Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LARANTUKA PENDEKAR CACAT PEMBASMI IBLIS (Part 19) - Perburuan Kala Fajar Menyingsing


Hantaman dari kuku Nyi Gondo Mayit telah memporak-porandakan pertahanan terakhir dari Larantuka. Pedang iblis Merah Darah yang berpendar kemerahan di dalam gelap, hancur menjadi serpihan setelah tiga kali digempur sabetan bertenaga dalam tinggi. 

Pedang tajam berwarna merah yang telah merenggut nyawa ribuan demit dan iblis itu kini hanya tersisa dua jengkal saja dari pegangan yang lentur berselimut rajutan tali kasar. 

Pendekar muda itu terkejut melihat kesaktian kuku Perogoh Sukmo milik Nyi Ratu Gondo Mayit, ilmu itu membuat cakar menjadi sekuat besi baja bahkan mengungguli logam mustika merah darah. Lelaki itu segera berjumpalitan mundur untuk menghibur serangan susulan Nyi Ratu Gondo Mayit. Kuda-kudanya dipancangkan lebih kuat kedua tangan terbuka menyilang di depan dada. Matanya memicing mengamati gerakan Nyi Ratu yang mengibas selendangnya sambil tertawa cekikikan. 

"Guru lihat pedang mustika pendekar Larantuka tercabik, bagaimana mungkin?" seru Candika dengan napas tertahan dari jauh. 

"Celaka, keadaan ini sangat berbahaya. Sebagai pendekar yang malang melintang mengembara pedang mustika adalah salah satu penolong yang bisa di andalkan. Kehilangan pedang mustika sama saja seperti kehilangan salah satu anggota tubuh." terang Jagadnata.

"Setiap pedang mustika memiliki keandalan masing-masing, bila pedang suci sinar matahari ditempa dari logam meteor dengan bentuk besar dan tebal. Menghancurkannya dengan gempuran tenaga dalam tidak akan mudah. Berbeda dengan pedang mustika milik Larantuka. Bentuknya ramping tipis dan panjang. Pedang ini mengandalkan kecepatan gerak, kelincahan dan ketajaman. Tidak cocok untuk pertahanan diri!"

Nyi Gondo Mayit tertawa kegirangan, langkah kakinya ringan di atas rumput getah getih seakan melayang tak menjejak tanah, "Nah bagaimana bocah? Pedangmu sebagai satu-satunya kawanmu telah kuhancurkan, selanjutnya adalah jantungmu, akan kurogoh jantungmu untuk kusesap darahmu hihihi!" 

Larantuka bergeming, dalam pengembaraannya memang pedang itu adalah sahabat yang paling diandalkan dalam memberantas siluman, saripati ribuan demit telah direngut oleh pedang itu membuatnya seakan bernyawa dan bisa diandalkan Larantuka disaat paling genting untuk menggorok leher para iblis. Pedang tidak akan berkhianat menusuk dari belakang layaknya manusia, yang gampang terbuai harta, tahta atau wanita, selama pegangannya ada dalam genggaman maka ia akan patuh dan menurut apa kata tuan pemilik. 

"Majulah ratu iblis, kita lanjutkan pertarungan"  ujar Larantuka dengan tenang seakan tak terjadi apa-apa. 

Tangannya dikatupkan di depan dada dan terlihat seberkas cahaya keperakan keluar dari sela telapak itu. 

Entah kenapa sinar itu membuat Nyi Gondo Mayit merasa tidak nyaman, segala aura jahat di dalam tubuhnya terasa menggelegak seperti air mendidih. 

"Keparat, kamu rupanya menyimpan ajian dari sumber Cahaya, baik aku ingin jajal seberapa kehebatanmu bocah!" umpat Nyi Gondo Mayit sambil meludah. 

Ia kemudian melompat sambil berteriak nyaring memperlihatkan mata merah dan taringnya yang panjang tidak wajar, tangannya bergerak berputar seperti menari. Angin segera berhembus kencang, debu berterbangan akibat tenaga gaib Nyi Ratu Gondo Mayit. 

