Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

CERITA TENTANG MEREKA (Part 1) - Awal Melihat Mereka

Awal mula aku berjumpa dengan mereka...


Tidurku tidak nyenyak malam itu, berbagai posisi sudah kucoba. Nanum tetap saja mata ini tidak mau terpejam. Kuhela nafas dan mencoba untuk melihat jam yang ada di dinding kamar kecil ini.

Jam sudah menunjukan pukul 1 dini hari. Udara yang begitu panas membuatku tak betah untuk menggunakan selimut malam itu.

Diiiiaaaggg terdengar suara kencang seperti benda yang dilempar keatap rumah munggil ini.
“Apa lagi kali ini” batinku sembari menghela nafas. Sudah puluhan kali dia mencoba mencerna segala sesuatu yang akhir-akhir ini ia temui.

Mulai dengan bertemu sosok yang meminta tolong untuk diantarkan pulang hingga anak kecil yang bermata satu dengan muka berdarah-darah datang meminta permen.

Takut? Sebagian orang mungkin akan merasakan takut dengan kehadiran mereka tapi aku disini memang sudah di cap untuk bisa melihat dan berinteraksi dengan mereka. Beranjak dari tempat tidur yang menjadi saksi, pertama kali aku bisa melihat sosok-sosok tersebut. 

***

“Besok seminggu kedepan, Ibu sama Bapak ada keperluan diluar kota, jadi kamu sementara seminggu ini tidur di rumah Budhe ya? Tidak apa-apa kan?” ucapnya sambil membelai rambut anak laki-lakinya.

Terbiasa dengan ditinggal kedua orang tuanya untuk bekerja, Bima tidak mempermasalahkan itu semua. Hanya anggukan yang dilakukannya sebagai tanda kalau dia setuju dengan apa yang diminta oleh wanita yang disebutnya sebagai Ibu. 

***

“Assalamualaikum” ucap Sekar saat sudah tiba dirumah kakaknya Yanti.
“Waalaikumsalam, sini masuk” ucap budhe mempersilahkan kami masuk kedalam rumahnya.

“Ini mbak, aku mau minta tolong seminggu ini, biar Bima tinggal disini ya, kasihan kalau dia dirumah sendirian” ucap Sekar yang langsung to the poin dengan maksud kedatangannya.

“Kamu ini, ya tidak masalah Bima mau tinggal disini selamanya, tapi kamu itu juga mesti bisa bagi waktu buat anakmu, bukan cuma kerjaan yang dipikirkan” tegur Yanti kepada adiknya tersebut.

Sedangkan Bima saat itu sudah disibukan dengan buku-bukunya. Memang Bima suka sekali dengan yang namanya membaca. Bahkan dia sudah meminta untuk dibuatkan ruang pribadi untuk koleksi buku-bukunya.

“Bim, nanti kamu pakai kamarnya Mbak Santi ya, kan sekarang dia sudah sama suaminya jadi kamar itu kosong” ucap Budhe disela-sela obrolan mereka.

“Iya Budhe” hanya itu yang diucapkan Bima sembari masuk ke dalam kamar yang Budhe Yanti bilang. Sudah terbiasa dengan semua ini, tidak ada rasa canggung yang muncul dari diri Bima.

“Kamarnya belum dibersihkan ya Budhe?” Kata Bima yang menjulurkan kepalanya menghadap ruang kearah dimana Ibu dan kakaknya sedang berbincang.
“Belum Bim, sebentar nanti Budhe bersihkan” ucapnya sambil lalu.

“Biar Bima aja yang bersihin Budhe” katanya sambil keluar untuk mengambil perlengkapan untuk membersihkan kamar tersebut. Sedang Budhe dan Ibu hanya mengiyakan apa yang ingin Bima lakukan.

Sudah beberapa waktu Bima membersihkan kamar tersebut, masih terdengar obrolan diantara kedua wanita kakak beradik itu.
“Bim, Ibu pulang dulu yaa jangan bandel kamu disini” ucap Sekar berpamitan dengan anaknya.

“Bima sudah besar Bu, tau apa yang harus dilakukan” ucapnya sembari menerima uluran tangan Sekar.

Saat ini memang Bima sudah menjadi siswa SMA walau baru kelas 1 tetapi dengan sifatnya yang pendiam membuat dia terlihat lebih dewasa. Mungkin karena keterbiasaannya mandiri membuat dia tumbuh menjadi pribadi yang jauh lebih tangguh dari penampilannya.

