Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

CERITA TENTANG MEREKA (Part 9) - Tumbal Perawan


Tumbal Perawan

“Am...mmpun nyai” ucap Gendiswari terbata, takut dengan sosok yang berdiri dihadapannya. Cempoko Kuning benar-benar membuat nyali Gendiswari menciut. Bagaimana bisa sosok yang sudah lama menghilang tiba-tiba hadir disini, di Sanggar Pati.

Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Bima. Sesaat Gendiswari mengira bahwa sosok Cempoko Kuning masih berada didepannya tapi dia langsung sadar bahwa saat ini yang didepannya hanya bocah Bima yang lemah.

Brukkkkk.... dengan sekali pukulan Gendiswari memukul Bima telak di perutnya. Terpental Bima mengerang kesakitan, dia tidak sadar apa yang barusan terjadi. Tiba-tiba tubuhnya bergerak sendiri menuju kearah Gendiswari dan menggeretnya ketengah lapangan.

Kromosengkono yang melihat Bima terpental segera bangkit dan mencoba untuk menolongnya. Tapi selalu saja sosok penghuni Alas Lali Jiwo masih mencoba menyerangnya, sedang Pak Arif masih terkapar.

Bima berusaha berdiri, badannya benar-benar sakit. Baru kali ini dia merasakan dipukul sampai terpelanting beberapa meter, sungguh alam “mereka” benar-benar mengerikan.

Dalam ketergesaannya, saat mencoba berdiri dia merasakan sedang menggenggam sesuatu, dilihatnya ternyata itu rambut milik Gendiswari yang lepas saat dirinya terpukul mundur.

Berfikir cepat, Bima langsung bersila, dia berdoa memohon ampun atas segala dosa yang pernah diperbuatnya, dan meminta perlindungan kepada Sang Maha Kuasa. Nekat, Bima kembali ke masa lalu...

Kini Bima sedang berdiri disebuah tempat yang begitu asing, seperti sebuah desa yang masih terisolasi jauh dari perkotaa. Mengedarkan pandangan dia melihat seorang wanita muda sedang berjalan dengan tergesa-gesa...

Wanita itu berusaha secepat mungkin berjalan dengan kakinya yang cacat, sesekali ia melihat kebelakang hanya untuk sekedar memastikan kalau dia tidak dilihat oleh warga Desa.

“Itu bu liat, anak pembawa sial lagi keluar dari sarangnya” bisik wanita paruh baya kepada wanita lain yang ada disebelahnya.
“Ssssttt diam, bisa dengar dia nanti, dia itu pembawa sial disini, harusnya sudah lama diusir dari Desa kita” timbal ibu tersebut.

Wanita itu berhenti sejenak saat mendengarkan suara bisik-bisik yang terdengar jelas di telinganya. Bima yang melihat itu paham bahwa keberadaan wanita itu tidak dianggap sama sekali bahkan bisa dibilang mereka membencinya.

Tatapan sinis dan jijik tertera dengan jelas saat ibu-ibu tadi memandangnya. Perasaan aneh tiba-tiba mengalir kedalam tubuh Bima seolah tau apa yang sedang dirasakan oleh wanita itu, perasaan sakit hati dan dendam terhadap warga Desa, memejamkan mata dan mengatur nafas Bima sekali lagi mencoba untuk jauh merasakan lebih dalam lagi...

Sudah menjadi makanan sehari-hari dengan ucapan dan hinaan yang muncul dari bibir orang-orang yang ada disekitarnya. Menampilkan senyum kecut dan kembali berjalan.

“Andai aku memiliki tubuh yang sempurna, wajah yang cantik... pasti mereka tidak akan menuduhku macam-macam” ucapnya lirih namun tergambar jelas dari raut wajahnya hatinya begitu perih dan ngilu.

“Kenapa Rum...?” terdengar suara wanita renta, terkesiap ia mendongakan kepalanya, tidak sadar kakinya sudah menuntun hingga sampai di depan rumah dimana dia dan ibunya tinggal.

“Arum enggak papa Bu” ujarnya sambil tersenyum menjawab pertanyaan Lastri, wanita yang merawatnya dari kecil, sosok Ibu yang selalu menyayanginya.

