Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

CERITA TENTANG MEREKA (Part 10) - Sendang Pitu


Sendang Pitu (Tujuh)

Bima murka dengan apa yang dia lihat. Emosi menggelayuti dirinya, membuat lupa dengan semua yang tengah terjadi. Yang ada didalam hatinya hanya ingin menghancurkan, membakar, dan membuat jera sosok Gendiswari.

Ia berjalan dengan langkah yang mantap, tubuhnya yang kecil seolah terlihat bagai seekor harimau yang mendekati mangsanya, dia benar-benar hilang kesadaran.
“GENDISWARI...” teriak Bima lantang, suaranya menggema memenuhi Sanggar Pati.

Mengetahui itu bukan Bima, Pak Arif yang sedari tadi sedang berusaha mengumpulkan tenaga mencoba untuk berdiri.
“Ciloko” (celaka) ucapnya saat melihat Bima dengan tatapan bengisnya menuju kearah Gendiswari.

“Aku turu sedelo, koe tak akon jogo Sanggar Pati, RUSAKKKKK....” (aku tidur sebentar, kamu aku minta untuk menjaga Sanggar Pati, RUSAKKKK...) bentak Bima yang kini sudah berhadapan dengan Gendiswari.

Wanita itu bersimpuh dibawah Bima, ketakutan menyelimuti Gendiswari, kapan saja dirinya bisa dibakar oleh sosok yang berada di tubuh bocah Bima saat ini.

“Ng-gaapunten Nyai” (maaf Nyai) ratap Gendiswari memohon ampun. Tidak ada rasa belas kasihan yang muncul... yang ada didalam diri Bima hanya ingin menghancurkan sosok yang ada didepannya.

“Turuo” (tidurlah) ucapnya sambil mengangkat mata tombak yang sedari tadi dipegangnya. Melihat itu Gendiswari hanya bisa pasrah.

“Bima, kendalikan dirimu, ingat apa yang ku katakan. Mereka tergantung pada dirimu” ujar Pak Arif yang sudah tiba-tiba memegangi tangan Bima. Mengetahui hal tersebut Bima menoleh dan menyeringai kepada Pak Arif.

“Bocah, iki wes dudu urusanmu meneh” (bocah, ini sudah bukan menjadi urusanmu lagi) ucap Bima dengan menampilkan seringai mengerikan.

“Ngapunten Nyai, ini tetap jadi urusan saya, karena saya dan Bima kesini untuk mengambil sukma dari Maya” ucap Pak Arif sambil memperlihatkan kondisi Maya yang berada ditengah Pendopo.

“Terlebih simbah sudah berpesan kepada saya, jika saya harus menyelamatkan cucu perempuannya. Jika Gendiswari dibakar sekarang, sukma Maya juga akan ikut terbakar” lanjut Pak Arif.

Mendengar hal tersebut, Bima menurunkan tangannya. Dia berbalik dan berjalan menuju kearah Pendopo. Dilihatnya Maya memang masih terkulai, tubuhnya seolah sedang tertidur
“Cah ayu, tangio” (Anak cantik, bangun) ucap Bima lirih sambil membelai rambut Maya.

Terjadi pergerakan, tubuh Maya bergerak perlahan. Sedang Bima tersadar dengan apa yang barusan dia lakukan.
Dia tau... dia melihat semua... dia ingat, emosinya tadi membuat dirinya lepas kendali.

“Mbak May...” ucapnya sambil bersimpuh disebelah kursi rotan itu.
“B—bimaa” gagapnya.
“Bimaaaaa... tolongin mbak Bim, Mbak mau pulang, mbak takut disini” jeritnya meraih tangan Bima.

“Iya Mbak, setelah ini kita pulang ya” ucapnya sambil masih menenangkan sodara sepupunya itu. Dirasa sudah tenang kembali Bima melihat kearah tengah lapangan. Gendiswari masih duduk bersimpuh, Pak Arif yang berada didekatnya menjaga agar dia tidak kabur.

