Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

CERITA TENTANG MEREKA (Part 14) - Awal Kebenaran


Awal Kebenaran

“Pisan meneh tak omongi, Gendiswari wes lancang bukak Sanggar Pati” (sekali lagi aku kasih tau, Gendiswari sudah lancang membuka Sanggar Pati) ujar Kromosengkono yang sudah berdiri kembali.

“Gendiswari salah sijine punggowo sek jogo panggonan iki, aku ra percoyo” (Gendiswari salah satu dari penjaga tempat ini, aku tidak percaya) ujarnya masih tidak percaya dengan perkataan Kromosengkono.

Bima yang mendengar itu kaget, “Gendiswari sebagai salah satu penjaga tempat ini?” batinnya.

Satu persatu pertanyaan yang ada dikepala Bima kini terjawab. Sedang Pak Arif juga terkesiap, diapun heran kenapa semua bisa sedemikian rumit. Apa hubungannya dengan Bima dan Maya.

Belum sempat dia selesai berfikir tiba-tiba saja sebuah serangan mendarat tepat didepan Pak Arif. Dia yang tidak siap menerima serangan karena masih terfokus dengan Kromosenkono dan Dewi jatuh terpuruk ke tanah.

“Pak... Pak Arif” teriak Bima panik yang melihat kejadian itu secara tiba-tiba.

Menyisir pandangan disekitarnya, Bima tidak mendapati apapun. Beberapa meter didepannya terlihat Ki Ganang tersenyum gembira.

Sadar itu perbuatan Ki Ganang, Bima mencoba untuk membuat bola energi untuk membalasnya.

“Tidak... jangan pancing dia, saat ini kamu belum mampu untuk melawannya Bim” ucap Pak Arif dengan memegani pundak Bima.

Mendengar hal itu Bima menghela nafas dalam-dalam... hampir saja dia membuat dirinya dan Pak Arif dalam bahaya.

“Jeh iso menyat bocah?” (masih bisa berdiri bocah?) ucapnya terkekeh. Sungguh sepertinya ia benar-benar sedang menikmati semua ini.

“Menyingkir Bim...” pinta Pak Arif, kali ini dia bersiap bertarung dengan memasang kuda-kuda.

Dengan gerakan yang cepat Pak Arif sudah berada di depan Ki Ganang. Melihat itu Bima takjub dengan gerakan pencak silat yang pak Arif miliki.

Bima melihat dua pertarungan yang seru, mereka saling balas dengan serangan yang mengerikan. Sesekali dari mereka terpukul mundur dan bangkit lagi memulai serangan baru.

“Pisan meneh tak takoni, apa tujuan mu pengen banyu sendang pitu. Koe ngerti resikone” (sekali lagi aku tanyai, apa tujuan mu ingin air dari sendang pitu. Kamu tau resikonya) ucap Dewi saat sudah mundur beberapa langkah dari hadapan Kromosengkono.

“Delengno Bocah kae!!!!” (lihat anak itu!!!) geram Kromosengkono sambil menunjuk Bima.

“Pancen ambune bocah kae wangi mbak yu, aku kroso ana sek aneh karo bocah kae” (memang bau bocah itu wangi mbak, aku merasa ada yang aneh dengan anak itu) ucap salah satu lelaki yang menempel di tubuh Dewi.

“Sopo bocah kae?” (siapa bocah itu?) tanya Dewi melihat Bima penasaran. Kembali menatap Kromosengkono menunggu jawaban.

“Bocah sek kudu tak jogo” (bocah yang harus aku jaga) jawab Kromosengkono tegas.

“Makhluk koyo koe dadi ingon-ingon e menungso, pantes ora iso dipercoyo” (makhluk seperti kamu jadi peliharannya manusia, pantas tidak bisa dipercaya) ejek Dewi menyeringai kepada Kromosengkono.

Sedang Kromosengkono sendiri tidak menanggapi Dewi, Bima melihat dengan jalas ditangan kanannya sudah ada tombak yang dulu pernah melukai Ki Ganang.