“Yowes, masuk sana, bersih-bersih terus makan” kata Lastri sambil melanjutkan kegiatannya menyapu halaman. Mengangguk Arum berjalan menuju kedalam rumah.

Kondisi rumah Arum memang terlihat sederhana, tidak banyak barang. Rumah itu adalah peninggalan dari mendiang Bapaknya. Salah satu harta warisan yang sebisa mungkin mereka jaga dan rawat sebaik baiknya.

Pikiran Arum masih begitu kalut, keinginan untuk bisa menjadi seperti orang-orang begitu menguasainya, sedari tadi makanan yang ada didepannya pun belum tersentuh sama sekali.

Melihat itu ada rasa khawatir yang muncul di hati Lastri.
“Kok melamun, kenapa ndug, sini cerita sama ibu” ucap Lastri yang mengagetkan Arum.
“Gapapa Bu, Arum cuma kecapean, badan rasanya enggak karuan” kilahnya.

Tidak mau menambah beban Lastri, dia tahu ibunya, bercerita hanya akan menampilkan raut wajah sedih dan berulang kali meminta maaf atas kondisi yang menimpa Arum selama ini.

Tidak Bisa dibilang baik-baik saja, dengan kakinya yang cacat serta bekas koreng diarea wajahnya membuat Arum harus terus menggerai rambutnya yang panjang menutupi sebagian mukanya, mungkin inilah yang membuat warga Desa enggan untuk berinteraksi dengannya.

Nelangsa dengan apa yang terjadi, Arum bangkit tanpa mengucapkan apapun dan langsung masuk kedalam kamar, sudah puluhan kali dia menangis. Berbagai cara dia lakukan agar bekas koreng yang ada dimukanya bisa hilang.

Mulai dari ramuan tradisional hingga pergi ketabib, tapi tetap saja luka-luka yang ada ditubuh Arum tidak bisa hilang. Kelelahan karena menangis tanpa sadar Arum tertidur disenja itu....

“Ndug, bangun...” (nak bangun) tedengar ucapan lembut dari arah samping tempat tidur Arum. Dia merasakan usapan lembut menerpa rambutnya, menggeliat Arum membuka mata.

Seketika dia kaget, tadinya dia berfikir bahwa suara wanita yang membangunkannya adalah Lastri, Namun ternyata itu bukalah ibunya melainkan sosok wanita yang cantik dan rupawan.

Melihat itu Arum langsung beranjak menuju unjung kasurnya, dengan jelas kali ini dia melihat seorang wanita yang begitu cantik. Kulitnya halus, warnanya kuning langsat bagai cahaya rembulan yang sedang bersinar terang. Rambutnya hitam lurus tergerai hingga punggunggnya.

Bibir dan matanya yang indah membuat siapa saja pasti betah berlama-lama menatap wanita itu.
“Rene ndug...” (Sini nak...) sekali lagi wanita itu memanggil Arum untuk mendekat kearahnya.

Bagai terhipnotis, Arum mendekati wanita itu.
“Ngaputen, panjengan sinten njih?” (maaf, Kamu siapa ya?) ucap Arum sopan saat sudah berada didepan wanita itu.
“Ora perlu ngerti aku sopo” (tidak perlu tau aku siapa) jawabnya dengan senyum lembutnya.

“Yen koe pengen dadi ayu, aku iso ngewangi koe ndug” (kalau kamu pengen jadi cantik, aku bisa membantumu nak) lanjutnya yang kini sudah membelai pipi Arum.

Arum tersentak, dirinya bangun dengan nafas yang memburu.
“Ternyata cuma mimpi...” ucapnya sambil melihat jam yang sudah menunjukan pukul 5 sore. Segera dia bangkit dari ranjangnya untuk menuju kamar mandi.

Malamnya dia tidak bisa melepaskan ingatan tentang mimpi yang terjadi sore tadi, wanita itu benar-benar cantik. Ingin sekali dirinya bisa menjadi seperti itu, dengan kulit yang halus dan badan yang begitu sempurna.

“Andai aku bisa menjadi seperti itu, pasti orang-orang desa akan menyanjungku” batin Arum yang tengah duduk menatap langit tanpa bintang malam itu.

