Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LARANTUKA PENDEKAR CACAT PEMBASMI IBLIS (Part 20) - Pengkhianatan


Dikala nafsu dan keinginan manusia berubah menjadi ketamakan, lahirlah keserakahan. Maka manusia akan menghalalkan segala cara bahkan mengorbankan jiwa tak berdosa demi kesenangan semu. Menjamu iblis dengan perbuatan dosa, sampai mereka berpesta pora diantara buah kejahatan persembahan manusia yang tersesat semakin dalam. Manusia semakin lama akan semakin terjebak dan terjerumus. Raga kasar menyatu dengan jiwa iblis yang mereka sembah. Tidak ada jalan kembali dari menjadi budak belenggu hitam. 

Ukiran kata itu terlihat di tembok ruangan yang terlihat kuno ketika Murni membuka mata, Ia terbangun di sebuah ruangan yang luas dan mewah. Dipenuhi dengan lemari, kursi dan meja antik yang mewah berlapis logam kekuningan. Perhiasan kalung emas permata berkilauan menjulur dari mulut laci. Tirai berlapis-lapis dari sutra merah nampak mahal menghiasi setiap sudut kamar. Ruangan itu begitu harum tetapi Murni masih begidik karena tercium juga aroma amis darah yang terselip. 

Entah bagaimana Gadis itu ada diruangan ini, yang ia tahu Nyi Ratu Gondo Mayit telah menyambar tubuhnya dan membawanya terbang, dalam perjalanan ia jatuh pingsan. 

Setelah sekian lama mengitari ruangan itu Murni tidak bisa menemukan jalan keluar dari ruangan berlapis batu marmer. Pintu ruangan pun terkunci dan tidak bisa dibuka. 

Ia melihat ke depan, sebuah pembaringan dari dipan yang penuh ukiran indah berselimut kain sutra lembut warna biru, tapi ia merasa begidik, naluri mengatakan ada sosok tak kasat mata yang bercokol diatasnya. Begitu bau anyir tercium lagi, dalam hati gadis itu merapal mantra yang diajarkan Larantuka sebelum pergi, untuk menangkal ilmu panglimunan.

Madep Mantep Marep Sliraku
Ajining Ati tumindak ing Kuoso
Demit Bubrah Panca Bala Sirna

Ketika membuka mata kembali gadis itu terbelalak, ternyata sudah ada wanita berambut panjang serba merah berbaring dihadapannya yaitu Nyi Ratu Gondo Mayit. Ia mengucek matanya namun sosok itu benar ada disana. Badan Murni terasa lemas dan dingin menggigil. Ia tahu sosok didepannya sudah bukanlah wujud manusia lagi, kegelapan telah menyeret raganya menjadi jelmaan ratu dedemit. 

Sementara disudut ruangan bersila Nagindi, siluman ular dengan darah menghitam terlihat dari wajah yang bersisik. Asap tipis mengepul dari ubun-ubun wanita berambut hijau itu seperti sedang mengobati luka dalam. 

Ruangan nan indah tadi pun segera berubah menjadi kamar yang hancur berantakan penuh sarang laba-laba, diterangi oleh nyala sebatang obor. Kain kelambunya telah robek compang-camping. Inilah keadaan sebenarnya, ilmu sihir sempat memperdaya mata Murni.

Nyi Ratu Gondo Mayit menatap Murni penuh arti, seakan tahu tabir gaibnya telah dipatahkan anak itu entah bagaimana. 

"Angkat wajahmu Nduk, aku ingin melihat paras ayumu cah pinter hihihi" ujar Sang Ratu yang  tersenyum mengerikan, gigi taring tersembul di bibir merah itu.

Terasa ada kekuatan aneh tak kelihatan memaksa Murni mendongakkan wajah. Pandangan netranya bertemu kembali dengan Nyi Kanjeng Ratu Gondo Mayit. Iris mata tipis berwarna merah itu seperti menyimpan tatapan ribuan makhluk tak kasat mata, memandang tajam hingga terasa tembus ke sekujur tubuh Murni. 

Ratu demit itu menaruh jemari di dagu Murni. Bibirnya menawarkan senyuman mempesona. 