“Janji tetep janji” (janji tetap janji) geramnya yang maju kembali berusaha melukai Dewi. Mereka berdua sama-sama hebat, serangan demi serangan yang mematikan membuat bulu kuduk Bima berdiri.

Menoleh menghadap Pak Arif, ia juga melihat sesuatu yang luar biasa, gerakan-gerakan yang tidak mungkin Bima lihat didunia manusia.

Menghela nafas, Bima berfikir sebaiknya dia juga bersiap-siap untuk mengumpulkan energi. Saat ini dirinya sangat bebas serangan.

Memfokuskan pada kedua tangannya, kobaran api mulai muncul melingkupi tangan Bima. Seketika Ki Ganang dan Dewi menoleh ke arah Bima, jelas ada keterkejutan dari diri mereka.

“Bocahku, jebul ora sembarangan uwong” (bocahku, ternyata bukan sembarang orang) kekehnya saat melihat energi yang cukup kuat menyelimuti tangan Bima.

Mendapat kesempatan... itu Pak Arif menggunakannya sebaik mungkin, pukulan telak menghantam perut Ki Ganang sampai membuatnya jatuh ke tanah.

“Kurang ajar” ucapnya murka, matanya mendelik melihat Pak Arif. Tidak gentar justru Pak Arif menampilkan senyum mengejek
“Jangan alihkan pandanganmu dari musuhmu” ucapnya.

Bima yang melihat itu tersenyum, tapi itu hanya sesaat karena kali ini serangan Ki Ganang bukan mengarah ke Pak Arif. Dengan cepat dia bergerak ke arah Bima.

“Bim... lari” teriak Pak Arif yang menyadari bahaya menuju Bima. Kromosengkono yang mendengar hal itu juga menengok kearah Bima.

“Bruuuuuukkkkk” pukulan telak mengenai Kromosengkono, gantian saat ini Dewi yang memanfaatkan kelengahan Kromosengkono. Sesaat terlihat Kromosengkono tumbang dan tidak bisa berdiri.

“Cah Bagus, rasabar aku duweni koe” (anak ganteng, sudah tidak sabar aku bisa memilikimu) ucapnya saat sudah tepat berada di depan Bima. Sontak secara reflek dia mencoba memukul Ki Ganang.

Tapi gerakannya terlampau lambat.
“Hahah durung wayah e le, sinau meneh. Kene tak ajari” (hahah belum saatnya le, belajar lagi. Sini saya ajari) kata Ki Ganang tertawa melihat apa yang sedang dilakukan Bima.

Benar saja, Ki Ganang langsung melancarkan pukulan ke arah Bima. Sekali pukulan dia bisa langsung membuat Bima terpelantin mundur.

Belum juga Bima mendarat di tanah, Ki Ganang sudah berada dibelakangnya dan memukulnya kembali. Kini Bima seolah sedang dijadikan maninan oleh sosok yang mengerikan itu.

Melihat Bima yang sudah terlihat lemas. Pak Arif berlari menuju kearahnya, belum juga sampai. Tombak yang sedari tadi dipegang Kromosengkono kini sudah menancap dilengannya.

Beruntung... sedikit saja bergeser pasti sudah menembus dada kirinya.

“Arrrgggg” erang Pak Arif sambil mencoba mencabut benda yang masih menancap itu.

“Sial aku lupa kalau jasadku juga ada dialam ini” ujarnya.

Kini Bima terbaring, api yang menyala sudah padam sedari tadi, nafasnya tersenggal-senggal.

“Pie cah Bagus, ojo dumeh koe neng kene” (gimana anak ganteng, jangan sok kamu disini) ucap Ki Ganang yang sudah berdiri disamping Bima.

Kromosengkono yang kini di pegangi oleh Dewi juga tidak bisa melakukan apa-apa.
“Bocahmu bariki mati” (Bocahmu setelah ini mati) ucapnya lirih tersenyum.