“Bim sebaiknya kita bawa Maya ke tempat simbah” ujar pak Arif saat sudah tiba sisi Bima.
“Kenapa Pak?, kita tidak langsung pulang?” tanya Bima heran.

“Sukma Maya sudah terlalu lama disini, aku sendiri tidak tau apakah akan berdampak pada raganya, tetapi lebih baik kita ke gubuk Simbah dulu, dia akan memberi tahu apa yang harus kita lakukan” jawab Pak Arif.

“Lalu bagaimana dengan Gendiswari Pak?, kalau dia dibiarkan seperti ini bisa aja dia akan mencari mangsa lain untuk menjadi ingon-ingonnya” kata Bima sambil melihat kearah Gendiswari. Dia tidak akan pernah percaya dengan muka penyelasannya.

“Dek e wedi karo Cempoko Kuning cah” (Dia takut sama Cempoko Kuning, Cah) kata Kromosengkono yang tiba-tiba sudah berada di sebelah mereka.

Tidak bisa dipungkiri... saat ini dengan kejadian yang sudah Bima lihat, tidak bisa lagi dia merasa kaget dengan kemunculan “mereka” yang tiba-tiba.

“T-aapi... bagaimana jika kejadian seperti ini terulang lagi?” ucap Bima yang kalut.
“Banaspati...” panggil Kromosengkono. Mendekat kearah mereka,

Banaspati kini berjalan seperti seorang anak kecil, api disekitar tubuhnya menghilang.
“Opo?” (apa?) ucapnya saat sudah sampai didepan mereka.

“Jaganen, Gendiswari, ojo sampe lungo seko kene” (jaga, Gendiswari, jangan sampai dia pergi dari sini) ujar Kromosengkono. Awalnya dia menolak, katanya tidak ada urusan dengannya, mengenai sosok Gendiswari.

Banaspati hanya menerima perintah dari Cempoko Kuning.
“Ora gelem koe cah?, ora manut karo aku?” (tidak mau kamu nak?, tidak nurut sama saya?) ucap Bima lirih. Mereka semua terkesiap, terutama Banaspati yang tiba-tiba saja bersimpuh didepan Bima.

“Ngapunten Nyai, kulo siap jagani Gendiswari ting mriki” (maaf Nyai, saya siap menjaga Gendiswari disini) ucapnya,
“yowes kono” lanjut Bima sambil tersenyum lembut.

Mendengar itu Banaspati kembali menjadi sosok bola api dan terbang mengitari Gendiswari yang masih duduk tersimpuh dilapangan depan Pendopo.

“Nyaai...?” ucap Pak Arif, Bima yang mendengar itu tersenyum.
“Ini Bima pak, tadi hanya pura-pura biar dia mau menjaga Gendiswari” ucapnya terkekeh sendiri dengan apa yang dia lakukan barusan.

“Sialan kamu Bim, Aku pikir kamu dirasuki sosok itu lagi, energi kalian benar-benar sudah bercampur” kata Pak Arif. Sedang Kromosengkono yang mendengar itu justru tertawa melihat Bima yang dengan persis bisa menirukan sosok Cempaka Kuning.

“Rene, wes ditungguh simbah” (Sini, sudah ditunggu kakek) ujar Kromosengkono. Bima dan Pak Arif mendekat ke Arah Kromosengkono. Kali ini Pak Arif menggendong Maya.

Kromosengkono memegangi pundak mereka. Sekali lagi sensasi yang tidak mengenakan terjadi, Bima merasa terhimpit sesuatu yang menyesakkan.

Menghirup nafas dalam dalam, Bima mencoba mengatur nafasnya. Dia tidak begitu suka perjalanan seperti ini, ingin rasanya segera kembali kedunia manusia. Terlihat simbah sudah berdiri didepan Gubuk. Senyumnya merekah melihat mereka semua berjalan kearahnya.

