Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

CERITA TENTANG MEREKA (Part 16 END) - Penyelamat


Penyelamat

“Sialan bocah itu” ucap Ki Ganang, yang mulai kuawalahan melawan Kromosengkono. Kekuatan yang dimiliki Kromosengkono tiba-tiba saja meningkat secara drastis. Dia tidak menyangka kalau bocah Bima bisa menyalurkan energi miliknya kepada Kromosengkono.

“Kenapa kakek tua, kau takut?” ujar Kromosengkono, mengejek.

“Takut? Kepadamu? Hahaha hanya karena bocah itu memberikan energinya kepadamu, lantas kau merasa bisa mengalahkanku?” balas Ki Ganang.

“Mari kita selesaikan” ucap Kromosengkono, dengan seringai mengerikan.

Kromosengkono sudah bersiap-siap untuk kembali melanjutkan pertarungan. Akan tetapi saat dia baru mau melangkah, terlihat pendar cahaya muncul dari tangan kanan Ki Ganang.

Seolah–olah Ki Ganang sedang menciptakan energi besar dan melepaskan kekuatan angin disekitar mereka. Kromosengkono menunggu apa yang sedang ki Ganang lakukan, hingga nampak sebuah benda yang selama ini sudah lama tidak dilihatnya.

Ki Ganang mengeluarkan sebuah keris, sudah lama sekali semenjak senjata itu digunakan. Keris Gondolrogo, salah satu benda yang selama ini dicari oleh banyak makhluk.

Kromosenkono tidak menyangka kalau Ki Ganang lah yang memiliki benda tersebut. Keawaspadaan Kromosengkono meningkat, jika dia terkena serangan dari keris itu... akan sangat berakibat fatal.

“Dari mana kamu mendapatkan benda itu” tanya Kromosengkono, sambil mencoba mengulur waktu dan mencari celah.

“Dudu urusanmu ak...” (bukan urusanmu ak...) namun belum sempat Ki Ganang menyelesaikan ucapannya. Sebuah gelombang energi yang kuat datang dari arah pendopo.

Baik Kromosengkono dan Ki Ganang secara spontan melihat kearah sumber kekuatan besar itu. Mereka sedikit terkejut saat melihat Bima sedang menancapkan mata tombak Cempoko Kuning pada sebuah benda yang tidak bisa mereka lihat dengan jelas.

“Banaspati” teriak Kromosengkono. Mendengar namanya diteriakan, Banaspati berhenti mengamuk dan terbang menuju Kromosengkono.

“Ada apa?” ucap Banaspati, dahinya mengerut, “Dari mana dia mendapatkan benda itu?” saat melihat keris Gondolrogo di tangan Ki Ganang.

“Tidak ada waktu untuk menjelaskan. Tahan Ki Ganang sebentar, ada yang tidak beres dengan Bima” kata Kromosengkono cepat.

“Apa yang sebenarnya terjadi? Hey...” Belum sempat Banaspati menyelesaikan pertanyaannya, Kromosengkono sudah pergi menuju ke arah Bima.

Ki Ganang yang melihat lawannya kabur mencoba mengejar, akan tetapi Banaspati dengan sigap menghalanginya.

“Minggir bocah” (minggir bocah) geramnya.

“Wong tuo peot koyo koe rasah kakean cangkem” (orang tua peot sepertimu tidak usah banyak bicara) ejek Banaspati, dengan ceringan khasnya. Geram mendengar ejekan tersebut, langsung saja Ki Ganang melancarkan serangan kepada Banaspati.

Sementara itu, Kromosengkono sudah separo jalan menuju kearah Bima.

“Jangan sampai Bima membakar Gendiswari” batin Kromosengkono panik.
“Gendiswari harus dibawa kehadapan Dewi untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya”.

Bima kini sudah berdiri didepan Gendiswari yang terlihat lemah dan tidak berdaya. Dia sadar apa yang akan dilakukannya dengan mata tombak Cempoko Kuning. Jika sosok yang ada didepannya tidak mau melepaskan sukma dari Maya...?
Pilihannya hanya satu...

“Dosamu sudah terlalu banyak” ucap Bima. Mendengar ucapan Bima justru Gendiswari menyeringai mengejek.