Bima yang mendapati kematiannya sebentar lagi datang hanya bisa berpasrah, sedari tadi batinnya tidak lepas dari zikir. Dia sudah pasrah jika memang harus seperti ini...

Ki Ganang sekali lagi mengangkat tangannya. Bima melihat ada pendar warna kemerahan yang menyelimuti tangan tua itu.

BLaaaaamm.... tiba-tiba saja cahaya kuning menyambar mereka berdua, yang Bima lihat cahaya itu jatuh terjun begitu saja dari langit.

Ki Ganang yang memiliki reflek hebat bisa menghindar dengan cepat.

“Tak balekne duwekmu” (saya kembalikan punyamu) terdengar suara Simbah tepat ditelinga Bima. Mata tombak Cempoko Kuning sudah ada disamping tangan Bima.

“WHUAHAHAH” terdengar suara Kromosengkono gembira, sedang Pak Arif merasa benar-benar bahagia melihat itu.

“MODAR KOE KABEH” (mati kamu semua) ucap Kromosengkono.

“Ra mungkin, ora mungkin” (Tidak mungkin, tidak mungkin) ucap Dewi terlihat shock melihat benda yang ada di tangan Bima.

KI Ganang juga mundur beberapa langkah, keterkejutannya membuat dirinya tidak bisa mengatakan apa-apa dalam beberapa saat. Bima mencoba mengatur nafasnya, darah masih menetes dari sudut bibirnya. Perlahan dia bangkit.

“SOPO KOE?” bentak Ki Ganang melihat kearah Bima, ada nada getir dalam suaranya. Untuk pertama kalinya Ki Ganang merasa khawatir.

Sementara itu...

“Wan kita dimana” ucap Banyu saat sadar bahwa dirinya sedang tiduran di amben sebuah gubuk. Terakhir yang diingatnya dia tiba-tiba merasa ditarik kebelakang dan semuanya menjadi gelap.

“Sudah sadar?” ucap Wawan.

“Aku tidak tau, sedari tadi tidak ada orang yang kulihat, aku coba mengetuk pintu itu juga tidak ada jawaban” kata Wawan sambil menunjuk kearah pintu yang ada disamping amben.

“Dimana yang lainnya?” ucap Banyu sambil mencoba beridi, kepalanya sungguh terasa berat sekali.
“Aku tidak tau, sepertinya buto itu memisahkan kita dari Bima dan Arif” ucapnya menggeleng.

“Ayo kita cari mereka” ajak Banyu.
“Mau dicari kemana? Apa kamu tidak melihat didepanmu?” ucap Wawan.

Benar saja, ketika Banyu melihat kedepan. Banyak sekali sosok-sosok yang tadi pernah dijumpainya.
“Astaghfirulloh” ucapnya saat menyadari dirinya dan Wawan sudah dikepung puluhan sosok astral.

“Entah kenapa dari tadi mereka tidak mau mendekat ke arah gubuk ini, makannya aku diam dan tidak bergerak sambil menunggumu bangun” ucap Wawan, dirinya benar-benar bingung apa yang harus dilakukan. Pikirannya kacau antara menemukan Bima dan menyelamatkan Maya.

“Wes tangi” (sudah bangun) ucap suara yang tepat berada di samping amben, sontak mereka berdua terperanjat hebat, bahkan Wawan sampai jatuh dari amben.

Melihat itu Simbah terkekeh.
“Nn—gaputen mbah, panjengan sinten?” (maaf kek, anda siapa ya?) ucap Banyu terbata, sosok yang ada didepannya meskipun terlihat sudah tua tapi kharismanya benar-benar kuat.

“Aku? Ora penting aku sopo, sek penting koe wong loro aman neng kene, iki omahku” (aku? Tidak penting aku siapa, yang penting kalian berdua aman disini, ini rumahku) ucapnya sambil berdiri menuju pintu

“Sedelet” (sebentar).

