Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

CERITA TENTANG MEREKA (Part 12) - Ki Ganang


Ki Ganang

“Ayo, kita harus segera sampai ke sendang pitu” ucap Pak Arif yang meminta mereka untuk bergegas mengikutinya.

Mereka berjalan mengikuti jalan setapak masuk kedalam hutan, arahan dari Kromosengkono jelas kalau Sendang Pitu berada di sisi lain Alas ini. Beberapa kali Pakdhe menengok kearah mobilnya.

“Sudah kita pikirkan itu nanti, setelah anakmu selamat baru kita pikirkan mobil itu” ucap Banyu yang melihat Pakdhe selalu menengok kearah belakang.

“Bukan itu, tapi dari tadi aku merasa ada yang mengikuti kita” ujarnya. Mendengar itu Bima berhenti dan menengok kebelakang, kaget dengan apa yang dilihat, dia bergegas berjalan kembali.

“Kenapa Bim?” tanya Banyu,
“enggak Pak, jangan nengok kebelakang lagi ya...” ucap Bima sambil melangkah cepat mendekati Pak Arif, dia melihat sekawanan pocong dengan bentuk rupa yang mengerikan sedang mengikuti mereka.

“Aku sudah bilang, untuk jalan terus jangan hiraukan mereka” tegas Pak Arif. Sedari tadi sebenarnya dia juga tau kalau ada yang mengikuti langkah mereka, tapi saat ini... itu tidak penting, dia sedikit tenang karena Kromosengkono juga hadir dan ikut menemani perjalanan ini.

“Rif,...?” panggil Banyu heran, karena saat ini langkah kaki Pak Arif tiba-tiba berhenti.

“Tidak apa-apa kita lanjut” ucapnya...

Dia kembali melangkah. Bima tau tadi Pak Arif melihat ada banyangan wanita didepan mereka, mirip sekali dengan sosok Gendiswari.

Mencoba tenang Bima juga ikut berjalan kembali mengikuti Pak Arif yang sudah ada didepannya.

“Apa didunia mereka, memang sepi ya Rif?” tanya Pakde Wawan.

“Beruntung, jika ramai justru malah membahayakan diri kita” jawab Pak Arif tanpa menoleh sama sekali.

“Aku penasaran, bagaimana mungkin ada sendang yang sama, didunia kita dan dunia mereka?” ucap Pakdhe. Pak Arif berhenti lagi, dia menoleh kebelakang menghadap kearah teman-temannya dan Bima.

“Ibarat cermin, kamu bisa melihat dirimu sendiri dari pantulan yang diciptakan oleh cermin itu, itu juga berlaku untuk tempat, orang dan yang lainnya” ucapnya sambil menghidupkan sebatang rokok.

“Maksudnya?” Banyu dan Wawan heran dengan jawaban yang diberikan oleh Arif, sedang Bima paham. Segala sesuatu yang ada didunia ini adalah pantulan, tidak ada yang sama persis tapi ada kemiripan, sama halnya dengan saat kita bercermin.

“Pernah kalian mendengar cerita kalau ada sosok astral yang menyerupai seseorang?” mengangguk mereka berdua ingat dengan cerita Bima tentang bagaimana sosok Gendiswari yang mencoba mengelabuhi Bima dengan menjadi sosok Budhe dan yang lainnya.

“Nah, itu juga bisa berlaku untuk tempat, benda atau yang lainnya. Tipu daya mereka sungguh luar biasa, dan sekali lagi... aku peringatkan kepada kalian untuk tidak mudah percaya dengan apa yang kalian lihat, dengar dan rasakan saat berada disini” jelasnya.

Bima yang mendengar itu kembali lagi teringat dengan kejadian yang dilaluinya, memang benar segala macam analisis atau perkiraan bisa saja salah dan logika sudah tidak berlaku lagi jika kita sudah berhadapan dengan perkara gaib.

Banyu dan Wawan paham meski masih banyak pertanyaan diotak mereka, tapi tidak ada pertanyaan lebih lanjut. Saat ini yang lebih penting adalah mendapatkan air sendang pitu untuk bisa segera menyembuhnya Maya.

Kembali mereka berjalan, jauh lebih masuk kedalam hutan. Seharusnya tanpa penerangan mereka tidak bisa melihat jalan setapak karena malam yang begitu pekat.