“Bocah koyo koe ra ngerti opo-opo” (bocah sepertimu tidak tahu apa-apa) ucap Gendiswari, menatap Bima dengan pandangan menghina.

Dia masih tidak percaya, bagaimana mungkin dia dikalahkan oleh bocah ingusan yang baru saja bisa membuka kekuatannya itu.

“Bim... Jangan kau bakar dia sekarang, kita bawa dia kehadapan Dewi di sendang pitu” ujar Kromosenkono yang sudah berdiri disamping Bima.

“Aku tau... Kita pisahkan dulu sukma Mbak Maya yang masih dia ikat” kata Bima tanpa menolehkan pandangannya dari Gendiswari.

Blaaaammmm... suara ledakan memekakan telinga terdengar dari arah luar pendopo. Mereka berdua terkejut mendengar suara itu, sepersekian detik Bima menoleh kearah sumber suara dan kembali menghadap Gendiswari lagi.

“Mereka menghajar Ki Ganang habis-habisan Bim” ucap Kromosengkono, memberitahu Bima.
“Baguslah, mari lakukan sekarang” kata Bima datar tanpa expresi.

Tanpa menjawab Kromosengkono langsung mengikuti perintah Bima. Aura yang muncul dari dalam diri Bima membuat Kromosengkono untuk pertama kalinya merasa segan. Segera dia duduk bersila didepan Gendiswari dan menempelkan tangannya di kening sosok tersebut.

Secercah cahaya muncul dari tangan Kromosengkono, dan langsung melesat terbang menembus atap pendopo.

Perlu beberapa saat bagi Bima untuk memahami yang sudah terjadi, hingga dia sadar kalau cahaya tadi dalah bagian sukma Maya yang disembunyikan oleh Gendiswari.

Pikiran Bima masih belum bisa tenang, ingatan yang didapatkannya saat menghancurkan sisir itu benar-bener mengerikan.

Suara-suara korban tumbal dari Gendiswari yang menjerit, meminta tolong, memenuhi kepala dan telinganya. Dipandanginya sosok Gendiswari, ingin rasanya langsung membakarnya ditempat ini.

“Sukma Maya sudah ku kirim ke tempat Simbah. Sekarang kita pergi ke Sendang Pitu” ucap Kromosengkono, sambil berdiri.

“Maturnuwun” (terima kasih) kata Bima tersenyum. Kromosengkono tersenyum dan mengangguk.

Sementara itu diluar pendopo pertarungan antara Banaspati, Pak Arif dan Ki Ganang masih berlangsung. Kekuatan yang dimiliki Banaspati benar-benar mengerikan, dia bisa membakar apapun dalam jarak jangkauannya.

Sampai pada satu kesempatan, Pak Arif dan Banaspati melancarkan serangan bersama-sama. Mereka kira Ki Ganang sudah tumbang dengan serangaan yang mematikan itu.

Akan tetapi Ki Ganang mampu menghindari serangan itu dan kabur masuk kedalam hutan Alas Lali Jiwo, karena merasa bahwa dirinya dan Gendiswari sudah kalah dari bocah-bocah itu.

Sempat Banaspati ingin mengejar, namun Pak Arif mencegah dan memintanya untuk segera menemui Bima dan Kromosengkono.

“Kemana Ki Ganang?” tanya Kromosengkono,

“Kabur” jawab Banaspati singkat.

“Biarkan, kita urus dia nanti, sekarang kita pergi ke Sendang Pitu” lanjut Kromosengkono.

Mereka semua mengangguk. Bima berjalan menuju Pak Arif yang kini tengah tersenyum lebar.

“Bagian sukma dari Mbak Maya sudah ditempat Simbah, terima kasih Pak” ujar Bima, saat sudah berada di depan pembimbingnya.

“Syukurlah, kau hebat sekali Bim” ujar Pak Arif tersenyum tulus, tapi tidak dengan Bima.

Justru dia mendapati ada sesuatu yang aneh dari sorot mata Pak Arif.

Dibantu Banaspati mereka pergi meninggalkan Sanggar Pati yang sudah porak poranda, sekali lagi Bima merasakan perasaan terhimpit benda padat yang tidak mengenakkan.

Membuka mata, dirinya sudah berada di pintu masuk Sedang Pitu.