Banyu dan Wawan hanya saling pandang, tidak salah jika memang banyak orang yang tidak mau berhubungan dengan dunia gaib. Ketika mereka berdua mengalami kejadian yang bahkan baru beberapa waktu lalu, membuat mereka berfikir ribuan kali untuk bersinggungan dengan hal gaib lagi.

“Simbah muk due iki, wes diombe sek” (kakek cuma punya ini, sudah diminum dulu) ucap Simbah memberikan kendi yang biasa dia suguhkan kepada tamunya.

Awalnya mereka berdua ragu, dengan kejadian yang mereka alami serta wejangan dari Arif. Keputusan untuk menerima bahkan hanya satu tetes airpun menjadi sangat berat.

“Ora gelem tah? Ora doyan?” (tidak mau ta? Tidak doyan?) ucap Simbah yang masih memegangi kendi dari tanah liat itu.

“Ngapunten mbah” (maaf mbah) ucap Wawan sambil menerima kendi dari tanah liat tersebut.

Dengan berat dia meminum air dalam kendi, ajaib tegukan pertama yang melewati kerongkongannya seolah air itu seperti madu, tubuhnya segar kembali. Tersenyum ia memberikan air itu kepada Banyu.

“Toyo nopo niki mbah” (air apa ini mbah?) tanya Banyu saat selesai meminum air yang begitu menyegarkan itu.

“Wes ora anak ora bapakne, podo” (Wes, tidak anak tidak bapaknya, sama) kekehnya. Mendengar itu Banyu heran, siapa yang dimaksud anak oleh kakek ini.

“Iyo, anakmu pernah mampir rene, rasah sumelang engko nek wes rampungan ben koe koe dipetuk, rasah metu-metu seko gubuk iki. Simbah tak metu delet”

(iya, anakmu pernah mampir kesini, tidak usah khawatir nanti kalau sudah selesai biar kalian dijemput. Jangan keluar dari gubuk ini. Kakek mau keluar sebentar) ucapnya seolah bisa membaca pikiran Banyu.

“Njih, mbah matursuwun” jawab Wawan sedang Banyu hanya mengangguk dan tersenyum.

Disisi lain...

Bima tidak menjawab pertanyaan dari Ki Ganang, dia masih mencoba mengatur nafasnya dan memulihkan diri. Tombak Cempoko Kuning masih ia genggam dengan erat.

Melihat Bima mengabaikan pertanyaan nya. Ki Ganang merasa jengkel, dalam sekejap dia sudah berada didepan Bima lagi, tangannya sudah siap menyerangnya. Melihat itu Bima hanya tersenyum lemah.

Bruaaaakkk... Ki Ganang kembali terlempar kebelakang, sesaat Pak Arif mengira bahwa yang melakukan itu adalah Bima.

Tetapi ternyata dia salah, serangan itu berasal dari Banaspati yang sedari tadi ternyata sudah memperhatikan mereka dari jauh.

“Maturnuwun” (terimakasih) ucap Bima lirih.

“Bocah tengik, ngopo koe melu-melu?” (bocah tengik, ngapain kamu ikut-ikut) ucap Ki Ganang marah saat melihat ternyata Banaspati yang melukainya.

“Sak karepku arep melu-melu opo ora, ket bien aku wes ra seneng karo koe ro Gendiswari” (terserah aku, mau ikut-ikut apa tidak, dari dulu aku sudah tidak suka denganmu dan Gendiswari) ucapnya dengan suara anak kecil yang mengejek.

“Minggir o opo tak lumat” (minggir apa aku lumat?) ucap Ki Ganang.

“Simbah-simbah koyo koe pancen wes ora wayahe, utek mu wes ra kanggo gawe” (kakek-kakek seperimu memang sudah tidak waktunya, otakmu sudah tidak berguna) kekeh Banaspati mengejek.

“Menyingkirlah, dekat-dekat dengan manusia itu, akan ku urus laki-laki tua ini” ujar Banaspati lirih kepada Bima.