Malam sudah beranjak, bulan sudah menampilkan cahayanya yang sendu. Bima memang hobi duduk sendiri melamun merasakan kesunyian. Baginya sungguh kenikmatan yang tidak bisa ia dapatkan dari hal lainnya.

“Kamu ngerokok Bim” sapa Pakdhe Wawan yang sudah duduk di sebelah Bima.
“Iya Pakdhe, cuma Ayah sama Ibu tidak tau kalau Bima merokok” ucap Bima memberikan senyum simpul.
“Kamu ini Bim, masih kecil kok sudah merokok” tegurnya.

“Kamu kesepian ya Bim, kalau kamu memang mau tinggal disini terus, Pakdhe juga tidak masalah, sekalian malah bisa jadi temennya Pakdhe” ujar Pakdhe Wawan yang ikut menyalakan sebatang rokok.

Memang Pakdhe dan Budhe belum diberikan kesempatan untuk memiliki anak laki-laki, ke 3 anaknya semua perempuan. Mungkin Pakdhe merasa butuh teman sesama laki-laki untuk saling bercerita nantinya.

“Sudah biasa Pakdhe, Ayah dan Ibu sibuk dengan kegiatan mereka. Ya Bima sudah tidak mempermasalahkan itu semua” ujar Bima yang masih suka memandangi bulan yang ada diatasnya. Mendengar itu semua Pakdhe hanya tersenyum dan beranjak kembali masuk kedalam rumah.

Semilir angin malam terasa lembut menerpa tubuh Bima, malam makin larut ia masih saja betah dengan posisinya dari tadi. Entah malam ini terasa begitu aneh, seolah dia sedang menantikan sesuatu, sesuatu yang memang sudah lama ingin bertemu dengannya.

Menyadari bahwa sudah terlalu lama dia duduk disini, Bima beranjak pergi ke kamar mandi untuk membersihkan badan sebelum tidur.

Kreeeekkkk….. terdengar suara pintu yang dibuka tepat didepan Bima. Heran karena dia sama sekali belum menyentuh pintu tersebut, dilihatnya juga tidak ada siapapun didalam kamar itu.

Bima mencoba untuk memeriksa siapa tau ada tikus yang masuk kedalam kamarnya, karena tidak mungkin angin bisa mendorong daun pintu yang tertutup rapat.

Sudah 10 menit Bima mencari-cari penyebab dari kejadian tadi, tapi tidak satupun hewan yang ditemukannya.
"Mungkin memang angin, atau tadi aku nutupnya kurang kenceng” batin Bima sambil merebahkan tubuhnya.

Lelah dengan aktivitas yang dilaluinya seharian, Bima langsung bisa terlelap menuju alam mimpi.

Entah apa yang terjadi tiba-tiba Bima tersentak terbangun, badannya tidak bisa digerakan. Tubuhnya kaku namun matanya benar-benar terbuka lebar. Yang lebih mengagetkan lagi, dia melihat ada sosok hitam kurus yang sedang jongkok berada tepat di sisi badannya.

Satu tangan panjangnya memegangi bagian bawah satu tangannya memegangi bagian atas tubuh Bima. Bentuk makhluk itu tinggi besar, dengan warna kulit hitam legam, kuping yang runcing dan memiliki mata merah menyala.

Takut dengan apa yang dia liat, Bima seketika memejamkan mata. Tubuhnya masih tidak bisa bergerak. Nafasnya memburu dan hanya doa yang bisa dia ucapkan dalam hati.

Teriak pun dia tidak bisa mulutnya benar-benar terkunci. Hingga dalam sekali sentakan akhirnya Bima bisa bergerak, nafasnya masih memburu, tubuhnya basah oleh keringat.

“Astaghfirulloh, Astaghfirulloh, apa itu tadi” ucap Bima yang masih ketakutan dengan apa yang dia lihat barusan. Jelas tadi bukan mimpi, sosok itu benar-benar nyata. Dilihatnya jam sudah menunjukan pukul 2 dini hari.

Kembali dia membaringkan badannya, bayang-bayang sosok tadi masih tertera jelas dalam ingatannya. Kembali tidurnya terasa tidak nyaman, dia memimpikan sesuatu yang aneh, bertemu dengan kakek-kakek yang bisa terbang, manusia setengah hewan dan yang lainnya.