“Assalamualaikum” ucap Bima dan Pak Arif serentak,
“Waalaikumsalam, pie wes rampung?” (Waalaikumsalam, gimana sudah selesai) ujarnya dengan senyum yang mendamaikan.

“Sampun Mbah, tapi...” (sudah Kek, tapi...) ucap Pak Arif yang segera dipotong oleh Simbah “Wes wes, aku wes ngerti kene do leren sek, sak durunge bali” (sudah sudah, aku sudah tau, sini istirahat dulu, sebelum pulang) pintanya sambil menujuk amben yang ada disebelahnya.

Berjalan... mereka ber 3 duduk diamben tersebut, sedang Mbak Maya yang kembali tidak sadarkan diri, ditidurkan diamben didalam gubuk.

Beberapa saat mereka terdiam,
“Simbah muk due iki, diombe disik ben seger” (Kakek cuma punya ini, diminum dulu biar enakan) ucapnya sambil menyodorkan kendi coklat dari tanah liat.

Mereka bertiga meminum bergantian, rasa dahaya membuat air didalam kendi seketika habis tidak tersisa. Energi mereka kembali pulih, tampak luka-luka lebam yang ada ditubuh mereka juga lambat laut menghilang.

“Mbah, niki toyo nopo to? kok ajaib?” (Mbah, ini air apa to? Kok ajaib) ucap Bima. Serentak mereka yang ada disana tertawa, tiap kali Bima menanyakan sesuatu yang diluar nalar pasti selalu diketawakan.

“Bim, kamu sudah melewati sesuatu yang diluar nalar, apa perlu pertanyaan seperti itu?” ujar Pak Arif yang masih terkekeh. Sebal karena ditertawakan kini Bima memilih untuk diam, pikirannya masih mengingat ingat kejadian yang telah dilaluinya.

“Mbak Maya gimana pak?” tanya Bima kepada Pak Arif setelah sekian lama diam. Ada setitik keraguan yang muncul diwajahnya. Bima mengamati lekat lekat wajah laki-laki paruh baya yang ada disepannya saat ini. Ia terlihat kelelahan disetiap guratan wajahnya.

“Maya sudah terlalu lama disini Le, Ora gampang balik ke sukmo sek wes kebacut urip neng kene sue” (Maya sudah terlalu lama disini nak, tidak mudah membalikan sukma yang sudah terlanjur hidup disini lama) ujar Simbah.

“Terus pripun mbah?” (terus gimana Mbah?) ucap Bima sedikit kecewa, bagaimana jika nanti sukma Mbak Maya tidak bisa kembali ketubuhnya, perjalanan ini terasa percuma jika akhirnya Bima tidak bisa menolong sepupunya.

“Wes ora usah sumelang, kabeh ana corone, ora gampang tapi mesti ana solusine” (sudah tidak usah khawatir, semua ada caranya, tidak mudah tapi pasti ada solusinya) ujar Simbah yang kini membelai kepala Bima dengan lembut.

Dia tau kekhawatiran yang menggelayuti batin Bima, memang tidak mudah tapi sebagai manusia semestinya selain berdoa mereka juga harus berusaha.

“Aku salah, tak pikir koe durung siap nyekeli Cempoko Kuning” (aku salah, ku pikir kamu belum siap membawa Cempaka Kuning) kata Simbah yang saat melihat senjata mata tombak yang masih dipegangi oleh Bima.

Mendengar itu semua menoleh kearah Simbah yang kini tengah berdiri memunggungi mereka.
“Ngapunten Mbah, kulo badhe tanglet, kok saget Bima mendet pusoko niku?” (maaf Mbah, saya mau tanya, kok bisa Bima mengambil pusaka itu) ujar Pak Arif penasaran,

Kejadian Bima memanggil pusaka Cempoko Kuning benar-benar diluar dugaannya. Cempoko Kuning senjata yang luar biasa mematikan, bagaimana bisa Bima mengambil pusaka itu sedang saat ini dirinya belum sepenuhnya bisa mengendalikan kekuatannya.