Hembusan angin dingin tiba-tiba menerpa wajah Arum, sejenak dia menikmati angin yang berhembus lumayan kencang. Hingga dia mendapati ada satu bayangan, seseorang yang berdiri tidak jauh dari tempatnya duduk saat ini.

Dilihatnya dengan seksama sosok tersebut, tapi jarak yang lumayan jauh membuat pandangan Arum tidak begitu bisa menangkap siapa sosok itu. Merasa takut dia beranjak masuk dan segera menutup pintu rumahnya. Suasana didalam rumah sudah sepi, Lastri ibunya juga pasti sudah tidur.

Saat sudah hendak masuk kedalam kamar, begitu kagetnya dia. Sudah ada orang yang duduk ditepian ranjang.
“Sopo koe?” (siapa kamu?) tanya Arum yang kini mulai dilanda ketakutan.

“Ora usah wedi ndug” (tidak usah takut ndug) katanya. Namun Arum masih tetap setia berdiri depan pintu, dia punya perasaan tidak enak dengan wanita dihadapannya.

Wanita itu bangkit, Arum sedikit mundur “bukane koe pengen ayu ndug?” (bukannya kamu pengen cantik ndug) ujarnya masih menatap Arum dengan senyum yang begitu memikat. Sedang Arum sendiri saat ini benar-benar merasa takut dengan apa yang dilihatnya, jelas dia bukan manusia.

“Yen koe pengen ayu, tak tunggu malem seloso kliwon, neng sengdang sisih deso kae” (kalau kamu ingin menjadi cantik, aku tunggu malam selasa kliwon, disendang sisi desa) ucapnya dengan dibarengi sosok yang tiba-tiba lenyap dari pandangan Arum.

Kaget... Arum berlari menuju kamar ibunya, Tok...tok..tok..
“Buk... Ibuk....” ucap Arum panik dengan apa yang barusan dia lihat, beberapa kali dia menoleh kearah kamarnya takut sosok itu kembali muncul.

“Ngopo to Rum” ujar Lastri yang panik melihat raut wajah Arum.
“Iku buk.. ikuuu ono demit neng kamarku” (itu buk... itu ada demit dikamarku) ujarnya sambil menunjuk kearah kamarnya.

Tidak percaya dengan ucapan anaknya, Lastri berjalan menuju kamar Arum. Dilihatnya tidak ada siapapun disana
“Ora ana opo opo lo ndug, koe nglindur po?” (tidak ada apa-apa lo nak, kamu ngelindur ya?) ujar Lastri.

Sedang Arum yang berdiri dibelakangnya ibunya juga menengok kedalam kamar, benar tidak ada siapapun. Wanita itu benar-benar sudah menghilang. Masih merasa takut Arum memita kepada ibunya untuk tidur bersama malam itu.

Tak terasa pagi sudah menjelang, suara kokok ayam jantan mengawali subuh yang masih berselimut kabut. Arum yang sedari malam tidak bisa tertidur dengan pulas, masih memikirkan kata-kata wanita yang bertandang ke kamarnya.

“Siapa wanita itu?” batinnya, namun semakin dia memikirkan justru kepalanya semakin bingung.
“Apa benar kejadian semalam itu nyata?...”

Beranjak menuju dapur, Arum mencoba mengusir pikiran tentang sosok wanita yang terus hadir dikepalanya. Sinar mentari memang belum terlihat, tapi beginilah kebiasaan Arum sehari-hari, semenjak setengah jam yang lalu dia sudah berkutat dengan tungku kayu.

“Loh ndug, tangi jam piro koe ki, kok wes sregepmen yahene wes neng ngarep luweng” ( loh nak, bangun jam berapa kamu itu, kok rajin jam segini sudah ada didepan tungku perapian) ujar Lastri yang sudah berdiri dibelakang Arum.

“Sampun ket wau buk, la ibuk sarene pules banget” (sudah dari tadi Bu, la Ibuk tidurnya pules banget) jawab Arum yang masih mengipasi api agar tetap menyala.

