Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LARANTUKA PENDEKAR CACAT PEMBASMI IBLIS (Part 13) - Perang Padang Segoro Mayit


Kubah merah berpendar terbentuk dari pedang iblis Merah Darah yang diayunkan secara memutar dengan kecepatan tinggi. Membentung benteng perlindungan berbentuk bola.

Itulah jurus 'Kubah Surga Neraka'  yang sudah lama menghilang dari jagad alam ini. 

Namun yang lebih hebat lagi setiap kelebat pedang itu menghisap semua bayangan hitam milik Siluman Rai Loro tanpa sisa, seperti dedaunan yang terhisap pusaran air. 

Tranggg...

Benturan keras terjadi saat senjata mustika masing-masing lawan diadu. 

Kontan, senjata Cakar Iblis tercabik menjadi serpihan kecil-kecil. Siluman Rai Loro terkejut alang kepalang. Tangannya gemetar akibat bentrokan tenaga dalam yang dahsyat di kedua senjata tadi. Senjatanya ternyata kalah kuat dengan pedang milik lawan. 

Belum habis rasa terkejutnya mendadak pijar merah pedang Merah Darah segera menyambut wajahnya. Siluman itu terdesak dan terpaksa melayang mundur kebelakang, namun pedang Larantuka terus memburu dengan kejam.

Dengan ringan ia melancarkan dua-tiga tusukan ke titik mematikan lawan. 

Siluman Iblis Rai Loro mengeluarkan ilmu simpanan dengan mengatupkan kedua tangan didada, mendadak tubuhnya kembali mengeluarkan cahaya kehitaman, berbagai bentuk bayangan hitam mencelat keluar menerjang musuh. 

"Kejarr anak-anakku!" bentak Siluman itu bengis. 

Kali ini bayangan yang ia keluarkan bukan ilusi, melainkan arwah penasaran dari korban yang telah ia kumpulkan semasa hidupnya. Bayangan ini bisa mencakar dan melukai secara nyata. Setiap bayangan yang keluar akan melemahkan tenaga dalam yang ia miliki, namun keadaannya begitu terdesak sehingga terpaksa ia mengeluarkan semua ilmu simpanannya. 

Candika menjerit melihat bayangan hitam bermata merah berjumlah ratusan menerkam Larantuka. 

Namun Larantuka dengan sigap menyambut jurus Selaksa Arwah Mencari Mayat dengan ujung pedang yang diputar bak pusaran air. Puluhan bayangan tersebut terhisap masuk kedalam pedang itu tanpa jejak, sontak tak ada perlindungan lagi untuk Siluman Iblis Rai Loro. 

Cresss...

Maka pedang iblis Merah Darah tanpa ampun menghujam langsung ke ulu hati, kedua tangan Siluman Ibli reflek menggenggam erat bilah merah itu berusaha mematahkan serangan, namun upayanya tak berhasil menghentikan laju mata pedang hingga tubuhnya terdorong kebelakang, menumbuk sebuah batang pohon besar.

Ia terhimpit antara pepohonan dan Larantuka. Darah kental berwarna hitam muncrat dari luka di perut begitu pula dari mulut iblis itu. 

Dia terluka parah, jiwa-jiwanya akan hancur segera. Larantuka musuhnya terlalu kuat, mungkin setanding dengan gurunya Nyi Ratu Gondo Mayit. Kali ini ia terlalu gegabah dan berpikir terlalu cepat. Siapa menyangka Larantuka memiliki kesaktian luarbiasa, dengan mudahnya ia ditaklukan hanya dengan beberapa jurus pedang. 

Kepala iblis itu mengejang, meronta berusaha ingin keluar. Ia harus memperingatkan istana Jalmo Mati bahwa mereka kedatangan seorang musuh luar biasa tangguh. Namun pedang itu telah meruntuhkan semua kesaktian yang ia miliki.

