Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 94)


Aku memilih duduk di tengah. Di hadapanku berjajar para sesepuh baik dari bukit Selepah, Marcawang, mau pun Gunung Dempu. Sebagian masih asyik lalu lalang, lalu ada yang pindah posisi duduk demi bisa berbincang-bincang lebih dekat. Di antara kelebatan tubuh dan baju mereka yang panjang, sesekali aku melihat di sela-sela tubuh mereka wajah-wajah sosok di seberangku. Kebanyakan yang hadir di sini sosok lelaki sepuh dengan wajah dan kulit yang berbeda.

Demikian juga dengan aksesoris yang mereka pakai pun juga berbeda-beda. Namun nyaris semuanya memakai baju panjang putih polos. Mataku tertuju pada sosok lelaki berhidung mancung, bermata sedikit cekung, namun tajam. Jenggot, kumis dan brewoknya putih mengkilap mengingatkan aku pada sosok yang pernah bertemu denganku di Bukit Kaba. Apakah beliau sosok itu? Aku bergumam dalam hati. Lelaki yang menyapukan kabut dengan kibasan lengan bajunya, menutupi jurang tebing yang dalam ketika senja datang, demi member kenyamanan pada mahluk-mahkluk yang berada si lembah belerang.

“Benar, itulah aku, anak dara. Jumpa lagi kita. Kali ini di tanah leluhurmu. Tanah bertuah yang sangat disayangi oleh leluhur suku Rejang juga.” Beliau menyapaku lewat batin, sementara secara fisik aku melihat beiau tengah berbincang-bincang dengan tamu lainnya samba sesekali tertawa.

“Maafkan saya Puyang, jika saya kurang sopan” Aku sedikit menunduk sembari menangkupkan kedua belah telapak tangan ke dada. Tawanya yang renyah memaklumi kekuranganku. Selanjutnya aku kembali fokus duduk di antara wanita. Sesekali kulempar pandang ke kanan dan ke kiri mengamati setiap sosok yang duduk mau pun yang berdiri dan berjalan di antara para tamu.

Ruang yang sangat luas ini terasa sejuk. Lampu-lampu setengah samar serupa obor berjejer di dinding-dinding dengan jarak tidak seberapa jauh. Beberapa sosok nenek gunung kulihat ada yang berdiri di sudut ruangan. Mereka bertugas sebagai penjaga, mengawasi semua tamu yang datang. Mata mereka yang tajam kadang lurus ke lembah. Sepertinya mereka mengawasi gerak-gerik siapa saja yang datang mendekat. Penciuman mereka juga sangat tajam. Bahkan jarak bermil-mil pun mereka bisa mengawasi dengan mudah.

Melihat semua masih asyik dengan diri sendiri, pelan-pelan aku bangkit dan berjalan sedikit merunduk melewati sosok-sosok perempuan. Aku ke luar dari kerumunan. Aku memilih ke luar rumah panggung melihat beberapa sosok melesat ke lembah, kadang ke balik bukit. Gerakkan mereka yang gesit, serupa cahaya, berkilat-kilat. Persis seperti ‘gajah ngesai bulu’. Demikian ungkapan orang Besemah melihat kiltan cahaya di kaki langit. Sebenarnya aku ingin juga mengetahui apa dan bagaimana mereka bekerja. Apalagi kulihat beberapa elang berwarna putih dan hitam seperti berpasang-pasangan mengitari area bukit. Mereka juga penjaga yang bertugas mengawasi dari atas. Kadang mereka hinggap di atas pohon tinggi dengan mata berkilat.

Melihat aku ke luar, ternyata Alif ikut di belakangku. Nampaknya dia sedilit bingung berada di atara orang ramai yang nyeracau berbahasa Besemah. Kusambut beliu dengan senyum. Kami sama-sama mengamati lingkungan rumah panggung panjang yang memancarkan cahaya sedikit remang. Sesekali aku menjelaskan pada Alif melihat kemerlip terbang seperti kunang-kunang, kadang bergerombol kadang berpencar seperti burung pipit berteriak seperti menari di langit Besemah ketika padi mulai berisi. Cahaya gemerlap seperti kunang-kunang itu adalah serupa hewan peliharaan Puyang Bukit Selepah yang biasa disebut oleh penduduk dusun beruang kace.

Aku mengencangkan ikat kepalaku yang sedikit longgar. Sebelum masuk tadi aku telah ganti pakaian khusus yang diberikan Nenek Ceriwis sejak aku kecil. Pakaian yang tidak pernah kebesaran atau pun kekecilan meski aku sudah dewasa seperti sekarang. Bedanya, jika dulu aku tidak mengenakan sepatu, malam ini aku diberikan sepatu berbulu mirip dengan warna busanaku. Padahal, nenek Kam selalu melarangku mengenakan sepatu. Apalagi jika masuk ke dalam hutan. Baru kuketahui dari Macam Kumbang jika sepatu ini merupakan penghargaan serupa senjata yang dihadiahkan padaku. Aku mengangguk saja tanpa tahu bagaimana mefungsikannya. Yang jelas telapak kakiku terasa nyaman, dan langkahku terasa lebih ringan. Bentuknya seperti boot yang melekat erat di pergelangan betis, sangat aku suka.

Melihat penampilanku sedikit berbeda, Alif senyum-senyum di belakang Eyang Kuda. Sesekali matanya mencuri pandang. Mungkin dia heran mengapa aku berpakaian seperti seorang pendekar hendak berkelana. Pakaian berwarna harimau putih, bercelana sebatas betis. Pakaian yang sangat ringkas dan membuatku mudah bergerak. Eyang Kuda justru mengarahkan dua jempolnya padaku memeberi pujian. Beberapa sosok kulihat ada yang berpakaian mirip denganku. Tetapi mereka laki-laki. Sebagian lagi seperti Macan Kumbang, berpakaian hitam pekat. Selebihnya pakaian berwarna putih seperti orang pergi haji.

Rumah panggung mulai hening. Suara orang mengobrol tidak seperti tadi lagi berdengung seperti lebah. Aku dan Alif segera naik. Mataku mencari-cari sosok Nenek Kam. Biasanya beliau lebih dulu datang dari pada aku. Tapi selintas aku belum melihat batang hidungnya. Ke mana nenekku itu? Tidak jauh dari tempatku duduk sekelompok perempuan-perempuan tua masih asyik bercengkrama pelan sambil menumbuk sirih dan sebagian sedang mengunyah sirih membuat bibir dan gigi mereka berwarna merah. Beberapa sosok aku kenal dan pernah melihatnya. Namun sebagin besar dari golongan nenek gunung dan baru kali ini berjumpa. Belum terlihat dari golongan manusia seperti biasanya. Mungkin karena ini di bukit Mercawang, agak berbeda memang ketika berkumpul di gunung Dempu tempat pertemuan pada makhluk gaib setiap bulan dan hari-hari tertentu.

Baru saja aku hendak duduk bersipuh, tiba-tiba insting dan penciumanku mengurungkan niat untuk meletakkan pantat bersama para sesepuh yang sudah dulu berkumpul.

Aku merasakan ada yang tidak beres di luar sana. Dorongan ingin tahu segera membuatku bangkit dan ingin ke luar. Aku minta izin berjalan merunduk di hadapan para sesepuh yang masih asyik bercengkrama antar mereka. Setelah sampai di beranda aku mempercepat langkah. Aku menuruni anak tangga dengan tidak mengijaknya satu-satu. Tapi langsung meluncur ke bawah. Jauh di balik bukit aku melihat cahaya kuning seperti obor berderet seperti menyisir punggung bukit di seberangnya. Aku penasaran melihat cahaya itu. Beberapa sosok nenek gunung mengamati aku dari rumah panggung sejak aku ke luar. Mungkin mereka heran mengapa aku ke luar ruangan. Aku tidak mempedulikan mereka. Aku fokus mengamati pasukan itu.

Sebelum aku mengambil keputusan untuk menghampiri cahaya itu, aku menyadari jika cahaya itu makin lama makin mendekat. Bahkan pelan-pelan ada aroma wangi menyeruak memenuhi area yang tak kasat mata ini. Cahaya kuning yang sedikit buram seakan memantul dari langit. Akhirnya aku memilih tetap berdiri menunggu cahaya kuning itu. Cahaya kuning yang semula mirip obor, semakin dekat semakin keemasan. Rupanya cahaya itu bukan berasal dari api. Tapi cahaya yang dipantulkan oleh sisi sepanjang kereta. Seiring cahaya yang makin mendekat, terdengar derap kaki kuda. Derapnya cepat sekali. Aku makin penasaran. Siapa rupanya? Tidak biasanya tamu para puyangku mengendarai kuda. Biasanya rata-rata mereka yang datang mengendarai angin. Beberapa sosok selain penjaga, kembali ikut ke luar dari rumah panggung. Dalam hati aku memperkirakan mereka sama sepertiku, penasaran dengan deretan cahaya kuning yang mirip obor itu. Di tengah derap kaki kuda dan lonjakan kereta yang terdengar semakin dekat, samar-samar aku mendengar obrolan sosok di belakangku dalam bahasa nenek gunung. Mereka menyebut-nyebut nama “Dewi” sebagai wanita yang cantik, anggun, dan berwibawa.