Dalam sekejap kobaran api menyelimuti tubuh kecilnya.

Bima yang berada didekatnya buru-buru berdiri dan berjalan kearah Pak Arif, panas yang menguar dari tubuh Banaspati benar-benar mematikan.

Sementara itu Dewi dan Kromosengkono masih berada diposisinya,

“Siapa bocah itu?” tanya Dewi penasaran, hawa keberadaan Cempoko Kuning benar-benar terasa dari tubuh anak yang saat ini sedang berdiri terseok-seok menuju laki-laki manusia itu.

“Wes tak omongi, bocah kui sek bakal medot ritual Sanggar Pati” (sudah ku beritahu, anak itu yang bakal memutus ritual Sanggar Pati) ucap Kromosengkono tersenyum.

Benar dugaannya Cempoko Kuning akan datang disaat Bima dalam keadaan terjepit, makannya sedari tadi memang dia membiarkan Ki Ganang melukai Bima.

Tentu ini merupakan resiko yang besar karena dia sendiri tau kemampuan dari Sendang Kapit Pancuran dan Ki Ganang bisa saja membuat mereka semua mati.

“Rak mungkin, aku ra percoyo Gendiswari bakal buka sanggar pati sak durunge Cempoko Kuning tangi” (tidak mungkin, aku tidak percaya. Gendiswari tidak akan membuka Sanggar Pati sebelum Cempoko Kuning bangun) ucap Dewi.

Mendengar itu justru Kromosengkono tertawa mengejek.

“Harusnya kamu tau, sebagai punggowo yang tidak pernah meninggalkan tempat ini, tidak taukah kau bahwa Gendiswari sudah mencampurkan air sendang pitu kedalam sendang yang ada didunia manusia?” tanya Kromosengkono.

Dewi hanya diam mematung, kini pandangannya selalu tertuju pada Bima.

“Kalau kau masih tidak percaya tanyakan saja pada Ki Ganang, kenapa Desa Ambu Mayit dihuni oleh sukma orang yang tersesat” sekali lagi Kromosengkono memberikan penjelasan berharap Dewi akan mengerti dan menyerahkan air sendang pitu. Meski dia bukan satu-satu punggowo yang menjaga tapi tetap saja kemampuan Dewi jauh diatas mereka. Hanya Cempoko Kuning yang mampu menandinginya.

Tidak menghiraukan ucapan Kromosengkono kini Dewi berjalan menuju kearah Bima dan Pak Arif. Rasa penasaran muncul begitu kuat dari dalam dirinya, terlebih dengan energi Cempoko Kuning yang muncul disekitar bocah itu.

“Kamu tidak apa-apa Bim?” tanya Pak Arif khawatir sambil memegani lukanya yang terus mengucurkan darah.
“Gapapa Pak” ucap Bima meski terlihat mantap tapi dari matanya jelas Bima sedang menahan sakit.

“Lengan Pak Arif...” ucap Bima saat melihat darah yang sudah membasahi lengan kiri Pak Arif.

“Aku bisa menyembuhkannya, beristirahatlah” kata Pak Arif tersenyum.

Dua orang itu melihat sosok Dewi sedang berjalan kearah mereka.

“Bersiaplah Bim” ucap Pak Arif menguatkan kuda-kudanya.

“Bocah, koe ra bakal iso nglawan aku” (bocah, kamu tidak akan bisa melawanku) ucap Dewi yang sudah berada di depan mereka berdua.

Sedang Kromosengkono berjalan dibekang Dewi. Mendengar itu Pak Arif tidak berkata apa-apa. Dia tidak bisa mempercayai makhluk seperti mereka saat ini, tetapi dia juga tidak melakukan perlawanan apapun kondisinya sekarang ini kurang menguntungkan.

“Seko ngendi koe oleh kui?” tanya Dewi sambil menunjuk mata tombak yang sedang Bima pegang.

“Bbb—boten ngertos mbah?” (tidak tau mbah) jujur, karena saat dulu berada di depan pintu masuk Sanggar Pati, Bima secara spontan bisa membayangkan benda tersebut.