“Yowes, kono umbah-umbah wae, ben ibuk sek masak” (yauda sana nyuci baju saja, biar ibu yang masak) pinta Lastri. Tanpa menunggu diperintah dua kali, Arum beranjak menuju kamar mandinya mengambil pakaian kotor dan segera menuju sungai yang tidak jauh dari rumahnya.

Berjalan dalam keremangan subuh, beberapa kali Arum menoleh kebelang, dirinya merasa sedang diawasi oleh sesuatu. Mempercepat langkah agar segera tiba disungai dia berharap setidaknya ada orang disana, walaupun Arum tidak berani mendekati warga Desa, tetapi setidaknya ada orang yang bisa dimintai tolong jika terjadi sesuatu.

Benar saja, saat sudah hampir sampai ditepian sungai, Arum melihat ada beberapa ibu-ibu yang sedang mencuci baju. Merasa tenang dirinya berjalan menuruni jalanan yang menurun menuju kearah sungai.

Bruukkkkk.... Arum tiba-tiba hilang keseimbangan karena kakinya terpeleset tanah yang licin, tubunya terjatuh terguling hingga dekat dengan sungai, isi keranjang berhamburan kemana-mana.

“Aduuuhhhh” erangnya mencoba berdiri, kakinya begitu sakit, pingganggnya ngilu. “Syukurin, bocah pembawa sial harusnya sudah dari dulu dibakar hidup-hidup” ucap keji salah seoarang wanita yang sedang mencuci disana.

Mendengar hal itu, air mata Arum turun tanpa disadarinya, badannya sakit tapi hatinya jauh lebih sakit. Arum teringat, tiap kali dia bermain dengan teman-teman sebayanya, selalu orang tua dari temannya melarang untuk dekat-dekat dengan Arum,
“Anak pembawa sial” katanya.

Tiap kali ada kejadian yang menimpa Desa dimana Arum tinggal selalu dia yang menjadi sasaran warga. Warga mengira bahwa orang tua Arum terutama Bapaknya telah bersekutu dengan Iblis karena itulah lahir Arum dengan bentuk dan rupa yang mengerikan.

Tertatih kembali Arum berjalan sedikit menjauh dari ibu-ibu tadi, dia tidak mau langsung kembali kerumah. Dengan kondisinya saat ini pasti hanya akan menambah kekhawatiran Lastri.

Masih dengan air mata yang bergulir, Arum merasakan sakit yang luar biasa di hatinya dendam yang teramat dalam.
“Malem seloso kliwon yo ndug...” (malam selasa kliwon ya ndug) lirih terdengar suara yang datangnya entah dari mana.

Celingukan Arum mencari sumber suara itu tapi yang didapatinya hanya kenyusian subuh, merinding segera buru-buru Arum menuntaskan pekerjaannya.

Dirasa semua sudah selesai, Arum beristirahat sejenak, kakinya terlihat memar. Kembali dia teringat dengan ucapan Ibu-ibu tadi sekali lagi rasa perih dan dendam muncul dihati Arum. Bangkit berdiri walau rasanya kakinya begitu ngilu dia melangkah perlahan kembali ke rumah.

Adegan Berganti kali ini Bima sedang berdiri disebuah kerumunan, banyak orang-orang berkumpul didepan rumah Arum.

“Wanita pembawa sial harusnya sudah dari dulu diusir dari tempat ini” teriak seorang laki-laki paruh baya,
“Ampun pak jangan...” ratap Lastri yang kini duduk bersimpuh disebelah Arum. Badan Arum yang kini terlihat berantakan hampir tubuhnya ditelanjangi muka umum.

“Sudah cacat, burik, jelek, masih menggoda suami orang” bentak wanita yang Bima ingat salah satu wanita yang pernah mengatai Arum.
“Ampun... saya tidak tau apa-apa Bu, Suami ibu yang mendatangi saya dan mencoba melecehkan saya” ratap Arum.

“Mana ada laki-laki yang mau sama kamu” sekali lagi ucapan keji muncul dari beberapa warga yang ada disitu. Kali ini Bima mengedarkan pandangannya,

Benar saja dia melihat ada satu laki-laki yang disebelahnya ada sosok wanita buruk rupa mirip sekali dengan sosok yang berada didekat Mbak Maya waktu studitour kemarin. “Sirep” ucap Bima. Baginya sungguh aneh, memang benar, secara logika mana ada laki-laki yang mau secara sadar melecehkan Arum, bukan merendahkan tapi memang kondisi Arum yang seperti itu jelas pasti tidak ada laki-laki yang mau berinteraksi dengannya, apalagi melecehkannya. Kembali Bima melihat kearah Arum.

