Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

CERITA TENTANG MEREKA (Part 11) - Desa Linguwar


Desa Linguwar

“Tidak mungkin kita semua pergi ke Linguwar” ujar Pakdhe. Saat ini mereka semua sedang berdiskusi bagaimana cara untuk pergi ke Desa Linguwar. Bima sedari tadi diam dan memperhatikan, dia tidak berminat untuk ikut berdebat dengan para orang tua.

“Benar, lebih baik hanya laki-laki saja yang pergi, sedang kalian. Sekar dan Yanti dirumah menjaga Maya” kata Pak Arif menengahi. Memang benar saat ini kondisi Maya tidak bisa dibawa kemana-mana, dia sudah terbangun tapi tatapannya kosong bagai tidak punya kehidupan sama sekali.

Mendengar perkataan Arif, Sekar terdiam, sedari tadi dia bersikukuh untuk ikut ke Desa Linguwar. Dia merasa tidak tenang jika harus berdiam diri dirumah.

“Benar Sekar, lebih baik kita dirumah, dari pada nanti malah menjadi beban untuk mereka” ucap Yanti. Mengalah akhirnya Sekar menuruti saran dari mereka.

“Nanti sore kita pergi, kemungkinan perjalanan sedikit jauh, dan aku tidak mengharapkan semua berjalan dengan lancar, hanya berjaga-jaga” kata Pak Arif.

“Apa maksudmu Rif?” tanya Banyu heran.
“Kita sedang menghadapi masalah gaib, aku tidak berani mengatakan kalau semua akan berjalan dengan mudah, pasti akan ada halangan entah apa itu” jelasnya sambil menyulut kembali rokok yang sedari tadi mati.

“Seperti kejadian yang kalian lalui semalam, mungkin sosok Gendiswari saat ini sedang berada di Alas Lali Jiwo, tapi bisa saja kita bertemu dengan sosok yang lebih ganas lagi.

Jadi aku peringatkan kalian untuk tetap selalu waspada dan ikuti semua arahan yang kuberikan” ujar Pak Arif tegas.

Mendengar itu, mereka semua terdiam... mungkin hanya Bima yang sedikit tenang. Karena dia sudah mengalami hal yang luar biasa diluar nalar.

Tapi bagaimana dengan Bapak dan Pakdhenya, mereka mungkin malah belum pernah mengalami kejadian yang extrem dalam hidupnya, yang berhubungan dengan dunia gaib.

“Bagaimana kalian siap? Kalau tidak biar aku dan Bima saja yang pergi” sekali lagi Pak Arif bertanya kepada mereka berdua.
“Ini semua untuk keselamatan anaku, justru aku yang seharusnya bertanggung jawab dengan semua ini, bukan malah Bima” kata Pakdhe dengan suara yang sedikit meninggi. Tersenyum Pak Arif mengangguk mendengar jawaban dari Pakdhe Wawan.

“Desa Linguwar ini, sepertinya masuk ke pedalaman” ucap Banyu yang sembari melihat Hp yang ada ditangannya.
“Beberapa sumber yang kulihat juga banyak hal aneh yang terjadi disana” lanjutnya dengan mengangkat kepala menatap mereka semua.

Bima yang mendengar itu hanya terdiam, sedari tadi pikirannya terus melayang kearah Mbak Maya. Entah apa yang akan terjadi, tapi ada sesuatu yang membuat hatinya resah. Dia beranjak, ingin melihat kondisi sepupunya tersebut. Berjalan dia menuju kamar Maya.

Pelan dia membuka pintu kamar sepupunya, benar saja Mbak Maya saat ini sedang duduk dipinggiran kasur, kondisinya masih tetap sama, tatapannya kosong seperti orang sedang melamun.
“Mbak...” ucap Bima mendekati Maya.

“Mbak Maya ngapain” ucap Bima yang sudah duduk disebalahnya. Menengok kearah Bima...
Maya berbisik, “tolong aku Bim, aku takut” ucapnya lirih.

“Aku sudah sedari kemarin diajak pergi oleh wanita itu Bim” lanjutnya. Heran dengan perkataan sepupunya, siapa yang mengajaknya pergi. Apa Gendiswari datang kembali kesini lagi, kerumah ini.