Tapi anehnya semakin mereka masuk kedalam hutan, semakin langit terlihat seperti waktu magrib bukan mendung tapi bukan pula berwarna jingga.

Pak Arif berhenti lagi, berbalik badan dan menaruh jari telunjuknya didepan bibir, mereka tau itu isyarat untuk diam. Sayup-sayup Bima mendengar suara keramaian didepannya,
...

“Desa Ambu Mayit” suara Kromosengkono masuk kedalam telinga Bima. Seketika Bima merinding saat mendenar nama Desa yang ada didepannya. Keringat mulai menetes dibalik tubuhnya, ingatan tentang sumpah yang diucapkan oleh Arum kembali muncul menggelayuti hati dan pikiran Bima.

“Dengar, jangan berisik, jangan menyapa, dan jangan kaget” bisik Pak Arif kepada mereka semua.

“Desa Ambu Mayit” ucap Bima lirih, mendengar itu sontak mereka bertiga menoleh kearah Bima.

“Desa Ambu Mayit?” tanya Banyu tak kalah pelan.
“Tak tahukah kalian kalau Desa Linguwar juga disebut sebagai Desa Kematian?” tanya Pak Arif, menggeleng mereka bertiga tidak tahu tentang istilah itu.

“Kalian... Banyu dan Wawan, aku yakin hidup kalian pasti begitu membosankan” ucap Pak Arif yang masih sempat mengejek kedua temannya.

Sedang Bima sedari tadi mengamati Desa yang ada didepannya. Dia tahu ada sesuatu yang berbaya, batinnya menginginkan untuk tidak masuk ke daerah itu.

“Seperti yang kubilang, di Desa Linguwar ada satu sendang yang benar-benar dikeramatkan oleh penduduknya, di alam kita sering dilakukan penumbalan dengan dalih untuk menolak bala.

Ini hanya rumor aku sendiri tidak pernah mencari tau dan tidak mau tau, tapi sekarang jika kita beruntung kita akan tau kebenaran dari Desa tersebut dari sisi yang lainnya” ucap Pak Arif.

“Hati-hati Bim, mereka hanya jiwa yang terbelenggu ditempat itu, tapi tidak dengan si penjaga... hati-hati dengannya” sekali lagi suara Kromosengkono muncul ditelinga Bima, dia tidak tahu apakah Pak Arif juga mendapatkan bisikan seperti itu atau tidak, tapi dari raut wajahnya yang waspada...
Bima cukup yakin kalau dia juga merasakan hal yang sama dengan dirinya saat ini.

“Apa tidak ada jalan lain menuju sendang tanpa melewati desa ini pak?” tanya Bima, dia benar-benar ragu untuk memasuki Desa itu, batinnya benar-benar menolak.

“Lihat disekitarmu dengan seksama Bim,” ucap Pak Arif.

Bima mengedarkan pandangannya, matanya membulat saat ini mereka benar-benar seperti dikepung oleh sesuatu yang diluar nalar manusia. Sosok-sosok penunggu Alas Lali Jiwo yang pernah dia temui mulai bermunculan kembali.

“Pilihannya, kita menghadapi mahluk-mahluk itu atau masuk ke dalam Desa” katanya.
“Bagaimana kamu yakin ini desa yang dimaksud Rif?” kini Pakdhe bertanya,

Benar bagaimana jika Desa yang ada didepannya bukan Desa yang mereka maksudkan, melainkan Desa lain yang malah bisa menghantarkan mereka menuju keabadian.

“Tidakkah Simbah sedari tadi memberitahu mu Bim?” ucapnya heran, menggeleng...
Bima mengatakan kalau dirinya tidak mendapatkan arahan apapun untuk menuju kesana, hanya wejangan-wejangan yang diberikan oleh Kromosengkono untuk terus berhati-hati.

Pak Arif terdiam, dia malah ragu sekarang dengan apa yang didengarnya. Sejurus kemudian ia langsung duduk bersila, Bima tau dia sedang mencoba untuk berkomunikasi dengan sesuatu dan memastikan apakah jalan yang akan dilalui mereka benar atau tidak.

