Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

CERITA TENTANG MEREKA (Part 13) - Sendang Kapit Pancuran


Sendang Kapit Pancuran

“Bagaimana Rif?” tanya Banyu saat melihat Pak Arif mulai berdiri dan membersihkan tanah yang menempel di celananya.

“Energi Bima masih terasa jelas, semoga dia baik-baik saja” ucap Pak Arif.

“Sekarang apa yang harus kita lakukan?” ucap Pakdhe Wawan sambil melihat kesekitar, kejadian yang barusan dia alami jauh dari expektasinya... benar-benar mengerikan, sosok-sosok itu bahkan bisa menyentuh tubuh mereka.

“Kita lanjutkan ke sendang pitu, waktunya tidak banyak” ucapnya, tapi Banyu masih begitu khawatir dengan kondisi anaknya.

“Kenapa kita tidak mencari Bima dulu? Kau bilang Bima kunci dari semua ini” ujar Banyu sebisa mungkin terlihat tenang.

“Bagaimana kita bisa mencarinya saat ini? Aku tanya kepadamu bagaimana kita bisa mencarinya sekarang ditempat ini?” kata Arif yang sudah mulai kehilangan kesabaran.

“TAPI INI ANAK KU RIF ANAK KU, SEHARUSNYA KAU TIDAK MENGAJAKNYA KETEMPAT SEPERTI INI” akhirnya kesabaran Banyu pecah, teriakannya begitu keras hingga menimbulkan suara yang menggema disekitar mereka.

“KAU PIKIR AKU JUGA TIDAK KHAWATIR DENGAN KEADAAN ANAKMU HAAA?” ucap Pak Arif, nafasnya terlihat memburu matanya melotot melihat ke arah Banyu.

Mereka berdua saling beradu pandang... tidak ada kegentaran yang ditimbul didiri Banyu, meski dia tau yang didepannya bukan orang sembarangan, sudah sejak lama dia mengenal Arif.

“Cukup kalian berdua” ucap Pakdhe,
“Kalau ada yang harus disalahkan... salahkan aku, Banyu aku tau perasaanmu, yang harus kita lakukan sekarang percaya dengan keputusan Arif. Dia lebih tau dari pada diri kita” lanjutnya sambil berjalan mendekati saudarannya mencoba menenangkan.

Sedang Pak Arif berjalan dan duduk disalah satu bonggol pohon yang berada di dekatnya.
“Setelah ini mungkin akan ada kejadian diluar nalar kalian, semua sudah terlanjur. Kita harus segera menyelesaikan masalah ini.

Untuk urusan Bima aku percaya dia baik-baik karena aku melihat dengan mata kepalaku sendiri betapa hebatnya anakmu” ucap Pak Arif, setelah beberapa saat diam, tatapannya kini langsung mengarah ke Banyu yang masih berdiri mematung.

Tampak sekali raut kekhawatiran yang muncul dari wajahnya. “maafkan aku” ucap Banyu, mendekat kearah Arif, tersenyum dia bangkit dan menjabat tangan temannya.

Kembali mereka bertiga melanjutkan perjalanan, tidak ada gangguan sama sekali, yang membuat Pak Arif justru berfikir kalau ada sesuatu yang tidak beres.

Langkah demi langkah mereka lalui, pohon-pohon yang awalnya rapat kini mulai berkurang. Terlihat didepan mereka sebuah tempat terbuka dengan pohon besar yang tepat berada ditengahnya.

“Tunggu...” ucap Pak Arif sambil merentangkan tangannya, memincingkan mata dia melihat siluet seseorang sedang duduk didekat pohon besar itu.

“Kenapa Rif?” tanya Pakdhe yang mengikuti arah pandangan Pak Arif. Dia juga melihat siluet seseorang.

“Kalian tunggu disini” ucapnya sambil melangkah mendekati sosok tersebut. Hawa keberadaan dari makhluk itu benar-benar kuat bahkan membuat perasaan Pak Arif begitu tertekan.

Tidak bermaksud untuk mencari perkara, tapi tujuan mereka jelas ada didepan mata. Tidak mungkin mereka bisa menghindari sosok tersebut.

Dihatinya tidak pernah lepas dari zikir, langkah demi langkah yang Arif lalui penuh dengan kegelisahan... begitu banyak pertimbangan dan kewaspadaan.
“Akhirnya kalian sampai juga” ucap sosok itu yang masih duduk diatas batu.

