Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

CERITA TENTANG MEREKA (Part 15) - Keabadian


Keabadian

“Apa yang membuatmu pergi ketempat ini?” tanya Dewi, setelah Bima duduk didepannya. Sejenak Bima memandangi sosok yang ada didepannya itu.

Perlu beberapa waktu baginya untuk membiasakan diri agar tetap tenang, kewaspadaan terhadap makhluk astral muncul berlipat ganda di hati Bima.
“Air Sendang Pitu, Nyai” jawab Bima jujur. Setelah beberapa saat diam.

“Tidak tahu kah kau, apa sebenarnya air Sendang Pitu?” ucap Dewi, tersenyum lembut. Sikap Dewi berbeda sekali dengan apa yang Bima lihat beberapa waktu lalu. Bahkan kedua sosok yang menempel tubuhnya pun seolah sedang tertidur.

Menggeleng, jujur saja Bima sama sekali tidak tau. Apa fungsi sebenarnya dari air Sendang Pitu yang sedang mereka cari. Yang dia tau, air itulah yang bisa menyelamatkan Mbak Maya.

“Kromosengkono, opo koe ra jelaske karo bocah iki. Apa kui banyu Sendang Pitu?” (Komosengkono, apa kamu tidak menjelaskan kepada bocah ini. Apa itu air Sendang Pitu?) tanya Dewi, yang kini menolehkan kepalanya menghadap Kromosengkono.

“Ora, sak bener-bener e jawaban paling apik dijupuk seko kejadian. Dudu hak ku jelasno kui kabeh” (Tidak, sebenar-benarnya jawaban paling bagus diambil dari sebuah kejadian. Bukan hakku menjelaskan itu semua) geram Kromosengkono.

Dewi mengabaikan jawaban Kromosengkono dan kembali memandang Bima. Ada rasa rindu yang tidak terjelaskan ketika menatap bocah yang ada didepannya.

Jika memang Cempoko Kuning memilih bocah ini, berarti memang ada sesuatu yang istimewa darinya.

“Pernahkah kau mendengar sebuah cerita, tentang seseorang yang mencari keabadian dengan meminum sebuah air?” ucap Dewi.

“Tirtha Amerta” ujar Pak Arif, “Benar, Tirta Amerta... air keabadian, air kehidupan, air suci” kata Dewi, dengan pandangan yang menerawang.

“Jadi Tirtha Amerta bukanlah sebuah legenda?” tanya Pak Arif penasaran.

Dia memang pernah mendengar ada sebuah legenda, dimana orang yang yang meminum air itu akan mendapatkan keabadian.

“Bukankah sebuah legenda, juga berawal dari satu kejadian?” tanya Dewi, yang kini tersenyum lebar.

“Berarti Gendiswari, menggunakan Tirtha Amerta untuk bisa mencapai sebuah keabadian?. Lalu kenapa dia harus menggunakan sukma dari Maya? Dan apa hubungannya dengan Sanggar Pati?” sambar Pak Arif dengan nada yang sedikit cepat.

Dia benar-benar bingung kali ini, apa hubungan antara air Sendang Pitu, Sanggar Pati dan Maya.

“Aku sendiri tidak tahu niat dari Gendiswari, dan aku tidak menyangka jika dia benar-benar membuka Sanggar Pati” ujar Dewi.

“Sanggar Pati adalah tempat suci bagi bangsa kami. Sama halnya dengan kalian. Para manusia juga memiliki tempat yang di sucikan, bukan?” lanjutnya.

Semua diam...
Tidak ada ucapan yang muncul dari bibir mereka. Apa yang diucapkan Dewi membuat Pak Arif dan Bima terkesima.

“Kalian berdua kini tau, bahwa ada 7 sosok yang ditugaskan untuk menjaga Sendang Pitu. Gendiswari, Banaspati, Ki Ganang, Kromosengkono dan Aku besama kedua saudaraku” terang Dewi.

Bima tersentak mendengar penuturan dari Dewi. “Kromosengkono?” ucapnya heran.

“Hahaha apa dia tidak pernah menceritakan kepadamu, siapa dirinya?” tawa Dewi, saat melihat kekagetan Bima.

Dewi pikir setelah pergi dari Sendang Pitu demi melindungi manusia Kromosengkono akan menjelaskan sejarah tentang dirinya.

“Baik, itu haknya. Dia bebas untuk bercerita atau tidak mengenai siapa dirinya” lanjut Dewi tidak peduli.