"Nah Murni, aku menyimpan nyawamu baik-baik karena dua hal, pertama kau sudah bersumpah setia menjadi kawanku dan aku sudah ingin menjadikanmu pewaris ilmuku, kedua, jujur saja aku masih penasaran dengan kidung yang kau tembangkan. Kidung itu adalah kidung asmaradana, mengenai rasa cinta yang mendayu-dayu. Aku sangat menyukai kidung itu sejak kecil dulu dan aku rasa bukan kebetulan kau bisa menyanyikan. Nah Katakan padaku darimana kau mendapatkannya." tanya Nyi Ratu Gondo Mayit dengan raut muka penasaran.

Murni terkejut rupanya dendang yang ia nyanyikan secara tak sadar di kolam darah itu mengundang minat sang Ratu, sejenak ia terbengong memikirkan alasan dibalik itu. Padahal itu nyanyian yang ia dengar tak sengaja dari nenek Darsini di gubuk reot tengah hutan. 

"Segera bicara atau kau sudah tidak memerlukan lidahmu itu?" tegur Nyi Ratu. 

Murni tersentak dari pikirannya, "A-ampun Nyi Ratu, ha-hamba akan menceritakan pada kanjeng Ratu dimana hamba mendengar kidung itu." sahut Murni sambil bergetar ketakutan. Ancaman Ratu membuyarkan lamunan Murni. 

"Bagus, kamu sangat penurut, aku semakin suka kepadamu, nah cepat katakan Nduk."

Setelah Murni berhasil mengumpulkan semua keberanian untuk bicara ia mulai membuka mulut, menumpahkan rasa penasaran yang mulai timbul dalam benaknya. Otak Murni yang cerdas membuat gadis kecil itu mengajukan sebuah pertanyaan.

"Tetapi mohon ijinkan hamba bertanya...  sekali lagi maaf bila hamba lancang, apakah yang mulia Ratu merupakan perwujudan reinkarnasi dari Ni Ayu Sukma Abang? ialah teman hamba yang sangat menyukai warna lembayung merah" 

Pertanyaan itu mengusik Nagindi, ia membuka mata dan menatap tajam ke Murni.

Tawanan ini sudah terlalu berani bertanya diluar wajar, kenapa Kanjeng Ratu tidak membunuhnya seperti manusia lain? Jangan-jangan benar ia akan dijadikan penerus utama Nyi Ratu. 

Murni menghindari tatapan dari Nagindi, berusaha menganggap tidak terjadi apa-apa antara dia dan siluman itu.

Nyi Ratu Gondo Mayit mengernyit dan menyeringai memperlihatkan taringnya berwarna putih. Ia mulai menjelaskan bahwa Ilmu kegelapan yang dimiliki membuatnya hidup abadi tidak bisa mati, karena ilmu itu belum sempurna ia harus menitis dulu menjadi anak kecil berkali-kali dengan nama Ni Ayu Sukma Abang. Ni Ayu adalah Gondo Mayit, dan Gondo Mayit adalah Ni Ayu. Setelah melalui tahapan ilmu hitam terlarang nitis sungsang barulah ia tidak perlu kembali muda lagi untuk memperpanjang umurnya. Hanya saja diperlukan darah tumbal seribu orang sekaligus supaya berhasil menembus ilmu itu. Dan ilmunya berhasil disempurnakan pada ritual berdarah semalam.

Murni tertunduk membayangkan darah mengalir dari ribuan manusia yang dikorbankan. Wajah-wajah sekarat di padang rumput Segoro Mayit sempat tergambar jelas membuat tubuhnya kembali menggigil. Termasuk rupa adik dan sahabat karibnya yang telah lama mati, Murni tak tahan lagi, airmatanya menetes. 

"Kenapa? Kenapa Nyi Ratu kejam sekali mengambil nyawa orang tidak berdosa?" lirih gadis itu.

Nyi Ratu Gondo Mayit menyeringai sambil melingkarkan tangan seputih marmer ke leher Murni. Tangannya yang satu memainkan anak rambut di dahi gadis itu. 

"Dengarkan aku Cah Ayu, kau pikir makhluk paling kejam itu adalah kami bangsa demit? Kami hanya berusaha bertahan hidup walau harus menumbalkan orang, Tahukah kau ada makhluk lain yang lebih kejam, tega memakan sesamanya, ialah manusia. Mereka bertindak seperti pertapa, memakai baju putih namun hati mereka hitam sehitam arang."