“Ora ngerti?” (tidak tau?) ucap Dewi heran, bagaimana mungkin senjata Cempoko Kuning yang selama ini menghilang bisa dibawa seorang bocah dari dunia manusia.

Menggeleng Bima menegaskan kalau dia tidak tau. Saat ini dalam batinnya benar-benar merasa sedang menghadapi seorang pembunuh yang menodongkan pistol dikepalanya. Tidak ada pilihan lain, rasa khawatir dan ketakutan memang menjalari tubuhnya tapi dia tetap berusaha untung tenang.

Benar saja, belum sempat Bima bisa berfikir lebih jauh, tiba-tiba sosok Dewi membuat serangan bahkan Pak Arif dan Kromosengkono tidak menyadari hal itu. Bima terpukul mundur sekali lagi, badannya benar-benar terasa remuk, tulang-tulangnya seperti menjerit kesakitan.

Dalam sekejap Dewi sudah ada didekat Bima.

“Pisan meneh, seko ngendi koe oleh barang kui?” (sekali lagi, dari mana kamu dapat barang itu?) ucap Dewi tanpa ekspresi.

Terengah, Bima hanya bisa tersenyum sekali lagi bayangan kematian kembali hadir didepan matanya. Dia seperti boneka yang sedang dimainkan oleh orang-orang dewasa.

Rasa muak dan marah yang begitu besar tiba-tiba muncul dibatin Bima. Pak Arif dan Kromosengkono yang melihat itu mencoba untuk menyingkirkan Bima dari Dewi tapi sayang, sosok laki-laki yang sedari tadi menempel di tubuh Dewi kini ikut menghalangi.

“Sue ora ketemu” ucap lirih Bima yang masih terlentang di tanah.

Kaget bukan main, kini Dewi mundur beberapa langkah.

Bima bangkit... energinya begitu meluap, bahkan Ki Ganang yang masih bertarung dengan Banaspati juga sesaat melihat kearah Bima.

“N-Nyaai” ucap Dewi langsung bersimpuh didepan Bima.

“Iyo aku, wektune ora akeh, sak iki kekno banyu sendang pitu karo bocah-bocah iki aku durung iso metu. Gendiswari karo Ki Ganang wes lancang ngrusak tatanan Alas Lali Jiwo”

(iya aku, waktunya tidak banyak, sekarang kasih air sendang pitu kepada bocah-bocah ini, aku belum bisa keluar. Gendiswari dan Ki Ganang sudah lancang merusak tatanan Alas Lali Jiwo) ucap Bima masih dengan suara yang lirih.

“Ngapunten nyai tapi alesan e nopo” (maaf nyai, tapi alasannya apa?) ucap Dewi kebingungan, belum pernah sekalipun Cempoko Kuning mau memberikan air sendang pitu bahkan kepada manusia yang jauh lebih memiliki kemampuan dari pada bocah ini.

“Ben Kromosengkono sek jelasno, aku ra due wektu akeh, mesak no bocah iki yen awak e kesuen tak enggo” (Biar Kromosengkono yang menjelaskan, aku tidak punya waktu banyak, kasian anak ini jika badannya kelamaan kupakai) ucapnya.

Tersentak Bima kembali tersadar, dia bingung kenapa sosok yang tadi ingin membunuhnya sudah bersimpuh didepannya.

Bima merasa terancam, ia mundur beberapa langkah...

“Ora usah wedi cah bagus, sepurane wes gawe awakmu koyo ngene” (Tidak udah takut anak ganteng, maaf sudah membuat kamu menjadi seperti ini) ucapnya lirih memandang Bima.

Namun dia tidak peduli, Bima terus berjalan mundur mata tombak yang ditangannya dia pegangi dengan erat.

“Tenangno atimu” ucap Kromosengkono yang sudah dibelakang Bima.