“Dari ke 7 orang hanya aku dan saudara-saudaraku yang tetap tinggal disini, aku tidak pernah meninggalkan tempat ini karena perintah dari Cempoko Kuning sudah jelas. Jaga dan jangan sembarangan memberikan air ini kepada siapapun” ujar Dewi.

“Lalu bagaimana dengan Gendiswari, kenapa dia bisa sampai mengambil air ini?” tanya Pak Arif, dia benar-benar tidak sabar untuk mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Rasa penasarannya begitu kuat sampai tanpa sadar, rokok yang dipegangnya sudah hampir habis tertiup angin.

“Apa kau tidak mendengarkanku? Gendiswari merupakan salah satu penjaga dari tempat ini. Mudah baginya untuk keluar masuk ke Sendang Pitu” ejek Dewi.

Benar pikir Bima, jika Gendiswari menjadi salah satu sosok penjaga pasti mudah baginya untuk keluar masuk ke Sendang Pitu.

“Maaf Nyai, saat Bima melihat ingatan masa lalu Gendiswari. Tempat ini sama persis dengan sendang yang ada didunia manusia. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?” tanya Bima.

“Mergo, Gendiswari wes jumuk banyu sendang iki,... terus dicampurke karo banyu sendang sek ana neng donyone manungso. Amergo kui juga dek e iso golek ingon-ingon. Sektine banyu iki ora muk iso dienggo abadi tapi yo iso gawe liane”

(Karena, Gendiswari sudah mengambil air dari sendang ini,.. terus dicampurkan dengan sendang yang ada didunia manusia. Karena itu juga dia bisa mencari ingon-ingon. Saktinya air ini tidak hanya dipakai untuk kebadian tapi juga bisa dipakai untuk yang lainnya) jawab Kromosengkono.

Bima paham sekarang, ini jawaban kenapa Arum bisa berubah cantik dan kakinya yang cacat bisa sembuh dengan ajaib.

“Dan apa hubungannya dengan Desa Ambu Mayit?” terjang Bima. Sedikit demi sedikit potongan puzzle yang selama ini menyangkut dikepalanya mulai terkuak.

“Tumbal pertama dari Gendiswari mengucapkan sumpah,... tentang Desa Ambu Mayit. Dan nama Desa yang dijaga Ki Ganang adalah Desa Ambu Mayit, apa hubungannya dengan semua itu?” lanjut Bima.

Semuanya kini menatap Bima, bahkan Pak Arif sedikit takjub dengan analisis dari Bima. Bocah laki-laki yang ada didepannya ini memang memiliki daya pikir yang luar biasa.

Meski di alam gaib tapi dia bisa mengkondisikan nalar logika yang dia lihat dan bisa menggabungkan dengan kejadian yang dia temui. “Cerdas” batin Pak Arif tersenyum.

“Kalau benar Gendiswari bersekongkol dengan Ki Ganang. Sudah jelas Desa Ambu Mayit adalah wadah yang digunakan untuk memenjarakan sukma manusia yang mereka ambil. Tumbal pertama yang kamu lihat hanya sebuah pancingan.

Dan selanjutnya Gendiswari akan berperan untuk membuat sumpah yang diucapkan oleh gadis tersebut seolah menjadi nyata, bukannya begitu?” ucap Pak Arif yang kini mulai mengikuti pembicaraan.

Tidak ada jawaban, hanya terlihat anggukan dari Kromosengkono yang Pak Arif tafsirkan sebagai bentuk persetujuan atas teorinya.

“Gendiswari pengen iso koyo Cempoko Kuning, makane dek e golek ingon-ingon sak akeh-akehe” (Gendiswari ingin seperti Cempoko Kuning, makannya dia mencari ingon-ingon sebanyak-banyaknya) ucap Kromosengkono.

“Sekarang ini kuncinya adalah memutus ritual Sanggar Pati. Sukma dari anak perempuan itu sudah separo dibawa Gendiswari. Kalau bener sampai malam selasa kliwon air ini tidak segera dibawa.

Tidak hanya anak perempuan itu yang cilaka, tapi kami penunggu Alas Lali Jiwo juga akan cilaka” lanjut Kromosengkono.

Suasana kembali tegang, semua tergantung Dewi apakah dia berkenan untuk memberikan air Sendang Pitu atau tidak. Jika berkenan tentu semua akan menjadi lebih mudah, tapi jika tidak. Tentu pertarungan akan kembali terjadi.