Hembusan angin dingin mulai menerpa wajah mereka, sensasi yang biasa Bima rasakan ketika ada sosok yang datang mendekat. Benar saja Kromosengkono tiba-tiba hadir dengan berjalan mendekati mereka, awalnya dia menyangka kalau itu bukan sosok penjaganya namun ketika sudah dekat jelas sekali dari bentuk dan energinya itu adalah sosok Kromosengkono.

“Tangi Rif, bener iki dalan e, ojo sumelang. Yakin marang Gusti” (Bangun Rif, benar ini jalannya, jangan khawatir. Yakin dengan Tuhan) ucapnya.

Membuka mata, Pak Arif bangkit, sekali lagi dia melihat kearah Desa. Dengan mengucapkan Basmallah, dia memantapkan langkahnya memasuki Desa itu.

Banyu dan Wawan, mereka benar-benar merasa ngeri dengan apa yang mereka lihat. Pakdhe sendiri semakin khawatir dengan keadaan anaknya, gesture itu terlihat sekali dari raut wajahnya yang sudah mulai berkeriput.

“Mantapkan diri kalian, jangan kalah dengan Bima” ujar Pak Arif tiba-tiba.

Desa itu kini terasa begitu sepi, padahal tadi Bima dengan jelas mendengar suara keramain seperti sedang berada di pasar.

Tetapi ketika mereka semua memasuki Desa... suara keramaian itu lenyap seketika, digantikan dengan kesunyian yang menggerikan. Bahkan saking sunyinya Bima seperti mendengar detak jantung dari laki-laki yang berada di sisi kanan kirinya saat ini.

Bima mengedarkan pandangannya... “mirip sekali dengan Desa yang pernah aku lihat” batin Bima.
Belum sempat Bima bertanya tiba-tiba saja...

Bruukkkkk... Pak Arif terpental beberapa meter dari tempatnya berdiri. Bima dan lainnya panik segera berlari menuju Pak Arif.

“Lungo opo mati” (pergi atau mati) terdengar suara menggelegar dari sekeliling mereka.

Bima mencoba berkonsentrasi untuk melihat siapa sosok yang melakukan ini semua,
“Buahahahaha bocah bocah...” ucapnya malah tertawa saat mengetahui Bima sedang mencoba mencarinya.

Kini didepan mereka sudah hadir, sosok laki-laki tua dengan tongkat yang digunakan untuk menyangga tubuhnya, mirip seperti Simbah tapi dia memiliki tanduk kecil dan ekor panjang layaknya seekor monyet.

“Opo pengenmu?” (apa maumu?) ucapnya menyeringai memperlihatkan taringnya yang tajam.

“Ngapunten Mbah, ka-kami mau ke sendang pitu” ucap Bima, dia tidak bermaksud untuk mengatakan itu secara gamblang tapi rasa takut akan aura dan tatapan yang diberikan oleh Kakek tersebut membuat Bima secara spontan mengatakan itu semua.

“Sendang pitu? due urusan opo koe neng kono, kewanen koe bocah” (sendang pitu? punya urusan apa kamu ke sana, nekat kamu bocah) ucapnya masih dengan berdiri memandangi mereka semua.

Pak Arif masih mencoba untuk menyembuhkan lukanya, Bapak dan Pakdhe juga tidak tahu harus berbuat seperti apa.

“Bocah iki, diutus kanggo medot ritual Sanggar Pati” suara geraman muncul dari sisi belakang Bima. Sosok Kromosengkono sudah hadir diantara mereka...
“Buahahaha Sanggar Pati?” tawanya menggelegar.

“Tak kei pilihan, oleh lewat tapi tinggal siji” (saya kasih pilihan, boleh lewat tapi tinggal satu)

“Mlayuo tak adange Ki Ganang” (larilah aku akan menghadang Ki Ganang) terdengar jelas suara Kromosengkono di batin Bima.

“Pilihan? Pilihan hahahah.... sopo koe wani ngenei pilihan?” (pilihan? Pilihan hahahah... Siapa kamu berani memberikan pilihan?) ejek Kromosengkono yang mulai bersiap-siap jika memang harus terjadi pertempuran.

“Koe bocah, wani karo aku?” (kamu bocah, berani sama saya) ujarnya marah.