Tudung hitamnya lantas terbuka dan terlihat pemandangan mengerikan. Ternyata mukanya polos tak memiliki mata, telinga dan lubang hidung sama sekali. Hanya ada mulut lebar bergerigi tajam bak gergaji berselimut darah kehitaman. Suaranya melengking mengerikan menandakan sakit tak terkira tanda dekatnya ajal.

"K-kau, ajian itu, bagaimana bissa mengeluarkan ilmu kegelapan? Kegelapan tak mungkin bersanding dengan cahaya!" keluh Iblis itu dengan nada sekarat. Penuh rasa penasaran. 

Belum pernah ada manusia yang mempelajari dua ilmu yang bersumber dari kekuatan bertolak belakang, ilmu hitam kegelapan dan ilmu putih cahaya. Kedua sumber ilmu itu akan saling bentrok dan mematikan.

"Didunia ini tidak ada yang tidak mungkin" ujar Larantuka dingin. Tangannya memutar pedang sembari menusuk perut siluman lebih dalam. 

Iblis Siluman Rai Loro kembali muntah darah, ujung jemarinya yang memegang erat pedang lantas putus berjatuhan ke tanah. 

"Patih Garangan, salah satu jenderal kami, menghilang tanpa jejak, apakah ia mati ditanganmu?" tanya iblis itu dengan tersengal. 

Larantuka mengangguk perlahan. Tepat di hari kedatangannya di hutan Tumpasan ia bertarung dengan penjaga hutan bagian Utara. Pimpinannya bergelar patih Garangan yang tugasnya memusnahkan pendatang asing yang menginjakkan kaki di hutan. 

Kedatangan Larantuka membawa petaka bagi pasukan iblis dan hantu bawahan jenderal siluman itu. Mereka semua mati di tangan pendekar tersebut. Namun Larantuka juga ambruk karena kelelahan menjalani banyak pertempuran tanpa jeda bahkan sebelum masuk ke hutan Tumpasan, nasibnya beruntung karena ditemukan Murni dan kawannya. 

Siluman Iblis Rai Loro menyeringai menahan perih. "Seharusnya aku tahu itu adalah kamu... Mungkin kami bisa... selamat"  lirihnya. 

Tubuh Siluman Iblis itu mengejang lalu lunglai. 

Larantuka mengangkat tangan kirinya, terdengar suara mendenging dan sinar keperakan yang menyilaukan dari telapak, tanda terhimpun prana ilmu cahaya yang mampu mengantar iblis itu ke neraka selamanya.

"Mampus kau"

Tiba-tiba dari muka siluman yang tanpa hidung dan mata itu terbelah dua dan memunculkan seraut wajah kecil anak lelaki berumur sepuluhan tahun. Larantuka terkejut menghentikan serangan dan segera mencabut mundur pedangnya.

Tubuh Siluman Iblis Rai Loro terjatuh ke tanah dengan posisi tengkurap. Larantuka membalik posisi tubuh siluman dengan kaki hingga badannya terlentang untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Dengan sekali sabetan pedang, maka terbukalah jubah siluman itu. Terlihat goresan mengerikan memanjang dari dada  sampai ke perut mirip dengan bibir raksasa bergigi tajam.

Kejadian aneh lainnya mengikuti, dari robekan panjang itu keluar sesosok tubuh bocah kecil dipenuhi selaput dan lendir layaknya manusia baru lahir. Begitu kurus dengan tulang yang menonjol. Sementara tubuh iblis Siluman Rai Loro sendiri perlahan meleleh menjadi cairan kental kehitaman.

Candika menghampiri Larantuka dengan penuh keheranan. Dengan wajah takut ia bersembunyi dibalik bahunya menyaksikan pemandangan mengerikan itu.

Larantuka mengamati kejadian itu beberapa saat, dada kecil makhluk ganjil itu kembang kempis menghirup udara, ia menggeliat sesaat lalu bangkit dan jalan merangkak dengan kedua tangan dan kaki seperti anjing. 