Pertarungan dahsyat meletus kembali, Nyi Ratu segera membabat membabi buta dengan serangan yang ganas dan mematikan. Sepuluh kukunya berbayang berubah menjadi puluhan mengincar urat leher serta ulu hati Larantuka.
Larantuka berjuang menggunakan kedua telapak berusaha membelokan kuku panjang itu, bertarung tanpa senjata artinya memasuki wilayah jangkauan serang musuh dan menyerang dari jarak dekat. Sangat beresiko. Berkali-kali kuku hitam itu menyerempet kulit Larantuka, terdengar suara keras saat telapak Larantuka menangkis serangan Kuku Perogoh Sukmo. 

Namun gerakan Nyi Ratu Gondo Mayit ternyata sangat cepat dan membuat Larantuka hanya bisa bertahan tanpa menyerang. Tiba-tiba ajian kuku Perogoh Sukmo dilancarkan Nyi Ratu tanpa ampun ke bagian perut, Larantuka segera memutar tubuh ke kiri untuk menghindar. 

Brettt brettt..

Perut Larantuka sudah bertambah tiga sayatan di iga kiri, darah mengucur berbarengan dengan kain bajunya yang sobek. 

"Cih.. kurang dalam, seinci lagi ususmu sudah terburai" geram Nyi Ratu sambil meludah, ia terus meloncat membabatkan kuku ke leher Larantuka. 

Nasib pemuda itu diujung tanduk tanpa senjata, Larantuka segera berjumpalitan ke belakang agar kepalanya tidak terpotong kuku tajam Nyi Ratu Gondo Mayit, ujung kaki kirinya segera menyundul tapak Nyi Ratu keatas. Siluman itu segera terdorong naik dua tombak, Larantuka menjejak kuda-kudanya kiri dan kanan. Tenaga dalam segera ia pusatkan dari bawah perut ke sepasang telapak tanganya. Sinar itu menyilaukan Nyi Gondo Mayit memaksanya terbang mundur dua jejak. 

Sepasang telapak itu Larantuka katupkan ke dada kemudian ia naikkan sampai tangannya lurus diatas kepala sambil merapal mantra. 
Ia pejamkan mata sambil membersihkan raga dari segala pikiran dan hawa nafsu. 

Whussshh...

Seberkas sinar keperakan bercampur emas dari telapak tangan mengatup itu keluar menembus langit padang rumput Segoro Mayit. Ketika sinar itu menyatu dengan langit maka tersibaklah awan kemerahan akibat ilmu gelap Nyi Ratu, membentuk lingkaran luar biasa besar. Di lingkaran itu terlihat ribuan cahaya bintang berkelap-kelip, angkasa terlihat begitu jernih bagai kolam dengan cermin, tanpa penghalang. 

Semua yang hadir di tempat itu ternganga melihat fenomena alam yang berubah. 

"Luar biasa - luar biasa, seumur hidup baru kulihat ilmu yang merubah alam seperti ini. Pemuda itu pasti menguasai ilmu puncak salah satu kitab Utama!" seru Jagadnata berdecak kagum dengan mata terbelalak. 

Hari itu ia disuguhi dua ajian maha tinggi dari kitab Sangang Urip Nyi Ratu dan pendekar muda Larantuka. 

"Benarkah itu guru?" tanya Candika.

Gurunya mengangguk, sayangnya ia belum tahu kitab mana yang dikuasai Larantuka dan jurus apa yang dikeluarkan. 

"Nyi Ratu Gondo Mayit pasti akan mampus babak belur dihajar ilmu ajian itu" seru Candini kegirangan. 

Menyadari musuhnya mengeluarkan ajian pamungkas, Nyi Ratu Gondo Mayit tidak tinggal diam. Ia juga akan mengeluarkan ilmu pamungkasnya jurus 'Kembang Mayang Rogoh Sukmo', ilmu ini adalah hasil ciptaannya menggunakan kekuatan inti Kitab Sangang Urip yang dikuasainya. Sontak kabut hitam pekat keluar dari tujuh lubang wajahnya. 