Paginya dia terbangun dengan badan yang cukup panas, sejenak dia ingin bangun untuk bisa pergi kesekolah, namun baru saja dia beranjak. Kepalanya begitu berputar hingga dia menabrak kursi dan terjatuh.

“Astaghfirulloh, kamu kenapa Bim?, badan kamu panas banget” ucap Budhe Yanti yang mencoba membangunkan Bima untuk kembali ketempat tidur.
“Gak tau budhe, tiba-tiba badan Bima gak enak rasanya, buat berdiri pusing,” ucapnya dengan lirih.

Huek…huekkk… seketika Bima muntah, tetapi yang keluar hanya cairan bening. Melihat itu semua Budhe Yanti segera memanggil suaminya.

“Kita ke dokter sekarang” ucap Pakdhe yang melihat kondisi Bima begitu pucat dan panas. Kawatir dengan ponakannya mereka berdua lantas langsung pergi menuju rumah sakit.

Sedang Bima di jok belakang hanya bisa mengerang karena badannya begitu panas. Sesekali dia membuka mata, dilihatnya sepanjang jalan banyak sekali makhluk aneh yang dia liat.

Setelah sampai di rumah sakit keadaan Bima tidak jauh lebih baik, dia hanya bisa menutup matanya. Baru kali ini dia melihat begitu banyak hal-hal diluar nalar.

“Apa yang sebenarnya terjadi dengannya, apakah ini semua halusinasinya?” batin Bima. Kepalanya benar-benar pusing dan serasa hampir meledak.

Setelah masuk UGD Bima langsung mendapatkan perawatan, beberapa kali suster keluar masuk membawa beberapa barang seperti infus dan lainnya.
“Bagaimana kondisi Bima Dok?” tanya Budhe yang masih terlihat kawatir dengan kondisi Bima.

“Tidak ada yang perlu dikawatirkan, Bima hanya kecapean, untuk sementara bisa rawat jalan dan tidak boleh terlalu banyak pikiran ya” ucap salah satu dokter yang memeriksa Bima, namun tetap Bima harus menghabiskan 1 kantung infus sebelum diperbolehkan pulang. Seharian dia tidak berani membuka mata, bahkan ketika diajak bicara oleh budhenya.

“Pakdhe dimana, budhe?” tanya Bima masih dengan memejamkan matanya.
“Lagi beli makan Bim, kamu kenapa masih merem gitu? Pusing?” ujar Budhe Yanti.
“Iya budhe, tiap matanya dibuka seperti melayang-layang” kilah Bima yang tidak mau menceritakan apa yang dilihatnya.

“Itu Pakdhe uda balik, abis ini Budhe pulang duluan ya, kasian kakak mu kalau dirumah tidak ada orang” ucapnya.
“Iya Budhe, maaf merepotkan” kata Bima dengan sedikit membuka matanya.

“Pakdhe, ada yang mau Bima ceritakan” ujar Bima setelah Budhenya pergi meninggalkan mereka berdua, Bima langsung mencerikatan kejadian yang dia alami. Dia yakin Pakdhe akan lebih bisa dengan bijak menerima apa yang Bima ceritakan.

“Serius kamu Bim?” ucap Pakdhe Wawan yang masih antara percaya dan tidak percaya dengan apa yang Bima tuturkan.
“Benar Pakdhe bahkan saat ini… entah kenapa aku bisa melihat mereka” kata Bima yang masih terlihat ketakutan dengan sekitarnya.

Pakdhe Wawan sejenak berfikir, prihatin dengan apa yang terjadi dengan keponakannya segera dia membuka Handphone dan keluar ruangan untuk menghubungi seseorang. Kembali Bima memejamkan matanya.

Selang beberapa menit terdengar tirai disibakan, dan seseorang berjalan menuju brankar Bima. Mengira itu Pakdhenya Bima segera membuka mata untuk meminta segera pulang.

Tetapi betapa terkejudnya dia, yang dia lihat adalah sosok laki-laki dengan muka hancur penuh darah, lehernya patah dan matanya hampir keluar.

Seketika Bima teriak dengan kencang, buru-buru suster yang ada disana mendatangi Bima yang histeris sambil menunjuk-nunjuk sosok yang tidak bisa mereka lihat.

“Bima kamu kenapa? Bim” ucap Pakdhe yang langsung berlari masuk ke dalam ruangan.
“Bima mau pulang pakdhe, sekarang Bima mau pulang” kata Bima histeris.

Karena memang kondisi Bima yang baik-baik saja, akhirnya setelah selesai menyelesaikan administrasi Bima diperbolehkan untuk pulang.