Murni menoleh ke arah Kanjeng Ratu, entah mengapa mata merah itu sedetik meredup lalu bercahaya merah terang, seperti menyimpan rasa duka dan kebencian yang mendalam terhadap manusia. Mungkinkah dulu ia pernah disakiti oleh manusia? kaum pertapa?

"Apakah Nyi Ratu pernah bersua dengan Nyi Melati atau Raden Lindu Pangaji? mereka adalah leluhur pendiri dari Desa Bakor" tanya Murni hati-hati.

Nyi Ratu Gondo Mayit membelalak, "Bocah ingusan kau tahu juga tentang mereka? Padahal usiamu masih bau kencur. Asal kau tahu mereka adalah sepasang petapa yang mengasingkan diri di puncak gunung Lawu saat kakekmu pun belum lahir, murid dari Ki Argo Lawu."

"Aku tahu kanjeng Ratu, karena Nyi Melati ada di hutan tumpasan ini."

"Jangan ngawur, Nyi Melati tinggal di sebelah kawah gunung Lawu, butuh waktu semalaman untuk mendaki sampai ke puncak dan saat ini sedang dalam keadaan sakit parah. Hanya aku yang tahu kondisinya saat ini!"

"Hamba tidak bohong Kanjeng Ratu, beliau sudah mangkat, meninggalkan dunia dengan nama samaran Ni Darsini... beliau sendiri yang bilang kepada hamba."

"Darsini? siapa itu Darsini! aku tidak kenal... Tidak mungkin Nyi Melati mangkat, bangsat itu sudah berjanji padaku dia akan sembuh!"

Nyi Ratu bangkit dengan mata menyala, tangannya mengibaskan selendang merah dan kakinya menghentak keras. Sontak pijakan lantai yang terbuat dari lempengan granit itu pecah berhamburan. Gadis itu gemetaran memegang tiang kelambu yang terbuat dari kayu uir. 

Sebelum Murni membuka mulut, Tiba-tiba ruangan itu bergetar hebat seperti di goyang gempa. Pandangan Murni seketika itu juga menjadi berbayang, ia segera mengencangkan pegangan untuk menyeimbangkan tubuhnya diatas lantai. 

Terdengar suara ledakan keras dari arah ruang balairung raja. 
Ratu demit berbaju merah itu memandang ke arah pintu dengan wajah gusar. Tangannya mengibas selendang lalu berkacak pinggang menahan amarah. 

"Rupanya tikus-tikus itu sudah bosan hidup! berani menerobos tabir gaibku." dengus Nyi Ratu dengan mata menyala. 

"Kamu tunggu disini Nagindi, jaga Murni baik-baik, jangan sampai ada yang menyentuh seujung rambutpun sebelum aku kembali! Atau akan kurebus kau hidup-hidup" 

"Sendhika dawuh Ratu" seru Nagindi bergetar yang tengah bersila sambil mengatupkan tangan di dahi. Mata Nagindi yang berwarna hijau melekat erat mengawasi Murni seperti kucing mengintai tikus. 

Wanita itu segera berkelebat sekejap mata dengan meninggalkan cahaya kemerahan. Pintu ruangan pun hancur berantakan di terjang cahaya merah itu. 

***

Bergerak jauh ke dalam perut istana, Candini melihat lorong-lorong  terasa begitu banyak bercabang, tak kelihatan ujungnya. Sementara suasana istana begitu gelap menyeramkan dan terdengar bisikan suara aneh menggema dari kegelapan. Ia merasa sedikit aneh serta hilang arah. 

"Guru, lorong ini terasa begitu pengap dan sesak, seperti tanpa ujung, ke arah mana kita harus pergi?" tanya Candini kebingungan. 

Jagadnata yang berpengalaman hanya tersenyum, "Mantapkan pikiranmu Candini, bersihkan dari segala pikiran negatif, pejamkan netramu rapalkan mantera perlindungan untuk membuka mata batinmu" 

Pendekar wanita itu segera bersila melakukan apa yang diperintahkan oleh gurunya untuk menajamkan mata batin. Saat gadis itu kembali membuka netra betapa terkejutnya ia melihat  keadaan sekeliling berubah total. Ia bisa melihat batas dinding lorong berjarak dua puluh tumbak, tidak sebanyak tadi. Dan ada jalan besar utama menuju ruang balai singgasana. Beberapa sudut bahkan terlihat diterangi sinar matahari dari atap yang dilubangi para warga. 