“Ki Ganang” ucap Pak Arif, memandang sosok laki-laki tua didepannya.
“Nengdi bocah sek mbok gowo mau?” (dimana bocah yang kamu bawa tadi) kata Ki Ganang, tanpa basa basi.

Pak Arif berfikir cepat, kalau Bima tidak bersama dengan sosok ini dimanakah dia saat ini berada.

“HEH....!!! nengdi bocah kui mau” (HEH...!!! dimana bocah itu tadi) bentaknya keras membuat telinga Pak Arif berdenging.
“Aku ora ngerti” (Aku tidak tau) jawab Pak Arif jujur.

Seketika kewaspadaan menggelayuti, sosok yang ada didepannya bisa saja tiba-tiba menyerang.
“Koe ora ngerti?” (kamu tidak tau?) ucapnya menyeringai.

Ki Ganang bangkit dari duduknya, kepalanya meneleng kanan dan kiri seolah sedang mempertimbangkan sesuatu.

Tersenyum... tiba-tiba dia bergerak dengan cepat, kepalan tangannya sudah berada beberapa jengkal dari muka Pak Arif. Reflex ia langsung menghindar mundur beberapa langkah.

“Iso main-main koe bocah? tak omongi pisan meneh. Pilihan e tinggal siji liane oleh bali” (bisa main-main kamu bocah? Aku kasih tau sekali lagi. Pilihannya tinggal satu lainnya bisa pulang) ucapnya tegas.

Jelas sekali ada nada bahaya dari setiap ucapan yang dilontarkan oleh Ki Ganang bisa saja dia kembali menyerang dan memanggil ingon-ingonnya.
Kini Pak Arif berharap sosok penghuni Alas Lali Jiwo tidak muncul, keselamatan Banyu dan Wawan jadi taruhannya.

“Pilihan? Pilihan? Hahah aku ra butuh pilihan mu” (Pilihan? Pilihan? Hahah aku tidak butuh pilihanmu) ucap Pak Arif berani. Sekarang sudah kepalang tanggung untuk takut, kapan saja nyawanya bisa hilang ditempat ini.

“Yen ngono yo pilihan e wes jelas” (kalau begitu ya pilihannya sudah jelas) ucap Ki Ganang. Pertarungan memang tidak bisa dihindari lagi,

Ki Ganang sebenarnya hanya ingin membawa Bima dan membiarkan yang lainnya pergi tetapi bocah yang ada didepannya benar-benar membuat dirinya muak.

Angin dingin mulai berhembus kencang, sensasi yang Arif kenali saat “mereka” hadir.
Benar saja para penghuni Alas Lali Jiwo mulai bermunculan dari balik pohon yang ada disekitarnya.

“Celaka” batin Arif panik. Dia sendiri tidak takut untuk berhadapan dengan mereka tapi bagaimana dengan Banyu dan Wawan?

Dipandangi Ki Ganang yang ada didepannya beberapa meter, seringai mengerikan tampak jelas dari wajahnya yang tua itu.
“Mereka tidak akan selamat kalau kau memanggil ingon-ingon mu” ucap Pak Arif berusaha bernegosiasi dengan Ki Ganang.

“Bukane koe ra butuh pilihan?” (bukannya kamu tidak butuh pilihan?) sanggah Ki Ganang lantang.
Sialnya Ki Ganang tau kelemahan dari Pak Arif yang tidak akan membiarkan teman-temannya dalam bahaya...

Sementara itu dari kejauhan Banyu dan Wawan melihat Arif sedang berdiri didepan sosok yang mereka kenali. Sesaat sepertinya mereka sedang membicarakan sesuatu, hingga tiba-tiba saja sosok kakek itu menyerangnya.

Untung reflex yang dimiliki Arif bagus, dia bisa menghindari pukulan dari sosok itu.
“Apa Bima juga ada disana?” ucap Banyu lirih.

“Aku tidak tahu, kita lihat saja dulu dan jangan melakukan apapun. Toh kalau kita kesana sekarang hanya akan menyulitkan Arif” ujar Pakdhe.
Mengerti, Banyu kembali mengamati Arif dan sosok yang pernah mereka temui beberapa saat lalu.

“Mereka hanya manusia biasa, yang mencoba menyelamatkan anak-anak mereka dari bangsamu” ucap Pak Arif.

“Udu urusan ku apa sek dadi tujuan e bocah-bocah kae” (bukan urusan saya, apa yang menjadi tujuan dari bocah-bocah itu) kata Ki Ganang tidak peduli, justru malah kini ia berjalan mendekat ke arah Arif. Tepat saat dia berada didepannya dia membisikan sesuatu yang membuat Pak Arif membulatkan matanya.
“Paham?” ucapnya dengan dibarengi lenyapnya Ki Ganang dan para ingon-ingonnya.