Wanita setan itu segera menari seperti kesetanan, matanya yang merah bergerak ke kiri dan kanan dengan tajam. Tangannya kadang gemulai menari dengan selendang kadang bergerak kaku  patah dan tidak wajar, kakinya lincah berloncatan ke sana kemari dengan satu kaki bergantian, menimbulkan goncangan tanah yang dahsyat, semakin lama angin yang ditimbulkan semakin kencang layaknya tiupan buto ijo. Kedua tangan Nyi Ratu mengeluarkan sinar hitam teramat pekat. 

"Ajian Kembang Mayang Rogoh Sukmo, hiaattt!" teriak Nyi Ratu terbang berputar menyorongkan kedua telapak yang bercahaya hitam itu ke dada Larantuka. 

Larantuka berteriak kencang sambil menurunkan telapaknya kesamping lalu menyorongkan kedepan, "Jurus Cermin Pusaka Langit!" 

Pyasshh...

Kedua tenaga maha dahsyat bertumbukan menimbulkan sinar yang membutakan mata. Aura hitam dan emas keperakan saling tumbuk bertabrakan berusaha memusnahkan satu sama lain, Terasa energi getar yang melumpuhkan melewati tanah membuat orang yang menyaksikan terasa lemas di betis hingga jatuh terduduk. 

"Jagad batara!" seru Jagadnata sambil melindungi matanya dari sinar terang itu. 

Terdengar suara geraman panjang dan kencang. 

Selanjutnya terlihat benda melayang bak kitiran putus dihembus angin. 
Bayangan hitam itu adalah Larantuka! Dia terlempar berguling diatas rumput sepanjang dua tumbak. Ketika berhenti dia langsung muntah darah berwarna kehitaman dari mulut. Luka dalamnya sangat parah. Energi iblis Kembang Mayang merusak seluruh aliran darahnya, berbalik menyerang jantung. 

Sebaliknya dengan Nyi Ratu Gondo Mayit, walaupun tangannya bergetar terasa kesemutan tapi dia telah menang beradu tenaga dalam dengan Larantuka. Kepercayaan dirinya semakin meluap-luap. Ilmu si pembantai iblis ternyata masih dibawah semua kepandaiannya. Kabar burung diluar bahwa pembasmi iblis ini berilmu tinggi rupanya tak benar adanya. 

Nyi Ratu Gondo Mayit segera berteriak melesat ke arah Larantuka dengan kuku hitamnya yang runcing terhunus, musuh abadi kaum iblis itu harus tuntas ditangannya. 

Kedua kembar Candika dan Candini reflek berteriak nyaring, mereka segera melompat menghalangi dengan dua pedang terhunus ke kepala Nyi Ratu. Namun siluman itu ilmunya berkali lipat diatas mereka, hanya dengan sebuah sabetan selendang merah menimbulkan angin kencang yang memukul mundur dua pendekar wanita itu hingga batuk darah. 

Jagadnata segera meloncat maju menahan punggung kedua muridnya agar tak menumbuk tanah, ia segera memberikan pertolongan dengan menotok titik vital kedua wanita itu agar luka tidak bertambah parah. 

"Kakang" jerit Candini. 

"Jangan! Tunggu waktu yang tepat!" seru Jagadnata sambil mencekal bahu kedua muridnya, ia tak mau kedua muridnya celaka akibat bertindak sembrono. 

Nyi Gondo Mayit mendekati perlahan Larantuka yang terkapar tak berdaya. Ia melihat pedang iblis merah darah tertancap di dekat lengan pendekar. Sebentar lagi ia akan meremukkan kepala pemuda itu. 

Tiba-tiba terdengar suara kokok ayam hutan dari dalam pepohonan menandakan sebentar lagi waktunya matahari terbit. Kokok ayam ini begitu nyaring bersahutan seakan menandakan tertutupnya pintu ghaib ke alam demit. 