“Apa yang terjadi di Desa Linguwar bukan urusan kalian, tapi jika memang Gendiswari yang memulai semua ini... tangkap dia dan bawa dia kesini” ucapnya sambil berdiri.

Dewi berjalan menuju kearah sendang, entah dari mana tiba-tiba dia sudah memegangi sebuah kendi tanah liat. Kemudian dia duduk bersila, pendar cahaya tiba-tiba saja muncul dari arah sendang. Pemandangan yang tidak mungkin Bima lihat di dunia manusia.

“Selamatkan saudaramu, maka ritual Sanggar Pati akan selesai” ucap Dewi tersenyum sambil memberikan kendi yang berisikan air Sendan Pitu kepada Bima.

Seketika tubuh Bima merinding, dia benar-benar bersyukur akhirnya bisa mendapatkan air ini.

“Wektune ora akeh meneh, Banapasti koe disik o... awasi Gendiswari karo Ki Ganang” (waktunya tidak banyak, Banaspati kamu pergi duluan,... Awasi Gendiswari dan Ki Ganang) pinta Dewi, tanpa mengucapkan apa-apa Banaspati langsung berdiri dan berubah menjadi bola api dan langsung melesat keluar.

“Nyai, maturnuwun” (nyai, terimakasih) ucap Bima. Tersenyum, Dewi membelai kepada Bima.

Mereka bertiga berjalan keluar dari Sendang Pitu. Sedang Dewi tetap berada didalam untuk menunaikan tugasnya. Kini satu persatu masalah sudah terpecahkan, tinggal satu pertanyaan yang masih ada dikepala Bima.

“Kenapa dirinya dan Mbak Maya tertarik kedalam masalah ini?” batin Bima.

Tapi semua hal yang dia temui di Alas Lali Jiwo membuatnya belajar. Seperti yang penjaganya sampaikan, sebenar-benarnya jawaban akan dia dapatkan dengan sebuah kejadian.

“Siap?” ucap Kromosengkono kepada mereka berdua.

Mengangguk, Pak Arif dan Bima sudah siap dengan apa yang akan terjadi setelah ini. Mereka tau resikonya adalah berhasil atau mati. Karena jelas para ingon-ingon penghuni Alas Lali Jiwo juga akan berperan kali ini.

Kromosengkono sudah berubah menjadi sosok Buto.

“Mari kita habisi Gendiswari dan Ki Ganang” ucapnya sambil memegangi pundak Bima dan Pak Arif.

Sejurus kemudian, sensasi terhimpit benda padat kembali Bima rasakan, seolah badannya ditekan kedalam lubang yang begitu kecil.

Kembali merasakan udara masuk kedalam paru-parunya. Bima membuka mata dan mengatur nafas. Didepannya kini sudah terlihat sebuah pintu masuk Sanggar Pati. Mereka semua sayup-sayup mendengar suara gamelan. Pastilah Gendiswari sudah akan memulai ritual untuk membuka Sanggar Pati.

“Dimana Banaspati?” tanya Pak Arif.

“Entahlah, bocah itu tidak bisa ditebak. Dia akan melakukan segala seuatu sesuai dengan keinginannya” ucap Kromosengkono.

“Mencariku?” terdengar suara tidak asing dari belakang mereka.

Sontak mereka bertiga langsung menoleh. Benar saja, Banaspati berdiri dibelakang mereka. Cengiran khasnya selalu membuat Bima merasa bahwa Banaspati sebenenarnya hanya seorang bocah yang nakal.

“Didalam ada Gendiswari dan Ki Ganang” ucap Banaspati.

“Tunggu bukannya waktu itu kamu menjaga agar Gendiswari tidak melakukan sesuatu?” tanya Pak Arif.

Bima juga ingat terakhir kali sebelum meninggalkan tempat ini, Banaspati dia minta untuk menjaga Gendiswari.

“Ki Ganang datang dan mereka berdua menyerangku. Aku tidak pernah takut, satu lawan satu aku bisa menahan mereka. Tt—api jika mereka berdua menyerang bersamaan, sama saja dengan menyerahkan nyawaku” jawab Banaspati.

Benar, waktu itu mereka belum tahu tentang Ki Ganang yang menjadi sekutu Gendiswari.

“Kenapa Ki Ganang mau membantu Gendiswari?” tanya Bima, sambil menolehkan kepalanya kearah Kromosengkono,

“Mari kita cari tau, kenapa dia mau membantu Gendisawari. Pantas saja, ketika aku bilang Bima sebagai orang yang bisa memutus ritual Sendang Pati. Dia menjadi terobsesi dengan Bima” ucap Kromosengkono.