Bima berjalan mendekat ke arah Pak Arif yang sudah berdiri, dia juga sudah siap dalam posisi bertempur. Banyu dan Wawan yang melihat itu hanya bisa terdiam dan memperhatikan.

“Dia.. Ki Ganang, salah satu penjaga sendang pitu, Kromosengkono meminta kita untuk lari dari sini sementara dia menahannya” ucap Bima.

“Kalian... terus lari lurus kearah bukit itu, jika terjadi sesuatu kepada ku jangan hiraukan. Bima akan menuntun kalian, paham?” tegas Pak Arif sambil menunjuk kearah bukit hitam dibelakang mereka.

“T-tapi Rif?” ucap Pakdhe saat mendengar ucapan temannya, dia begitu menyesal telah melibatkannya sejauh ini. Menggeleng Pak Arif tidak menerima penolakan.

Diarrrrr...., tanpa mereka sadari Kromosengkono sudah mencoba menghajar Ki Ganang, tapi siapa sangka gerakan kakek tua itu tak kalah cepat. Gerakannya begitu lincah menghindari serangan Kromosengkono.

Kini para penghuni Desa mulai menampakan batang hidungnya... rupa dan sosok mereka yang pucat dan tidak utuh membuat bima merinding.
“Ayooookkkk.....” ucap Bima menyadari bahaya yang mengintai mereka.

Tergesa mereka berempat berlari menuju bukit yang tadi ditunjuk oleh Pak Arif, melihat itu Ki Ganang malah menyeringai dan menghentakan tongkatnya.

Semua penghuni Desa keluar, dan mengejar mereka. Bahkan sosok-sosok astral yang sedari tadi mengamati dihutan tidak ingin kalah, mereka berbondong-dondong ingin menangkap manusia yang sudah berani masuk ke Alas Lali Jiwo.

Puluhan sosok kini mengerjar mereka, beberapa kali Pak Arif melemparkan energi untuk menghalau mereka, tapi percuma jumlah mereka terlalu banyak.
“Jangan sampai terpencar” teriak Pak Arif yang mencoba menghalau sosok-sosok itu.

Dalam kepanikan sekali lagi Bima merasa dirinya tidak berguna, dia terus berlari didepan memimpin mereka semua.

Satu sosok berhasil mengejar..., wanita dengan rambut yang begitu panjang berwarna putih dari tubuhnya mengeluarkan bau bangkai yang begitu menyengat. Bima merasa gentar, apa yang harus dia lakukan.

Dalam kepanikan Bima tiba-tiba teringat dengan ucapan Pak Arif bahwa didunia “mereka” seperti dengan dunia fantasi. Maka Bima berkonsentrasi mengumpulkan energi dikepalan tangannya.

“Bruuuukkkk....” nekat Bima menonjok sosok yang menghalanginya.

Kaget karena mereka bisa menerima pukulannya, sosok wanita itu terpelanting dan terbang menuju pohon yang jauh diatas mereka. Ketakutan sedikit sirna, setidaknya Bima sadar kalau dia bukan hanya bisa berinteraksi secara langsung tapi juga bisa menyentuh mereka.

Semakin banyak sosok yang mengerubungi mereka, sesekali Bima berlari menghajar sosok yang mencoba melukai Bapak dan Pakdhenya. Hingga tanpa sadar ada tangan yang memegangi pundaknya...

Bima kembali merasakan sensasi yang pernah dilalui, himpitan benda padat dan keras. Nafasnya begitu sesak... Ketika membuka mata dia sudah kembali ke tengah Desa yang tadi dia datangi, Ki Ganang kembali membawanya ke tempat tersebut.

Kromosengkono yang melihat itu, terlihat marah. Khawatir dengan kesemalatan Bima....

Sementara itu...

Tiba-tiba makhluk yang mengerubungi mereka bertiga tiba-tiba lenyap seolah ada sesuatu yang membuat sosok itu menghilang.
"Kalian tidak apa-apa?” ucap Pak Arif kepada kedua temannya.

“Tidak, aku baik-baik saja, hanya...” ucap Pakdhe Wawan dengan nafas memburu, beberapa menit yang lalu dia mengira bakal mati makan para demit itu.

“Bima kemana? Bima dimana Rif?” ucap Banyu panik saat tidak melihat keberadaan mereka.