Masih terngiang-ngiang jelas ucapan Ki Ganang. Kini benar-benar tidak ada waktu lagi, segala sesuatunya bisa semakin memburuk.

Pak Arif berbalik dan melambaikan tangan ke arah dua temannya yang sedang bersembunyi. Meskipun percuma... karena “mereka” tetap bisa membaui keberadaan kedua laki-laki itu.

“Bagaimana Rif, apa kamu sudah tau dimana Bima sekarang?” tanya Banyu saat sudah berada didepan Pak Arif.
Perasaan cemas benar-benar menguasai Banyu bahkan dia hampir lupa dengan tujuan awal kenapa mereka datang ke tempat ini.

“Tidak, dia pun tidak tau keberadaan dari Bima” jawab Pak Arif, dia tidak mau memberitahukan kalau sebenarnya sosok Ki Ganang juga mencari keberadaan dari Bima.

Mendengar itu Banyu dan Wawan kembali murung, secercah harapan yang muncul... kembali hilang terbawa angin yang berhembus disekitar mereka.

“Kalian lihat pohon besar itu?” tunjuk Pak Arif kearah pohon besar yang menjulang tinggi menyeramkan.
Mengangguk, mereka berdua melihat apa yang di tunjuk oleh Pak Arif “Kemungkinan sendang pitu ada disana, jangan jauh jauh dari ku” lanjutnya sambil berjalan memimpin.

Baru beberapa langkah berjalan, untung saja mereka semua tidak terkena serangan jantung. Bahkan Pakdhe sampai terjengkang kebelakang saking kagetnya.

Bima dan Kromosengkono tiba-tiba muncul tepat beberapa meter didepan mereka. Nyengir tanpa merasa bersalah Bima berjalan menuju ke arah Pak Arif dan yang lainnya.

Berbeda dengan Arif, dia tetap pada posisi siaga. Dia yang sudah paham dengan dunia astral, tidak serta merta langsung percaya bahwa itu adalah Bima. Berbeda dengan Banyu yang langsung berlari menuju anaknya.

“Kamu tidak apa-apa Bim?” ujar Banyu saat sudah selesai memeluk anaknya.
“Gapapa Pak” ucap Bima. Sejenak Pak Arif diam tidak melakukan apapun, dia mengecek energi dari Bima dan Kromosengkono, setelah merasa yakin barulah dia bertanya.

“Apa yang terjadi padamu Bim?” tanya Pak Arif penasaran.
Bima menceritakan bagaimana tadi saat penghuni Alas Lali Jiwo menyerang mereka, tiba-tiba saja Ki Ganang muncul dan membawa kembali Bima ke Desa.

Beruntung Bima dan Kromosengkono bisa melarikan diri.
“Syukurlah” ucapnya sambil tersenyum lega. Benar dugaannya bahwa Kromosengkono tidak akan membiarkan Bima terluka, namun batinnya juga tidak begitu saja tenang.

Permasalahan mereka saat ini bukan hanya mengambil air sendang pitu untuk Maya, tapi Bima sendiri juga menjadi incaran dari Ki Ganang. Selain itu keselamatan dari mereka juga masih tidak bisa dibilang aman.

“Apa itu sendang pitu?” tanya Pak Arif kepada Kromosengkono yang sedari tadi diam.
“Benar, itu pintu masuknya” geram Kromosengkono

“Bagaimana caranya kita bisa masuk?” tanya Bima, menoleh ke arah Kromosengkono. “Masuk? Kalau kau mau mati silahkan masuk” ucap Kromosengkono.

“T—tapi bagaimana caranya mengambil air itu?” tanya Pakdhe, yang mencoba memberanikan diri.

Perlahan Kromosengkono menolehkan wajahnya ke arah Pakdhe Wawan. Gemetar dia tidak berani menatap sosok buto yang ada didekatnya.

“Buat mereka yang keluar dan memberikan kepada kita air itu” geramnya kembali menoleh kearah pohon.

“Tunggu dulu, itu sama saja itu dengan menantang mereka. Menghadapi Ki Ganang saja sudah kuwalahan bagaimana bisa kita menghadapi ke 7 punggawa itu bersamaan” Ucap Pak Arif.

Baginya apa yang diucapkan Kromosengkono sungguh tidak masuk akal, bukannya itu malah membuat diri mereka dalam bahaya.