Dipandangi pintu kayu yang sudah lapuk itu. Ingatan demi ingatan muncul dikepalanya. Kenangan saat berpamitan dengan Ibunya, terasa sudah sejuta tahun yang lalu. Sedang saat Bima juga belum bertemu dengan Bapak dan Pakdhenya. Ada sedikit rasa sesal yang muncul didalam hati Bima.

Tenangno pikirmu” (tenangkan pikiranmu) ujar Kromosengkono, yang mengetahui keresahan di diri Bima. Mendengar itu Bima menghela nafas Panjang.

“Mari kita selesaikan” ucapnya mantap. Kali ini Bima yang memimpin mereka semua menuju Sanggar Pati.

Bima sudah membuka hampir separo pintu kayu lapuk itu, tapi dia buru-buru menutupnya kembali. “ Ada apa Bim?” tanya Pak Arif penasaran.

Nyengir Bima memberikan gesture kepada Pak Arif untuk melihatnya sendiri.

Sesaat Pak Arif menggerutkan keningnya. Lalu berjalan menuju pintu dan menengok kedalam. Seperti yang Bima lakukan belum separo pintu terbuka tapi langsung ditutup kembali.

“Hey, Banaspati!!! kau bilang didalam cuma ada Gendiswari dan Ki Ganang. Kenapa juga ada penghuni Alas Lali Jiwo?” tanya pak Arif kepada Banaspati.

“Benarkah? sialan mereka,” ucap Banaspati yang juga melihat kearah dalam.

“Apa yang harus kita lakukan Pak?” tanya Bima, memandang Pak Arif yang terlihat masih berfikir.

“Sepertinya mereka sudah tau akan kedatangan kita kesini. Sudah waktunya menguji kemampuan mu Bim” ucapnya menyeringai.

Baru pertama kali dia melihat Pak Arif menyeringai seperti itu.
“Mmm—maksudnya?” ucap Bima bingung dengan perkataan Pak Arif.

“Aku akan memberikan instruksi secara singkat. Ingat ketika dirimu memfokuskan energi kearea telapak tanganmu? Nah sekarang fokuskan itu pada tombak yang sedang kau pegang.

Saat kau sudah merasakan energi itu menyelimuti kalian berdua. Tancapkan saja senjata itu kedalam tanah” jelas Pak Arif.

Mendengar itu Kromosengkono tersenyum.

“Aku akan menjagamu dari belakang saat kau mengumpulkan energimu Bim... dan setelah Bima melakukan itu, Banaspati bisa memberikan tambahan kejutan dari atas” ucap Kromosengkono. Semua setuju dengan rencana kecil mereka.

Bima mulai memusatkan energinya kedalam mata tombak Cempoko Kuning, tangannya berasa kebas dan kesemutan. Sedang Banaspati sudah meluncur ke atas bersembunyi dan menunggu dibalik pepohonan yang rimbun.

“Siap?” ucap Kromosengkono. Dengan aba-aba, Kromosengkono langsung menghancurkan pintu kayu lapuk itu.

Bima langsung berlari menuju kearah tengah kerumunan, beberapa kali dia merasa seolah ada tangan-tangan yang ingin menangkapnya.

Dibelakang dan depannya Pak Arif dan Kromosengkono mencoba melindungi Bima.
“Sekarang Bim...” teriak Pak Arif.

Sekuat tenaga Bima langsung menancapkan mata tombak itu kedalam tanah. Benar saja efeknya sungguh luar biasa. Tanah seolah bergetar, energi dari Bima dan mata tombak Cempoko Kuning benar-benar membuat makhluk yang ada disekitar mereka terbakar.

Dalam sekejap Bima merasakan dirinya ditarik. Kini mereka kembali berdiri diambang pintu masuk. Kromosengkono dengan cepat, membawa Bima dan Pak Arif mundur dari kerumunan para demit Alas Lali Jiwo.

Belum sempat salah satu dari mereka mengucapkan sesuatu. Suara menggelegar muncul dari tengah-tengah Sanggar Pati. Serangan tambahan dari Banaspati membuat separo dari mereka terbakar sebelum menyadari siapa yang menyerang mereka.

“Buahahahah bagusss...” tawa Kromosengkono senang melihat apa yang terjadi.

“Cari dimana keberadaan Gendiswari, Bim” ucap Pak Arif, yang tengah mengerdarkan pandangannya ke segala arah.