Wajahnya manusia namun iris matanya seperti serigala. Makhluk itu sekilas memandang Larantuka dengan tatapan mata penuh nelangsa, lalu segera menghilang dalam semak belukar di kegelapan malam. 

Larantuka lalu menyarungkan pedang iblis Merah Darah ke pinggang. Sedikit keraguan terpancar dari wajahnya.

"Sepertinya siluman ini mengasah ilmunya dengan memakan tubuh dan jiwa-jiwa manusia ataupun  iblis lalu mengolahnya menjadi ilmu kegelapan Selaksa Rogoh Nyowo. Kebetulan, pedangku ini memakan hawa kegelapan. Jadi ilmu kesaktian siluman iblis yang sudah ia kumpulkan selama ini telah habis terserap beserta jiwa gelap yang ia miliki." 

"Jadi makhluk itu apa Kakang?"

"Makhluk itu kemungkinan manusia berjiwa bersih tersisa yang terlahir kembali karena tidak ikut terhisap oleh mata pedangku."

Mata Candika membelalak mendengar keterangan Larantuka. "Jadi dia adalah manusia?"

Larantuka menggeleng, "Manusia jadi-jadian, iblis bukan, manusiapun bukan, karena dia terlahir dari ilmu hitam yang sudah disucikan. Harusnya kubunuh tadi agar makhluk itu tidak hidup menderita di dunia ini." sahutnya dengan nada sedikit menyesal.

Lolongan anjing kemudian terdengar memilukan dikejauhan. Satu-satunya suara binatang yang terdengar di hutan Tumpasan. 

"Ternyata ada hal ganjil seperti ini bisa juga terjadi" ujar Candika berdecak keheranan. 

Larantuka tak bersuara, ia kembali memasang caping dikepala. Wajahnya separuh tak terlihat terkena bayangan, penuh misteri di mata Candika. Entah ada sesuatu yang menarik dibalik sikap diam Larantuka baginya. 

Candika merawat luka goresan di tubuh Larantuka, nampaknya lelaki itu sama sekali tak merasakan kesakitan saat gadis berbaju biru itu mengikat erat bahunya yang putih dengan kain.

"Sebenarnya siapa dirimu? Ilmumu begitu tinggi namun tidak dikenal namanya di jagat alam ini. Apa tujuanmu memburu para iblis ini?" tanya gadis berbaju biru itu tiba-tiba.

"Kau benar-benar ingin tahu?"

"Ya"

Lelaki itu menahan napas sejenak, "Aku mengembara untuk membunuh semua pemuja iblis di muka bumi ini, mengirimkan mereka kembali ke tempat seharusnya yaitu neraka. Terutama mereka yang mengamalkan ilmu sesat Sangang Wengi, sumber dari segala kejahatan didunia, aku memburunya mati-matian dan mengumpulkan sisa kitab Sangang Wengi yang tersebar."

Mata Candika berkilat, ia tidak pernah mendengar nama kitab itu sebelumnya, apakah itu lebih kuat dari jurus Angin dan Hujan yang ia pelajari dari gurunya. Tapi ia tahu dari gurunya ada lima kitab lain termasuk Kitab Angin dan Hujan yang sama hebatnya.

"Tujuan yang mulia, demi keadilan atau kebenaran kah?" tanya Candika lagi.

Larantuka menggeleng, "Demi balas dendam..." 

"Balas dendam? Kepada siapa?" kejar Candika. 

Lelaki itu tak menjawab, ia kembali melangkah dengan langkah pincang ke jalan setapak lagi. 

"Kamu belum menjawab pertanyaanku, kau sungguh penuh dengan misteri!" protes Candika dengan muka cemberut. Bergegas ia menyusul lelaki didepannya.

Larantuka melirik rekan seperjalanannya. "Bukakah kita semua memiliki rahasia yang penting untuk dipendam? Dan misteri tidak akan menjadi menarik apabila diceritakan... biarlah terungkap dengan sendirinya" 

Candika melihat sesungging senyuman dari lelaki misterius itu, memperlihatkan putih gigi taring yang tidak biasa.