Nyi Ratu meringis memperlihatkan gigi taringnya, "Hmm.. bocah kau beruntung mampus tanpa kupecahkan kepalamu, nah baiknya kamu mampus diujung pedangmu sendiri, bukankah itu akan menjadi senjata makan tuan?" serunya sambil cekikikan. 

Tangan Nyi Ratu segera terkembang dan pedang iblis merah darah seakan terhisap langsung ke tangan siluman itu. 

"Nah MAMPUS KOWE Cah Bagus!"

Candika dan Candini hanya bisa menjerit histeris saat pedang itu ditancapkan ke ulu hati pendekar pembasmi iblis. Darah hitam kental kembali dimuntahkan dari mulut pendekar itu, ia rebah dengan mata terpejam dan tubuh tak bergerak. 

Setelah puas melihat Larantuka diam tak berkutik sang ratu segera berbalik ke arah Nagindi anak buahnya. Kondisi siluman itu sangat mengenaskan, ia kembali ke wujud ular besar dengan mulut robek penuh luka, hingga Nyi Ratu mengusap kepala ular itu tiga kali dan Nagindi sadar ada kekuatan tak terlihat mengaliri seluruh tubuh hingga ia mampu bergerak. 

"Nagindi,  fajar akan menyingsing, kekuatan kaum siluman akan sampai ke titik terendah, kita kembali ke istana, akan kusembuhkan kau disana"

"Daulat Ratu" lirih Nagindi menahan perih. 

Siluman itu segera terbang dengan sang ratu berdiri diatas kepala ular raksasa. Menjauh ke dalam gelap rerimbunan hutan Tumpasan. Tanpa memperdulikan lagi pasukan Kalingga. 

Jagadnata dan murid serta prajurit yang tersisa segera mengerubungi Larantuka. Panglima itu memeriksa leher dan nadi di tangan pendekar itu, namun tidak ada denyut kehidupan. Lelaki berkumis tebal itu menghela napas panjang dan berat. Kepalanya digelengkan sambil menatap ke dua muridnya. Ia melipat tangan Larantuka diatas dada. 

Nampak Candini menutup mulut dengan kedua tangan sambil menangis terisak karena tuan penolongnya tidak bisa diselamatkan. Candika hanya menatap Larantuka yang terbaring kaku dengan pandangan berkaca. 

Telah gugur lagi seorang pendekar sakti mandraguna. Misi menumpas iblis kali ini ternyata sangat berat. 

"Bagaimana sekarang? Apa yang akan kita lakukan, mohon perintah panjenengan gusti" tanya Darkun sambil menghormat. 

Panglima Jagadnata terdiam sejenak dengan mata terpejam. 

"Mohon ijin gusti, sebaiknya kita mundur saja karena sudah banyak korban berjatuhan dari kerajaan Kalingga. Kita akan cari cara nanti bagaimana memusnahkan siluman itu" ujar Sasrobahu. 

Jagadnata membuka mata seraya menggelengkan kepala. 

"Tidak, ini adalah kesempatan kita untuk menyerang kembali, kekuatan mereka juga jauh berkurang, ditambah dengan bantuan cahaya Matahari pagi kita serang dan tumpas habis mereka saat ini juga. Aku khawatir jika digempur kemudian hari siluman ini akan mampu menggalang kekuatan jauh lebih besar lagi, terlebih ilmunya sudah naik satu tingkat. Mereka harus dihabisi secepatnya." ujar Jagadnata dengan pandangan tajam. 

Sasrobahu ternganga mendengar keputusan panglima Kalingga itu. Ia menatap Darkun, orang tua itu hanya mengangguk saja. Sudah kepalang basah jika surut sekarang maka perjuangan mereka akan sia-sia. Warga desa Bakor tidak bisa pergi kabur karena kutukan Nyi Ratu. Pasukan iblis harus diberantas selagi ada kesempatan, sebelum mereka kembali beranak pinak menggandakan jumlah.