“Kalian tidak tau apa yang sedang kalian perbuat” ucap Gendisawari tiba-tiba. Namun siapa sangka, Banaspati entah kenapa malah justru memukul Gendiswari hingga dia tersungkur ketanah.

“Kakean omong, mergo koe kabeh dadi koyo ngene” (banyak bicara, karena kamu semua jadi seperti ini) ucapnya penuh amarah. Baru kali ini Bima melihat Banaspati begitu marah, namun dia tidak begitu peduli sekarang ini.

Setidaknya sebentar lagi semua akan selesai dan mereka bisa kembali ke alam manusia. Perlahan Bima melangkah menuju pohon besar yang menjadi pintu masuk Sendang Pitu,

Semua yang ada disana mengikutinya. Terkecuali Gendiswari yang harus dipaksa dengan setengah diseret oleh Banaspati.

Saat sudah memasuki Sendang Pitu, terlihat Dewi sudah menunggu mereka semua. Seutas senyum dia tampakan kepada Bima dan yang lainnya.

“Urusanmu wes rampung cah?” (urusanmu Sudah selesai nak) ucapnya, sambil berjalan menuju kearah mereka.

“Sampun Nyai” (sudah Nyai) jawab Bima.
“Yowes, bariki nek wes rampung urusan e neng kene ndang kekno banyu kui neng sukmane dulur mu” (yasudah, setelah ini kalau sudah selesai urusan yang ada disini, segera kasihkan air itu kepada sukma saudarimu) jelasnya.

Dewi berjalan menuju Gendiswari, matanya menyalang mengisyaratkan kemarahan, tidak seperti saat menatap Bima beberapa waktu lalu.

“Koe ngerti opo sek mbok lakokne?” (kamu tau apa yang sudah kamu lakukan?) ucap Dewi, kepada Gendiswari.

Tidak menjawab, Gendiswari hanya menundukan wajahnya. Sementara itu mereka berempat memberikan jarak dan melihat apa yang akan Dewi lakukan kepada Gendiswari.

“Koe wes ngrusak tatanan sek wes digawe karo Cempoko Kuning. Koe wes mangkir seko tugasmu” (Kamu sudah merusak tatanan yang sudah dibuat oleh Cempoko Kuning. Kamu sudah mangkir dari tugasmu) lanjut Dewi. Tetap saja Gendiswari hanya diam dan tidak menjawab.

“JAWAB!!!!” suara Dewi begitu menggelegar. Bima yang kaget dan hampir saja terjatuh saking kerasnya suara Dewi. Sosok yang ada didepannya ini bukan sembarangan demit, energi yang dipancarkan benar-benar mematikan.

“Nnn—ngapunten Nyai, aku ra iso nahan kepengenan ben iso tambah sekti” (Maaf Nyai, saya tidak bisa menahan keinginan agar bisa bertambah sakti) jawab Gendiswari.

“LANCAAANG!!!” sekali lagi Dewi mengeluarkan suara yang menggelegar, hingga kedua saudaranya pun ikut terbangun karena suara itu.

“Koe wes ngerti resikone, sak iki wes wayahe koe turu” (kamu sudah tau resikonya, sekarang sudah waktunya kamu tidur) lanjut Dewi dengan muka yang begitu menahan amarah.

Gelegar petir tiba-tiba menyambar diatas mereka. Tiba-tiba saja benda yang sedari tadi Bima pegang terasa begitu panas. Dewi kini tengah berdiri memegangi sebuah belati kecil dengan ukiran di mata pisaunya.

“Kabeh laku ana konsekuensine” (semua lelaku ada konsekuensinya) ucap Gendisawari. Namun Dewi menyeringai dan menjawab

“kui kabeh wes huduk urusanmu” (itu semua sudah bukan lagi urusanmu).

Pada kalimat terakhir Dewi langsung menghujamkan belati yang dipegangnya kearah Gendiswari. Bima yang melihat hal itu hanya diam berdiri mematung, meskipun sedari tadi dia berkeinginan untuk membakar Gendiswari akan tetapi saat melihat itu semua, masih terbesit rasa kasihan didalam hatinya. Akhirnya sosok yang selama ini menjadi momok didalam kehidupannya terbakar dan lenyap dari pandangan.

Dewi berbalik menghadap mereka, ada setitik air mata yang tumpah dipipinya.