“Siapa Mbak?” Bima mencoba bertanya,
“mereka Bim, mereka Bim...” jawab Mbak Maya sambil menunjuk kearah sudut kamarnya.
Bima menengok kearah dimana Maya menunjuk tapi tidak ada apapun disana, kalaupun ada demit disekitar mereka, pasti Bima sudah bisa langsung merasakan hal tersebut. Tetapi kondisi kamar Mbak Maya saat ini benar-benar terlihat tenang.

“Sekarang istrihat ya Mbak, nanti kita cari cara biar kamu bisa seperti dulu lagi” ucap Bima yang mulai beranjak dari sisi ranjang yang sedari tadi ia duduki.

“Seloso kliwon wes cerak, Sanggar Pati bakal rame” (Selasa kliwon sudah dekat, Sanggar Pati akan ramai) ucap Mbak Maya tiba-tiba. Menoleh... Bima terkesiap mendengar ucapan sepeupunya barusan, batinnya benar-benar tidak enak. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?.

Bima setengah berlari menuju tempat para orang tua dibelakang rumah.
“Kenapa Bim?” ujar Sekar saat melihat Bima terburu-buru melangkah kearah mereka. Segera Bima menceritakan apa yang terjadi didalam kamar Maya.

Sontak Budhe berdiri dan segera berjalan menuju kamar tersebut, dia pikir Maya sudah bisa diajak bicara.

“Serius kamu Bim?” ujar Pak Arif cemas. Dia sendiri tidak mengerti maksut dari perkataan Maya, tapi ada sesuatu yang membuat batinnya bergejolak. Sanggar Pati memang tempat yang menakutkan, disanalah semua penghuni Alas Lali Jiwo berkumpul.

Jika memang benar berarti ritual sendang pitu... semoga dugaannya salah. Dia berharap dugaannya salah.
“Kenapa pak?” tanya Bima yang melihat kepanikan diwajah Pak Arif, Banyu dan Wawan yang sedari tadi memperhatikan tidak paham dengan maksut mereka.

“Kita tidak punya banyak waktu lagi, ada yang aneh, segera kita harus mendapatkan air sendang pitu” ujar Pak Arif yang kini bangkit dan berjalan kearah kamar Maya.

Pikiran Pak Arif kalut, apa yang sebenarnya terjadi... seharusnya tidak ada sosok yang bisa memasuki raga Maya, karena saat ini kamar dan tubuhnya sudah ia pagari dengan gaib.

Dia sudah sampai di depan pintu kamar anak temannya itu. Semua orang mengikuti dibelakangnya sedari tadi. Saat pintu dibuka suasana masih tetap sama, Budhe yang ada disampingnya terlihat kecewa karena Maya kembali tertidur seperti malam sebelumnya.

“Bim, ikut aku...” ujar Pak Arif berjalan menuju taman belakang rumah, Bima menurut tanpa memberikan pertanyaan apapun.
“Ini semua aneh Bim, tidak biasanya seperti ini, seharusnya tidak ada sosok yang bisa merasuki Maya” ucap Pak Arif cemas.

“Bima tidak melihat satupun sosok saat tadi berada didalam kamar Mbak Maya Pak, mungkin itu memang Mbak Maya yang bicara” ujarnya.

“Kalau kemungkinan ada sesuatu diluar kehadiran Gendiswari yang membuat sukma Maya terperangkap didua alam...” kata Pak Arif yang tiba-tiba berhenti dan menghembuskan nafas panjang.

Bima diam menunggu apa yang ingin dikatakan oleh Pak Arif, namun setelah beberapa saat tidak ada kelanjutan dari ucapannya barusan.

“Terus bagaimana Pak?” ucap Bima memecahkan keheningan.
“Sendang Pitu, Simbah meminta ku untuk membawa air dari sendang pitu untuk menyempurnakan sukma Maya” ucap Pak Arif,

“kita harus segera mengambil air itu, aku takut ada sesuatu yang lain yang sedang terjadi saat ini, kamu beristirahatlah sebentar. Sore ini kita akan melakukan perjalanan lagi” lanjut Pak Arif.

Bima tidak protes, dia beranjak menuju kamarnya, hanya dikamarnya dia merasakan ketenangan dan bisa berfikir dengan jernih.
“Kenapa Simbah meminta untuk mengambil air sendang pitu” batin Bima.