“Bukannya tadi bersama kalian?” tanya Pak Arif juga tidak kalah panik, tidak mungkin Bima pergi meninggalkan mereka, selama ini dia tau kalau anak itu pasti akan selalu menuruti apa yang dia perintahkan, terlebih meninggalkan orang tua dan Pakdhenya.

“Aku tidak tau Rif, mereka mengerubungiku, Bima kemana Rif?” ujar Banyu panik dan khawatir dengan anaknya.
“Tenangkan dirimu Nyu” ucap Pakdhe meskipun dirinya juga merasa khawatir dengan keberadaan Bima.

Mengedarkan pandangan Pak Arif tidak melihat keberadaan Bima dan sosok penunggu Alas Lali Jiwo. Lalu dia kembali duduk bersila...

***

Disisi lain...

“Aku wes omong, tinggal siji liane oleh lewat” (aku sudah bilang, tinggal satu lainnya boleh lewat) ucap Ki Ganang dengan tawa mengejek. Bima tidak bisa bergerak sama sekali, tubuhnya seolah menjadi Batu. Hanya batinnya yang terus berzikir meminta pertolongan kepada Tuhan.

“Bocah iki ambune wangi, cocok dadi ingon-ingonku” (bocah ini baunya wangi, cocok jadi pesuruhku) ucapnya dengan mengendus-endus tubuh Bima.
Melihat itu justru Kromosengkono menyeringai dia membatin saat ini dia salah menangkap mangsa.

“Ambilah kalau kau mau, toh memang benar bocah itu tidak berguna” ucap Kromosengko, mendengar itu Bima membelalakan matanya, bagaimana mungkin sosok yang katanya menjadi penjaganya malah justru memberikan hidup Bima ke makhluk seperti Ki Ganang.

“Bukannya tadi kau bilang kalau, dia yang akan memutus ritual Sanggar Pati?” ucap Ki Ganang heran.
Kromosengkono tau kalau sebenarnya Ki Ganang membawa Bima hanya karena dia mengatakan sesuatu yang membuatnya tertarik.

“Aku ngapusi, jelas ambune bocah kui wangi” (Aku bohong, jelas bau dari anak itu wangi) kata Kromosengkono mengeringai, sejenak mereka saling tatap tidak ada sesuatu yang mereka lakukan.

Namun diluar dugaan ternyata Ki Ganang benar-benar berniat membawa Bima pergi.
“Yowes, ora perlu kerahan meneh, tak gowo bocah iki neng panggonanku” (Ya sudah, tidak perlu bertengkar lagi, aku bawa anak ini ke tempatku) katanya.

Panik... Bima mencoba bergerak, sekali saja dia dibawa pergi... dia yakin belum tentu Kromosengkono bisa menemukannya.

Saat tangan Ki Ganang hampir menyentuh tubuh Bima, sesuatu yang menyerempet pipinya. Panas dan perih, “Baji**an” pekiknya saat melihat sebuah tombak menancap persis di punggung kirinya.

Bima bisa bergerak, sekali kesempatan dia memukul perut Ki Ganang dengan begitu kerasnya sampai tubuh dari kakek itu terlempar beberapa meter.

Melihat itu Kromosengkono tertawa, dalam sekejap dia sudah berada didepan Bima dengan cepat dia membawa Bima pergi dari Desa terkutuk itu.

Merasa sesak nafas, Bima mencoba mengatur kembali nafasnya. Dia dan Kromosengkono saat ini tengah berdiri dibawah pohon yang begitu besar...

Akar-akar yang gantung dari pohon itu begitu panjang dan lebat.
“Dimana kita mbah?” tanya Bima, sedikit merinding melihat pemandangan disekitarnya

“Tempatku” ucapnya, Kromosengkono bediri menghadap pohon itu, dalam sekejap mata ia sudah berubah menjadi seorang laki-laki gagah.

Menggunakan celana hitam, berbalut kain jarik dengan gelang gemas melingkar di lengannya yang kekar, rambutnya yang panjang tertahan kain yang mengikat kepalanya. Melihat pemandangan itu Bima melongo.

“Kenapa kamu melihatku seperti itu?” ucap Kromosengkono heran.
“Mboten Mbah” (tidak Mbah) ucap Bima sambil menggelengkan kepala.