Adegan sekali lagi berubah, kini Bima sedang berdiri tepat dikamar Arum. Dilihatnya dia sedang terburu-buru. Sepelan mungkin Arum membuka pintu kamarnya seolah tidak mau didengar oleh ibunya. Merasa kondisi aman dia berjalan melangkah keluar rumah.

Malam masih larut, Bulan bersinar terang diatasnya, Arum sudah muak dengan semua yang terjadi dengan hidupnya, hampir seminggu ini dia selalu didatangi oleh sosok wanita yang dulu pernah menemuinya.

Merasa bahwa ini adalah jawaban dari doa-doanya selama ini, Arum bergegas menuju sendang yang disebutkan oleh sosok itu.

Perjalanan menuju sendang benar-benar mengerikan tidak ada penerangan sama sekali. Jalan setapak yang dilalui Arum pun hanya sebatas tanah dengan kanan kiri masih berupa pepohonan yang lebat, beberapa kali dia menolehkan pandangannya, takut jik dilihat warga desa.

Sudah hampir setengah jam dia berjalan, hingga terlihat ada sebuah sendang. Mata air itu tidak begitu besar, tetapi jelas membuat siapa saja yang melihatnya begitu ngeri. Bergidik sejenak Arum ingin berjalan kembali kerumahnya.

Tapi ingatan tentang hinaan dan cacian serta fitnah yang diterimanya membuat sakit hati kembali muncul. Nekat Arum berjalan kearah sendang itu.

Sepi tidak ada siapapun, yang terdengar hanya suara saut-sautan serangga dan kodok yang memecahkan keheningan malam. Awalnya dia merasa bahwa tidak mungkin ada orang disini, mungkin dia salah karena mempercayai sesuatu yang bisa saja itu hanyalah imajinasinya.

“Ndug...” terdengar suara lirih, menoleh kearah sumber suara Arum melihat sosok wanita yang selalu hadir dalam mimpinya sedang duduk diatas batu. Begitu indah dan memukau.

Dilatarbelakangi cahaya rembulan, sosok yang begitu cantik itu membuat Arum diam melongo melihatnya.
“Ndug... mreneo” (Nak... kesini) ujarnya meminta Arum untuk mendekat.

Bagai terhipnotis, tertatih arum mendekat kearah wanita itu.
“Aku wes ngerti opo sek dadi masalahmu, koe pengen ayu to ndug?” (aku sudah tau apa yang menjadi masalamu, kamu pengen menjadi cantik to nak?) ucapnya saat Arum sudah berada dijangkauannya.

“N—njih nyai” ucap Arum terbata. Kini sosok tersebut meminta Arum untuk duduk dibawahnya, perlahan dia membelai rambut Arum.

Kaget dengan perlakuan yang diterima, Arum yang sedari tadi merasa bahwa ini hanya sebuah imajinasinya, kini yakin bahwa sosok tersebut memang benar-benar Nyata.

“Gampang Ndug, yen koe pengen dadi ayu koyo aku, akeh wong lanang sek seneng karo koe, carane gampang” (Gampang nak, kalau kamu ingin jadi cantik seperti aku, banyak laki-laki yang akan suka sama kamu, caranya gampang) ujarnya lembut dengan senyum yang menawan.

“prr-prripun carane nyai?” (Gimana caranya Nyai) tanya Arum yang kini sudah dilanda hasrat untuk mendapatkan keinginannya.

Masih tersenyum sosok tersebut, kini berdiri,
“koe wes bener-bener siap?” (kamu sudah benar-benar siap) ujarnya,
“kulo pun mboten kiat kalian niki sedanten Nyai” (saya sudah tidak kuat dengan ini semuanya Nyai) ucap Arum

yang masih merasa sakit hati dengan perlakuan yang diterimanya selama ini.
“Yowes nek ngono, gawak e aku getih perawan, ben seloso kliwon” (bawakan aku darah perawan tiap malam selasa kliwon) katanya sambil menoleh kearah Arum.