Otaknya begitu keras berfikir tapi, tidak ada jawaban yang dapat ia temukan mengenai sendang pitu dan hubungannya dengan kondisi Maya saat ini.

“Sendang pitu kui muk ana siji le, dudu pitu” (Sendang pitu kui cuma ada satu nak, bukan tujuh) terdengar suara familiar ditelinga Bima, “Simbah...” ujar Bima terkesiap langsung duduk dari tidurnya.

“Golek ana sendang sek dijogo pitu punggowo, ora gampang, tapi yo ora angel” suara itu kembali muncul dibarengi munculnya Kromosengkono disamping Bima.

“Mbah...?” ucap Bima saat melihat sosok penjaganya,
“Kromosengkono bakal melu koe golek banyu sendang iku” (Kromosengkono akan ikut kamu mencari air sendang itu) ucap suara Simbah, sosoknya benar-benar tidak bisa dilihat Bima, namun Kromosengkono mengangkat tangannya memberikan gesture sungkem dan mengangguk.

“Sak iki wes ora iso main-main maneh cah, dulur mu wes dienggo ritual kanggo buka Sanggar Pati” (Sekarang ini sudah tidak bisa main-main lagi cah, saudaramu sudah dipakai untuk membuka ritual untuk membuka Sanggar Pati) ujarnya.

“Pripun Mbah? Kulo mboten paham maksud e panjenengan” (Gimana Mbah, saya tidak paham maksud perkataanmu).

“Banyu sendang pitu sek iso gawe sukmane dulurmu balik neng ragane, sak iki ora mung Gendiswari sek ngincer sukmane bocah kui”

(Air sendang pitu yang bisa membuat sukma dari saudaramu kembali ke raganya, sekarang tidak hanya Gendiswari yang mengincar sukma dari anak itu) ucapnya dengan suara menggeram.

Mendengar hal itu, Bima segera keluar kamar. Dia mencari keberadaan Pak Arif, dilihatnya mereka bertiga sedang duduk ditaman belakang rumah.
“Pak ada sesuatu....” ucap Bima.
“Kenapa Bim?” tanya Pak Arif heran.

“Sendang pitu bukan berarti tujuh sendang, Simbah baru saja memberi tahu sesuatu, kita diminta untuk mencari sendang yang dijaga tujuh punggowo” Jelas Bima.

Menepukan tangan ke jidadnya, Pak Arif kali ini benar-benar khawatir ketakutannya benar-benar terjadi. Dia ragu untuk membawa Banyu dan Wawan. Memang tidak ada yang kebetulan, entah Banyu yang diarahkan mendapatkan informasi tersebut atau memang ini sebuah takdir yang m harus mereka jalani. Sendang pitu yang dimaksud ternyata adalah sendang kaputren yang benar berada di dusun Linguwar.

“Kenapa Rif?” ujar Pakdhe Wawan yang memperhatikan Arif,
“Disatu sisi kita beruntung karena kita bisa langsung tau diamana sendang itu berada, tapi disisi lain.

Sendang yang akan kita kunjungi merupakan sebuah area keramat yang benar-benar dikeramatkan oleh penduduk Desa Linguwar” jelas Pak Arif.

“Bagaimana kamu bisa tahu, dan apa maksud dari dijaga tujuh punggowo?” kini Banyu yang bertanya, kepalanya silih berganti menatap Bima dan Arif.

Dia benar-benar sebal saat ini, keterbatasan informasi yang dimilikinya membuat seolah dia tidak bisa memutuskan apa yang harus dilakukan.

“Punggowo pitu, yang berarti tujuh penjaga, dan sosok penjaga itu menurut cerita yang kudapat tidak akan dengan mudah memberikan air yang kita maksud” kata Pak Arif yang kali ini sudah bersandar di kursi sambil memegangi kepalanya.
“Kenapa jadi seruwet ini” batinnya.

“Ya kita tinggal ambil saja airnya terus pulang, bukannya kita... kita hanya butuh air dari sendang itu agar supaya nyawa dari Maya bisa diselamatkan” ucap Banyu.

Benar juga pikir Bima, kenapa tidak ambil saja airnya terus pulang, kenapa Pak Arif terlihat begitu pusing dan khawatir?