“Kita mampir ke tempat temen pakdhe dulu ya Bim, kamu kuat kan?” ujar Pakdhe sambil menyetir mobilnya.
“Kuat pakdhe asal jangan kerumah sakit” kata Bima yang masih ngeri dengan kejadian yang dia alami. Bahkan di dalam mobil pun dia masih sering memejamkan matanya.

Entah sudah berapa lama mereka mengendarai mobil dan menembus jalanan. Hingga terasa mobil yang mereka tumpangi mulai melambat, Pakdhe sudah menghentikan dan memarkirkan mobil di salah satu rumah yang cukup modern dan megah.

Terlihat laki-laki paruh baya sudah menunggu mereka di teras rumah,
“Assalamualaikum, Rif” salam Pakdhe Wawan kepada temannya,
“Waalaikumsalam, silahkan duduk kalian” ucap Pak Arif.

Kulihat suasana rumahnya begitu sejuk, ada beberapa sosok yang sedang berdiri mengawasi mereka tapi bentuknya sama saja dengan manusia, bahkan Bima pikir itu adalah manusia biasa sampai salah satu dari mereka berjalan menembus dinding.

“Liat apa nak?” ujar Pak Arif yang mengikuti arah pandang Bima.
“Eh tidak Pak, maaf” ucap Bima yang tidak enak jika terlihat tidak sopan.
“Jadi ini keponakanku Rif semalam dia…” kemudian Pakdhe menceritakan apa yang sudah terjadi kepadaku.

“Ya, memang ada sesuatu yang unik dari anak ini Wan, dan… aku sendiri tidak bisa menutup mata batin yang sudah terbuka, sosok yang kamu.. dia temui itu salah satu penjaga dari keluarganya, dan memang itu sudah menjadi perjanjian dari leluhurnya dengan sosok tersebut” jelas Pak Arif.

“Perjanjian?” Ucap Pakdhe Wawan,
“Iya leluhurnya punya perjanjian, bahwa dia harus menjaga anak turunannya hingga yang terakhir” Kata Pak Arif.

“Jadi apa yang Bima liat buka halusinasi Pak?” ucap Bima,
“Tidak!, itu adalah penghuni dari alam lain, memang butuh waktu untuk kamu bisa terbiasa dan mengendalikan itu semua” ucap Pak Arif.
“Jadi tidak masalah dengan semua ini Rif?” Ujar Pakdhe Wawan.

“Sebentar” Pak Arif sambil masuk kedalam rumah.
“Gimana kondisi kamu Bim? Masih sakit?” tanya Pakdhe memastikan kondisi Bima.

“Sudah mendingan Pakdhe tidak sepusing tadi, justru ketika masuk rumah ini rasanya badan Bima jadi sedikit enteng” ucap Bima.
“Syukurlah” kata Pakdhe yang mulai menghidupkan Rokoknya.

Beberapa menit sudah Pak Arif masuk kedalam rumah. hingga terdengar pintu yang terbuka, kali ini dia membawa nampan berisi 3 gelas teh hangat dan satu gelas air putih.

“Mas Bima, minum air ini dulu ya, nanti biar badannya segeran” pinta Pak Arif saat meletakan ke 3 gelas tersebut. Sejenak Bima melihat kearah Pakdhe meminta persetujuan, setelah mendapatkan dengan anggukan barulah Bima meminum air tersebut.

Benar saja, setelah meminumnya Badan Bima berkeringat hebat, tubuhnya terasa ringan dan pusingnya menghilang. Sungguh ajaib,
“Air apa ini pak?” tanya Bima penasaran.

“Kenapa memangnya Mas Bima?” ucap Pak Arif sambil tersenyum.
“Badan Bima jadi segeran” ucap Bima polos. Mendengar itu Pakdhe dan Pak Arif justru malah tertawa.

“Sekarang hidup kamu akan berubah Mas, apa yang kamu lihat saat ini memang nyata” kata Pak Arif saat mengikuti arah pandang Bima.

“Apa tidak bisa disembuhkan pak?” ucap Bima yang masih takut dengan apa yang akan dia lihat nantinya.
“Itu bukan penyakit, semua sudah menjadi jalanmu” jelas Pak Arif.

Akhirnya karena sore sudah menjelang, mereka pamit untuk pulang. Bima sedikit lebih tenang dari pada tadi sebelum bertemu dengan Pak Arif. Mungkin memang ini akan menjadi cerita baru dalam kehidupannya.