Arum yang mendengar hal tersebut kaget, ternyata dia sedang diminta untuk mencari tumbal agar dia bisa menjadi wanita yang cantik jelita. Perasaannya beradu, antara ingin melanjutkan atau tidak.

“Koe wes siap ndug, kudu gelem ora iso dibatalke meneh” (kamu sudah siap nak, harus mau dan tidak bisa dibatalkan lagi)
“yen ora, yo awakmu dewe sek kudu dadi ingon ingonku neng kene” (kalau tidak, ya dirimu sendiri yang harus jadin peliharaanku disini) lanjutnya.

Kaget bagai disambat petir, Arum merasa terjebak dengan tipu muslihat sosok yang ada didepannya.
“Wes sak iki, koe adus o neng sendang iki” (sudah sekarang kamu mandi di sendang ini) perintah sosok tersebut.

Sekali lagi bagai terhipnotis, Arum melepaskan satu persatu kain yang melilit tubuhnya dan menyisakan kain yang dijadikan sebagai kemben. Melangkah dia memasuki sendang tersebut.

Sekali lagi bagai terhipnotis, Arum melepaskan satu persatu kain yang melilit tubuhnya dan menyisakan kain yang dijadikan sebagai kemben. Melangkah dia memasuki sendang tersebut.

“Sak iki, kepengenanmu wes kedadian ndug, ojo lali malem seloso kliwon gawakno getih perawan neng kene” (sekarang, keinginanmu sudah terjadi nak, jangan lupa malam selasa kliwon, bawakan darah perawan kesini) ujarnya.

“Carane pripun nyai?” (caranya gimana nyai) ujar arum yang kini sudah beranjak dari dalam sendang tersebut.

“Gampang, golek ono pewaran, tak kei ilmu ben iso nyirep uwong, kek ono jungkat iki engko wonge bakal moro rene dewe” (gampang, carilah perawan, saya kasih ilmu biar kamu bisa nyirep orang lain, kasih sisir ini nanti orangnya bakal datang kesini sendiri). Mengerti Arum mengangguk dan mendekati sosok wanita itu, kini kepalanya kembali diusap-usap dan diberikan cara untuk menyirep orang lain.

Adegan berubah lagi, kini Bima berada disebuah pasar, banyak sosok laki-laki yang memperhatikan wanita yang sedang berjalan didepan mereka. Wanita yang begitu cantik. Bima yang tidak tau siapa sosok itu, namun seketika dia paham bahwa itu adalah Arum.

Jauh berbeda dengan apa yang Bima lihat sebelumnya, sosoknya kini terlihat sangat cantik. Kulitnya bersih rambutnya disanggul rapi, namun tetap saja Bima bisa melihat ada kabut hitam yang menyelimuti tubuh Arum.

“Dek, mau kemana? Kok sendirian?” tanya seorang pemuda yang berani mendekati Arum, tersenyum Arum tidak menjawab dan malah pergi meninggalkan pemuda tersebut.

Dia berjalan melenggak-lenggokan pantatnya seolah sedang menggoda laki-laki yang ada disana. Merasa senang mendapatkan perlakuan seperti itu Arum berjalan kembali kearah rumahnya.

“Aneh ya bu, tiba-tiba bocah itu jadi cantik seperti itu” terdengar suara wanita yang masuk kedalam telinga Arum. Tersenyum ia kembali berjalan dan tidak menghiraukan perkataan yang barusan didengarnya,

“Tunggu saja...” kata Arum sambil mengingat perlakuan yang selama ini ia terima. Ingatan yang muncul saat dirinya dihina dan di fitnah sekali lagi membuat dendam yang muncul begitu kuat.

Adegan berganti lagi, malam sudah datang. Arum sedari tadi sudah bersiap-siap pergi meninggalkan rumah, diamati suasana sudah sepi yang berarti ibunya Lastri sudah tertidur. Mengingat pertama kali Ibunya melihat kondisi Arum, dia tidak percaya.