“Kalau kamu mau memasak air untuk diminum agar rasa hausmu hilang bisa dicoba, tapi jika kita membicarakan soal sukma yang sudah terjebak beberapa waktu dialam mereka itu berbeda... jika sisir itu tidak memiliki energi dari Gendiswari, tentu disana sisir itu tidak akan berguna sama sekali” ucap Pak arif.

“Jadi kita harus memberikan air dari sendang itu di Alas Lali Jiwo?” tanya Bima, perlahan masalah pelik ini mulai terbuka, walau masih banyak segudang misteri yang masih harus mereka pecahkan.

“Benar, energi dari mereka yang membuat kita bisa membawa sesuatu kealam mereka, bukan hanya sekedar mengambil air dan diminumkan ke Maya, lantas tiba-tiba dia akan terbangun” jelas Pak Arif.

Pakdhe yang mendengar itu menampilkan wajah murung, tidak tau kenapa dia merasa bahwa ini benar-benar diluar kendalinya.

Namun apapun yang yang terjadi dia akan tetap mengikuti arahan yang diberikan oleh Arif, dia sudah benar-benar percaya dengan teman seperjuangannya sedari kecil.

“Kromosengkono juga bilang, kalau kali ini bukan hanya sosok Gendiswari yang mengincar sukma dari Maya” kata Bima dengan memandang lekat Pak Arif.

“Itulah Bim, kamu tau sendiri semalam, bagaimana sosok penghuni Alas Lali Jiwo tiba-tiba muncul, tidak disangka ternyata kita diarahkan menuju ke Alun-alun mereka, dengan ini semua pasti ada sesuatu yang lain” jawab Pak Arif.

“Bima heran Pak, kenapa simbah tidak menolong secara langsung dan hanya memberikan kita petunjuk-petunjuk, Bima takut jika kita salah mengartikan ini semua” ujar Bima yang sedari semalam memikirkan kenapa tidak Simbah sendiri yang menolong Maya jika memang dia sosok yang dituakan disana.

“Ada batasan di alam mereka Bim, tidak semua bisa dilakukan semaunya, aku yakin pasti ada hikmah dibalik semua ini. Cuma aku sendiri juga belum tau secara pasti apa maksud dari rentetan kejadian ini” kata Pak Arif.

“Bisakah aku ikut pergi bersama kalian ke dimensi Astral?” ucap Pakdhe tiba-tiba. Mendengar itu Pak Arif tercengang, mungkin baginya bisa membawa sukma dari temannya itu.

Tapi bagaimana dengan resiko yang harus dia hadapi nantinya. Menggeleng Pak Arif menolak menjawab pertanyaan tersebut.

***

Waktu sepertinya bagai berlari, tiba-tiba saja sore sudah datang. Semua laki-laki yang ada dirumah itu sudah bersiap, dengan terpaksa kali ini Bima harus izin beberapa hari dari sekolahnya.

Sungguh dia rindu menjadi “normal” tanpa harus memikirkan segala sesuatu yang tidak pasti seperti ini.
“Berapa jam kira-kira kita sampai di Desa itu?” tanya Wawan menatap kearah Banyu.
“4 atau 5 jam sepertinya” ucapnya sambil melihat GPS yang sedari tadi dia amati.

Desa Linguwar benar-benar berada di kaki Gunung Lingga, bisa diprediksi jalanan yang mereka lalui juga tidak semulus jalanan perkotaan.

“Ingat jika memang ada sesuatu yang tidak beres, lebih baik kalian tidak melakukan apapun, ikuti semua arahan yang kuberikan” ucap Pak Arif yang sedari tadi diam seolah sedang memikirkan sesuatu.

“Bim, kali ini aku tidak hanya menjagamu, sebisa mungkin kamu gunakan batinmu untuk mendeteksi jika ada sesuatu yang gaib mendekat, bisa kan?” lanjutnya saat tengah menatap Bima.

Mengangguk Bima mengerti, perlahan dia tau bagaimana caranya menggunakan kemampuan yang ada didalam dirinya untuk mendeteksi makhluk astral.
“Kita berangkat sekarang?” tanya Pakdhe Wawan.

Mereka semua berdiri, Sekar dan Yanti berjanji akan selalu mengabari kondisi mereka dirumah, jika ada sesuatu yang terjadi mereka akan langsung meminta bantuan tetangga atau satpam komplek.