"Tapi apakah kita mampu melawan kesaktian Nyi Ratu Gondo Mayit?" tanya Sasrobahu penuh keraguan. 

"Aku sudah meminta bantuan tambahan pada kerajaan. Mereka pasti akan segera tiba, sambil menunggu aku akan menggempur mereka. Ini adalah misi beresiko dan sangat berbahaya, bisa dikatakan misi bunuh diri. Jika kau takut maka jangan ikut" ujar Panglima dengan tatapan tajam.

"Berapa prajurit dan warga yang tersisa?"

"Para prajurit tersisa lima puluh orang yang masih sanggup bertempur. Lima belas terluka parah. Disamping itu ada empat puluh warga desa yang tersisa." lapor kepala pasukan. 

Jagadnata mengangguk ia memerintahkan agar lima puluh orang prajurit dan dua puluh lima warga ikut dengannya menyerbu istana Kanjeng Ratu. Prajurit yang terluka disuruh kembali ke desa Bakor beserta sebagian warga. Tidak lupa ia menyuruh seorang telik sandi kembali ke markas mengabarkan situasi pertempuran pada kerajaan Kalingga. 

"Bagaimana dengan mayat-mayat ini?" tanya Darkun. 

"Minta para warga di desa menguburkan di tempat lain. Dengan begitu kutukan padang rumput Segoro Mayit akan bisa terpatahkan. Dan mayat yang dikubur tidak akan menjadi iblis Jerangkong hidup." ujar Jagadnata. 

Candini melihat mayat kedua orang yang disayanginya bergantian, "Sabarlah, aku akan mengebumikan jasadmu dengan baik paman Menggala, kakang Larantuka," sahutnya dalam hati. 

Setelah semua rencana penyerangan disusun, maka segera saja sepasukan prajurit dan warga kembali bergerak bersama Jagadnata, Candika, Candini serta Sasrobahu beserta Darkun. Mereka bergerak cepat dengan gagah berani menembus hutan Tumpasan yang masih berkabut tebal.

Padang rumput itu kini terasa sunyi. Purnama berwarna putih masih mengintip di balik awan hitam. Seperti enggan meninggalkan dinginnya malam. Hanya terdengar suara derik jangkrik dan burung hantu sesekali di semak-semak yang mengitari padang rumput. 

Larantuka masih terbujur kaku di atas rumput getah getih. Tiba-tiba terdengar suara berdesis dari jasadnya. 

"Nah-nah kali ini sampai kapan kamu pura-pura mampus bocah edan?" seru sebuah suara. "Hayo bangun, tugasmu belum selesai"

Sebuah benda gilig keluar dari balik jubah Larantuka. Ternyata seekor ular berwarna hitam legam dengan mata bercahaya hijau keemasan berukuran dua jari manusia. Ia lantas merayap didada Larantuka. Lalu berdiri tegak sambil membuka mulutnya yang lebar. Terlihat taring berwarna kehitaman menyeramkan siap menggigit leher pendekar itu. 

Cesss...

Ular itu mematuk leher Larantuka dengan cepat, yang terjadi selanjutnya dari leher timbul gurat berwarna biru kehitaman menyebar ke tubuh pemuda itu. Tak lama pemuda itu membuka matanya perlahan bagai bangun dari tidur panjang. 

"Bangun juga kau bocah gendheng, hssss, cepat pulihkan keadaanmu, rombongan pendekar bodoh itu justru menyerang sarang iblis. Itupun jika kamu mau menyelamatkan mereka" seru si ular sambil menyeringai. 

"Sancaka, diam." lirih Larantuka, perutnya terasa perih karena masih menancap disana pedang iblis Merah Darah, memanteknya sampai tembus ke punggung. Tapi ia belum mati. 

Sancaka si ular hitam terdiam, ular ini berbentuk sangat aneh, dari bagian perut seolah menempel jadi satu dengan raga Larantuka. Tidak terlihat ekornya. 