"Lihat sekelilingmu" sahut Candika. 

Mereka tidak sendiri, nampak banyak bayangan hitam besar lalu-lalang berputar-putar di sekitar mereka sambil menghindari bagian yang terkena sinar matahari. Bayangan itu memiliki sepasang kilauan merah seperti mata. Dari sanalah suara gemerisik itu berasal. 

"Itulah wujud asli kaum iblis di siang hari, hanya berupa bayangan ataupun hewan jejadian. Mereka begitu lemah, tidak bisa berbuat apa selain menyesatkan jalan dan pikiran." ujar Candika. 

Jagadnata melagukan syair orang lama. 

Manusia sering lalai dan lupa jika kemampuan iblis dalam mencelakakan manusia tidak lebih hebat dari menyesatkan manusia. Ketika orang itu tergelincir ke jalan sesat, menjadi budak abadi setan, itulah kemenangan terbesar bagi mereka. 

"Sebagai pendekar kalian harus selalu waspada, pendekar pun terkadang ada waktu naasnya, bisa saja jalan buntu ke jurang dibuat malih rupo oleh para demit menjadi jalan lurus, sehingga penyesatan pikiran bisa berujung kematian. Jangan percaya begitu saja pada penglihatan lahir. Buka mata batinmu Candini agar lebih mawas diri" nasihat Jagadnata sambil terus berjalan. 

Pendekar berbaju kuning itu menunduk malu, mudah saja ia diperdaya oleh tipuan makhluk tak kasat mata. Dalam hati Ia bertekad lain kali tak akan mudah tertipu. 

Rombongan itu terbagi di jalan yang bercabang tiga. Maka Jagadnata membagi pasukan menjadi tiga, para prajurit dikerahkan untuk menyapu bersih musuh di lorong kiri dan kanan, sementara para pendekar menyerang aula singgasana raja yang terletak di lorong tengah dengan jalan utama. Pintu ruang utama begitu besar terbuat dari pintu kayu jati berkilat, penuh dengan ukiran hewan dan tumbuhan, tampak lambang naga diatas dan harimau dibawah membentuk lingkaran. Sepertinya itu adalah pintu yang dicari. 

Saat satu tombak dari pintu, tiba-tiba langkah kaki mereka semakin berat. Terasa ada kekuatan tak kasat mata yang menahan kaki mereka. Anehnya ketika mereka melangkah mundur kaki terasa enteng. 

Para pendekar saling berpandangan. 

"Ada benteng pelindung gaib disini, mundurlah." perintah Sasrobahu diikuti Candika, Candini dan Sasrobahu. 

"Penjagaan istana ini sungguh berlapis dan tak mudah ditembus" ujar Sasrobahu heran. 

"Artinya mereka sudah terdesak, ini kesempatan kita sesuai kata guru" jawab Candika. 

"Didalam pasti ada ratu siluman itu, sebelum menyerbu ke dalam, aku butuh sesuatu untuk melindungi diriku, ilmuku tidak setinggi kalian." pinta Sasrobahu. 

Jagadnata menatap tajam lelaki itu sambil menyorongkan pedang suci Sinar Matahari. Kepala desa Bakor itu mengangguk dan menaruhnya dengan hati-hati di punggung. 

"Aku tahu kau cuma merendah, sebenarnya ilmumu cukup tinggi entah kenapa kau sembunyikan, tapi kuserahkan pedang ini asal kau berjanji melindungi kedua ponakanku" tegas Jagadnata.

Sasrobahu terkejut dan menunduk, "Ampun Gusti, ternyata tak ada yang bisa lepas dari mata sakti kanjeng Gusti, hamba menyembunyikan kepandaian agar musuh tidak curiga. Begitu mereka lengah hamba bisa bertindak melenyapkannya."

Panglima Kalingga itu mengangguk puas mendengar jawaban Sasrobahu, tangannya yang gempal menepuk pundak lelaki penguasa Desa Bakor itu.