Ada raut khawatir yang muncul dari diri mereka saat melihat Bima dan yang lainnya masuk kedalam mobil.

Perjalanan menuju desa Linguwar ternyata cukup jauh mereka harus melewati alas tengah untuk bisa masuk kewilayah tersebut. Jantung Bima mulai berdebar kencang lagi, ingatan demi ingatan muncul kembali dikepalanya.

Kejadian di Alas Lali Jiwo benar-benar merubah sudut pandangannya tentang hidup dunia ini.
“Setelah ini apa lagi” batinnya sambil melihat langit yang mulai menghitam.

“Aneh, rasanya mobilnya berat banget” ujar Pakdhe Wawan.
“Sudah jangan putus zikir, kita semua sedang diawasi oleh mereka” ucap Pak Arif, tidak betah dia membuka kaca jendela dan mulai menghidupkan sebatang rokok. Tidak ada jawaban dari mereka semua, kembali Pakdhe fokus dengan jalanan.

“Seperti apa Pak sosok punggowo yang menjaga sendang pitu?” tanya Bima yang duduk disebelah Pak Arif.
“Aku sendiri belum pernah bertemu dengan mereka Bim, sebisa mungkin aku menghindari tempat tersebut, terlebih memang banyak rumor yang berkembang bahwa disana sering dilakukan ritual penumbalan” jawabnya.

Bima berfikir sejenak, dia ingat saat melihat masalalu dari Gendiswari yang menampilkan sosok Arum... tiba-tiba batinnya terkesiap apa ada hubungannya dengan Desa yang akan mereka kunjungi.

“Waktu Bima melihat masalalu dari Gendiswari, disana Bima juga melihat kalau ritual yang dilakukan diarea sendang Pak” ucap Bima.
“Kapan kamu melihat itu semua Bim?” tanya Pak Arif bingung.

“Waktu Sanggar Pati saat sebelum Bima dikuasai Cempoko Kuning, Bima melihat masa lalu dari Gendiswari saat mencari ingon-ingon untuknya” jawab Bima.

“Kenapa kamu tidak cerita Bim” ucap Pak Arif yang kali ini melihat kearah Bima, Banyu dan Wawan yang mendengar itu diam tidak bersuara, tidak ada yang harus mereka katakan.

Kembali Bima menceritakan apa yang sudah dia lihat, bagaimana dia bertemu dengan sosok Arum yang dikelabuhi oleh sosok Gendiswari.

“Itulah pak yang Bima pikirkan, apakah ini semacam petunjuk atau... Bima yang mencoba mencocokan semuanya?” ucap Bima. Tidak menjawab pertanyaan Bima, justru malah Pak Arif melontarkan pertanyaan.

“Apa kamu melihat bagaimana ritual itu dimulai Bim?” tanya Pak Arif.
Mengangguk Bima mengatakan kalau dia melihat Arum masuk kedalam sendang dan berendam membasuhi semua badannya... setelah itu dia diberikan sirsir, dia diminta untuk mencari darah perawan untuk dijadikan persembahan dimalam selasa kliwon.

“Ada sesuatu yang mengganjal dihati Bima Pak” ucap Bima saat sudah selesai menceritakan apa yang dia lihat.
“Apa itu Bim?” tanya Banyu sebelum yang lainnya sempat menjawab, sedari tadi dia diam menikmati cerita anak laki-lakinya, ada rasa bangga tapi juga rasa khawatir yang muncul didalam dirinya.

“Sumpah yang diucapkan Arum, Ambu Mayit” ucap Bima datar. Dyaarrrrr....
Tiba-tiba terdengar suara letusan yang cukup kencang... ban mobil meletus saat Bima mengucapkan kata terakhir itu... Kaget... serentak mereka mengucap Asma Allah,

“Kenapa Wan?” tanya Pak Arif saat sudah cukup tenang.
“Tidak tau, tiba-tiba bannya meletus” jawab Pakdhe bingung.
Untung saja kecepatan mereka tidak kencang, sehingga mobil hanya sedikit oleng.

Mereka semua turun dan memeriksa, benar saja Ban mobil belakang kempes seperti ada sesuatu yang merobeknya. Dilihat jalanan disekitar mereka juga tidak ada benda tajam. Segera Pakdhe mengambil ban serep dan mengganti sesegera mungkin.