Larantuka komat-kamit merapal mantra, tubuhnya bergetar hebat. 

Sir eling dumugi Kala kersaning Pati
Sir weruh jenenge muksa pangreksan
Getih daging panyambung urip, otot lamat-lamat ngrasaning urip
Kulit wulu kecaping urip
Mbaliko Kala Pati, ngrawuho sigaring sukmo. Aji pangaji nitis sungsang. 

Setelah merapal mantra pengembali jiwa penangkal kutukan Nyi Ratu Gondo Mayit, suasana magis mencekam kembali datang. Suara jangkrik dan binatang alam kembali tak terdengar, bulan merona merah dengan mega seperti darah. Mega pun bersemu kemerahan. Angin dingin bergulung di sekujur badan pemuda itu.

Tubuh Larantuka seperti mengejang tak terkendali, lalu ia melayang satu tombak diatas tanah, kedua tangan pendekar itu bergetar memegang erat gagang pedang dan ia mencabut perlahan pedang mustika Merah Darah. 

Sejengkal dua jengkal pedang itu terus ia keluarkan dari perutnya, Larantuka mengernyit karena rasa sakit yang luar biasa saat benda mustika itu kembali mengiris kulit perut. Anehnya pedang itu tidak patah lagi, Larantuka terus menarik mata pedang itu hingga utuh sepanjang lima jengkal. Ajaib pedang itu kembali utuh. Larantuka menarik napas panjang seakan melepaskan sebuah teluh. 

Ular hitam itu mendesis. 

"Hehehe hessssh! pedang itu sudah kembali utuh dengan ilmu Nitis Sungsang milikmu. Kesaktian pedang darah ini memang hebat, dengan tumbal darah ia akan menjadi utuh kembali"

Larantuka duduk berlutut dengan napas terengah. Matanya berwarna merah dengan gigi taring mencuat, perubahan ini terjadi karena ia menggunakan ajian iblis kitab Sangang Urip yang sama dengan Nyi Ratu Gondo Mayit. Entah bagaimana pemuda ini memiliki banyak rapalan ilmu. 

Pendekar itu menarik kain lengan kirinya. Tampak jalur-jalur urat melingkar berwarna hitam memenuhi sekujur lengan kirinya. Tangan itu kaku bagai papan. 

"Ilmu setan ini, aku tak berharap menggunakannya lagi. Tapi keadaan hampir mampus memaksaku, kini aku harus menumbalkan lengan kiriku."

Sancaka menatap lengan itu sambil mendesis, "ilmu dengan tumbal ini selain membuatmu kembali dari jurang kematian, ia akan meningkatkan kekuatanmu berkali lipat hehehe, siapapapun musuhmu pasti akan binasa."

"Kau senang Sancaka? Kelak jika tak ada lagi tersisa yang ditumbalkan maka kau yang akan memegang kuasa" ejek pemuda itu sambil menatap tajam. 

Ular itu hanya menyeringai tak menjawab. 

Setelah bermeditasi beberapa jam wajah pemuda itu kembali normal. Putih pucat dengan mata kebiruan bercahaya. Luka dalamnya telah pulih sempurna. Dengan sekali melompat ia melesat ke atas pohon cemara. Tenaganya kali ini terasa meluap-luap. Ia segera berlari dengan ilmu meringankan tubuh diantara pucuk pohon, menuju istana Jalmo Mati. 

Sementara dalam perjalanan ke istana, firasat Nyi Ratu Gondo Mayit membuatnya menengok kebelakang. Diantara awan gelap ia melihat mega bersemu kemerahan di kejauhan, tanda adanya pengguna ilmu Sangang Urip yang mendadak muncul. 

"Lebih cepat Nagindi!" bentak Kanjeng Ratu. 

***

Fajar Menyingsing cakrawala terlihat berwarna jingga keperakan di sela ranting pepohonan. Udara terasa dingin dan segar, berbeda dengan hawa semalam yang pekat dan menyesakkan dada. 