“Apa demit juga bisa menangis?” bisik Bima kepada Kromosengkono.

“Rak sopan” geramnya. Mendengar itu Bima tidak berkata-kata lagi.

“Dimana Ki Ganang?” tanya Dewi saat sudah duduk diatas batu.

“Dia kabur, mungkin masih berada di sisi lain Alas Lali Jiwo” ucap Banaspati.

“Biarlah, dia akan kembali. Aku tau sifatnya, berhati-hatilah kalian karena pasti dia akan mengincar Bima” jelas Dewi.

“Mengincarku, kenapa?” ucap Bima, dia pikir semua sudah selesai dengan hancurnya Gendiswari, tapi ternyata masih ada sosok yang mengincar dirinya.

“Ya mengincarmu, tapi itu tidak penting untuk saat ini. Kalian berempat berendamlah terlebih dahulu, pulihkan tenaga kalian” kata Dewi, sambil menunjuk kearah sendang.

Tanpa harus diminta dua kali, mereka semua langsung berjalan menuju sendang. Perlu beberapa waktu bagi Bima untuk memulihkan dirinya. Saat membuka mata, hanya tinggal dia yang masih berada didalam sendang.

“Rasanya seperti dejavu” ucap bisa lirih sambil tersenyum simpul. Bima bangkit dan segera berjalan menuju ke arah mereka, namun ada yang sedikit berbeda.

“Kenapa Pak Arif memakai baju yang dulu pernah ia kenakan saat pertama kali memasuki Alas Lali Jiwo?” Batin Bima keheranan.

“Bim kemarilah” ucap Pak Arif tersenyum lebar. Bima menurut dan langsung duduk disebelahnya.

“Semua sudah selesai, kita tinggal memberikan air Sendang Pitu kepada bagian sukma Maya. Sekalian bertemu dengan Banyu dan Wawan”.

Mendengar itu Bima tersenyum bahagia. “Terimakasih Nyai” ucap Bima saat mereka sudah bersiap meninggalkan Sendang Pitu.

“Jaga dirimu, suatu hari kau akan bertemu dengan ku lagi” ucapnya, sambil membelai rambut Bima.

Mereka kembali berjalan meninggalkan Sendang Pitu. Setelah sampai diluar Kromosengkono memegangi bahu Bima, dalam sekejap mereka sudah berpindah tempat dan berdiri tidak jauh dari gubuk Simbah.

Terlihat Banyu dan Wawan sedang duduk bersama Simbah, jelas sekali mereka berdua masih tampak khawatir walau tersenyum melihat kedatangan mereka.

“Ayo” ajak Kromosengkono, yang melihat Bima diam dan menatap Pak Arif.

“Ada apa?” tanya Kromosengkono heran.

Menggeleng, Bima melangkah menuju ke Gubuk Simbah. Pertanyaan yang ada didalam kepalanya bisa dia tanyakan nanti, semuanya pasti akan terjawab. Setengah berlari Bima langsung menuju Banyu dan memeluknya.

Bima merasakan luapan kasih sayang yang begitu besar, perjalanan mencari air sendang pitu memberinya sebuah pelajaran yang sangat berharga, untuk selalu menikmati momen bersama dengan orang-orang terkasihnya.

“Wes rampung?” (sudah selesai?) ucap Simbah dengan senyum khasnya.

“Sampun Mbah” jawab Bima yang juga merasa lega dan nyaman saat berada digubuk reot ini.

“Sak iki banyune gowo rene” (sekarang airnya bawa kemari) pinta Simbah.
Segera Kromosengkono memberikan kendi yang berisi air Sendang Pitu.

“Kalian berhasil? Kalian berhasil?” tanya Pakdhe, berulang kali tidak percaya.

“Semua berkat Bima” jawab Pak Arif yang sedari tadi diam memperhatikan.

“Terima kasih Bim, terima kasih, dan kau setelah ini kau bisa makan sepuasnya Rif” kata Pakdhe, sumringah menatap sabahatnya. Namun Pak Arif hanya tersenyum dan mengangguk.

“Wes engko meneh ngobrol e jeh akeh wektu, sak iki ayo do melu” (sudah nanti lagi ngobrolnya masih ada waktu, sekarang ayo semua ikut) ajak Simbah, sambil berjalan menuju kedalam Gubuk.