Sementara itu, Bima merasakan ada sesuatu yang berbeda, suasana tiba-tiba terlihat sangat menyeramkan. Dilihatnya jalanan begitu sepi, kanan kiri jalan hanya berupa pohon pinus.

“Biarkan Bim, tidak usah kamu hiraukan, mereka hanya menggoda kita” ucap Pak Arif yang sudah berdiri disamping Bima. Asap rokok terlihat mengepul dari mulutnya, sedang Banyu dan Wawan masih berkutat dengan ban mobil yang pecah.

“Setelah ini kita istirahat dulu sebentar, sepertinya istri kalian tadi membawakan kopi hitam panas” kata Pak Arif saat melihat peluh yang sudah membasahi dahi Wawan.

Sebenarnya dia tahu kalau perjalanan cukup jauh, tapi ada sesuatu yang mengganjal didalam dirinya, seperti ada yang sedang menghadang mereke didepan.

“Berasa liburan ya Rif” sindir Banyu, dia tau pasti ada sesuatu yang membuat Arif memutuskan untuk istirahat sebentar, sedang pakdhe Wawan sedari tadi hanya diam, tampak dirinya sedang memikirkan sesuatu.

“Setelah ini biar aku saja yang menyetir, takutnya nanti kalian kaget jika ada sesuatu yang muncul didepan kaca mobil” ujarnya sambil menyeruput kopi hitam yang dibawakan dari rumah.

“Terserah kamu saja Rif, aku hanya ingin segera menyelesaikan ini semua, dan kembali melihat anak ku seperti dulu lagi” ucap Pakdhe Wawan, mendengar itu Pak Arif mendekat kearahnya dan mengajak Pakdhe bicara berdua.

Sedang Banyu dan Bima saat ini berdiri tidak jauh dari mereka. Melihat keatas Bima tersenyum, bulan sedang sedang menampakan sinarnya.
“Favorit kamu Bim?” ucap Banyu saat melihat Bima tersenyum memandangi langit,

“Dulu kalau kamu rewel malem-malem Bapak ajak keluar melihat malam, kamu langsung diam, sekarang anak Bapak uda besar ya” ucap Banyu.

“Bima selalu suka melihat bulan disaat malam seperti ini pak, rasanya begitu tenang” kata Bima yang masih mendongakan kepalanya.

Bunyi suara korek terdengar ditelinga Bima, menandakan kalau Bapaknya saat ini sedang menghidupkan sebatang rokok.
“Bapak, bangga sama kamu Bim” ucap Banyu memperhatikan lekat-lekat anak semata wayangnya.
“Bangga karena apa pak? Karena Bima bisa melihat mereka?” tanya Bima.

Tersenyum Banyu mejawab, “Bangga karena kamu rela melakukan ini semua untuk orang lain” ujarnya
“Kadang Bima masih takut pak, apalagi semenjak kejadian semalam”

“Percayalah Tuhan selalu bersama hambanya yang yakin akan kebesarannya, apa yang kamu lakukan saat ini sesuatu yang baik. Bapak yakin pasti nanti kamu akan bisa melewati ini semua” ucapnya sambil mengelus kepala Bima, hal yang jarang sekali ia lakukan.

Ada setitik penyesalan, selama ini dia selalu sibuk bekerja sampai kadang lupa memberikan perhatian kepada anaknya itu.

Angin tiba-tiba berhembus dengan kencang, Bima merasakan ada sesuatu yang mendekat kearah mereka, begitu juga Pak Arif. Dia langsung meminta untuk masuk kedalam mobil dan melanjutkan perjalanan.

Perjalanan kembali dilakukan, kali ini mereka sudah benar-benar masuk area pedalaman, memang jalan yang mereka lalui masih beraspal, tapi tidak ada satupun rumah atau penerangan yang mereka jumpai.

“Cahaya apa itu Rif?” ucap Pakdhe Wawan yang duduk disebelah Pak Arif. Bima yang melihat cahaya itu juga kaget, dia pernah melihat beberapa kali semburat cahaya merah itu. Bagaimana mungkin sosok itu sekarang sedang berada disini.

“Tutup mata mu jika takut dengan apa yang kamu lihat Wan” ucap Pak Arif yang malah melambatkan laju mobil yang dia kendarai.
“Banaspati” ucap Bima tiba-tiba.