“Kenapa mesti Bima?” ucap Bima lantang, dia mulai muak dengan semua yang sudah terjadi. Rasa sakit dibadannya membuat semua menjadi jelas, lebih baik tidak berhubungan dengan mereka.

Pak Arif yang mendengar itu, berjalan tertatih menuju Bima, dalam sekejap dia memeluknya. Tangis Bima pecah, dia ingin pulang dan bertemu Sekar.

Dia sudah lelah dijadikan mainan layaknya bola yang sedang dikejar kucing.

“Kita selesaikan, dan pulang” ucap Pak Arif lirih. Nafas Bima masih memburu, perlahan saat keadaan mulai tenang kembali dia menatap Dewi.

“Tolong, aku hanya ingin saudaraku selamat” ucap Bima dengan penuh permohonan kepada Dewi.

“Akan kuberikan, setelah semua sudah jelas” ucap Dewi.

Bruuuukkkk... terdengar suara dentuman yan hebat... Banaspati terlempar karena serangan yang dibuat oleh Ki Ganang.

Sesaat Ki Ganang terlihat ingin menemui mereka, tapi ternyata dia kabur karena merasa bahwa dirinya sudah terancam dengan adanya Cempoko Kuning yang hadir diatantara mereka.

Banaspati yang sudah berdiri kini melangkah kearah mereka.

“Jelaskan” ucap Dewi melihat kearah Kromosengkono dan berjalan menuju kearah pohon besar yang tadi hampir saja dirusak oleh Kromosengkono.

“Masuklah kalian perlu memulihkan tenaga” ucap Dewi, yang langsung masuk menembus pohon itu.

Sejenak Pak Arif dan Bima ragu, tapi Kromosengkono memastikan bahwa tidak akan ada pertarungan lagi untuk sementara ini.

Melangkah perlahan, Bima ragu bagaimana dia bisa menembus pohon itu. Kromosengkono dan Banaspati sudah masuk, sedang Pak Arif ada dibelakang Bima.

“Ayok” ucapnya mendorong punggung Bima. Nekat ia berjalan, saat sudah dekat sekali dengan batang pohon benar saja, dirinya bisa menembus pohon yang berdiri kokoh didepannya.

Ajaib, kini dia sedang berada di sendang yang pernah ia lihat, ingatan sosok Arum kembali muncul dalam benak pikiran Bima.

“Sendang ini, Bima pernah kesini” ucap Bima saat melihat sekitar.

“Kamu pernah kesini? Bagaimana?” tanya Dewi penasaran.

“Waktu melihat masalalu Gendiswari” ucap Bima.

“Jelaskan, tapi sebelumnya berendamlah di sendang ini, tenaga dan luka kalian akan cepat pulih” ucap Dewi yang sudah berdiri dan berjalan menuju sisi lain dari sendang ini.

Tanpa diminta dua kali Kromosengkono dan Banaspati langsung berjalan menuju tengah sendang. Penampilan Kromosengkono berubah menjadi sosok yang pernah diperlihatkan kepada Bima. Sosok laki-laki dengan gelang emas yang melingkar di tangannya.

Pak Arif sedikit kaget, tapi tidak memberikan pertanyaan. Dia melepas satu persatu pakaiannya dan masuk kedalam sendang. Melihat itu Bima juga mengikuti mereka untuk duduk bermeditasi di sendang pitu.

Benar saja, Bima merakan tenaganya pulih dan luka-luka yang ia terima tadi menguap begitu saja. Dia membuka mata, mendapati kalau mereka bertiga sudah duduk di dekat Dewi.

Dan yang membuat Bima heran dengan santainya Pak Arif membakar sebatang rokok yang sudah terselip dikedua jarinya.

“Mrene cah Bagus” (kesini anak ganteng) ucap Dewi sambil melempar senyum ramah kepada Bima. Menghela nafas Bima beranjak dan melangkah kearah mereka.

“Banyak yang ingin aku tanyakan dan ingin ku ketahui, ceritakanlah” ucap Dewi.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close