***

Kembali malam datang, tadi kedua orang tuanya menghubungi Bima untuk memastikan keadaannya. Namun karena Bima pintar kerkilah akhirnya mereka tetap memutuskan untuk menyelesaian pekerjaan mereka sebelum pulang menjemput Bima.

“Sttttt” terdengar suara siutan dari sisi kiri Bima, dia tau itu bukan manusia. Bima masih merasa takut dengan apa yang akan dia lihat. Tidak mau memperdulikan itu semua akhirnya Bima kembali berjalan menuju kamarnya.

Dikamar pun Bima merasa tidak tenang, banyak pikiran buruk yang hilir mudik dikepalanya ketika dia memejamkan matanya. Sedang ketika dia membuka mata justru yang di dapatinya tidak kalah seram.

“Bima” terdengar suara lirih wanita memanggilnya, tidak mau menghiraukan itu semua Bima mencoba untuk tetap memejamkan matanya. Kini Bau harum bunga melati justru malah muncul ntah dari mana. Mencoba memberanikan diri ia membuka matanya sedikit.

Terlihat di sudut kamarnya sosok wanita berdiri dengan dengan baju biru mirip daster yang sudah lusuh. Kepalanya menghadap kebawah tertutup oleh rambut panjang yang basah oleh air.

“Astaghfirulloh” ucap Bima dalam keterkejutannya. Kembali Bima menutup matanya ketakutan,
“Kenapa jadi seperti ini, apa salahku?” ucap Bima dalam hati.

Sekali lagi Bima mencoba untuk membuka matanya, untungnya sosok tersebut sudah hilang. Namun bau dari bunga melati masih menguar disekitar kamarnya. Bima masih merasa ketakutan bahkan untuk bergerak pun dia tidak berani.

Dalam pikirannya hal-hal buruk bermunculan,
“Bagaimana jika ternyata mereka ada di kolong tempat tidur? Bagaimana kalau ternyata mereka ada disebelahku?” pikiran pikiran seperti itu selalu bersliweran dalam benak Bima.

“Kuatkan dirimu Bima” terdengar jelas suara laki-laki serak yang entah berasal dari mana. Sejenak Bima kembali membuka matanya. Tidak ada seorang pun disana kecuali Bima.

Suara detak jam dinding terdengar semakin kencang, menandakan kalau malam sudah kian larut. Suara hingar bingar yang sedari tadi Bima dengar semakin kencang ditelinganya.

Tidak berani menengok kearah jendela, tetapi Bima penasaran dengan suara seorang laki-laki yang dia dengar dengan jelas,
“Kalau memang harus begini, aku harus terbiasa” ucap Bima dengan mantap.

Dia tau bahwa dia hanya harus terbiasa melihat sosok-sosok tersebut. Memberanikan diri untuk melihat kejendela. Sedikit ia sibakan tirai yang persis berada disebelah tempat tidurnya.

Ternyata perbuatan yang dia lakukan merupakan keputusan yang salah. Baru saja dia membuka sedikit gorden, sosok wanita itu sudah menampakan lagi. dan kali ini tepat jelas beradu muka dengan Bima.

Kulitnya pucat, matanya merah, sebagian mukanya hancur bagai korban kecelakaan. “Bima” sekali lagi suara wanita itu memanggil nama Bima. Pelan dia mencoba untuk menutup tirai itu kembali.

Dan bermaksud untuk kembali merebahkan tubuhnya diatas kasur, namun saat kembali menoleh justru kali ini Bima dikagetkan dengan sosok yang semalam dia temui.

Dengan posisi jongkok yang sama persis seperti kemarin malam. Bima sama sekali tidak bisa bergerak, sosok tersebut begitu mengerikan baginya. Terlebih ketika dia tersenyum, terlihat giginya yang runcing bagai mata gergaji yang tajam.

“Bima, sudah sudah waktunya” terdengar suara yang bersumber dari makhluk tersebut. Dia masih menyeringai menyeramkan. Namun jelas suara itu muncul dari mulut makhluk tersebut.

“Sissii-siaaapa kaamuu?” ucap Bima gemetar hebat. Dia lupa dengan semua penampakan yang dilihatnya seharian ini, sosok yang ada didepannya benar-benar membuat Bima begitu terasa kecil.