Sesaat Bima hanya menerka-nerka bahwa sukma dari Maya ada didalam. Benar saja, saat mereka sudah masuk kedalam. Terlihat tubuh seorang wanita sedang terbujur kaku diatas sebuah amben.

“Maya...!!!” ucap Pakdhe kaget, dia tidak menyangka kalau anaknya juga ada disini. Simbah segera berjalan menuju Maya.

Terdengar lantunan doa atau mantra dari mulut Simbah yang Bima tidak mengerti bahasanya. Setelah selesai, air dari kendi itu dia tuangkan dari kepala hingga kaki Maya. Tapi anehnya, seolah tubunya Maya seperti menyerap air, tidak terlihat basah sedikitpun.

Perlahan Maya membuka mata, terlihat sorot matanya masih kosong.

“Wes tangi?” (sudah bangun) ucap Simbah. Maya hanya tersenyum dan mengangguk serta memperhatikan sekitarnya.

“Mmm—ay... Maya, kamu sudah bangun nak?” tanya Pakdhe mencoba mendekat kearah Maya.

“Percuma diajak ngomong, kui dulur aluse anakmu, nek meh ngobrol yo engko neng donyomu” (percuma diajak bicara, itu saudara halusnya anakmu. Kalau mau ngobrol ya nanti diduniamu) kekeh Simbah, saat melihat Pakdhe yang begitu senang karena anaknya sudah terbangun.

“Wes sak iki kono mulih o neng rogomu” (sudah sekarang pulanglah ke ragamu) lanjut Simbah sambil menempelkan tangannya ke arah kening Maya.

Kaget dengan apa yang mereka lihat, Pakdhe hampir saja menjerit sedang Banyu memegangi bahu Bima dengan kencang sampai terasa sakit. Tubuh Maya bercahaya dan langsung melesat keatas menembus langit-langit gubuk Simbah.

“M—mbah?” ucap Pakde terbata.

“Ora usah sumelang, sukmone wes balik saiki, paling wes tangi sak iki bocah e” (tidak usah khawatir, sukmanya sudah kembali sekarang, paling sudah bangun sekarang anaknya) ucap Simbah dengan tawa khasnya.

Mereka kembali keluar dan duduk diamben,
“kabeh wes rampung, koe kabeh iso muleh, engko ben Kromosengkono karo Banaspati sek ngeterke” (semua sudah selesai, kalian semua bisa pulang, nanti biar Kromosengkono dan Banaspati yang mengantar) kata Simbah.

“Mbah, ngapunten, Sangaraja niku sinten?” ( Mbah, maaf Sangaraja itu siapa?) tanya Bima, tiba-tiba.

“Wes-wes kui ora perlu dipikirke sak iki, sesok nek wes wayahe, koe bakal ngerti jawabane” (sudah-sudah itu sekarang tidak perlu dipikirkan sekarang, besok kalau sudah waktunya, kamu akan tahu jawabannya) jelas Simbah, tidak ada raut kemarahan. Senyum ramah itu sudah membuat Bima cukup tenang dengan pertanyaan yang dilontarkannya. Setidaknya dia tidak perlu cemas untuk saat ini.

Mereka berjalan menuju pekarangan gubuk Simbah untuk diantar kembali ke alam manusia, semua tersenyum lega. Hingga Bima menyadari bahwa Pak Arif masih tetap berdiri disebelah Simbah.

“Pak Arif? Ayo...” ucap Bima. Bukannya berjalan menuju Bima dan yang lainnya, justru Pak Arif tersenyum dan duduk kembali ke amben.

“Kalian pergilah duluan” ucapnya, dengan nada getir.

“Maksudnya bagaimana Rif?” ucap Pakdhe yang kebingungan.

“Aku tidak bisa pulang bersama kalian, pulanglah temui keluarga kalian” ucap Pak Arif, tersenyum walau sorot matanya terlihat sendu.

“Tidak, kita pulang bersama-sama” kata Bima,

“Semua sudah takdir Bim, pulanglah” kata Pak Arif yang sudah berdiri kembali.

Bima kebingungan dengan ini semua,
“apa yang sedang terjadi” tanya Bima, kepada Kromosengkono yang justru memalingkan mukanya.

“Apa yang sedang terjadi” tanya Bima sekali lagi.

