
“Bocah iki wes dadi duweku, AKU WES NGOMONG KET WINGI WINGI !!!!!” (anak ini sudah jadi miliku, AKU SUDAH BILANG DARI KEMARIN !!!!) lanjutnya dengan suara yang menggelegar, Bima yang mendengar itu seketika menutup telingannya.

“Ora hakmu jumuk sukmane menungso” (Bukan hakmu mengambil sukma manusia) kata Pak Arif yang sudah bersiap siap dengan kuda-kudanya.

“Bocah koyo koe ora ngerti opo-opo mending mingkem” (bocah seperti kamu tidak tau apa-apa lebih baik diam) balas Gendiswari yang saat ini tengah memeluk tubuh Maya dari sisi samping kursi rotan.

“Kakean cangkem” (Banyak omong) ujar Kromosengkono yang langsung bergerak, dalam sekejap mata dia sudah ada didepan Gendiswari. Dengan cepat dia menarik tubuhnya dan berpindah tempat lagi didepan pendopo.

Tidak kalah cepat Gendiswari bisa melepaskan diri, melecutkan selendang yang dibawanya kearah Kromosengkono yang berhasil menghindar.

Tujuan Kromosengkono adalah menjauhkan Gendiswari dari Maya, sudah terlalu lama sukmanya dikuasai oleh Gendiswari. Bima yang melihat itu sudah bersiap, ketakutannya sudah hilang yang ada saat ini bagaimana caranya membawa Mbak Maya pergi dari tempat ini.

Suara gamelan kembali lagi terdengar, Gendiswari mulai menari.
“Cih, nenek tua sepertimu tidak layak menjadi seorang penari” ucap Kromosengkono, mendengar hinaan yang terlontar dari mulut lawannya,

Kini Gendiswari duduk bersila. Suasana tiba-tiba senyap udara dingin menerpa, angin datang berhembus dengan cepat.

Sosok penghuni Alas Lali Jiwo kembali berdatangan.
“Koe..... Koe sek ngundang demit demit iku” geram Kromosenkono saat melihat demit-demit yang tadi mereka hadapi mulai berdatangan.

“Koe lali iki panggonan opo!!!” (kamu lupa ini tempat apa) ujarnya menyeringai memperlihatkan siungnya yang tajam.

Suara gamelan terus berbunyi, tubuh Bima merinding dengan hebat ditambah dengan suasana yang begitu mencekam. Mereka bertiga dikepung dengan sosok-sosok yang mengerikan.

“Sanggar Pati” ucap Kromosengkono, mendengar itu Gendiswari tertawa terbawak-bahak,
“Wes sadar?” (sudah sadar?) ucapnya. Seketika Kromosengkono kembali kesisi Bima dan Pak Arif,
“Sanggar Pati?” tanya Bima.

“Alun-alun dari Alas Lali Jiwo, Gendiswari yang mengundang sosok penghuni Alas ini” ucap Pak Arif. Mendekat kearah Bima sejenak dia memejamkan matanya,

“Jika memang ini akhir dari hidupku, sebisa mungkin selamatkan Maya, aku sudah banyak berhutang budi dengan keluargamu” lanjut Pak Arif.

Bergerak salah satu sosok muluncur kearah mereka, terkesiap Kromosengkono melempar sosok tersebut kearah Gendiswari yang kini tengah menari ditengah pendopo. Melihat itu Pak Arif segera duduk bersila.

Bima kembali siaga dan mengedarkan pandangannya, mata tombak Cempoko Kuning sedari tadi sudah dia genggam dengan erat. Jika ada sosok yang mendekat dia berniat untuk langsung menusukan mata tombak itu ke tubuh mereka.

Semakin banyak sosok yang mendekat, Pak Arif kini sudah berdiri dan menghajar beberapa dari mereka, teknik silat yang Bima lihat benar-benar membuatnya kagum.

Deg... dia lupa bahwa dia juga mempelajari silat didunia manusia, teringat dengan kata-kata Pak Arif, Bima hanya belum tau kemampuannya.

Meski belum memiliki tingkatan yang tinggi setidaknya dia tau dasar-dasar beladiri yang pernah dipelajarinya. “Aku akan membantumu” terdengar suara lembut wanita ditelinga Bima.

Kromosengkono saat ini sedang menghadapi Gendiswari, suara dentuman demi dentuman terdengar dari arah mereka.

Satu sosok dengan cepat bergerak menuju Bima, Pak Arif yang sedang dikerubungi demit Alas Lali Jiwo, melihat Bima sedang dalam bahaya.... saat sedang berusaha mencapai Bima, dirinya tersentak,

Bima dengan lincah dapat menghindari sosok tersebut dan menghujamkan mata tombak yang dipeganggnya tepat dikepala demit tersebut. Tersennyum kembali dia fokus menghadapi lawannya.

Bima yang kaget karena badannya bergerak dengan sendirinya, kali ini lebih banyak sosok yang mendekat. Beberapa sudah Bima lumpuhkan, gemuruh suara kembali terdengar... langit yang semula gelap tiba-tiba menyala membentuk sebuah garis merah kekuningan....

Dyaarrrrr demit-demit yang mengerubungi Bima terpental, sosok Banaspati kembali datang.
“Sungeng rawuh kalian cempoko kuning” (Selamat datang untuk Cempoko Kuning) ucap Banaspati sambil duduk bersimpuh didepan Bima.

Sedang Bima yang melihat itu heran, tidak tau kenapa sosok yang terkenal buas ini malah bersimpuh didepannya. Tapi tidak ada waktu lagi, keselamatan Mbak Maya saat ini lebih penting dari pada sebuah penjelasan.

“Jupuk o cah wedok kae” terdengar suara wanita lembut. Mendengar itu Banaspati segera berdiri dan pergi kearah pendopo, dalam sekejap tubuh Mbak Maya sudah dalam gendongannya.

Melihat mangsanya diambil, Gendiswari murka. Dia menyabetkan selendangnya membabi buta. Kromosengkono terlempar jauh dengan suara dentuman yang luar biasa keras.

Sedang Pak Arif juga sudah mulai kualahan dengan banyaknya sosok yang datang.
“Ewangi bocah-bocah kae” sekali lagi terdengar suara wanita lembut.

Banaspati, tanpa menunggu lama langsung menuju Pak Arif dan membawanya kembali ke sisi Bima, kondisinya benar-benar buruk. Bima langsung berlutut disebelah Pak Arif,
“Pak Arif, Pak bangun...” ucap Bima panik saat melihat laki-laki didepannya tersenggal-senggal.

Kini sosok Gendiswari mendekat kearah Bima, tatapannya begitu tajam. Terlihat Kromosengkono juga sudah kesususahan untuk berdiri sedang Banaspati masih sibuk menghalau penghuni Alas Lali Jiwo.

“Koe bocah gantine wadon kui” (Kamu bocah, gantinya gadis itu) ucapnya lirih namun terdengar jelas dan mengerikan ditelinga Bima.

Sesaat Bima tidak bergerak, namun entah dorongan dari mana tiba-tiba dia berdiri dan dengan cepat menarik rambut Gendiswari menuju tengah lapangan didepan pendopo.

"Gendiswari...." ucapnya lirih, kaget dengan apa yang dia dengar, Gendiswari hanya bisa terdiam.
“Nyyy—aaii” ucapnya terbata, dia tau sosok yang sedang dihadapannya bukan orang sembarangan. Cempoko Kuning, sosok yang bahkan ditakuti setengah dari penghuni Alas Lali Jiwo....

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close