***

Suara langkah kaki bergema di lorong gua Pelangi yang lembab. Nampak pemuda gagah berusia tigapuluhan membawa obor berlarian kesana-kemari seperti mencari sesuatu. 

Orang tersebut adalah Sasrobahu, setengah mati ia mencari alasan keluar lagi dari rombongan, memutari jalan hutan, kembali ke pondok reot untuk mencari Murni namun tak jua ketemu. Kemana pula gadis itu menghilang? 

Tadinya ia berharap Murni menunggunya di dalam gua namun ternyata tidak ada. Apa mungkin gadis itu terkubur dalam tanah longsoran gua Pelangi?  Rasanya tidak mungkin Murni meninggal begitu saja. Lagipula gua ini banyak sekali memiliki lorong rahasia yang ia sendiri pun belum rampung menjelajahi semuanya.

Mulut Sasrobahu berdecak. Tangan terkepal hampir saja memukul dinding gua karena kesal. Murni yang ia harapkan bersanding selamanya tak tahu dimana rimbanya.

Akhirnya setelah dirasa cukup lama mencari tanpa hasil, Sasrobahu kembali keluar bangunan gubuk reot. Ia melihat keadaan sekeliling, hanya ada kegelapan dan kesunyian diantara rerimbunan pohon pinus. 

Tidak ada hantu atau dedemit anak buah Gagak Rimang yang mengintai dari balik dedaunan. Tampaknya semua penghuni hutan Tumpasan sudah ditarik mundur. Pastinya perang besar akan terjadi.

Rombongan anak buah Nyi Ratu Gondo Mayit pasti sudah berkumpul di padang Segoro Mayit. Waktunya sudah pas untuk dilakukan prosesi tumbal bagi kaum demit. Sasrobahu harus segera menyusul kesana untuk menyaksikan peristiwa penting tumbal Nyi Ratu Gondo Mayit atau hancurnya sebuah kerajaan besar Siluman. 

Ia mengempos tenaga dalam ke kaki, tubuh lelaki itu segera melayang ringan ke dahan pohon dan berkelebat di tengah gelapnya malam. 

***

Bulan purnama terlihat besar terang benderang di atas kepala penduduk desa Bakor dan pasukan kerajaan Kalingga. Cahayanya yang kemerahan tampak menggidikkan. 

Sementara kesiur angin dingin cukup menggigit kulit. Rumput getah-getih berwarna kemerahan terlihat tumbuh lebih tinggi di mata warga desa Bakor. 

"Waktunya sudah tiba, aku bisa merasakan beberapa titik prana tenaga dalam yang lumayan mendekati tempat ini" ujar Panglima Jagadnata dengan tangan terlipat. 

"Mereka pastinya sudah tahu serangan kita?" tanya Menggala.

Sejauh ia memandang hanya ada padang rumput setinggi mata kaki berwarna kemerahan. Warna semburat merah rumput bermandikan cahaya purnama membuat hati adipati itu tak nyaman. 

Ia berbisik lirih kepada Jagadnata, ada sesuatu dibalik padang rumput ini yang membuat instingnya terus waspada akan serangan. 

Jagadnata melemparkan pandandan ke sekelilingnya "Tahu atau tidak mereka akan kedatangan Kalingga, pastinya kita akan menyerang dengan kekuatan penuh, bahkan sampai ke istana mereka." 

Para tetua desa yang turut dalam rombongan menjadi gelisah dan was-was mendengar peringatan Jagadnata. Mereka saling berbisik untuk meningkatkan kewaspadaan. 

Adipati Menggala menepuk pundak para tetua itu untuk menenangkan mereka. 