“Koe wedi cah?” (kamu takut nak) ucap Kromosengkono menggunakan bahasa jawa.

“Bagaimana dengan mereka? Terlalu berbahaya aku tidak setuju?” kata Pak Arif yang masih tidak setuju untuk menantang para demit yang memiliki kemampuan yang luar biasa.

“Pilihan ya pilihan” ucap Kromosengkono, seketika Pak Arif diam mendengar itu.

“Koe Koe, rene o” (kalian kesini) kata Kromosengkono.
Mendengar itu Bapak dan Pakdhe justru menatap Pak Arif mencoba mencari persetujuan. Pak Arif hanya mengangguk.

Berjalan takut-takut kearah Kromosengkono, Bapak dan Pakdhe merasa diri mereka kecil. Setelah sampai tepat didepannya. Kromosengkono langsung memegangi pundak kedua orang tersebut dan menghilang.

Menyadari hal itu Pak Arif mengumpat keras-keras. Sedang Bima malah shock tidak paham apa yang dilakukan oleh Kromosengkono yang membawa pergi Bapak dan Pakdhenya.

“P—pak Arif, kemana mereka dibawa pergi?” kata Bima mulai panik,

“Aku tidak tau Bim, aku tidak menyangka dia akan membawa pergi mereka berdua” ujar Pak Arif yang mulai duduk bersila untuk mencari keberadaan teman-temannya.

Bima tidak berani mengganggu... di batinnya tetap percaya kepada Kromosengkono karena beberapa kali dia sudah menyelamakan nyawanya.

“Ora usah sumelang, bocah-bocah kae tak gowo neng Simbah” (Tidak usah khawatir, anak-anak itu aku bawa ke Simbah) terdengar suara geraman dari belakang mereka.

Sontak Pak Arif dan Bima menoleh. Benar saja Kromosengkono sudah kembali.
“koe wedi yen koncomu dicilakani sek manggon kene to?” (Kamu takut kalau temanmu dilukai yang ada disini kan?) katanya dengan senyum yang mengerikan.

“Setidaknya bilang apa yang mau kau lakukan, jangan membuat panik seperti itu” ujar Pak Arif dengan nada yang sedikit meninggi.

Memang benar dia khawatir dengan Banyu dan Wawan jika harus berada disini, apalagi saat ini mereka sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja.

Sedang Bima yang mendengar itu hanya menghela nafas lega.
“Kakean omong” (banyak bicara) hanya itu yang diucapkan oleh Kromosengkono.

Beberapa saat mereka bertiga diam memandangi pohon besar yang ada didepannya. Bima sendiri tidak merasakan ketakutan yang besar, setidaknya untuk saat ini. Tapi jantungnya berdebar keras.

Pilihan untuk menantang mereka juga bukan hal yang bagus, meskipun saat ini dia sudah bisa menciptakan senjata dengan energinya, bagi Bima ini sama halnya dengan bunuh diri.

“Persiapkan diri kalian” ucap Kromosengkono, dari tangannya kini tercipta sebuah bola api yang pernah dilihat oleh Bima beberapa saat lalu.

Sejurus Kromosengkono melemparkan benda itu yang tepat mengenai pohon besar yang ada didepan mereka, dibarengi dengan suara ledakan yang memekakan telinga.

“Wani-wani ne koe ngrusak panggonan iki” (berani-beraninya kamu merusak tempat ini) terdengar suara menggelegar wanita yang muncul dari segala arah. Bima yang mulai panik mengedarkan pandangannya, begitu pula Pak Arif yang kini tengah bersiap-siap untuk bertarung.

Sosok yang muncul membuat Bima memekik kaget, didepannya kini muncul 3 orang, tapi anehnya tubuh mereka menempel satu sama lain, bagai kembar siam.
“KROMOSENGKONO” gelegar suara wanita yang tepat berada ditengah.
“Sendang kapit pancuran” ucap Kromosengkono.

“Opo maksud mu ngrusak panggonan iki?” (apa maksudmu merusak tempat ini) ujarnya kembali, hanya sosok wanita yang sedari tadi berbicara.

Sejenak Bima berfikir bahwa dua laki-laki yang ada disampingnya hanya sebuah tubuh tanpa nyawa. Tapi Bima salah ternyata sosok laki-laki itu pun juga bisa berbicara.

“Sue ora ketemu” (lama tidak bertemu) ucap salah satu muka laki-laki yang ada disebelah kiri.

“Aku butuh banyu sendang pitu” ucap Kromosengkono jelas dan tegas.