Aku semakin penasaran siapa yang mereka maksud Dewi itu? Nama yang tidak familier bagi suku Besemah. Dewi identik dengan masyarakat Jawa. Mungkinkah yang disebut Dewi itu berasal dari pulau Jawa? Apa keperluannya ke mari? Lalu mengapa dia mengendarai kereta? Kereta kencanakah seperti yang pernah kulihat beberapa waktu lalu ketika aku tengah melakukan perjalanan ke gunung Slamet bersama Puyang Purwataka guruku? Pikiranku melayang mengenang ketika pertama kali aku melihat sosok cantik melintas menuju laut selatan. Kata Puyang Purwataka beliau adalah pasukan Nyi Roro Kidul, ratu peguasa pantai Laut Selatan. Pasukannya saja begitu gagah, anggun dan cantik, apalagi ratunya. Pikirku saat itu.

Makin lama aroma wangi makin menyengat. Anehnya aroma itu tidak membuat bosan menghirupnya. Malah sebaliknya, jiwa terasa segar dan otak terasa jernih dan ringan.Persis aroma Putri Bulan ketika pertama kali aku mengenalnya. Sekilas aku mencoba menelisik aroma ini lewat batin. Oh ternyata berasal dari tubuh seorang wanita bergaun hijau muda, dengan potongan rambut setengah disanggul lalu sebagian lagi seperti terurai. Di antara sanggul kecilnya itu terdapat tusuk konde berupa bunga dahlia mengangguk-angguk dan bercahaya seirama gerakan derap kuda. Setelah agak dekat, aku mulai memberanikan diri untuk menatap wajahnya. Ternyata dia seorang wanita muda cantik dan anggun. Mata dan rautnya seperti selalu tersenyum. Meski terkesan sederhana, namun aku tetap melihatnya wanita yang luar biasa. Ada kekuatan yang sulit diukur dalam jiwanya. Aku tidak bisa langsung menentukan wanita itu dari golongan apa. Apakah bangsa jin atau bangsa siluman, atau bangsa manusia. Kekuatan yang dia miliki serupa tabir, tidak bisa aku tembus. Lagi-lagi aku kagum menghadapi kenyataan ini.

Gerakan cahaya dan kereta semakin lama semakin dekat. Ternyata kereta yang muncul bukan kereta biasa. Tapi kereta kencana betulan yang ditarik oleh enam kuda yang gagah. Di bagian belakang kusir terlihat pembatas ukiran berbentuk ular naga. Begitu juga di sisi kiri kanan atapnya. Kereta seperti dililit ular-ular naga yang bersisik kuning berjajar panjang. Luar biasa, indah sekali. Inilah rupanya yang berkilau-kilau seperti lampu ketika tampak dari jauh. Bahkan cahayanya seperti obor yang menyala.

Rupanya yang tertarik dengan kedatangan pasukan agung itu bukan hanya aku. Di belakang dan di atas, bahkan di bawah banyak sekali makhluk yang memperhatikan gerakan kereta kencana yang membawa wanita dan pasukannya. Nampaknya beliau seorang ratu. Tapi ratu dari kerajaan mana?

Saking kagumnya batinku tidak terpikir untuk menelusuri lebih jauh asal wanita itu. Penampilannya memang jauh berbeda dengan tamu lainnya. Tentu hal ini menarik perhatian siapa pun yang baru bersua dengannya. Mulai dari cara berpakaian, parasnya yang lembut, dan diatar kereta kencana ditarik enam ekor kuda yang gagah. Tak sedikit aku mendengar decak kagum beberapa sosok di belakangku.

Ketika keretanya berhenti persis di halaman rumah panggung puyang, beliau turun dari kereta dibantu pengawalnya. Aku melihat betapa mulus dan putih betisnya. Sebagai makhluk Tuhan dia sangat sempurna. Tak berapa lama aku tersenyum sendiri seakan baru menyadari jika aku bukan berada di alam nyata. Kecantikan wanita ini seperti menghipnotis. Mereka makhluk halus yang bisa mari rupa. Jika menjadi wanita cantik maka tidak tanggung-tangung, kecantikannya luar biasa. Daya magisnya lebih dominan. Berbeda dengan manusia, hanya bisa dihitung dengan jari yang memiliki kecantikan sempurna. Itu pun tidak secantik makhluk di alam tak kasat mata.

“Kau ingin cantik seperti dia, Selasih?” Tiba-tiba dari belakangku berdiri Udan, sosok nenek gunung yang berusia kira-kira empat puluhan jika bangsa manusia. Aku tertawa mendengarnya. Pertanyaan konyol seakan-akan tidak bersyukur dengan paras yang kumiliki.

“Apa kau kira, Selasih tidak cantik? Dia ini cantik luar dalam. Kalau tidak, mana mungkin semua Puyang jagad Besemah ini sayang padanya, dan memanjakannya.” Ujar Ninggu salah satu nenek gunung Bukit Selepah menimpali. Aku tersenyum melihat perdebatan singkat keduanya sebelum menghampiri dan menyambut perempuan yang disebut-sebut Dewi.

“Selamat datang di tanah Besemah ini, Putri” Sambutku mengulurkan tangan. Tangannya yang lembut terjulur menyambutku. Masya Allah lembut, halus dan licin. Aku seperti bersentuhan dengan kain sutra. Tidak ada kekuatan seperti genggaman manusia atau para sesepuhku di Bukit Selepah dan gunung Dempu. Halus sekali. Namun demikian, dasyatnya energi yang dimilikinya sangat terasa. Aku tahu, beliu ini sudah sepuh. Namun masih terlihat cantik dan muda. Ilmu kanuragannya sangat sempurna. Selendang yang melilit di lehernya sedikit menjuntai dan melayang- layang sehingga mirip gelombang ombak, membuat kecantikannya makin sempurna. Aku serupa berhadapan dengan lukisan. Apalagi ketika kakinya melangkah. Sangat ringan. Bahkan nyaris tak terdengar desir angin yang menerpa tubuhnya.

“Kamu Putri Selasih, Murid Eyang Putih dan Eyang Purwataka, bukan? Kenalkan aku Dewi Sekar Sari.” Ujarnya singkat sambil menyebar senyum. Belum sempat aku menjawab, beliau telah disilakan oleh beberapa pengawal untuk naik ke rumah panggung. Aku segera berjalan mengikutinya dari belakang. Aku mengingat-ingat dan mengulang-ngulang menyebut namanya dalam hati. Aku penasaran sekali sebenarnya. Ingin tahu dia berasal dari mana. Sayang situasi tidak memungkinkan untuk mendapatkan penjelasan dari siapa pun.

“Dia penguasa laut Pantai Selatan” Suara Eyang Putih langsung menjawab pertanyaan batinku. Aku justru semakin heran. Memangnya ada berapa makhluk yang menjadi penguasa laut Pantai Selatan? Setahuku Nyi Roro Kidul. Eyang Kuda dan Puyang Purwataka juga mengatakan demikian? Mengapa Dewi Sekar Sari yang berkuasa? Bagaimana bisa? Aku makin penasaran. Dalam kebingunga yang sangat, aku terus berjalan mengiring Dewi Sekar Sari yang berjalan agak jauh di depanku, dan dia mengenalku. Hal ini membuat aku makin kagum padanya.

Mulai dari masih di beranda, samar-samar terdengar suara lelaki dan perempuan tengah guritan bersahut-sahutan. Guritan itu sastra lisan asli Besemah semacam puisi berbahasa daerah yang disampaikan dengan irama tertentu berisi nasehat, cerita, kadang berisi candaan. Karena suaranya merdu dan beberapa kali menyebut-nyebut namaku dalam guritannya membuatku tertarik, fokus mendengarnya sejenak ingin tahu apa isi guritannya. Kadang-kadang para tamu tertawa ketika mendengar beberapa bagian yang dilisankan mereka anggap lucu. Setelah mengantarkan tamu yang bernama Dewi Sekar Sari duduk, aku beralih serius dengan beberapa hal pasca pertempuran tadi. Aku dengar ada beberapa sosok yang masih harus ditolong. Hal ini tidak bisa membuatku duduk diam. Aku merasa punya tanggungjawab untuk menolong dan menyelamatkan mereka.

