Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LARANTUKA PENDEKAR CACAT PEMBASMI IBLIS (Part 14) - Pasukan Jerangkong Hidup


Suara menderu dari atas langit membawa rasa gundah, takut dan putus asa. Tatkala seluruh netra hantu palasik dan kunyang tertuju pada satu titik. 

Titik yang membawa kematian bagi kaum iblis, adalah pedang Suci Sinar Matahari gemerlapan seperti bintang di angkasa siap menghujam bumi.

Dhuarrr...

Ledakan dahsyat terdengar hebat. Saat mata pedang itu bertumbukan dengan bumi. 

Debu-debu berterbangan, kerikil kecil terbawa anging kencang hingga menyelisik ke kelopak mata menimbulkan rasa pedih dan air mata.

Jagadnata dengan kekuatan penuh tenaga dalam ilmu Angin dan Hujan menghujam dengan sepenuh tenaga.

Akibatnya kehancuran yang membuat ngeri, seluruh pasukan hantu tak berbadan itu kocar kacir terkena sabetan pedang. Tandu Kanjeng Ratu Gondo Mayit pun hancur porak poranda menyisakan sebuah lubang kawah yang besar. Apakah sang ratu telah lumat dalam sekali serangan Jagadnata?

Murni sendiri entah bagaimana sudah berada jauh dibelakang medan pertempuran. Perempuan itu jatuh terduduk di kaki Ni Ayu, badannya masih bergetar hebat akibat ketakutan.

Pedang Suci Sinar Matahari sendiri merupakan pedang mustika terbesar dengan berat seratus delapan puluh kati, ditambah dengan kekuatan sejati ilmu Angin dan Hujan membuat daya hancurnya berkali lipat. Tidak ada yang bisa bertahan dengan gempuran sekuat itu baik manusia maupun siluman. Terlebih pedang itu ditempa dengan rajah berisi elemen cahaya, musuh alami dari kaum iblis yang berasal dari kegelapan. 

Seluruh pasukan dan warga desa bersorak sorai kegirangan, kali ini Kerajaan Kalingga ada di atas angin, jumlah hantu kuyang yang tersisa cuma belasan saja ditambah dua jenderal siluman. Sementara kekuatan bangsa manusia berkali lipat lebih banyak daripada bangsa iblis. Dengan percaya diri prajurit Kalingga serempak membuka semua baju penyamaran, terlihat pelindung dada  terbuat dari logam gemerlap tertimpa cahaya bulan. Mereka membentuk formasi burung Seriti,  siap memberikan serangan penuh.

Dua sosok tubuh loncat menerjang kepungan debu yang berterbangan. Tangan mereka mengibas serpihan tanah yang menempel di baju.

"Bangsat, rupanya banyak kecoak penyusup dari luar, apa saja kerja patih Garangan?" damprat Gagak Rimang mengedarkan pandangan ke segala penjuru. Menatap tajam mata para pasukan Kalingga. Terbersit pemikiran bahwa patih Garangan sudah mampus dibasmi para pasukan ini, karena jejaknya seperti hilang ditelan bumi.

Ia lalu berteriak mengancam dengan suara penuh tenaga dalam. "Wahai penduduk Desa Bakor, kalian malam ini berani memberontak kepada Kanjeng Ratu, tidak hanya menggagalkan ritual tumbal, juga bersekongkol dengan orang luar hutan Tumpasan untuk melawan para Panglima Siluman Jalmo Mayit. Hukuman bagi kalian hanya satu; Mati, bahkan tujuh kali dibacok pun tak sebanding dengan dosa kalian!"

Suara Siluman Gagak Rimang begitu berat dan penuh dendam, membuat warga desa Bakor yang berlindung di belakang prajurit bergidik ketakutan. Kali ini dosa mereka memang teramat besar terhadap Ratu Demit Penguasa hutan Tumpasan, mereka memberontak, mencoba menggulingkan kekuasaan Kanjeng Ratu, demi keselamatan anak cucu. Misi kali ini harus berhasil atau mati pupus bebarengan sanak keturunan. 