Jagadnata segera maju dua langkah dan memasang kuda-kuda, tangannya menyilang didepan dada untuk merapal jurus Kitab Angin dan Hujan. 

Dengan teriakan keras Panglima itu meloncat secepat kilat, tapaknya berubah menjadi tinju penuh tenaga bergelombang menyasar gerbang pintu. 

Angin kencang bertiup riuh bersautan. Itulah jurus pukulan Sewu Tombak Angin yang terkenal. Memiliki tenaga gempuran susul menyusul  yang tak putus. 

Brakkk brakk brakk..

Ledakan keras terdengar saat tenaga dalam Jagadnata membobol dinding ghaib sekaligus menerjang ke pintu gerbang. Pintu itu hancur berkeping akibat tak mampu menahan gelombang gempuran yang ketiga. 

Diiringi teriakan kencang para pendekar segera menyerbu masuk ke ruang singgasana raja. Candika dan Candini menghunus pedang didepan, Jagadnata di tengah dan Sasrobahu menyusul dibelakang. Namun sayang mereka hanya mendapati ruangan yang kosong. 

Kamar itu sangat luas berlapis marmer berwarna putih dan dihiasi pilar-pilar dari pualam. Diatasnya terdapat kain sutra menutupi atap berwarna biru dan hijau. Ada tangga berundak dilapisi karpet bersulam berwarna merah menuju kursi singgasana raja yang bersinar keemasan. Kursi itu begitu besar hingga muat diduduki tiga orang. Di kanan kiri undakan terdapat kolam air mancur yang sudah tidak mengalir lagi, airnya keruh menggenang.

"Hai ratu demit, keluar kamu, hadapi kami pasukan dari Kalingga!" bentak Candini. 

Sejenak hanya ada keheningan membalas, lalu terdengar suara keras diiringi terjangan angin kencang dari belakang singgasana raja sampai kursi seberat puluhan kati itu terlempar berputar ke arah para pendekar. 

Candika dan Candini dengan sigap meloncat menyongsong serangan tenaga dalam itu. Candini mengirimkan sebuah tendangan melingkar dengan kaki kanannya menghantar jurus Pasir Menyapu Ombak sementara Candika mengeluarkan jurus Aji Sewu Panggilingan dari kedua telapak tangan. 

Blaarr!

Kursi emas itu hancur berkeping terkena serangan sepasang pendekar. 

Wuttt...

Serangkum angin kencang menyusul disertai tawa perempuan. Kedua pendekar itu berjumpalitan di udara menghindari serangan. Lalu mendarat di samping kiri dan kanan Jagadnata dengan tertatih. 

Tangan Sasrobahu dengan sigap menyambut kedua gadis pendekar itu dari belakang.

"Hahaha, manusia tak tahu diuntung! Semalam sudah kubiarkan kalian hidup, sekarang berani menyetor nyawa ke istana Jalmo Mati rupanya"

Suara itu dilengkapi serangan tenaga dalam membuat getaran hebat, air di kolam muncrat kemana-mana. Angin dingin meniup kencang. Candika dan Candini memilih menutup kedua telinga agar tidak terpengaruh serangan gaib yang terkandung. Jagadnata sendiri mampu berdiri tegak, berkat tenaganya yang tinggi ia mampu menetralisir serangan itu beberapa dim sebelum sampai ke badan.

Nyi Ratu Gondo Mayit muncul perlahan dari lorong dengan pakaian serba merah yang berkibar-kibar, matanya merah menyala penuh kebencian, kontras dengan kulit yang seputih susu. Tenaga dalam yang meluap-luap dari tubuhnya membuat ciut semua pendekar yang ada.

***

Di dalam kamar pribadi Raja kini hanya ada dua orang dalam satu kamar itu, satu tengah bersila di sudut, sedangkan Murni merapat ke arah pintu yang hancur. Nagindi menaikkan telapak tangan ke dahi lalu menurunkannya di depan dada sampai ke perut. Sepertinya luka dalamnya sudah mulai sembuh terlihat dari asap yang semakin tipis keluar dari ubun-ubun. Siluman itu menyeringai memandang ke arah Murni.

Gadis cilik itu segera bangkit dan berlari menuju pintu, namun disana sudah berdiri Nagindi  menghalangi jalan keluar Murni dengan sekali berkelebat.