"Tenang saja sesepuh yang terhormat. Panglima Jagadnata sangat sukar dicari tandingannya. Apalagi beliau sudah menguasai kitab Angin dan Hujan tahap ke tujuh. Ditambah kami membawa pusaka kerajaan Kalingga pedang Suci Matahari.  Dijamin tak ada yang bisa melawan" hibur Menggala. 

Para warga desa Bakor saling berpandangan dan mengangguk lega. 

Tiba-tiba terdengar suara gamelan dari kejauhan. Musik itu terdengar bertalu-talu dan menggetarkan jiwa manusia di padang Segara Mayit. Para warga dan pengawal mereguk ludah, perasaan mereka semakin gundah. Suara gamelan itu menandakan kedatangan Kanjeng Gusti Nyi Gondo Mayit sebentar lagi. Bau amis yang tercium mendadak berganti dengan bau wangi bunga Tanjung yang menusuk hidung.

Dan benar saja, dari  pucuk pohon Beringin terlihat dua benda berbentuk kubus melayang perlahan ke atas tanah menuju Watu Tumbal persis seperti kendaraan dewa yang turun dari kahyangan. Kedua benda itu adalah tandu besar berwarna merah tertutup dengan tirai serba merah pula. Kain tabir itu panjang seperti sulur-sulur gurita raksasa yang siap mengambil jiwa manusia ke dalam kegelapan hunian kaum iblis hutan Tumpasan.

Dibawah tandu kumpulan kepala terbang  hantu 'palasik' melotot mengerikan ke arah warga desa. Membuat mereka ragu untuk mendekat. Jarak antara tandu dengan para penduduk desa Bakor kini hanya tinggal dua puluh tombak lagi. Ditengah-tengahnya terdapat Watu Tumbal, sebuah batu granit besar berbentuk lempengan datar nampak berkilat ditimpa cahaya bulan Purnama. Didekatnya ada tandu kecil yang masih tertutup berisi manusia Tumbal Kembar yang disiapkan warga Desa Bakor.

Para prajurit Kalingga yang sedang dalam penyamaran segera meningkatkan kewaspadaan mereka, memperkuat genggaman tangan dan kaki untuk mempersiapkan kemungkinan paling buruk. Sengaja tidak memasang kuda-kuda agar pihak lawan tidak curiga bahwa mereka adalah prajurit yang sudah terlatih melawan kaum siluman.

"Bagaimana ini kakang Jagadnata?" bisik Menggala meminta langkah selanjutnya.

"Kita ikuti permainan mereka, bila mereka sedang terlena dan ada celah, langsung serang dengan aba-abaku" balas Jagadnata dengan ilmu tenaga dalam. Sehingga dari jauh tidak terlihat Jagadnata membuka mulut sama sekali.

Tandu yang di depan terlihat besar dan megah sekaligus menggidikkan tengkuk bagi siapa yang melihatnya. Pastilah Nyi Ratu Gusti Kanjeng Gondo Mayit yang bersemayam di dalamnya. Sementara dari tandu di belakangnya nampak lebih kecil, sebuah tangan mungil putih pucat menyibak tirainya, muncul sesosok anak perempuan berbaju serba merah diikuti dengan sosok berjubah serba hitam dibelakang, tinggi mereka hanya selisih sejengkal.

"Nah-nah sudah banyak yang berkumpul rupanya disini" ujar Anak Perempuan itu sambil tersenyum gembira dan bertepuk tangan. "Semakin ramai maka akan semakin seru"

Ni Ayu Sukma Abang sampai meloncat saking girangnya. Didepannya warga berjumlah ratusan sudah berkumpul semua di Padang Segara Mayit. Dengan kepungan dari Panglima Siluman Iblis maka tak ada satupun yang bisa lolos jika ada yang ingin melarikan diri.

Warga desa kemudian berbisik-bisik, Jagadnata memandang pemandangan ganjil di depannya. Seorang bocah perempuan kenapa bisa keluar dari tandu, siapakah dia?