Di deretan tamu lelaki, beberapa sosok tengah merokok nipah. Persis seperti Kakek Haji Yasir. Mereka dengan santai mengepulkan asap sambil bincang-bincang. Asap yang mengepul lalu lenyap di bawa angin. Ruangan luas ini memang semacam ruang pertemuan yang terletak di tengah rumah panggung yang panjang. Dinding rumah nampak coklat tua. Bahkan mendekati warna hitam. Rumah panggung yang terbuat dari papan ini terlihat kokoh. Ornamen kunonyo terlihat di les dinding dan tiang-tiang. Ukiran pucuk paku sangat dominan. Rumah bari dengan ukiran alamnya yang memiliki filosofi yang dalam tentang kecintaan pada alam semesta. Di tengah-tengah ruangan berdiri tiang bulat yang berukuran besar, mirip seperti tiang-tiang gedung di alam nyata. Bedanya jika di alam nyata tiang-tiang besar terbuat dari batangan besi dan semen yang di cor, sedangkan di sini terbuat dari kayu bulat yang berukuran besar asli diambil dari alam. Aku melihat Alif ikut duduk bersila sembari menundukkan kepala di antara lelaki yang berbaju putih. Di sampingnya ada Eyang Kuda. Seperti biasa Eyang Kuda terlihat lebih mencolok karena blangkonnya. Mereka berdua lebih banyak diam. Menjadi pendengar obrolan para sesepuh, total menggunakan bahasa Besemah. Bahkan Eyang Kuda sesekali menongolkan kepala ingin tahu saat ada beberapa orang berbicara dengan suara keras. Mungkin Eyang Kuda menyangka tengah ada perkelahian atau perdebatan. Padahal dialek Besemah memang keras . Jauh berbeda dengan dealek Jawa apalagi Sunda. Begitu juga Alif ikut-ikutan memajukan leher melihat orang yang sedang berdialog seperti nada orang marah. Tak lama dia senyum-senyum sendiri setelah megetahui jika mereka tengah ngobrol, membicarakan beberapa hal sambil bercanda.

Tak lama kami bangkit setelah ada ajakan untuk makan. Aku bersama alif, Puyang, kakek dan nenekku langsung menuju ruangan yang bersambungan dengan ruang tengah. Rupanya ada sekitar sepuluh hidangan yang siap untuk dinikmati. Sementara di ruang lain, kulihat Eyang Kuda dan rombongannya juga berkumpul untuk menikmati santapan mereka. Santapan kami memang berbeda. Di hadapanku kulihat persis hidangan di alam nyata. Demikian juga pasukan dari ranah Minang, ada yang ikut dengan rombongan Eyang Kuda, ada yang bersama kami.

Mataku mencari-cari sosok Dewi Sekar Sari. Lama aku menyisir ruangan dari sudut ke sudut hingga akhirnya kulihat beliau tengah berdiri dan berhadap-hadapan dengan sosok perempuan cantik berbaju kurung seperti gadis melayu. Siapa lagi dia? Aku membatin lalu menghampiri nenek Ceriwis yang menyembul dari keramaian bagian utara.

“Nek, siapa itu?” Tanyaku sambil memanyunkan bibir.

“Itu Putri Rambut Selake” Ujar Nenek Ceriwis tanpa penjelasan berasal darimana. Aku hanya menatap nenek ceriwis berharap beliau dapat menjelaskan rasa penasaranku.

“Dia itu anak Ratu Dentan Kemuning dari Ranau. Kamu memang baru kali ini melihatnya. Dia juga baru kali ini ke mari.” Ujar Nenek Ceriwis seakan tahu makna tatapanku. Aku mengangguk paham. Muncul lagi pertanyaan dalam batinku. Ada keperluan apa mereka ikut berkumpul di sini? Termasuk juga dengan Dewi Sekar Sari yang kata Eyang Putih, penguasa Pantai Laut Selatan jauh-jauh dari Laut Selatan datang ke perbukitan Besemah ini? Apa hubungannya dengan para sesepuh-sesepuhku?

“Minum kabung, Selasih?” Lelaki paruh baya menyodorkan cangkir yang terbuat bambu kecil dan menuangkan air nira berwarna agak coklat dari jantar berukuran besar dan panjang yang disandangnya, membuyarkan pikiranku. Minuman tradisional yang sudah hilang dari peredaran perkampungan Besemah ini ada di sini. Ini kali ke dua aku minum ayek kabung yang rasanya manis degan aroma khasnya. Air nira sebagai bahan baku gula merah ini memang merupakan minuman khas nenek moyangku. Jika dimasak hingga agak kental, biasanya digunakan ibu untuk membalur ubi kayu, atau nasi pulut disiram cairan air nira pengganti gula. Biasaya disuguhkan pada waktu sarapan pagi atau berbuka di bulan Ramadan.Kulihat mata Alif merem-melek menikmati rasa manisnya. Nampaknya seumur hidup baru kali ini dia menikmati minuman khas dataran tinggi ini.

“Sedap!” Bisiknya sambil mengacungkan jempol. Aku hanya tersenyum menyaksikannya. Wajahnya semakin tampan ketika matanya sedikit berkedip. Apalagi diiringi senyum kecilnya yang menyembunyikan gigi-giginya yang putih dan rapi.

Aku segera mengendalikan batinku agar tidak terbawa suasana karena muncul kagum yang berbunga-bunga. Kualihkan pikiranku pada obrolan dengan Bapak suatu ketika. Menurut Bapak minuman kabung itu sangat baik untuk stamina. Dulu, ketika beliau masih muda kalau hendak berburu atau mencari rotan di perbukitan mereka selalu membawa air kabung untuk minuman agar terus bertenaga dan tidak mudah lapar.

Baru saja aku hendak mengembalikan cangkir bambu yang disuguhkan padaku, tiba-tiba muncul nenek Kam. Beliau langsung duduk di sampingku lalu menyambar secangkir air kabung dan meminumnya. Rasa manis yang dihasilkannya membuat nenek Kam berdecak-decak sambil menyapu bibirnya dengan lidah. Beliau hanya tersenyum dan sedikit mengangkat dagu, seakan tahu apa yang ada di hatiku.

“Waktu nenek ke Manna, banyak masyarakat dusun itu membuat nira dan menyajikan minuman tradisional ini. Bapakmu juga dulu sering menampung air nira dan membagi-bagikannya dengan orang sedusun tiap kali jelang romadan. Karena minuman ini sehat untuk menjaga kesehatan, dan sangat cocok untuk masyarakat perbukitan. Karena nyaris setiap hari nenek moyangmu menempuh perjalanan berkilo-kilo meter dengan berjalan kaki.” Nenek Kam menjelaskan padaku sembari mengenang masa lalu.

Apa yang disampaikan Nenek Kam masuk akal. Dulu ketika aku mendaki gunung atau lintas alam, kerap kali Pembina kami mengingatkan agar stamina tetap stabil, tidak haus berlebihan, maka tiap orang disuruh mengantongi gula merah. Lalu menjadikan gula merah sebagai pengganti permen. Ternyata memang benar, stamina bisa kuat dan bisa mengusir rasa haus berlebihan.

Usai makan, beberapa sesepuhku masih asyik membicarakan pertempuran yang belum lama berlangsung melawan Dewi Laut Silincing Api. Baru kuketahui jika Dewi Laut Silincing Api bukan kali pertama naik ke bukit ini. Aku hanya sedikit khawatir jika beberapa kerajaan jin bawah laut datang menyerang ke mari untuk balas dendam. Meski aku dibantu para Puyang memagari area perbukitan ini berlapis-lapis, namun bisa saja benteng itu jebol. Apalagi makhluk-mahkluk bawah laut itu rata-rata berilmu tinggi. Mereka petapa-petapa hebat yang hidupnya hanya untuk mengasah ilmu.

Aku bergeser ke ruangan arah timur.

Beberapa sosok tidak terlalu peduli dengan ruang yang sedikit temaram itu. Tetapi aku justru merasa ada energi menarik-narik untuk ke sana. Tanpa menoleh kanan kiri aku langsung berjalan lurus menuju ruang yang berpintu sedikit lebih kecil dibadingkan dengan pintu lainnya. Aku mendorong pelan daun pintu yang sedikit tertutup. Deritnya yang halus namun terdengar jelas membuat beberapa sosok di dalamnya langsung menoleh padaku. Sejenak aku menyapu seluruh ruangan. Ruangan ini seperti bangsal rumah sakit di alam nyata. Banyak sosok yang terbaring dan sedang dalam pengobatan.