"Mau apa kau? Jangan halangi aku"

"Ratu memerintahku untuk menjagamu disini, seincipun kau tak boleh keluar dari kamar ini"

"Aku hanya ingin keujung lorong itu tak kemana-mana, kau boleh membuntutiku dari belakang aku bersumpah tak akan kabur." Janji gadis itu.

Nagindi hanya tersenyum sinis, dari balik gaun hijaunya melesat tangan yang terulur panjang melebihi manusia normal. Tangan itu mencekik Murni, membuat wajah gadis itu bersemu kebiruan. Tangan gadis itu memukul tangan Nagindi tapi siluman ular itu hanya merasa kegelian saja. Sedari tadi ia memang menahan geram dengan kelakuan Murni yang bertanya seenak hati. Dan tampaknya Kanjeng Ratu memang menyukai anak ini, bisa jadi Murni menjadi penerus Istana Jalmo Mati dan panglima ular itu akan tersingkirkan.

Murni berusaha berbicara dengan suara tercekat, "Hentikan ... aku tak mampu bernapas..."

Tapi Nagaindi tak mau melepas cekalan itu.

"Aku sudah muak diperintah manusia tengik macam kau, baiknya kau musnah sekalian saja agar tak ada pesaing lain hihihi"

"Akhh... kanjeng Ratu akan menghukummu mati... Nagindi"

Nagindi tergelak, "Aku tidak peduli, akan ku karang seribu alasan agar dia mengampuniku. Sebagai calon pewaris tunggal Nyi Ratu tidak akan mau mencelakaiku hihihi"

Murni terkejut mendengar rencana Nagindi, siluman ular itu ternyata serakah dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Terpaksa ia mengambil suatu benda berwarna hitam dari balik kain bajunya, ia mengacungkan di depan muka Nagindi dengan susah payah.

"Heh apa ini?" seru siluman itu.

Ketika matanya melihat sebaris nama di sampulnya alisnya terangkat. Kitab Sangang Urip! darimana gadis cilik ini mendapatkan benda ini? Ilmu kanuragan sejati milik Nyi Ratu Gondo Mayit yang memiliki kemampuan untuk merubah takdir pemiliknya. Dengan kitab ini ia mampu mengimbangi ilmu Kanjeng Ratu Gondo Mayit yang teramat sakti. 

"Kau ingin kekuatan bukan? ambillah kitab itu dan lepaskan aku!" pinta Murni.

Nagindi mendengus tak peduli, ia membuka lembaran pertama kitab itu. Terlihat aksara jawi kuno berisi syair-syair yang mengandung perintah mengolah napas. Begitu Nagindi mempraktekan sekejap tiba-tiba ia merasakan hawa aneh mulai berkumpul di perut mengalir menuju sepasang indra penglihatannya. Ia merasa penglihatannya jauh lebih tajam dan bertenaga. Bukan main, padahal baru sebaris saja yang ia rapal.

Kitab ini asli.

Seperti anak kecil ia girang bukan main, cekalan Murni pun terlepas, gadis itu terbatuk-batuk sampai mengeluarkan sedikit darah segar.

"Aku tak tahu darimana kau dapat kitab berharga ini, tapi baiknya kau kumusnahkan tanpa sisa agar tak ada yang tahu aku menguasai kitab ini!"

Murni terbelalak ketika Nagindi mengangkat tangannya dan mengeluarkan cahaya kehijauan.

"Hiaaaatt"

Wuttttt...

Sebuah bayangan hitam menolak tangan Nagindi, pemusatan tenaga siluman itu menjadi buyar. Nagindi terkejut melihat sosok yang merangkak di depan Murni, seakan-akan melindungi gadis itu. Cahaya obor menimpa makhluk janggal itu, seperti bermuka manusia tapi juga berbadan bungkuk seperti anjing serigala, hanya saja muka manusia makhluk itu mengingatkan Nagindi akan seseorang.

Murni sendiri tak percaya ada sosok makhluk siluman lain melindunginya dari serangan Nagindi tapi siapa? ia tidak bisa melihat jelas muka siluman itu karena makhluk itu berdiri membelakangi, hanya punggung kurus dengan ruas tulang yang menonjol terlihat begitu menyeramkan dari belakang. 