"Dasar manusia tidak tahu diri, harusnya mereka sudah membubarkan diri saat kanjeng ratu hadir di padang Segara Mayit. Bagi siapa yang melihat kanjeng ratu harus di cungkil matanya!" sebuah suara wanita menggema dari balik tandu. Menandakan tenaga dalamnya sudah sempurna.

Tak berapa lama muncullah sesosok wanita cantik berambut panjang dan berpakaian sisik ular serba hijau lumut. Kulitnya terlihat putih bercahaya dibawah sinaran purnama. Perhiasannya begitu gemerlap dengan tatapan yang membius. Dialah Nagindi makhluk iblis keturunan ular siluman yang telah menyempurnakan ilmu Siluman Ular.

"Baiknya kalian semua angkat kaki dari sini, ataukah kalian mau sekalian dijadikan tumbal saja?" 

Muncul kembali sesosok misterius berbaju serba hitam dari balik tandu kedua. Sosok ini memiliki mata kecil dengan hidung bongkok yang besar, dua sayap burung raksasa nampak terlipat di balik punggungnya bagai siap terbang menerkam siapa saja secepat angin. Dialah patih Gagak Rimang. Untuk menggetarkan musuh kali ini ia mengeluarkan dari punggung sayapnya yang hitam legam.

Para warga terkesiap melihat kedua iblis telah berkumpul siap untuk mengawal Kanjeng Ratu menyelesaikan ritualnya. Beberapa warga asli kemudian perlahan bergeser mundur karena pertumpahan darah akan segera terjadi sementara pra prajurit bergerak maju. Sesuai taktik warga akan berdiri di belakang pasukan sementara prajurit Kalingga akan maju untuk membunuh musuh.

Setelah musuh tumbang maka warga akan memastikan kematian mereka dengan membakar jasad para siluman itu agar mereka tak kembali hidup.

"Ampun yang mulia, kami hanya hendak mengantarkan tandu ini kehadapan Kanjeng Ratu setelah itu kami undur diri" ujar Menggala dengan nada merendah.

Diiringi langkah tegap, Jagadnata maju ke depan bersama Menggala dan beberapa prajurit masih tertutup baju samaran. Keadaan begitu hening namun menyeramkan. Terutama saat prajurit itu semakin jelas melihat sosok kedua Panglima Iblis dari jarak dekat. Yang wanita cantik luar biasa sementara yang lelaki berwajah begitu janggal. Jelas ilmu kedua orang aneh ini sudah mencapai taraf puncak. 

Kedua Panglima Iblis itu mengawasi tindak tanduk Jagadnata dan Menggala yang mengangkat tandu dari bilah bambu itu mendekati watu tumbal.

"Tunggu!" bentak Gagak Rimang. "Biar aku periksa dulu tandu itu"

Jagadnata berhenti dan menurunkan tandu ke tanah, ia mengambil tempat di sisi kiri tandu, sementara Menggala sebelah kanan. Gagak Rimang mulai menjulurkan tangan untuk membuka tirai tandu yang berwarna kuning.

Sreettt...

Sebuah benda bercahaya perak menusuk perut Gagak Rimang dengan kecepatan tinggi.

Namun Gagak Rimang bukan pendekar iblis kemarin sore yang gampang ditipu, dengan kecepatan kilat kedua jarinya menjapit benda itu.

Sebuah belati tajam seukuran setengah hasta nampak terjepit di jari yang sekeras besi. 

"Bajingan! mau mati ruapanya" bentak Gagak Rimang.

Namun terdengar suara angin menderu begitu dahsyat.

"Awas!" teriak Nagini.

Siluman pengintai itu mendongak keatas.

Jagadnata melayang setinggi 2 tombak, matanya memerah memancarkan amarah luar biasa menggidikkan. Kedua tangannya diatas kepala memegang sebuah pedang besar berwarna hitam dengan latar belakang bulan purnama yang terang benderang.

Tenaga Prana mahadahsyat langsung menekan ke delapan penjuru.

BERSAMBUNG
close