Mendengar itu justru mereka malah tertawa.
“Banyu sendang pitu? Ora iso” (Air sendang pitu? Tidak Bisa) ucapnya si wanita dengan nada mengejek.

“Ritual Sanggar Pati wes dimulai, koe ngerti artine opo?” (Ritual Sanggar Pati sudah dimuali, kamu tau artinya apa?) kembali Kromosengkono berbicara kepada mereka.

Kini Bima dan Pak Arif hanya mendengarkan, tidak berani melakukan apapun terlebih dahulu. Hawa keberadaan mereka membuat bernafas terasa sulit, batin mereka terasa tertekan.

“Sanggar Pati? Sopo sek wani buka Sanggar Pati sak durunge Nyai tangi?” (Sanggar Pati? Siapa yang berani membuka Sanggar Pati sebelum nyai bangun) ucap si wanita heran.

“kau tidak tau Dewi? Bahkan kau yang ditugaskan untuk menjaga tempat ini tidak tau hahahah” kini Justru malah Kromosengkono yang tertawa dengan ketidaktahuan dari punggawa yang menjaga sendang pitu.

Diaarrrrrrrr....

Tiba-tiba saja sebuah serangan datang tepat dihadapan mereka. Reflek Bima yang tidak sehebat mereka membuat dirinya terpelanting kebelakang, sedang Pak Arif berhasil menghindari serang itu.

Dengan sigap Kromosengkono menangkap Bima dan membawanya kesisi Pak Arif.
“Lindungi Bima” ucapnya lirih.

“Ah ingon-ingonku” (ah peliharannku) ucap Ki Ganang yang sudah berdiri di samping makhluk aneh yang Kromosengkono sebut sebagai sendang kapit pancuran.

Melihat kedatangan Ki Ganang, Pak Arif langsung bersiap untuk bertarung. Sosok Ki Ganang begitu liar bisa saja dia langsung menyerang tanpa ada aba-aba.

“Tunggu aku masih belum selesai dengan Kromosengkono” ucap Dewi masih melihat Kromosengkono dengan tatapannya yang tajam.

“Rampungno urusanmu, aku iso nunggu” (Selesaikan urusamu aku bisa menunggu) ujarnya yang kini sudah duduk diatas batu.

Melihat itu Pak Arif sedikit geram, bagaimana mungkin dia bisa sesantai itu sedang dirinya dan yang lain merasakan bahaya kematian bisa datang setiap saat.

“Pisan meneh, opo maksudmu Sanggar Pati dibuka?” (Sekali lagi, apa maksudmu Sanggar Pati dibuka?) tanya si wanita yang bernama Dewi.
“Gendiswari” geram Kromosengkono

“Gendiwari, awalnya hanya ingin menambah ingon-ingon seperti kakek tua yang ada disampingmu, tapi setelah tahu kalau ingon-ingonnya memiliki darah selasa kliwon dia berubah arah dengan ingin menjadikan sukma dari bocah kecil itu untuk membuka Sanggar Pati” lanjutnya.

“Ojo langsung pecoyo Mbak Yu, Kromosengkono kui ra iso dipercoyo” (Jangan langsung percaya Mbak, Kromosengkono itu tidak bisa dipercaya) ucap laki-laki yang menempel di badan Dewi.

“Gendiwari ra bakal nglakoni kui, aku ra iso ngei banyu sedang pitu. Titah e Cempoko Kuning jelas, ojo sampek banyu sendang iki dienggo sembarangan”

(Gendiswari tidak akan melakukan itu, aku tidak bisa memberikan air sendang pitu. Titah Cempoko Kuning jelas, jangan sampai air sedang ini dipakai sembarangan) ucapnya masih menatap Kromosengkono.

“Yen kui pilihanmu” ucap Kromosengkono dengan cepat dia sudah berdiri didepan mereka, pukulan tangannya sudah hampir mengenai wajah wanita itu. Bima mengira Kromosengkono sudah mengenai secara telak.

Tetapi salah sosok wanita itu masih berdiri bahkan seperti tidak terkena apapun. Justru malah tiba-tiba saja Kromosengkono yang terpelanting mundur, tubuhnya jatuh beberapa meter didepan Ki Ganang dan Dewi.

“Bocah wingi sore koyo koe kewanen” (Bocah kemarin sore seperi kamu nekat) ucap Ki Ganang tertawa. Bima yang melihat itu sedikit ngeri, jika benar sosok yang ada didepannya saat ini begitu kuat bagaimana bisa dia dan yang lainnya melawan mereka semua.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close