Pasukan dan warga tersisa segera menerobos hutan yang lebat. Mereka diburu waktu, para Penduduk desa menggunakan parang tajam untuk membuka jalan, membabat semak belukar dan akar gantung yang setinggi dada. 

Hingga tibalah mereka ke sebuah jalan setapak berbatu yang diselimuti lumut tebal kehijauan. Di kiri kanan terdapat banyak reruntuhan bangunan. 

"Guru sepertinya dulu tempat ini bekas kotaraja melihat ukiran di sisa bangunan" ujar Candini, pendekar wanita berbaju kuning. 

"Benar, dulu beberapa ratus tahun yang lalu ada kerajaan berdiri sebelum Kalingga bernama kerajaan Puser Angin. Konon kerajaan ini sering menjadi Korban upeti kerajaan tetangga yang lebih kuat. Hingga akhirnya raja Puser Angin bersekutu dengan kaum iblis. Ia mempelajari kitab kegelapan untuk mendapatkan kekuatan"

"Lagi-lagi manusia yang bersekutu dengan iblis, lalu apakah dia berhasil?"

"Ilmu hitam itu sangat ampuh, tidak ada yang mampu melawan saat raja Puser Angin turun ke medan pertempuran. Namun sang raja harus membayar mahal, seluruh keluarga kerajaan, anak istri, dan rakyatnya musnah menjadi korban tumbal kutukan, bahkan kali SeloInten yang membelah kotaraja menjadikan lembah subur gemah ripah loh jinawi menjadi surut airnya. Kekeringan melanda, kelaparan dan kematian dimana-mana. Setelah rakyatnya habis tak bersisa barulah kutukan tumbal itu berakhir. Daerah ini kembali menghijau."

Semua orang begidik mendengar cerita Jagadnata. 

Sesungguhnya perjanjian dengan setan tidak akan pernah membawa keuntungan sama sekali bagi manusia, dengan segala tipu daya iblis akan selalu menyesatkan manusia dengan kekayaan dan kejayaan sesaat, diujung masa menunggu penderitaan abadi selamanya. 

Jalan itu semakin lebar membawa mereka ke pelataran reruntuhan sebuah istana yang megah. Tembok sedemikian tinggi tampak menjulang dengan dua gerbang kembar. Anehnya gerbang dan tembok dihiasi dengan tulang belulang dan tengkorak manusia. Bau anyir bercampur busuk lamat-lamat menusuk penciuman mereka. Berapa ribu nyawa manusia telah menjadi arwah penasaran? 

Keadaan bangunan istana pun terlihat angker dan penuh aura gelap. Sulur-sulur akar beringin yang besar tampak erat menghias dinding istana. Dikelilingi dengan lepohonan besar yang menghalangi sinar matahari. Istana itu bediri diatas sebuah ngarai curam dengan balkon luar biasa besar. Terlihat ada lima menara dengan atap yang rusak mengelilingi istana tersebut. 

Membuat nyali para warga desa mendadak ciut. Mereka saling pandang sambil terdiam, menunggu perintah dari Jagadnata. 

"Guru istana ini sungguh besar luar biasa. Apakah ini benar-benar istana para iblis?"

Lelaki berkumis tebal itu mendengus, matanya menatap tajam pilar-pilar tinggi di depan istana. 

"Apa yang harus kita lakukan guru?"

Panglima itu segera bertitah agar penduduk desa membabat habis pepohonan yang rimbun mengitari istana. Dengan begitu sinar matahari akan mencapai bangunan itu dengan maksimal. Selain itu ia menyuruh warga untuk membuka atap batu di menara dan atap istana agar sinar matahari bisa menerobos masuk lewat lubang yang dibuat. 

Ternyata ada tiga pohon beringin besar yang tidak dapat ditebang oleh warga desa. Bahkan mematahkan kapak dan membuat sekujur tubuh mereka gatal-gatal. Terdengar suara tawa aneh dari kejauhan. 

"Hohohoho hihihihi" suara itu menggema membuat nyali ciut. 