Aku tertarik dengan beberapa sosok yang melakukan pengobatan pada korban yang terluka cukup parah. Ada juga yang saling mengobati sesama mereka. Sebagian lagi saling berbagi energi untuk mengembalikan energi mereka yang telah terkuras. Beberapa sosok yang diobati kulihat langsung sembuh. Namun ada juga yang meski telah diobati masih lemas dan tidak bertenaga. Jiwa tolong menolong satu sama lain terlihat begitu kental. Wajah-wajah polos tanpa pamri, dan seperti tidak ada beban meski dalam keadaan terluka mencerminkan jiwa mereka yang ikhlas.

Ketika aku berjalan bergeser sedikit dari ruangan sebelumnya, aku melihat banyak sekali sosok yang luka bakar. Sebagian besar tubuh mereka berbulu, bulunya gosong. Kulit mereka terlihat sebagian berwarna merah, persis daging yang matang.

Aku menelan ludah memandangnya. Kakek Njajau ada di antara mereka. Beliau nampak sangat sigap bergerak ke sana ke mari. Tangannya bergerak-gerak ke atas ke bawah memberi kekuatan pada tubuh-tubuh yang terbakar tersebut. Aku memohon izin pada sosok penjaga untuk mendekati kakak Njajau. Setelah diizinkan aku segera mendekat.

Kakek Njajau masih fokus pada pengobatan. Tak lama ada semacam minyak yang dibalurkan kakek Njajau ke beberapa sosok. Kata kakek bulu-buluh di tubuh sosok-sosok ini segera tumbuh kembali beberapa hari. Hebat! Aku ingin bertanya sebenarnya, minyak apa gerangan yang beliau poleskan. Tapi dengan cepat kakek Njajau menjentik punggung tanganku pertanda beliau tidak mau menurunkan hal ini padaku.

“Kakek pelit” Bisikku dibalasnya dengan nyengir kuda.

“Kalau kamu mau memiliki ilmu pengobatan ini, kamu harus luka bakar dulu. Mau?” Ujarnya dengan mata agak melotot.

“Oh! Jadi aku harus luka bakar dulu baru bisa memiliki ilmu pengobatan ini?” Tanyaku sedikit meyakinkan. Kakek Njajau mengganguk kecil. Sebenarnya aku punya pengobatan luka bakar juga. Hanya saja agak berbeda degan cara kakek Njajau. Aku tidak membutuhkan minyak seperti ini. Tapi cukup fokus dengan kekuatan batin.

Memang beberapa pengobatan yang kuketahui di Besemah jika hendak diwariskan maka pewarisnya harus mengalami hal yang berkaitan dengan jenis pengobatan terlebih dahulu, baru bisa mengamalkannya. Sama halnya pengobatan tampun darah yang dimiliki kakek dari Bapak yang diwariskannya dengan Bakwo Liawas. Menurut Bapak, ketika Bakwo masih bujang, tangannya pernah terluka cukup parah terkena parangnya sendiri. Telapak tangannya nyaris putus. Darah yang ke luar bukan mengalir seperti luka biasa. Namun muncrat persis seperti sapi disembelih. Kencang sekali. Seketika bibir Bakwo berubah putih. Pucat pasi! Dalam keadaan genting, beliau ingat jika telah diwariskan ilmu tampun darah. Beliau mengamalkan ilmu tampun darah tersebut dengan cepat. Tiba-tiba darah yang muncrat berhenti setelah beliau membaca mantranya. Ilmu pengobatan itu semakin lengket dengan beliau. Kadang terbersit juga dalam benak mengapa harus seperti itu? Terakhir kuketahui hal itu semacam ujian sesuai tingkat kemampuan yang dimiliki oleh orang-orang tertentu.

“Sekarang tugasmu!” Ujar Kakek Njajau. Padahal aku mendekat hanya sekadar ingin melihat proses pengobatan. Bukan hendak membantunya. Melihat kakek Njajau melipat tangan sambil menatapku, Akhirnya kuletakkan telapak tanganku ke bagian luka bakar beberapa sosok yang tergeletak. Aku berusaha konsentrasi memusatkan kekuatan batinku, lalu mengumpulkan energinya di telapak tangan. Mantra pengobatan yang kuperoleh dari Puyang Ulu Bukit Selepah, Kakek Njajau, Kakek Andun dan Nenek Kam kujadikan satu. Tak lama berangsur tubuh yang melepuh kembali sempurna. Selaput tipis yang merayap seperti air menyapu pelan bagian yang terluka. Pelan-pelan kulitnya berubah kembali seperti semula. Suara erangan dan rintihan pelan-pelan berubah menjadi desah nafas lega dan ucap syukur. Aku juga bahagia ketika melihat beberapa sosok bangkit dan melompat sembari menatap sekujur tubuhnya mulus tanpa bekas.

Di alam tak kasat mata ini belum pernah aku menemukan dokter seperti di alam nyata. Selalu pengobatan tradisional yang ada. Meski beberapa kajian tentang alam gaib, ada juga kelompok atau tingkatan bangsa jin yang memiliki teknologi tinggi layaknya manusia. Bahkan konon, tak sedikit di antara mereka mengintip apa yang dilakukan oleh manusia untuk sekadar mencuri ilmu lalu menerapkannya di alam mereka. Kata Kekek Njajau suatu kali, untuk sampai ke tingkat alam tak kasat mata yang itu hanya bangsa manusia yang memiliki ilmu ketahuitan yang sempurna. Waktu itu, lama aku merenung. Bagaimana bisa mencapai ketahuitan yang sempurna?

Pekerjaanku belum selesai ketika Puyang Bukit Selepah menempelkan tangannya ke pundakku. Aku merasakan ada yang mengalir pelan melalui tangan Puyang Bukit Selepah. Beliau tegah mengalirkan energi membantuku. Luka dalam yang dialami beberapa sosok ini cukup parah. Aku berusaha menyisir tiap bagian dalam tubuhnya lalu memulihkannya kembali. Beberapa bagian yang luka mengaga kusatukan kembali. Demikian tulang belulang mereka yang remuk. Aku jadi ingat cerita Wak Nur ketika beliau pertama kali menjadi dukun urut patah mewarisi ilmu Bapaknya. Beliau diuji dengan meremukkan kaki ayam, lalu mengurutnya setiap pagi hingga kaki ayam yang remuk tersebut menyatu kembali.

Selanjutnya, dicobanya mengurut bagian yang patah dengan rotan yang remuknya persis seperti kaki ayam yang patahkan. Dengan mengoles minyak yang dimantrai pada rotan setiap magrib, lama kelaman rotan yang patah dan remuk itu kembali bulat dan mulus seperti biasa. Jika demikian bisa dipastikan tulang manusia yang patah akan ikut sempurna.

Hap! Hap!

Ujung jari kakek Njajau seolah-olah mengunci beberapa bagian tubuh sosok yang tengah kuobati. Beliau melakukan semacam kunci pertanda pengobatan selesai. Aku tersenyum melihat sosok-sosok itu bangkit seperti tidak mengalami suatu apa pun. Mereka terlihat bugar. Andai ini terjadi di alam nyata? Aku membatin.

***

Aku membatin bertanya tentang waktu. Apakah saat ini masih tengah malam seperti di alam nyata, atau sudah berganti hari? Di langit kerlap-kerlip bintang terasa sangat dekat. Awan berarak meski sedikit gelap nampak tenang. Angin yang semilir menggambarkan suasana di sini damai dan tentram.

Di rumah panggung aku masih melihat kesibukan para sesepuh yang berkumpul. Entah apa yang mereka perbincangan dan rencanakan. Aku merasa paling belia. Rasanya sebagai makhluk manusia yang masih belia aku merasa tidak pantas berada di antara sesepuh, nyaris semua terpancar karismatiknya. Sementara aku aku merasa seperti bocah, hanya bisa plangak-plongok melihat ke sana ke mari sembari sesekali menatap beberapa sosok dengan tajam saat ada sesuatu yang membuatku tertarik. Paling kalau bersua sosok yang kukenal, baru aku bisa leluasa dan tersenyum lebar.