“Takdir sek milih le, aku yo ra iso jawab, kabeh wes kersane Gusti, tapi tak delok yen koyo ngono sementara yo ben Pusoko kui ditinggal neng kene, nek wes wayahe Bima siap ben mengko teko marang awak e dewe” (Takdir yang memilih nak, aku sendiri juga tidak bisa menjawab.

Semua sudah ketentuan Tuhan, tapi aku lihat-lihat jika seperti itu, lebih baik sementara pusaka itu ditinggal disini dulu, kalau sudah waktunya Bima siap, biar nanti datang sendiri ketempat Bima) jelas Simbah.

Bima yang mendengar hal itu kembali teringat kejadian yang ia lalui... saat dimana dirinya merasa benar-benar marah dengan Gendiswari. Bima tau apa yang ia lakukan tapi, dia tidak bisa mengendalikan tubuhnya, seolah ada sosok yang berperan menggerakan badannya untuk melakukan sesuatu.

“Aku wes pesen karo koe to Rif, ajarno putuku ben iso nulungi uwong, tapi koe nekat gowo rene” (aku sudah pesan kepadamu to Rif, ajari cucuku biar bisa menolong orang, tapi kamu malah nekat membawanya kesini) kata Simbah sambil melihat Pak Arif tajam.

“Ngapunten, mbah niki salah e kulo” (Maaf, Kek ini salah saya) ucapnya sambil menundukan kepala.

“Wes, sek wes kedadean ya wes, kabeh ge pelajaran, sak iki koe-koe jeh ana garapan gawe sukmone putuku balik koyo bien maneh” (sudah, yang sudah kejadian ya sudah, semua untuk pembelajaran. Sekarang kalian masih punya pekerjaan untuk membuat sukma cucuku kembali seperti dulu lagi) kata Simbah.

“Carane pripun Mbah?” tanya Bima. Tetapi sebelum mendengar jawaban Simbah, seketika pandangannya memburam... dirinya merasa ditarik kebelakang.
Tersentak Bima kembali kedalam tubuhnya....

Mengerjap, Bima sudah berada diruang keluarga rumah Budhenya. Memejamkan mata, dia masih mencoba beradaptasi... Beberapa saat lalu dirinya masih duduk digubuk ditengah hutan belantara tetapi tiba-tiba dia sudah berada dirumah Budhenya lagi.

Tubuhnya terasa pegal, terlebih dibagian punggung dan dada. Merasa kelelahan Bima merebahkan dirinya terlentang. Melihat hal itu, Sekar berlari ingin memeluk anaknya, tetapi Pak Arif yang sudah berdiri mencegah.

Saat ini energi yang berada ditubuh Bima masih belum stabil dan itu bisa berpengaruh pada diri Sekar. Pak Arif meminta mereka segera menyiapkan bunga macan kerah untuk digunakan mandi Bima dan dirinya, agar bisa menetralisir energi negatif yang masih menempel ditubuh mereka berdua. Segera Sekar dan Banyu berlari menuju kearah dapur dan menyiapkan apa yang Arif pinta, suasana diruang tamu itu masih mencekam. Dilihat beberapa sosok masih mondar mandir mengamati mereka.

Dengan sisa tenaga yang dimiliki, Arif kembali lagi duduk bersila, merapalkan doa. Angin dingin berhembus, perlahan sosok-sosok yang sedari tadi mengganggu mereka mulai menghilang.

Sedang Bima masih tiduran merebahkan badannya,
“Astaga kenapa rasanya capek sekali” batin Bima sambil menatap kearah langit-langit ruang keluarga tersebut. Tersentak... dia teringat dengan kondisi Mbak Maya, dia segera bangkit memastikan apakah sepupunya sudah bangun.

Tapi dugaannya salah Maya masih tertidur lelap, walau asap hitam yang menyelimutinya sudah semakin memudar.
“Bagaimana Rif?” tanya Pakdhe ketika Arif selesai bersila dan duduk menyandarkan tangannya.