"Limo Pancer telung Pantek" guman Jagadnata. 

"Apa itu guru?" tanya Candika. 

"Itu adalah benteng formasi iblis, terbuat dari lima menara dengan tiga pohon besar yang diisi panglima jin membentuk benteng ghaib tak kasat mata untuk melindungi istana."

Jagadnata segera mengambil pedang mustika Sinar Matahari, dengan sekali babat menggunakan tenaga kitab Salaksa Angin dan Api pohon angker  itu tak mampu bertahan. 

Kreekk.. pohon itu roboh, terdengar jeritan kesakitan dan kelebat putih kakek bongkok berkepala besar di cabang pohon itu namun lenyap menyisakan asap hitam terkena sinar matahari pagi. 

Para warga kembali melakukan apa yang diperintahkan Jagadnata. 

Sedangkan para prajurit, pendekar dan tetua desa melanjutkan perjalanan, mereka masuk melalui pintu gerbang utama istana selebar tiga tombak terbuat dari besi baja hitam yang telah di ukir berbentuk tengkorak. 

Ketika gerbang itu dibuka, terlihat pendopo Utama yang luas namun kotor dan penuh sarang laba-laba. Lorong-lorong panjang dan gelap memenuhi di sisi ruang utama itu. Ditiap lorong terdapat pintu tua tak terhitung jumlahnya. 

Krekk.. terdengar suara dari atas atap istana. Lubang terbentuk saat beberapa batu dipindah. Nampak  warga bahu-membahu melubangi atap menyebabkan sinar matahari memasuki istana yang pengap itu. 

"Luar biasa bantuan dari warga desa Bakor. Walau mereka kelelahan setelah membakar padang Segoro Mayit mereka masih berkorban keringat untuk menyerbu tempat ini" ujar Candika. 

Terdengar jeritan kesakitan kembali menggema namun tak ada sosok terlihat. Hanya bayangan hitam berkelebat kesana kemari mencari tempat yang gelap menghindari sinar matahari. 

"Serbu!" perintah Jagadnata. 

Para prajurit terkaget melihat berbagai binatang aneh merayap seperti kelabang, ular, babi, monyet yang berukuran diluar batas wajar. 

"Bunuh semua hewan itu, mereka adalah perwujudan demit dan iblis penjaga istana ini dikala siang. Jangan sampai ada yang tersisa!" ujar Candini. 

Terdengar suara keras raungan dan decitan hewan itu saat ditombak para prajurit. Hewan jelmaan itu tak berdaya dikala matahari masih berkuasa. 

"Ayo cepat-cepat, waktu kita hanya sampai tengah hari. Setelah itu sinar matahari akan menurun daya bakarnya!"

"Segera ke ruang singgasana raja, pasti disana ratu siluman itu bercokol" ujar Sasrobahu disambut anggukan para pendekar. 

***

Di sebuah ruangan besar penuh ukiran dan kain pembatas sutra berwarna merah terlihat tiga sosok sedang duduk. Seorang duduk berbaring di dipan kerajaan yang mewah, mahkotanya berkilauan berwarna emas. 

Di lantai bersila seorang gadis dengan rambut dan baju berwarna kehijauan. Mulutnya terlihat ada bekas sayatan sampai ke telinga tengah memejamkan mata. 

Sementara seorang lagi tergolek lemah dilantai sambil terpejam. Ialah Murni bangsa manusia yang diculik siluman. 

Murni menangis dalam mimpinya diantara rasa takut dan lelah, ia memohon agar sang Ratu berkenan untuk melepaskannya dari semua penderitaan. 

Wanita di dipan tersenyum memperlihatkan taringnya yang tajam. 

"Anak ini sungguh polos sampai tangis pun terbawa mimpi, aku masih penasaran, kidung yang kau nyanyikan di kolam darah. Siapa yang mengajarimu?" tanya Nyi Ratu Gondo Mayit dalam hati sambil menyeringai seram. 

BERSAMBUNG
close