“Tidak perlu mereka akan muncul sendiri, lihatlah” ujar Kromosengkono, sambil menunjuk kearah tengah bangunan pendopo.

Benar saja, disana berdiri Gendiswari dan Ki Ganang. Keduanya melihat kearah Bima dan yang lainnya.
“Selanjutnya bagaimana?” tanya Banaspati yang sudah berdiri diantara mereka.

“Kau Banaspati, kurangi jumlah penghuni Alas Lali Jiwo. Aku, Bima dan Arif akan langsung menyerang mereka” ucap Kromosengkono tegas. Tanpa menunggu komando, Banaspati langsung berubah lagi menjadi bola api dan menerjang apapun yang ada didepannya.

Kembali Kromosengkono memegangi pundak Bima dan Pak Arif. Dalam sekejap mereka sudah berada di depan bangunan pendopo.

“Ketemu meneh bocah” (ketemu lagi bocah) ucap Ki Ganang saat melihat mereka semua.

“Kekno Gendiswari, koe oleh lungo” (Berikan Gendiswari, kamu boleh pergi) ucap Kromosengkono.

“Buahahahah dudu koe sek ngei pilihan” (bukan kamu yang memberikan pilihan).

Bima yang mendengar itu semua hanya diam. Dia selalu memperhatikan gerak gerik dari kedua sosok ini. Sementara Ki Ganang sedang berceloteh, justru Gendiswari terlihat memandangi Bima dengan seksama.

“Aku wes ngerti sak iki, Cempoko Kuning ra iso metu sak gelem e dewe” (aku sekarang sudah tau, Cempoko Kuning tidak bisa keluar semaunya sendiri) ucap Gendiswari kepada Bima.

“Ada begitu banyak orang yang terlahir di malam selowo kliwon, kenapa Mbak Maya?” ucap Bima lantang. Sudah lama sekali dia ingin mengetahui jawaban dari pertanyaan ini.

“Memang awalnya aku hanya sekedar ingin menjadikan dia sebagai ingon-ingonku. Tapi setelah aku tau bahwa kalian memiliki darah Sangaraja, aku justru ingin menjadikan saudarimu sebagai wadahku selanjutnya” ucapnya dengan nada penuh dengan dendam.

“Darah Sangaraja?” tanya Bima bingung,

“hahaha benar dugaan ku Kromosenkono pasti tidak akan memberitahu mu siapa Sangaraja” jawab Gendiswari tersenyum senang.

“Siapa Sanaraja? Dan apa hubungannya degan ritual Sanggar Pati yang sedang kau lakukan” cecar Bima.

“Ah kau sudah tau tentang ritual Sanggar Pati? Dengan membuka Sanggar Pati aku bisa dengan mudah mencari ingon-ingon. Dengan menggunakan tubuh dari saudaramu akan lebih mudah mencari tumbal dari alam mu.

Terlebih dengan darah Sangaraja yang mengalir di dalam tubuh saudarimu, itu akan menambah kesaktian ku.” Ucap Gendiswari. Semua ini sudah cukup bagi Bima, terlihat Kromosengkono juga sedang bertarung dengan Ki Ganang.

“Sekarang Bim...” ucap Pak Arif yang menyadari kelengahan dari Gendiswari. Sejurus Bima meleparkan mata tombak Cempoko Kuning kearah Gendiswari.

Sesaat mereka mengira bahwa senjata itu dapat menghancurkannya, tapi ternyata kekuatan dari Gendiswari juga tidak kalah hebat. Dirinya hanya terpelanting kebelakang dan langsung berdiri.

Gendiswari menatap Bima dengan pandangan dendam kesumat. Kini suara gamelan mulai terdengar lagi.

“Kau dan saudarimu tidak akan pernah bisa keluar dari alam ini” ucapnya penuh dengan ancaman. Bima tidak gentar mendengar itu semua.

Justru saat ini dia sedang memusatkan energi ditelapak tangannya. Api mulai berkobar menyelimuti tangan Bima.

“Aku akan menyerangnya. kau siap-siap, saat dia lengah langsung pukul sekuat tenaga” kata Pak Arif. Bima mengangguk, mengisyaratkan dirinya paham. Terlebih sudah terlalu lama mereka berada di alam gaib... waktu sudah semakin sempit.

Seketika Pak Arif berlari menuju Gendiswari. Seperti saat bertarung dengan Ki Ganang saat di Sendang Pitu. Gerakan demi gerakan yang pak Arif lakukan membuat Bima takjub.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close