“Ini sosok ku yang sebenarnya, kami bangsa jin bisa sesuka hati merubah penampilan yang diinginkan, aku menggunakan wajah Buto hanya untuk menguji mentalmu” jelasnya seolah mengetahui apa yang ada dikepala Bima.

“Bima pikir kita akan pergi ke tempat Pak Arif” tanya Bima setelah diam beberapa saat mengatasi shock melihat wujud asli penjaganya.

“Tidak perlu kamu pikirkan dulu mereka, Arif bukan sembarangan orang, aku yakin dia bisa membawa mereka ke sendang pitu” ucapnya yang kini duduk disebelah Bima.

“Kita disini sebentar sambil memulihkan tenaga, ada banyak yang ingin aku bicarakan denganmu Bim” ucapnya.
Bima hanya mendengarkan tidak ada kekhawatiran yang muncul mengenai sosok yang ada disebelahnya.

“Sudah bertahun-tahun aku menunggu sejak wadah terakhir yang dipilih oleh leluhurmu, semenjak itu pula aku berdiam ditempat ini, sampai suatu hari Simbah datang kepadaku dan meminta untuk menjagamu” ucapnya sambil menerawang jauh.

Bima masih diam mendengarkan dia tidak tau arah dari pembicaraan yang dituju oleh Kromosengkono.
“Tapi Simbah juga mengatakan kalau ada satu lagi anak yang memiliki ciri yang sama denganmu, awalnya aku mengira bahwa dirinya lah yang harus aku jaga”

“Mbak Maya” ucap Bima lirih.
“Benar, sodara perempuan mu walau beda rahim tapi kalian tetap memilik darah keturunan yang sama” ucapnya, baru kali Kromosengkono terlihat gusar.

“Lalu kenapa memilih Bima?, siapa tau Mbak Maya justru memiliki kemampuan yang jauh lebih hebat dibandingkan diri Bima sendiri” tanya Bima penasaran.

Tersenyum Kromosengkono tidak menjawab.
“Ada banyak hal yang tidak bisa dijelaskan, semua akan terjawab sebentar lagi” ucapnya.

Bima kembali terdiam dia berfikir apa memang semua bangsa jin hanya akan memberikan penjelasan yang mengambang seperti ini, lalu apa tujuan Kromosengkono menceritakan itu semua?

“Sekarang aku akan menunjukan cara bagaimana bisa bertarung didunia kami, apa yang kamu lakukan sudah benar. Arif mengajarimu dengan baik... sekarang lihatlah” ucap Kromosengkono.

Bima memperhatikan dengan seksama, Kromosengkono mengangkat tangannya kobaran api mulai terlihat, sejurus dengan gerakan melempar, bola api itu terbang melesat menabrak pohon dan langsung terbakar.

Duaaarrrrrr.... Suara yang ditimbulkan dari energi yang dilemparkan oleh Kromosengkono begitu kuat, hampir saja Bima terjengkang karena kaget dengan apa yang dia lihat dan dengar.

“Cobalah” ucap Kromosengkono, Bima mencoba memfokuskan energi pada telapak tangannya, membayangkan sebuah bola api seperti instruksi yang diberikan oleh Pak Arif, benar saja tangannya mulai mengeluarkan api, tapi bukannya berbentuk bola tapi lebih tepatnya Api itu melingkupi tangan Bima.

“Bagus seperti itu, sekarang kuingatkan bahwa ini hanya bisa kamu lakukan di dunia kami, jangan sekalipun kamu gunakan diduniamu, terlebih untuk menyakiti orang” ucapnya tersenyum.

Kromosengkono benar-benar takjub dengan kemampuan Bima. Sekali diberikan arahan dia langsung bisa mempraktekan apa yang diminta.

Kromosengkono bangkit dan berubah lagi menjadi sosok buto yang selama ini dilihat Bima,
“sekarang kita pergi ketempat Arif, sepertinya mereka membutuhkan kita” mengerti Bima bangkit.

Meskipun masih banyak pertanyaan dikepalanya, tapi dia sudah belajar bahwa jawaban akan dia temukan langsung melalui sebuah kejadian. Hal yang berhubungan dengan perkara Gaib memang begitu misterius...

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close