Tetap saja Kromosengkono diam, bahkan Banaspati justru malah terbang tinggi diatas mereka membentuk kobaran api melingkar.

“Mbah, apa yang sedang terjadi?” Bima kembali bertanya kebingungan, tetapi simbah tidak menjawab dan justru masuk kedalam Gubuk.

“HEYYYY, APA YANG SEDANG TERJADI....” teriak Bima jengkel.

“Tinggal satu yang lain boleh pergi” ucap Pak Arif singkat.

Deg... Jantung Bima terasa berhenti seketika, segala sesuatu yang ada disekitarnya terasa kabur.

“Jelaskan... JELASKAN” tanya Bima kepada Kromosengko. Sosok penjaganya itu tidak langsung menjawab, justru diam menatap Bima, kembali energi Bima meluap-luap bahkan Banyu dan Wawan juga merasakan udara disekitarnya menjadi menyesakan.

“Tenangkan dirimu” ucap Kromosengkono.

Sejenak Bima diam, dia mencoba mengatur nafasnya.

“Ada harga yang harus dibayar ketika mengambil air itu.... tidak dengarkan dulu” ucap Kromosengkono saat melihat Bima ingin menyela.

“Ada harga yang harus dibayar, Sendang Pitu bukan hanya sendang biasa seperti yang kau ketahui. Sekarang Gendiswari sudah tidak bisa menjaga sendang itu, dan sebagai gantinya... Dirimu atau Arif yang harus menjaganya”

“Kenapa harus aku atau Pak Arif?” tanya Bima.

“Karena kemampuan yang kalian miliki” jawab Kromosengkono singkat.

“Tidak... pasti ada cara lain, aku akan berbicara dengan Dewi” ucap Bima, yang sudah ingin berjalan kearah hutan.

“Percuma Bim... itu sudah aturan dialam ini” ucap Kromosengkono,sambil menahan tangan Bima.

“KALAU KAU TIDAK MAU MEMBANTU KU... BIARKAN AKU SENDIRI YANG MELAKUKAN” emosi Bima meledak, nafasnya memburu...

dipandanginya sosok laki-laki yang baru beberapa minggu ini dikenalnya. Setetes air mata jatuh dipipi Bima.

“Pulanglah” hanya itu yang Pak Arif ucapkan, sementara Banyu dan Wawan hanya diam. Mereka juga tidak tau harus berbuat seperti apa.

“Maafkan aku rif” ucap Pakdhe Wawan.

“Pulanglah, ini semua sudah menjadi pilihanku, kembalilah bersama keluarga kalian, anak dan istriku sudah tenang disana. Tidak ada yang perlu kukhawatirkan” kata Pak Arif sambil tersenyum tulus.

Bima berlari menuju laki-laki yang tengah berdiri didepan gubuk reot itu, seketika dia langsung memeluknya dengan erat.

Sedu sedan tangisnya terdengar hingga mereka yang melihatnya tidak tega untuk memisahkan.

“Bima minta maaf pak, harusnya Bima yang berada disini” ucap Bima sesenggukan.

“Masa depanmu masih panjang, ingat aku pernah mengatakan kepadamu untuk terus belajar sampai tidak ada yang bisa mengajarimu” kata Pak Arif sambil membelai rambut Bima.

“Sekarang pulanglah, kau bisa datang kesini sesekali” ucapnya sambil terkekeh.

Dipandangi laki-laki paruh baya yang ada didepannya, meski baru bertemu beberapa minggu ini. Tapi Bima sudah merasakan kedekatan yang luar biasa.

Bima tersenyum,
“akan ku cari cara untuk membawamu kembali ke alam manusia pak” ucap Bima serius dengan pandangan yang selama ini tidak pernah Pak Arif lihat.

Bahkan Kromosengkono yang berada dibelakang mereka juga tersentak merasakan gelombang energi yang Bima keluarkan.
“Selamat Tinggal” ucap Bima.

***

Mereka saat ini sudah berada di dalam mobil, entah kenapa saat Kromosengkono menyentuh pundak Bima semuanya menjadi gelap. Waktu tersadar dirinya serta Bapak dan Pakdhenya sudah berada didalam mobil.