Sesekali mataku menyapu ruangan yang luas, fokus mencarai Dewi Sekar Wangi. Wanita cantik itu sangat menarik bagiku. Aku masih juga penasaran dengan informasi terakhir yang mengatakan jika beliau penguasa pantai Laut Selatan. Bagaimana ceritanya? Lalu ke mana Nyi Roro Kidul yang di agung-agungkan itu? Konon hingga saat ini masih banyak masyarakat yang melakukan ritual memuja beliau dengan tujuan macam-macam. Beliau sangat dikenal oleh masyarakat Jawa. Ada yang meminta pesugihan, kewibawaan, jabatan, termasuk juga ilmu kesaktian. Rasa penasaranku ternyata konek lagi dengan Eyang Putih. Beliau berbisik lirih, suatu saat aku akan tahu sendiri tanpa dijelaskan perihal penguasa Laut pantai Selatan. Akhirnya aku memilih diam sembari mengangguk. Kembali aku menyadari jika aku memang masih bocah. Terlalu banyak rahasia dalam hidup ini yang belum kupahami. Aku jadi merasa nalarku masih terlalu tumpul untuk memahami banyak hal.

Tust!! Tiba-tiba punggungku seperti ada yang mematik dengan ujung jari. Spontanitas aku berdiri dan menoleh. Tidak ada siapa-siapa? Lalu siapa yang mematik punggungku? Tubuhku segera berputar ke belakang kembali mencari-cari sambil mengerahkan sedikit kemampuanku. Aku kaget ketika sosok kakek Andun berdiri agak jauh sambil tersenyum masin padaku. Aku segera menuju beliau dan menjatuhkan keningku ke punggung tangannya. Kepala dan punggungku terasa hangat, ketika tangan Kakek Andun mengelus-ngelus pelan, terakhir beliau merangkul pundakku. Aku seperti mendapat nyawa baru berada di dekatnya. Nenek-nenekku terlihat sibuk bercengkrama dengan kelompok mereka masing-masing. Ingin ikut nimbrun lagi-lagi perasaanku merasa tidak pantas dan tidak sopan.

Dari jarak agak jauh. Aku melihat Eyang Kuda sedang berdiri berhadap-hadapan dengan Dewi Sekar Wangi yang cantik itu. Selendang hijaunya yang menjuntai membuat beliau seperti penari. Kain batik lurik yang melilit ditubuh semampainya, terlihat halus dan sangat pantas dengan kulitnya yang kuning langsat. Ketika berbicara saja beliau seperti memiliki maghnit. Binar matanya sangat indah. Seluruh tubuh dan alam tersenyum menatapnya. Meski terlihat sangat agung, namun tetap terlihat sederhana. Sang Maha benar-benar Agung dengan semua ciptaan-Nya. Aku membatin.

Baru saja aku berniat hendak beranjak mendekati Eyang Kuda dengan maksud agar bisa menatap Dewi Sekar Wangi lebih dekat, bahuku terasa semakin erat dirangkul kakek Andun. Aku segera menatap wajahnya. Mata kami beradu pandang. Kutatap perintah dari sinar matanya larangan untuk tidak ke mana-mana. Akhirnya aku mengurungkan niatku. Aku hanya memandang perempuan istimewah itu dari jauh. Aku tahu, pada dasarnya dia tahu jika aku hendak mendekat padanya. Semua terlihat dari tatapannya sekilas mengarah padaku sambil tersenyum manis dan sedikit merundukkan kepala. Lagi-lagi aku kagum dengan adab yang dimilikinya.

“Kakek tahu, kamu penasaran dengan Dewi Sekar Wangi itu? Bukankah sudah diingatkan oleh gurumu Eyang Putih? Bandel!” Bisik kakek Andun. Aku tertawa kecil manja sambil menggenggam lengannya. Kakek satu ini tidak ada berubah sejak dulu. Beliau masih saja memperlakukan aku seperti anak kecil seperti pertama kali bersua beberapa tahun lalu. Kakek yang selalu mengawasi dan selalu hadir disaat aku butuh apalagi dalam keadaan genting.

“Nampaknya kalau belum terjawab rasa penasarannya, cucu kita belum berhenti mencari sela untuk mencari tahu, Kakek Andun. Lihatlah tatapan dan garis di keningnya. Darah Besemah benar- benar mengalir deras dalam dirinya. Karakter turun temurun nenek moyangnya” ujar Puyang yang hingga kini tidak kuketahui namanya. Yang aku tahu beliau adalah puyang leluhurku, yang pertama kali membawaku ke dalam masjid di dalam perut bukit Selepah beberapa tahun yang lalu.

“Iya, benar sekali Puyang. Darah dan karakter Puyang mengalir deras dalam dirinya. Dia adalah cerminan Puyang ketika masih muda. Senang berpetualang, selalu ingin tahu, tidak ada rasa takut, dan yang paling utama adalah keras kepalanya” Ujar kakek Andun sambil mengelus kepalaku. Seketika derai tawa keduanya meledak. Aku hanya bisa senyum malu mendengar ledekan Kakek Andun. Kurasakan kasih sayang mereka seperti mata air – mata air di cadas yang memagari aliran sungai Endikat. Bening menyejukkan. Kasih sayang dan keikhlasan memang memiliki nilai berbeda. Jika mendapatkan hal itu, jiwa kita akan terasa lebih tenteram, damai, dan tenang. Yang jelas, tidak ada rasa cemas dan takut.

Ketika aku masih memikirkan larangan kakek Andun untuk mendekati Eyang Kuda dan Dewi Sekar Wangi, dari kejauhan aku melihat Alif berjalan sedikit tergesa menuju ke arahku dan kakek Andun. Melihat ekspresinya nampaknya dia terburu-buru. Tak lama Eyang Kuda juga menyusul. Aku merenggangkan diri dari dekapan kakek Andun.

“Maaf Puyang, kakek, dan Selasih, saya harus pulang sekarang. Mohon maaf tidak bisa berlama-lama di sini meski saya masih sangat mau. Guru dan santri di pondok, tegah menunggu saya pulang, mereka khawatir denganku. Bahkan beberapa orang sudah mencoba untuk menembus gerbang ke mari” Suara Alif sedikit memburu. Matanya tajam menatapku meminta kepastian. Sejenak aku berpikir apa yang bisa aku lakukan? Sebenarnya Alif bisa saja pulang sendiri tanpa harus diantar, atau berkomunikasi batin dengan gurunya. Tapi entahlah mengapa dia tidak melakukannya. Namun karena beliau ke mari lantaran aku, sedikit banyak aku merasa punya tanggung jawab pula. Apalagi tempat ini adalah kampung halamanku.

Eyang Kuda mengangkat-angkat alis tidak bisa berkata-kata. Aku tahu, beliau tetap menginginkan Alif berlama-lama di sini. Sama dengan perasaan Alif.

“Kemari” kata Puyang sambil meraih tubuh Alif. Tak lama Puyang mengayunkan tangannya ke atas lalu perlahan menurunkannya. Kemudian seperti meniup tubuh Alif sambil berbisik.

“Huuuuu….Allah…” Tiba-tiba aku melihat tubuh Alif membelah dua. Sekarang ada dua Alif di hadapanku. Baru aku paham, mengapa tidak terpikir olehku sejak tadi? Bukankah cara ini paling efektif sehingga dua keinginan makhluk hidup di dua alam ini bisa sinergi. Alief tersenyum puas. Berkali-kali dia mencium tangan Puyang sebagai ucapan terimakasih. Akhirnya pecahan diri Alif diizinkan untuk pulang. Lagi-lagi Puyang meniupkan tangan ke arah bayangan Alif lalu membantunya turun ke bumi menemui jasadnya. Kulihat wajah Kakek kuda sumringah. Beliau sangat puas dan bahagia melihat muridnya dengan mudah dapat menembus dimensi ini. Apalagi memiliki murid yang soleh seperti alif.

“Bukankah Alif memiliki kemampuan untuk memecah dirinya, Eyang” Ujarku bertanya pada Eyang Kuda.

“Betul, tapi bukan dalam suasana seperti ini. Kemampuannya hanya untuk digunakan saat bertempur melawan kebatilan dari makhluk-makhluk fasik” Eyang Kuda menjelaskan. Aku mengangguk paham. Kupikir bisa dilakukan dalam semua kesempatan.

“Silakan, lanjutkan aktivitasmu Alif. Nampaknya kamu bertemu dengan tamu kita dari Kairo. Dia mempunyai pondok ta’afiz di sana. Kamu bisa berkujung ke sana kapan saja” Ujar Puyang menatap Alif sambil tersenyum. Demi mendengar itu aku terperangah. Tamu dari Kairo Mesir? Pondok ta’afiz? Aku menjadi merinding. Jadi teman ngobrol Alif lelaki bersorban dan becabang tipis itu dari Kairo? Wajahnya memang wajah Timur Tengah, bahkam mirip dengan wajah Puyang leluhurku. Hanya saja dia lebih muda. Lagi-lagi aku penasaran mengapa beliau bisa sampai ke mari? Sama halnya penasaranku pada hubungan Puyang Bukit Selepah dengan Dewi Sekar Sari.