“Setelah aku dan Bima bersih-bersih akan kujelaskan semuanya” ujarnya singkat sambil merebahkan diri dan menutup matanya. Melihat itu Bima tersenyum, perjalanan yang dia lakukan benar-benar membuatnya semakin yakin akan kebesaran Tuhan yang maha kuasa.

Sekar kembali dari dapur, semua sudah disiapkan. Bima dan Pak Arif bergantian memakai kamar mandi untuk membersihkan diri, namun sebelum itu bunga macan kerah yang sudah disediakan diatas tampah, dibacakan doa terlebih dahulu oleh Pak Arif.

Segera setelah ritual pembersihan diri selesai. mereka semua kecuali Budhe, berkumpul di taman belakang rumah. Kopi panas terlihat mengepul dari gelas cangkir didepan mereka.

Kecuali Bima, dia meminta untuk dibuatkan segelas besar susu coklat panas kesukaannya. Rokok sudah terselip di kedua jarinya, tidak ada rasa sungkan lagi didalam diri Bima saat merokok didepan kedua orang tuanya.

“Gimana Rif” sekali lagi Pakdhe bertanya kepada Arif, sejenak Pak Arif diam dan menghisap rokoknya dalam dalam.
“Masih ada yang perlu aku dan Bima lakukan, dan sekarang aku juga butuh bantuan dari kalian semua” ucapnya.

“Maksudnya? Apa semua ini belum berakhir?” tanya Banyu yang mulai khawatir lagi seketika dia melihat anak semata wayangnya. Sedari tadi malam dia begitu panik saat Bima tiba-tiba mengeluarkan darah dari mulutnya, hampir saja dia nekat ingin membangunkan Bima.

“Saat ini sukma Maya memang sudah berada ditubuhnya, tapi dia sudah terlalu lama berada didimensi astral” jelas Pak Arif.
“Lalu bagaimana Rif?” lanjut Pakdhe yang kini mulai kembali terlihat resah.

“Bisakah kalian, membawa dokter kesini dan setidaknya memberikan asupan nutrisi untuk Maya?” ujar Pak Arif tidak menjawab pertanyaan Pakdhe, meskipun sukma Maya sudah kembali, tapi kesadarannya belum pulih sedang raganya juga memerlukan nutrisi untuk bisa terus bertahan hidup.

“Bisa, akan kulakukan” tegas Pakdhe yang akan berusaha apapun untuk memastikan keselamatan putrinya, tanpa meminta penjelasan dari Arif dia tahu kalau itu dimaksudkan agar raga putrinya tetap bisa bertahan dengan adanya nutrisi yang masuk.

“Setelah ini, beristirahatlah, aku dan Bima membutuhkan banyak tenaga untuk memulihkan diri, Bima sudah mengalami kejadian yang luar biasa malam ini.
Dia benar-benar hebat....” ujar Pak Arif tersenyum bangga, memang benar tanpa dia duga Bima memang orang yang benar-benar istimewa.

***

Begitu malas membuka mata, seolah kasur yang digunakan untuk tidur begitu menempel dipunggung Bima. Entah kenapa badannya begitu terasa lelah sekali sampai dia bisa tidur hampir 12 jam lebih.

Enggan untuk beranjak Bima mengamati kondisi kamarnya kali ini, beberapa hari yang lalu dia merasa ketakutan dengan apa yang dia lihat, sekarang rasanya kejadian itu sudah lama sekali terjadi.

Beranjak, dia membuka pintu berjalan menuju kamar mandi. Para orang tua ternyata sudah berkumpul di dapur, wajah mereka terlihat lebih baik daripada kemarin malam.

“Bim, sudah bangun kamu?” ucap Banyu yang melihat kehadiran Bima. Mendengar itu sontak Sekar segera bangkit menuju Bima, dia memeluk kencang anak semata wayangnya.