“Benar Bim, Banaspati, apa yang dia lakukan disini?” ucap Pak Arif, kini dia menghentikan laju mobil dan berjalan kearah cahaya merah yang menghalangi jalan mereka.

Bima yang melihat itu juga ingin ikut turun tapi dicegah oleh Banyu, beberapa saat terjadi perdebadan diantara mereka, akhirnya Bima mengalah dan duduk didalam mobil sedang saat ini Pak Arif terlihat berdiri didepan kobaran api yang berbentuk bola.

Entah apa yang dibicarakan mereka, Bima tidak tau... ingin sekali rasanya mendekat dan mengetahui kenapa Banaspati meninggalkan Alas Lali Jiwo dan malah berada disini.

Sosok kobaran api itu tiba-tiba meluncur keatas dengan cepat, Bapak dan Pakdhe yang melihat itu semua langsung berulang kali menyebut Asma Allah. Bima yang menyadari keanehan ini justru malah dilanda khawatir. Dilihatnya Pak Arif kembali berjalan menuju mobil.

“Kenapa Pak? Kenapa Banaspati ada disini?” tanya Bima sebelum sempat yang lain bertanya. Tidak menjawab justru Pak Arif menghidupkan sebatang rokok.
“Rif...?” ucap Pakdhe.

“Aku awalnya berfikir, kalau Banaspati keluar dari Alas Lali Jiwo, ternyata aku... bukan dia yang keluar, melainkan kita yang masuk ke Alas Lali Jiwo” menoleh kearah Wawan, Pak Arif tersenyum kecut,
“Keinginanmu terwujud Wan”.

“Tunggu... Apa maksudnya Rif?” ujar Banyu sambil memastikan Hp yang ada ditangannya.

“Tanpa sadar kita diarahkan masuk kedalam dimensi Astral, Sendang Pitu.

Awal Ritual sudah dimulai, waktu kita tidak banyak, sekarang bukan hanya jiwa kita yang pergi ke Alas Lali Jiwo tapi raga kita juga masuk kedalamnya” jelas Pak Arif, terlihat kepanikan kini mulai muncul diwajahnya yang mulai berkerut.

“Lalu apa yang harus kita lakukan?” kali ini suara Pakdhe juga terlihat panik,
“Jangan jauh-jauh dariku, menjaga 1 satu aku sudah kuwalahan apalagi harus menjaga 3 orang, jika kita tidak segera menemukan sendang itu, kita yang akan terjebak selamanya disini.

Panggil penjagamu Bim, dia akan menuntun kita untuk bisa segera menemukan sendang itu” tegas Pak Arif.

Mengerti, Bima segera memanggil Kromosengkono.

Brukkkk...
“Astaghfirulloh” ucap Banyu kagett. Terdengar suara benda jatuh menimpa atap mobil, Bima tau itu sosok Kromosengkono yang sudah hadir.

“Metuo” (keluarlah) terdengar suara geraman yang Bima kenal. Segera Pak Arif dan Bima keluar, sedang Banyu dan Wawan masih ragu meninggalkan tempat duduk mereka.

Benar saja, sosok kromosengkono sudah duduk diatap Mobil dengan bersila, sosoknya yang besar dan berwajah mengerikan membuat mental dari Banyu dan Wawan mengecil. Sadar betapa mengerikan dunia yang mereka masuki kali ini.

“Yen aku ra jogo koe-koe mesti wes do bakal mati” (kalau aku tidak menjaga kalian pasti sudah akan mati) ucapnya menggeram. Teringat dengan ban meletus tadi Bima tersenyum simpul.

“Sendang Pitu ora adoh meneh” (sendang pitu sudah tidak jauh lagi).
“Sek aku arep takon, kenopo malah awak dewe digowo neng kene?” tanya Pak Arif lantang.
“Kakean omong koe cah. Geni sek wes diurupke bakal dadi gede, yen pengen kabeh rampung lakoni opo sek kudu dilakoni”

(banyak bicara kamu. Api yang sudah dihidupkan akan membesar, kalau ingin segera selesai lakukan apa yang harus dilakukan) bentak Kromosengkono kepada Arif.

Suara yang ditimbulkan oleh Kromosengkono menggema disekitar mereka, ketakukan benar-benar menyelimuti Banyu dan Wawan kali ini, nyali mereka seketika menciut.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close