Alif pamit dari hadapan kami dengan wajah cerah. Aku melihat gerakkan lamban punggungnya di antara sosok-sosok yang berdiri, berjalan dan duduk. Alif kembali menuju pemuda yang berwajah Timur Tengah. Saking penasarannya batinku mengikutinya. Setelah mereka dekat dan duduk bersebelahan, aku mendengar percakapan mereka. Mereka layaknya sahabat lama yang sering kali bertemu. Akrab dan hangat. Tapi yang membuatku takjub adalah bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Arab. Rasa kagumku pada Alif makin menjadi. Obrolan mereka membahas hadist, mengupas ayat, dan membicarakan tentang berbagai kitab yang aku tidak paham. Kedua-duanya berbagi wawasan dan pengalaman. Terakhir, lelaki itu mengundang Alif untuk berkunjung ke pondok pesantrennya di Kairo. Wow!!

Aku masih duduk di samping Kakek Andun. Mendengarkan obrolan mereka dengan Puyang meski kadang terdengar dan tidak. Karena menurutku tidak ada sangkut pautnya denganku, aku memilih diam saja. Beberapa sosok yang ikut terlibat obrolan dengan kakek dan Puyang sebagian besar tidak kukenal. Meski mereka tersenyum dan merasa sangat mengenal aku. Hal ini terlihat dari sikap mereka ketika tersnyum dan menyapa selalu menyebut namaku.

“Sini telapak tangamu” Sosok lelaki tinggi besar, bersorban warna putih tulang meraih tanganku. Aku membuka telapak tanganku, menadahkannya ke atas. Lelaki tinggi besar ini tidak kuketahui asalnya darimana. Tetapi selintas aku tahu beliau adalah sahabat seperjuangan Puyang leluhurku yang tak kuketahui namanya itu. Sebenarnya aku heran, mengapa tiap kali ingin menanyakan dan ingin tahu siapa namanya, aku seperti menemukan jalan buntu. Akibatnya aku mengenalnya, dan sangat tahu dengannya, tetapi aku tidak tahu siapa namanya. Yang aku tahu beliau adalah leluhurku. Demikian kata kakek Njajau suatu kali.

“Sudah lama aku menunggu moment seperti ini, anak gadis. Aku telah lama melihatmu dari atas. Namun belum ada waktu tepat untuk bertemu. Bersyukur sekali kita bersua di sini. Allah memang Maha Kaya. Tanpa campur tangan Allah, tak mungkin keinginanku bisa terwujud. Mohon izin, Syech…” Kata lelaki tinggi besar itu menatap Puyang dengan wajah teduh.

“Silahkan Syech Zakir. Aku berterimakasih karena kamu pun memiliki perhatian pada cucuku ini. Apa yang akan engkau berikan padanya, berikanlah. Aku jamin dia tetap amanah meski kadang suka iseng dan tidak sabar” Lanjut Puyang membalas tatapan lelaki yang disapanya Syech Zakir itu. Sejejank aku terperangah ketika beliau menyapa Puyang dengan sebutan Syech. Jadi kedua orang di hadapanku ini adalah Syech? Puyangku Syech juga? Ingin aku menjatuhkan diri ke pelukannya, lalu mencium tangannya sepuas mungkin. Aku seperti mendapatkan sebuah jendela baru dan bernafas sepuasnya setelah mengetahui Puyang Syech. Tinggal lagi Syech siapa namanya?

Syech Zakir mengangguk pelan lalu menyuruh aku duduk bersila di hadapannya. Herannya aku patuh saja tanpa berniat bertanya tentang segala hal. Selanjutnya beliau memintaku memejamkan mata sambil bersyalawat pelan-pelan, mengatur pernafasan pelan-pelan, lalu membiarkan darah mengalir dalam tubuhku setenang mungkin.

“Ikhlaskan batinmu, Cu!” Ujarnya lagi sembari seperti meraih telapak tangan kananku. Dalam keadaan telapak tangan terbuka aku mengatur pernafasan dan membiarkan darah mengalir ke seluruh tubuhku pelan-pelan. Degup dadaku pun juga pelan. Aku dalam suasana yang sangat tenang sembari bersyalawat sesuai anjurannya.

Tidak berapa lama, aku merasakan ada hawa mengalir dan langsung menghujam ke jantung, ke hati, dan kepalaku. Aku mencoba menyingkronkan hawa yang mengalir ke seluruh tubuhku. Setelah semuanya terasa padat, aku kembali fokus pada kekuatan baru yang di transfer itu. Tak lama aku melihat cahaya biru yang sangat terang menyusup ke tubuhku. Seketika hawa dingin membuat tubuhku bergetar. Aku menggigil. Namun aku tidak bergeming dari tempat dudukku meski tubuhku terasa sedikit terlonjak. Untung kejadian itu tidak terlalu lama. Tak lama aku merasakan cahaya biru itu serupa tabir tipis membalut tubuhku. Lalu hadir cahaya seperti bola bekel mencari tempat untuk bersemayam di salah satu sudut tubuhku. Dia adalah senjata gaib berupa pedang naga emas yang diberikan lelaki tinggi besar ini padaku.

“Senjata ini berjodoh padamu, Putri Selasih. Sejak lama aku hendak mewariskannya pada bangsamu, mau pun pada bangsa jin. Tapi semuanya tertolak. Setelah aku tirakat, puasa tujuh hari tujuh malam, barulah aku mendapatkan petunjuk jika senjata ini akan bertemu dengan jodohnya yang di darahnya mengalir darah seorang raja. Dan aku melihat cahaya dirimu. Ratu Utara Banyuwangi, cucu Puyang tanah Besemah, Puyang Pekik Nyaring dan Puyang-Puyang tanah Besemah” Ujarnya pelan. Suaranya yang sedikit berat namun terdengar berwibawa dan tegas justru menjadi penyemangatku. Entah dari mana asalanya perasaan itu. Senyum lebar para puyang dan kakek Andun tertuju padaku. Mereka seakan menjadi saksi kebenaran dan turut menerimanya. Bahkan aku melihat cahaya berkaca-kaca Kakek Andun menandakan beliu turut terharu dengan peristiwa ini.

“Terimakasih, Puyang. Mohon maaf jika suatu waktu aku akan gunakan senjata pemberian Puyang” Ujarku sembari merunduk.

“Pakailah, Cu. Itu milikmu. Namun pesan saya gunakan senjata ini saat terdesak dan sangat dibutuhkan saja. Sebab, jika dia sudah ke luar dari sarangnya, maka apa yang terlintas dibenakmu tak akan bisa terbendung lagi, maka dia akan melaksanakannya secepat kilat. Ibaratnya, saat kau inginkan laut bergelombang, maka secepat itu juga laut akan menggelombangkan ombaknya” Ujarnya lagi. Aku terbengong membayangkan dasyatnya senjata yang diberikan. Puyang tinggi besar ini seakan tahu jika aku kerap kali bertarung dengan makhluk gaib yang rata-rata memiliki kesaktian yang luar biasa.

“Saat-saat tertentu, kita bertahan untuk tidak menyakiti makhluk lainnya. Namun jika lawan kita tidak bisa diajak kebaikan maka lakukanlah tindakan dengan tetap menggunakan hati nuranimu sebagai makhluk Allah. Gunakan untuk membela diri, bukan untuk memusnakan apalagi sengaja membunuh lawan” Ujarnya. Aku mendengarkan nasehatnya secara seksama. Rasanya seperti mimpi. Rasanya begitu cepat menjatuhkan pilihan untuk menitipkan miliknya dan mengamanahkannya padaku. Padahal aku merasa tidak pernah bertemu beliau sebelumnya. Selanjutnya aku ke mari pun tidak bisa lama, dan hadir karena undangan Puyang Bukit Selepah. Tapi ketika aku berpikir jika semua apa yang kualami adalah takdir, aku menuntup semua pertanyaan di batin yang hanya akan membuat batinku bingung. Padahal aku harus gesit dan berusaha sebijak mungkin menghadapi semuanya.

Tus!! Aku kaget! Ada sebersit cahaya kembali menyusup ke tubuhku. Jentikan ke dua jari Puyang Syech Zakir seperti memercikkan cahaya runcing tepat mengenai keningku.

Apa lagi ini Puyang?” Ujarku kaget.

“Sebuah lencana agar kau aman naik ke atas bersamaku dan Puyangmu” Ujarnya singkat. Aku tidak paham apa maksudnya ke atas itu. Aku menatap ke langit. Tidak berubah. Masih seperti tadi. Gemerlap bintang dan awan yang melebar diam. Lalu sesekali semilir angin terasa halus sekali.