Tidak seperti saat terakhir kali mereka meninggalkan mobil tersebut, kali ini mereka terbangun di suatu tempat yang sepertinya jalan raya dipinggir hutan. Sosok Kromosengkono dan Banaspati juga tidak terlihat disekitar mereka.

“Sudah bangun?” ucap Banyu saat melihat Bima anaknya duduk mengedarkan pandangan.

“Kita tunggu Pakdhemu bangun baru kita pulang” Bima yang sudah tidak memiliki tenaga hanya mengangguk.

Dilihatnya sebungkus rokok ada disamping tempat duduknya, dengan sigap dia langsung mengambil dan membakar satu batang.

“Kamu tidak apa-apa Bim?” tanya Banyu.

“Tidak apa-apa Pak” jawab Bima singkat.

Ternyata mereka sudah meninggalkan dunia manusia selama 7 hari, setelah Pakdhe terbangun mereka melanjutkan perjalanan menuju rumah. Mereka tidak bisa menghubungi orang rumah karena kondisi baterai hp mereka mati.

Perlu waktu 4 jam untuk bisa sampai ke rumah Pakdhenya. Saat perjalanan Bima lebih banyak diam, bahkan saat mereka mampir disebuah tempat makan.

Bima hanya sedikit sekali makan. Banyu yang mengerti perasaan anaknya tidak bertanya lebih, hanya meminta Bima untuk menjaga kondisinya.

Tanpa terasa mereka sudah tiba didepan rumah. Seketika Sekar keluar karena mendengar suara mesin mobil yang tidak asing ditelinganya. Sontak ketika melihat Bima keluar dari mobil dia langsung berlari dan memeluk anaknya.

Tangisnya pecah, rasa khawatirnya hilang.
“Biarkan Bima istirahat dulu dek” ucap Banyu, sebelum sekar meminta Bima untuk menceritakan apa yang sedang terjadi.

“Maya...?” tanya Pakdhe, tidak menjawab Sekar justru meminta mereka masuk kedalam rumah.

Saat sampai dipintu depan, Pakdhe langsung berlari memeluk anaknya. Mbak Maya tengah berdiri menyambut mereka dengan senyum yang mengungkapkan rasa terima kasih yang mendalam.

Setelah Pakdhe melepaskan pelukannya. Maya berjalan kearah Bima, dia langsung memeluknya. Tangisnya pecah, perlu beberapa saat sampai Maya berhenti menangis,

“Terimakasih Bim, terimakasih karena sudah menyelamatkan ku” ucapnya masih memeluk Bima dengan erat. Bima hanya tersenyum dan mengangnguk, badannya begitu lelah ingatannya tentang semua kejadian ini begitu membekas didalam diri Bima.

“Arif kemana?” tanya Budhe, seketika Banyu dan Pakdhe diam,

“Akan kuceritakan nanti, setelah semua istirahat” kata Pakdhe.

Bima yang sudah dilepaskan oleh Mbak Maya sejenak memandangi Sekar. Tersenyum, Bima melangkah menuju kamarnya dan langsung masuk kedalam.

Benar saja, sosok Kromosengkono sudah berdiri diujung ruangan. Bima tidak langsung menanyainya, dia berjalan menuju kursi didepan meja belajar dan mendudukinya.

“Rasanya sudah lama sekali saat pertama kali kau memperlihatkan dirimu” ucap Bima terkekeh mengingat bagaimana dia pertama kali bertemu Kromosengkono, bagaimana dia bertemu dengan Willem, dan sosok Gendiswari yang mengganggunya dirumah ini.

Dan kembali saat mengingat Pak Arif hatinya begitu sakit, seolah dia ada sesuatu yang menyayat-nyayat hatinya.

Matanya tiba-tiba memanas, tenggorokannya terasa sakit sekali.

“Sekali lagi aku meminta bantuanmu” ucap Bima dengan suara tercekat. Kromosengkono tidak menjawab, dia masih terus memandangi Bima.

“Bantu aku untuk mengeluarkan Pak Arif dari sana, walau harus menghancurkan Alas Lali Jiwo!” ucap Bima dengan tegas dan yakin.

“Sendiko dawuh” jawab Kromosengkono yang langsung duduk bersimpuh didepan Bima.

-TAMAT-

Terima kasih telah menyimak cerita ini. Nantikan lanjutan kisah perjalanan hidup Bima dkk... pada episode-episode berikutnya!
close