“Pak Arif sudah menceritakan semua yang kamu alami semalam, maafkan ibu ya Bim” ujarnya lirih sambil berurai air mata.
“Ibu tidak salah, ini semua sudah menjadi takdir Bima Bu” kata Bima yang merasa canggung dipeluk oleh Ibunya didepan semua orang.

Melepaskan Bima, Sekar meminta Bima agar mandi dan segera makan untuk memulihkan kondisinya.
“Mbak Maya gimana Budhe?” ucap Bima setelah selesai mandi dan menyempatkan diri melihat kondisi sepupunya.

“Sudah baikan Bim, sudah tidak meronta-ronta lagi, makasih ya Bim, mau menolong Maya” ucap Budhe melihat kearah Bima.
Tersenyum Bima menganggukan kepalanya dan berjalan kembali kearah belakang rumah.

“Masih Ada 7 hari lagi,.... Bim sini” ucap Pak Arif yang sedang duduk ditaman bersama Bapak dan Pakdhe.
“Apanya yang 7 hari pak?” tanya Bima saat sudah berada didepan mereka.

“Sukma dari Maya harus disempurnakan Bim, 7 sendang... Kita harus mencari air 7 sendang sebelum malah selasa kliwon” jelasnya.
“Maksudnya pak?” kata Bima masih tidak mengerti.
“Kamu tau kan, kondisi sukma Maya saat ini?” tanya Pak Arif, mengangguk Bima mengerti bahwa sukma dari Maya sebetulnya masih terjebak oleh sosok Gendiswari. Dia teringat dengan sisir kayu,
“Pak sisirnya dimana?” tanya Bima panik.

“Aku simpan Bim, aku belum menghancurkannya. Jika aku hancurkan sekarang pasti sukma Maya juga akan terus berada disana bersama Gendiswari” kata Pak Arif sambil menghela nafas panjang.
“Lalu setelah ini apa yang harus dilakukan?” ucap Bima bersemangat.

“Semangatmu benar-benar luar biasa Bim, apa Simbah tidak memberitahumu?” tanya Pak Arif. Menggeleng, Bima tidak mendapati pesan apapun yang disampaikan oleh Simbah sewaktu berada disana.

“Simbah memintaku untuk mencari air tujuh sendang sebelum malam selasa kliwon, dengan begitu kita bisa menyempurnakan sukma Maya” ujar Pak Arif.

“Pakdhe dan Bapakmu sedang mencari informasi Bim, sendang mana saja yang harus kita datangi” kata Pakdhe sambil menaruh Hpnya diatas meja. Sedang Banyu masih sibuk mencari informasi tempat-tempat yang memiliki sendang yang bisa mereka kunjungi dalam waktu 7 hari.

“Terus setelah kita melakukan ritual disendang itu, Mbak Maya bisa seperti dulu lagi Pak?” tanya Bima kepada Pak Arif. Dia hanya mengangkat bahunya,

“Semoga saja Bim, yang lebih penting lagi setelah kita selesai dengan ke 7 sendang itu, kita harus segera menghancurkan benda terkutuk itu” ucap Pak Arif sambil menerawang jauh.

Bima kira semua sudah selesai... tapi ternyata masih ada hal yang harus dia lakukan, mungkin sekali lagi dia akan meminta petunjuk Kromosengkono, bertanya apa yang harus dia lakukan kali ini.

Tapi dia juga teringat perkataan Pak Arif untuk tidak berpangku tangan dengan “mereka” karena sejatinya mereka juga makhluk Tuhan yang bisa tergoda dengan tipu daya setan.

“Malam ini kita mulai perjalanan menuju sendang pertama” ucap Banyu menaruh hpnya diatas meja, mendengar hal itu setiap orang yang ada di taman memandang Banyu.

Tersenyum Banyu mengatakan kalau dia sudah mendapatkan informasi tentang sendang yang tidak jauh dari rumah mereka. Konon tempat itu sering dijadikan sebagai tempat pemujaan, dan tantangan mereka kali ini...

sendang tersebut berada disalah satu kaki Gunung yang melegenda diwilayah mereka.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close