“Sudah waktunya, Cucumu dikenalkan tempat kita Syech. Kapan-kapan kita ajak dia ke sana” Ujar Syech Zakir.

“Kemana Puyang? Ke atas? Maksudnya?” Aku bingung. Apakah ada kehidupan lagi di atas ini. Bukankah bukit ini adalah jajaran bukit yang cukup tinggi dari permukaan laut setelah gunung Dempu? Bahkan bintang berkedip-kedip seakan bisa diraih. Aku jadi ingat dengan istana di atas awan yang pernah kulihat ketika aku bersama Puyang Purwataka. Tapi istana itu bukan di langit Besemah ini. Di pulau Jawa. Apakah maksud Puyang Syech Zakir berasal dari salah satu kerajaan di atas awan itu? Aku penasaran menunggu ada yang menjawab pertanyaan batinku. Lagi-lagi aku mendapat bisikan Eyang Putih, suatu saat tanpa dijelaskan pun aku akan tahu. Akhirnya aku hanya menarik nafas panjang.

Ketika aku berniat hendak berdiri tanpa terasa tubuhku terangkat tinggi. Menyadari hal ini aku kaget. Mengapa aku terbang seketika tanpa ada perintah dari batinku? Puyang dan kakekku tidak menujukkan wajah kagetnya. Termasuk juga tamu-tamu yang lain. Aku saja yang kaget dan bertanya-tanya pada diri sendiri mengapa aku bisa seperti ini? Melihat semua tidak menampakkan kekagetannya aku segera mengendalikan diri menjaga keseimbangan lalu pelan-pelan turun. Dalam hati aku yakin ini bisa terjadi karena ada kekuatan baru dari Puyang Syech Zakir yang telah disematkan padaku.

“Masya Allah Puyang, aku kaget!” Ujarku setelah kembali berhadapan dengan para Puyang. Mereka tertawa ringan berbarengan. Padahal aku tidak main-main. Belum kering lidahku menyatakan kekagetanku, tiba-tiba telingaku mendengar suara suling dari kejauhan. Ini adalah signal yang menghubungkan aku dengan orang-orang terdekatku dalam keadaan berbahaya.

“Macan Kumbang!” Aku membatin. Apakah Macan Kumbang dalam keadaan berbahaya? Darahku terasa berdesir sangat cepat. Aku segera memajamkan mata. Fokus pada arah suara suling yang masih terdengar nyaring.

“A Fung!” aku sedikit terpekik. Aku buru-buru mohon izin pada Puyang dan Kakek yang menatapku sedikit heran.Tanpa menunggu persetujuan mereka aku melesat ke luar rumah panggung.

Sreeeeeeet!!

Aku kaget, tiba-tiba tubuhku melesat ke belakang. Kembali berada di hadapan Puyang dan Kakekku. Sejenak aku hendak menangis dan protes. Mengapa aku dilarang pergi?

“Berikan ini pada adikmu itu” Syech Zakir mengalungkan tasbih berwarna putih ke leherku. Tasbih dari batu alam yang memancarkan sinar putih namun tidak menyilaukan. Padahal cahayanya sangat terang. Aku kembali pamit dan fokus pada suara suling. Lalu kembali menembus belantara yang pekat menuju arah suara. Hanya dalam beberapa detik aku sudah berada si sebuah perbukitan. Dari jauh aku melihat kilatan dan kelebatan cahaya seperti benang kusut. Kadang rendah seperti turun ke bumi, namun kadang kembali naik melebihi tinggi bukit. Aku segera menajamkan mata fokus pada gumpalan cahaya itu. Semakin dekat semakin membuat jantungku berdegup. Perasaan khawatirku benar-benar sampai puncaknya. Aku sangat menghawatirkan keadaan A Fung.

Sejenak aku diam terpaku melihat pertempuran itu. Aku ingin memastikan A Fung tidak apa-apa. Tapi suara suling yang kudengar tadi pertanda A Fung dalam bahaya. Apakah dia telah melewati masa berbahaya itu? Aku kaget ketika melihat pakaian gamis A Fung tinggal separuh. Dada dan pahanya terluka. Namun A Fung masih lincah bergerak ke sana ke mari. Meski aku tidak tahu dari mana dia mendapatkan kemampuan bertempur seperti ini. Setahuku dia belajar agama dan tidak tertarik dengan ilmu kanuragan? Lalu siapa lawannya? Empat makhluk aneh bertungkai dan bertangan panjang, sedikit bongkok dan berwajah sangat tua, dengan mata melotot semua. Di kepala mereka masing-masing ada dua tanduk yang berjajar lurus. Tangan-tangan mereka yang berkuku panjang bergerak cepat masih berusaha hendak mencabik-cabik A Fung. Tubuh mereka yang berwarna cokelat kemerahan nampak seperti putih ketika mereka bergerak cepat. Sangat berbeda dengan kulit Afung yang putih bening dan bertubuh kecil layaknya anak-anak.

Hiiiiiaaaaat!!!

Aku melakukan satu gerakkkan pukulan jarak jauh untuk memecah pertempuran sembari menarik tubuh A Fung agar mendekat padaku. Dan berhasil! Melihat tubuh A Fung dengan pakaian compang-camping membuat darahku mendidih. Tanpa bertanya apa sebab terjadi perkelahian dan siapa lawannya, aku segera maju menggantikan A Fung. Melihat kehadiranku A Fung hanya bisa menyebut “Kakak!”. Aku heran mengapa A Fung sendiri di sini? Kemana paman Raksasa yang kuamanatkan untuk menjaganya?

Dus!!! Dus!!! Hantamanku mendapat perlawanan dari empat sosok aneh yang berwarna cokelat kemerahan. Tubuh keempatnya tidak berbalut sehelai benang pun. Telanjang bulat! Aku melihat alat kelaminnya ikut terlonjak-lonjak ke sana kemari. Ternyata, alat kelaminya berfungsi sebagai senjata selain kuku kaki dan tangannya yang panjang itu. Dalam hati aku menggerutu melihat pemandangan aneh yang menjijikan ini. Nafas mereka terdengar mendengus cepat. Nafsu melumpuhkan lawan sangat terlihat dari ekspresi dan gerakan tubuh mereka. Aku merasakan energi mereka cukup tinggi. Terbayang bagaimana A Fung melawan mereka. Pantas saja A Fung terluka dan pakaiannya nyaris cabik semua. Yang kuhadapi bukan makhluk biasa.

Des!!! Aku menjentik pita suara mereka agar mereka bisa berbicara dan aku mengerti bahasanya.Tak lama yang ke luar dari mulut mereka ancaman kematian.

“Mati! Mati Kau! Akan kumakan sukmamu! Hggggrrrr aku lapar sekali” Ujar salah satu di atara mereka. Sambil berkelit, aku mencoba mengorek untuk mengetahui siapa mereka sebenarnya. Mengapa mereka bertempur dengan A Fung adik gaibku itu? Ternyata mereka adalah makhluk yang berasal dari rawa-rawa sisi bukit Utara yang menghadap ke laut Selatan Bengkulu. Mereka kebetulan melihat A Fung berjalan sendiri, dan berniat untuk menculiknya. Hendak menjadikan A Fung tawanan sekaligus pekerja ke kerajaan mereka. Aku menertawakan niat mereka yang membuat kemarahan mereka makin memuncak karena merasa gagal menawan A Fung.

“Kalian salah, A Fung bukan makhluk liar seperti kalian. Jika kalian mengganggunya, berarti kalian telah melawan kerajaan Pekik Nyaring” Ujarku lantang. Wajah mereka sedikit berubah mendengar kerajaan Pekik Nyaring. Antara melanjutkan pertempuran dengan tidak terlihat dari gerak tubuh mereka yang beberapa kali mundur.

Aku segera mengangkat tangan ke atas, tak lama kuayunkan lalu kulilitkan ke pinggang mereka masing-masing. Gerakkanku tidak mereka rasakan. Ketika mereka sadar, dipinggang mereka telah terlilit jaring tipis menutupi alat kelamin mereka. Beberapa kali keluar suara dan erangan tidak jelas. Mereka berusaha melepaskan lilitan jaringku. Mata keempatnya yang melototot, nampak protes dan sangat marah. Aku terkesima ketika mereka membuka mulut menyersingai marah. Lidah mereka berlapis-lapis. Demikian juga giginya.