Tetapi dengan dalih bahwa Arum mendapatkan berkah berkat kesabarannya selama ini lambat laut Lastri menerima itu semua, dia yakin bahwa memang Tuhan sudah memberikan keajaiban untuk putri semata wayangnya.

Berjalan menuju arah Desa, kali ini Arum mendekati sebuah rumah, dimana dia selalu mendengar cacian dan hinaan dari si pemilik rumah. Bu Wanti, wanita yang benar-benar dibencinya, dengan penuh dendam dia akan membalaskan apa yang sudah diperbuatnya selama ini.

Beberapa saat dia melihat kearah rumah itu, begitu sepi dan tentram. Menyeringai dia menaruh sisir kayu dibawah kursi, Arum yakin sisir itu akan digunakan oleh si pemilik rumah.

Adegan berganti lagi, suasana desa begitu gaduh, para warga sepertinya begitu panik, terlihat beberapa orang mondar mandir. Melihat itu Arum segera menghampiri kerumunan tersebut.
“Ada apa pak?” tanya Arum pada salah satu warga.

“Itu neng, anaknya Bu Wanti, sejak kemarin dia seperti kesurupan, kulitnya membusuk, pagi tadi katanya meninggal dunia” jawab Bapak tersebut.

Setelah kejadian itu, setiap bulan pada saat malam selasa kliwon selalu saja ada warga yang meninggal. Kecurigaan warga semakin menjadi, mana kala sosok Arum yang dulunya cacat dan buruk rupa tiba-tiba menjadi seorang yang cantik.

Tidak sampai disitu, banyak sekali pemuda yang mulai tergila-gila dengan Arum. Hingga puncaknya warga merasa jengah....

Mereka berbondong-bondong datang kerumah Arum, tanpa ada penjelasan apapun rumah tersebut langsung dibakar oleh warga yang buta karena amarah, terlebih oleh keluarga korban yang memang sedari dulu menaruh curiga kepada Arum.

Melihat itu semua Arum mencoba untuk melarikan diri bersama ibunya, sayang dia bisa dikejar dan kembali dibawa kearah rumah tinggalnya.

Suasana riuh kembali terjadi, Arum kali ini sudah diikat dan dipukuli begitu keji oleh warga kampung yang memendam amarah. Tidak tahu bagaimana kabar tersiar Arum menjadi cantik karena persekutuannya dengan Iblis.

Arum kembali meratap, meminta tolong kepada Nyai yang memberikan kencantikan yang diberikan kepadanya. Namun sosok tersebut bahkan tidak menampakan dirinya.

Tubuh arum sudah ditelanjangi, kini dia berdiri memelas didepan rumahnya. Ibunya Lastri hanya bisa menangis melihat kondisi anaknya.

“Sumpahku, kabeh koe sek gawe aku koyo ngene bakal nrimo ganjarane, Deso iki, bakal mati, Ambu Mayit” (sumpahku, kalian semua yang membuatku seperti ini bakal menerima ganjarannya, Desa ini bakal mati, Ambu Mayit ), teriak Arum. Mendengar itu warga bertambah geram, segera tubuh Arum diguyur minyak tanah dan dibakar hidup-hidup didepan Ibunya Lastri.

Bima tersentak, dia kembali membuka mata, apa yang dilihatnya benar-benar membuat muak dan marah, sosok Gendiswari sudah banyak menjerumuskan orang-orang. Memanfaatkan penderitaan seseorang untuk mendapatkan ingon-ingon untuknya.

Bima berdiri kemarahannya begitu membuncah, hasrat ingin melenyapkan Gendiswari begitu kuat. Sosok Banaspati yang ternyata sedari tadi mengelilinginya tiba-tiba berhenti karena merasakan amarah cari Cempoko Kuning yang meluap.

Begitu juga Kromosengkono, tiba-tiba dia membabi buta menyerang para penguhuni Alas Lali Jiwo. Bima berjalan menuju arah Gendisawari tangannya terkepal dengan erat memegani mata tombak Cempoko Kuning.

Tidak ada satupun makhluk yang mendekat kearah Bima, mereka takut dengan aura Cempoko Kuning yang mengedarkan aura membunuh yang begitu kuat.....

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close