“Belum waktunya kamu tau siapa aku, kuat kan mentalmu Bima” sekali lagi suara itu muncul didari mulut yang masih menyeringai “ingat Bima ini baru permulaanmu”. Dalam sekejap sosok tersebut sudah hilang dan digantikan dengan asap tipis.

Bima yang masih shock dengan kejadian barusan hanya bisa terengah engah dan kembali meringkuk diatas kasur miliknya. Tidak menyangka hanya dalam kurun waktu 24 jam dunianya sudah berubah 180 derajat.

“Bagaimana aku bisa melalui ini semua” batinnya yang kini malah dibarengi dengan lelehan air mata yang keluar dari mata kecil miliknya.

***

Subuh sudah berkumandang, semalaman Bima tidak bisa memejamkan matanya. Suara berisik yang timbul dari luar kamarnya membuat dia tidak bisa sedetikpun memejamkan mata, walau tidak ada lagi sosok yang muncul tapi tetap sama saja kalau seperti ini dia tetap merasa terganggu dengan itu semua.

Pagi sudah benar-benar datang, terlihat sinar mentari yang menembus celah-celah jendela yang berada di kamar Bima. Tok…tok… tok… suara pintu yang diketuk dari luar.
“Bim, bima, bangun nak, sarapan dulu” suara budhe terdengar dari arah luar.
“Iya Budhe, sebentar” jawab Bima.

“Sini Bim, gimana kondisi kamu sudah sehat?” ucap Mbak Maya yang baru saja pulang dari kegiatan studi tour disekolahnya.
“Sudah Mbak, uda enakan” kata Bima yang sudah duduk didepan Mbak Maya.

Kali ini pandangannya jatuh ke arah samping sepupunya tersebut. Ada sosok wanita jawa yang tersenyum simpul melihat kearah Bima. Ntah siapa, saat ini tidak mau tau dan melanjutkan sarapannya.

“Bim, kalau nanti kamu udah sehat, ikut Mbak aja yuk” ajak Mbak Maya.
“kemana Mbak?” ucap Bima sambil menyuapkan nasi kedalam mulutnya.
“Ya jalan-jalan aja, biar kamu segeran juga”.

Menanggapi itu semua Bima hanya mengangguk dan tersenyum. Sedang sedari tadi sosok wanita jawa itu terus memperhatikan Bima dengan senyum yang mengerikan.

“Kamu kan baru semalam sampai May, istirahat dulu, lagian Bima juga masih keliatan belum fit” ujar Budhe yang mengerti kalau Bima sebenarnya masih malas untuk pergi keluar rumah.

“Pakdhe sudah berangkat ya, Budhe?” tanya Bima karena sedari tadi Pakdhenya tidak muncul.
“Iya tadi sudah berangkat pagi-pagi katanya ada meeting pagi jadi mesti datang lebih awal.” Jelas Budhe.

Setelah selesai sarapan dan membersihkan piring-piring kotor, Bima kembali lagi kekamar. Kali ini Mbak Maya mengekorinya.
“Kamu kenapa Bim? Mbak liat kamu kaya banyak pikiran, sini cerita sama mbak?” ucapnya saat sudah duduk di kursi yang ada didalam kamar tersebut.

Bima kembali melihat sosok yang ada dibelakang Mbak Maya. Tapi kali ini berbeda, sosok tersebut hanya berdiri didepan pintu kamar yang Bima tempati.

“Serius kamu Bim?” ucap Mbak Maya kaget dengan apa yang sudah Bima ceritakan. Semua dari awal hingga kejadian semalam Bima ceritakan secara mendetail.
“Dan siang haripun kamu masih bisa melihat mereka? Terus kamu gimana?” katanya masih shock dengan apa yang Bima ceritakan.

“Enggak tau mbak, ya kalau harus seperti ini terus, ya mau engga mau harus dijalani mbak, tapi sekarang aku masih takut untuk keluar rumah, bahkan untuk ke kamar mandi aku harus benar-benar mengumpulkan keberanian” kata Bimo.

“Ya sudah, sekarang kamu istirahat, kalau ada apa-apa langsung panggil Mbak aja ya” ucap Mbak Maya sambil beranjak meninggalkan Bima untuk beristirahat.
“Iya Mbak” sahut Bima yang sudah merebahkan badannya.

Memang intensitas mereka di siang hari tidak sebanyak waktu malam hari. Bima tidak tau kenapa. yang terpenting saat ini dia bisa memejamkan mata untuk mengganti tidurnya yang terganggu dimalam hari.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya
close