"Heh Siluman Iblis Rai Loro, rupanya kau belum mampus. Mengapa kau melindungi bocah itu? Lekas menyingkir!"

Tak ada jawaban, hanya geraman marah yang terdengar. Mata makhluk itu besar berkilat menatap Nagindi.

Nagindi berpikir keras, ilmunya setingkat lebih tinggi dari tiga panglima yang lain namun melawan Siluman Iblis Rai Loro akan memakan waktu. Terlebih siluman ini memiliki ilmu bayangan yang sukar dihadapi langsung, akan berbahaya bila Kanjeng Ratu tiba-tiba datang saat ia bertarung.

Siluman Wanita itu meringis lalu meloncat mundur, lebih baik ia meningkatkan ilmunya terlebih dahulu daripada mampus ditangan Nyi Ratu. Sesampai disudut ruangan sebelah kanan Nagindi menekan sebuah ukiran yang menyembul, ternyata itu adalah sebuah tombol tersembunyi. Terdengar suara berderit lalu tiba-tiba dinding dibelakang Nagindi terbuka memperlihatkan sebuah lorong rahasia. Sekejap bayangan tubuh wanita ular itu segera menghilang di kegelapan lorong.

Begitu Nagindi menghilang makhluk itu melesat menyusul masuk ke dalam kegelapan hingga dinding itu tertutup utuh kembali, menyisakan Murni yang masih terduduk bengong beberapa saat. Suara dan bunyi berdebum kencang menyadarkannya bahwa masih ada pertarungan menunggu diluar sana, gadis itu tertatih berlari ke arah pintu keluar.

di Ruang pendopo utama Raja, keadaan menjadi sangat genting, Candika dan Candini telah mengeluarkan segala kemampuan yang dimiliki, namun Ilmu Kanjeng Ratu sangat tinggi, wanita itu hanya menyabetkan selendang seperti menari, namun angin sambarannya terasa telak membuyarkan semua jurus andalan yang dikerahkan, termasuk jurus Aji Segoro Bumi. Semua serangan senjata rahasia berbentuk jarum tak mampu menusuk kulit Kanjeng Ratu yang putih.

"Hahahaha cuma empat jurus saja yang kalian kuasai? menyedihkan" ejek Sang Ratu.

Kedua gadis itu menunduk kelelahan setelah mengeluarkan ajian pamungkasnya, hingga Sasrobahu menyuruh keduanya duduk bersila.

"Biar aku yang melanjutkan pertarungan dengan paman kalian." ujarnya sambil menepuk kedua pundak gadis itu.

Tak tunggu lama Jagadnata dan Sasrobahu serentak menyerang Nyi Ratu Gondo Mayit, teriakan mereka begitu membahana, mengundang rasa semangat dan percaya diri di dalam kedua pendekar wanita bahwa mereka semua mampu mengalahkan biang iblis hutan Tumpasan asalkan bekerja sama menyatukan kekuatan.

Jagadnata mendahului mengerahkan Tinju Srwu Tombak Angin disusul Sasrobahu yang menyabetkan pedang Suci Sinar Matahari, pedang itu berpendar menyilaukan kedua mata Nyi Ratu ditambah serangan bertubi-tubi ke arah perut disertahi semburan tenaga dalam kitab 'Salaksa' Hujan dan Angin membuat Kanjeng Ratu seperti kewalahan berkelit dan menangkis. Matanya terasa buta.

Sebuah celah terlihat saat tapak Jagadnata terkunci dengan tapak Nyi Ratu, saatnya Sasrobahu menyergap dari belakang dan memenggal leher siluman itu dengan pedang pusaka.

"Sekarang!" perintah Jagadnata.

Kemenangan sudah tergambar di benak mata Panglima dari Kalingga itu.

Murni dari kejauhan pucat pasi saat melihat siapa di belakang Jagadnata, ia berteriak untuk memperingatkan sang Jenderal namun terlambat!

"Tiidaakkkk!"

Kesiur dingin terasa di iga Jagadnata ia berusaha berkelit namun benda itu telah merobek perut sebelah kirinya.

"Kau?" gertak lelaki berkumis tebal itu menoleh.

Wajah Sasrobahu terlihat lebih kelam, bibirnya meringis tersenyum mengerikan.

BERSAMBUNG
close