“Mengapa? Kalian tidak bisa melepas jaring itu bukan? Jaring itu akan melekat selamanya. Agar kalian terlihat lebih santun. Tidak telanjang bulat seperti tadi. Aku tidak bisa berkelahi dengan lawan tanpa busana. Apalagi alat kelamin kalian, kalian jadikan senjata” Ujarku menelan ludah menahan rasa jijik. Sebab dari alat kelamin itu selalu ke luar cairan putih seperti lendir yang mengeluarkan bau amis yang menyengat.

“Mengapa kalian mengeroyok adikku dan melukainya? Darimana asal kalian?” Tanyaku sedikit bernada tinggi meski aku sudah tahu asal mereka. Keempatnya seperti tidak peduli dengan pertanyaanku. Mereka masih sibuk hendak melepaskan jaring yang melilit di pinggangnya masing-masing. Rupanya mereka kehilangan kekuatan ketika kemaluannya tertutup. Makanya mereka tidak bisa menyerang balik lagi. Melihat tingkah mereka seperti kegerahan diberi penutup kelaminnya, aku ingin sekali tertawa. Tapi mengingat kondisi A Fung, aku segera balik badan.

Aku segera menghampiri A Fung yang terduduk lesu di atas batu. Wajahnya yang melas manja membuatku sedih. Aku segera meraih tubuhnya, lalu kuminta angin untuk memangkunya. Tubuh A Fung seperti mengambang di hadapanku. Aku segera mengobati luka-lukanya yang cukup parah. Pelan-pelan kusatukan kembali kulitnya yang koyak-moyak. Bahkan serpihan daging seperti hendak lepas dari tulangnya. Tak ada ekspresi rasa sakit A Fung. Wajahnya tetap tenang dan tidak bersuara. Detak jantungnya saja terdengar tak henti bertasbih. Dia tahu aku tengah konsentrasi menyembuhkannya. Hanya bola matanya menatapku dengan air bahagia.

“Huuuuf, Huu…Alllah…” Aku mengeluarkan saparuh energiku untuk menyatukan kembali luka-lukanya yang sedikit mengaga. Pelan-pelan, usapan telapak tangaku bermain di bagian tubuh A Fung yang luka. Pelan-pelan pula kulitnya kembali mulus seperti semula. Aku mulai meraba bagian dalam tubuhnya. Kulihat punggungnya memar hingga ke dalam jantung dan hatinya. Hebat juga adikku ini. Dalam keadaan terluka dalam seperti ini dia masih bisa bertahan.

“Paman, bawakan pakaian A Fung ke mari” Aku membatin, berkomunikasi dengan Paman Raksasa. Tak lama angin mendesing dan muncullah sosok Paman Raksasa. Beliau kaget melihat A Fung yang masih terbaring di pangku angin. Apalagi ketika melihat baju A Fung koyak- moyak.

“Ada apa dengan A Fung? Mengapa dia bisa seperti ini?” Paman kaget. Dia langsung menoleh kepada empat sosok yang masih sibuk melepaskan lilitan di pinggangnya. Melihat ekspresianya nampak dia langsung naik darah dan hendak menyerang empat sosok yang menyakiti A Fung. Secepat kilat aku menghalangi paman agar tidak melakukan penyerangan. Aku paham perasaannya.

“Kita lihat saja Paman, mereka sudah tidak bisa apa-apa setelah kulilit dengan jaring itu. Biarkan mereka sibuk dengan ikatan itu” Ujarku lagi. Akhirnya Paman mengurungkan niatnya. Kembali memandang haru pada A Fung yang masih terbaring.

Desss!!

Aku memberikan totokan terakhir pada A Fung. Akhirnya dia bangkit dan langsung memelukku. Aku segera mengganti pakaiannya yang compang-camping. Wajahnya terlihat cerah dan sangat bahagia.

“Untung kakak datang. Kalau enggak aku hancur” Ujarnya manja. Aku teringat jika aku mendapatkan amanah dari Puyang Syech Zakir. Aku segera melepaskan tasbih batu putih yang melingkar di leherku, mengalungkannya pada A Fung. Tiba-tiba wajah A Fung semakin terang. Cahaya tasbih itu seperti menembus seluruh tubuh A Fung. Paman Raksasa nampak makin bahagia.

“Maafkan Paman, Selasih. Paman tidak tahu kalau A Fung pergi dari kelas belajarnya” Ujar Paman Raksasa dengan nada menyesal.

“Akulah yang minta maaf, karena aku bandel, Kak. Hukumlah aku” Ujar A Fung menimpali. Aku tersenyum melihat keduanya.

“Semuanya sudah dimaafkan, dan semuanya sudah dimaklumi. Alhamdulilah tidak terjadi hal tidak diinginkan. Lain kali hati-hati kalau pergi main. Karena banyak juga makhluk yang mengicar sosok lucu sepertimu. Tuu lihat, berapa banyak maksumai yang menatap ngiler padamu. Karena kau anak kecil yang lucu, A Fung” Ujarku menunjuk pada beberapa sosok wanita berambut panjang dengan buah dada menjuntai sampai ke tanah dan tidak mengenakan busana. Mereka menatap ngiler sambil menjilat-jilat bibir seperti kehausan dan lapar. A Fung terlihat bergidik menatap sosok-sosok yang kutunjuk. Maksumai, adalah makhluk asral bersosok perempuan yang suka menyembunyikan anak kecil, terutama bangsa manusia, menyusuinya, dan memberinya makan dengan telur semut dan cacing.

“Hmm..kok aku dibilang maksumai?” Tiba-tiba suara Alif muncul dari belakang. Aku kaget dibuatnya. Mengapa aku tidak mencium sama sekali kehadirannya? Aku menyesali ketidakpekaanku. Alif berjalan pelan mendekati kami. A Fung langsung menyambar tangannya dan menciumnya. Alif mengelus-ngelus pundak A Fung dengan penuh kasih sayang. Mata nakal A Fung mulai bermain. Dia senyum-senyum menatap aku lalu menatap Alif berkali-kali. Paman Raksasa ikut tertawa melihat tingkahnya.

“Kok kemari?” Tanyaku sedikit heran.

“Iya, Aku melihat tubuhmu melesat ke mari. Lalu Eyang Kuda menyuruhku menyusulmu. Ternyata Kanjeng Ratu tengah menyelamatkan adik kesayangannya” Jawabnya sambil tersenyum, menyebutku dengan Kanjeng Ratu.

“Terimakasih Kanjeng Ratu, Terimakasih Tuan Pangeran” A Fung menggoda sambil membungkuk. Kami serentak tertawa.

Setelah kulihat sosok A Fung sudah beres, mereka kuminta kembali pulang ke gunung Dempu. Paman Raksasa langsung membimbing A Fung dan seketika mereka lenyap dari hadapan kami. Tinggallah aku dan Alif berdiri menatap empat sosok yang masih sibuk dengan lilitan jaring di tubuhnya.

“Kita tidak mungkin meningglkan mereka di sini dalam keadaan seperti ini, Selasih. Izinkan aku mendekati mereka” Ujar Alif berjalan menghampiri empat sosok astral yang tidak mempedulikan sekelilingnya itu. Kulihat Alif berusaha berinteraksi dengan mereka. Keempat sosok itu nampak berhenti dengan aktivitasnya hendak melepas jaring yang melilit. Alif mengangkat tangan sembari berdoa lalu ada cahaya putih muncul ke genggamannya, selanjutnya cahaya itu dia masukkan ke dada empat makhluk berbarengan. Cahaya itu langsung menyusup ke dalam hati keempatnya. Rupanya Alif memberikan nur Islam ke dalam dada-dada mereka. Mereka seperti terperanjat melihat hamparan alam yang teduh dan luas. Batin dan jiwa mereka tiba-tiba terasa nyaman.

“Apa dan di mana itu? Mengapa tiba-tiba semua berubah? Bagaimana caranya kami bisa ke sana?” Tanya salah satu sosok itu. Alif menjelaskan mereka bisa masuk ke alam itu asalkan mereka mau bersyahadat. Akhirnya setelah bernegoisasi cukup lama, mereka meminta untuk disyahadatkan. Alif menuntun keempatnya. Selanjutynya dikirimkannyalah empat sosok itu bergabung ke pondok pesantren gaib gurunya. Aku tersenyum bahagia melihat pemandangan di hadapanku. Empat sosok itu berubah menjadi sosok yang bersih dan tubuhnya sempurna seperti manusia.

“Ayo, kita kembali ke tempat Puyang” Ajak Alif ketika melihat aku termangu. Padahal aku masih takjub melihat apa yang dikerjakannya. Aku mengangguk setuju. Lalu kupanggil angin untuk kembali membawaku dan Alif menuju bukit tempat bersemayamnya Puyang di sisi bukit Marcawang.

Bersambung…
close