Sosok lain muncul dari balik debu ternyata Nagindi, wanita itu dengan gemulai mengibaskan selendang hijau di pinggang, serangkum angin dahsyat berhembus menyingkirkan sisa asap dan debu yang berterbangan. 

"Rupanya banyak calon mayat malam ini, bagus kebetulan aku sedang lapar sekali" sahut Nagindi sambil tersenyum centil, ia tak takut sama sekali oleh unjuk kekuatan Jagadnata. Wanita Siluman itu sangat percaya diri dengan ilmu Iblis Siluman Ular yang dimiliki. 

Nagindi melirik ke belakang tampak kedua bocah Murni dan Ni Ayu Sukma Abang juga telah selamat dari serangan kilat tadi. Ketika dayang utama sudah mengambil posisi aman di belakang, ia bisa bergerak leluasa menghajar pasukan Kalingga sampai jadi debu.

Ni Ayu berkacak pinggang menonton dua pihak yang akan bergebrak dari kejauhan. 

"Nah pertarungan akan menarik mulai sekarang, kau jangan jauh-jauh dariku Murni jika ingin selamat." perintah Ni Ayu Sukma Abang. Jika tanpa bantuannya menyambar tubuh Murni, niscaya tubuh perempuan itu sudah hancur oleh imbas serangan Jagadnata.
"Sebentar lagi Purnama akan sampai pada puncaknya dan kita akan bersenang-senang."

Alis Murni bertaut, "Bersenang bagaimana Ni Ayu?"

Namun Ni Ayu tidak menjawab, hanya sesungging senyum kembali terlihat di bibir merah yang mungil. 
Seolah mengatakan nanti engkau akan tahu sendiri. 

Jagadnata berdiri tegak memandang kedua Panglima Siluman Jalmo Mayit itu. Serangan tadi tak menimbulkan lecet pada kedua orang ini, jelas ilmunya lumayan. Ia semakin penasaran dengan tingkat kesaktian ilmu lawan. Lagipula dimana dedengkot junjungan hutan Tumpasan, mengapa tidak menampakkan diri segera? Kenapa melewatkan acara tumbal yang begitu penting?

Hanya ada dua jawaban, yang pertama ratu demit itu takut akan kekuatan dari kerajaan Kalingga hingga hanya mengirim segelintir anak buah, atau justru ratu itu tidak menganggap kesaktian panglima dan meremehkan negara Kalingga. 

Gigi Jagadnata bergemeretak memikirkan alasan kedua, sungguh berani benar kaum iblis ini menyepelekan bangsa manusia. 

"Bagus, mumpung kalian sudah disini semua, mau bunuh diri sekarang atau biar aku yang mengantar kalian ke neraka?" tanya Panglima  dengan garang. Suara Jagadnata yang kereng diimbuhi jurus Mengirim Hujan ke Seberang Gunung memekakkan telinga semua makhluk itu, terutama kedua Panglima Iblis, membuat mereka mundur selangkah.

"Posisi kalian sudah terjepit tidak mampu maju maupun mundur. Ribuan pasukan kalingga sudah mengepung tempat ini, Ratumu pun sudah kabur terbirit-birit, malam ini juga kami akan membasmi tuntas semua demit di hutan Tumpasan" gertak Menggala.

Suara tawa wanita kembali terdengar.

"Aduhai, rupanya ada tuan jago dari kerajaan seberang, barangkali mau bertamu dulu kerumahku yang sederhana ini" rayu Nagini sambil memainkan rambutnya yang lurus.

Begitu melihat ada pemuda tampan berkulit putih nafsu Nagindi langsung meluap. Ia ingin segera bersatu dengan kaum lelaki untuk meningkatkan ilmunya. Apalagi kelihatan musuhnya cukup berilmu tinggi. 

"Tidak perlu berbasa-basi, kaum iblis seperti kalian telah lama menyiksa dan memangsa bangsa manusia. Menjadikan mereka hewan ternak yang bisa kalian sembelih untuk ilmu atau tujuan sesat lainnya. Hari ini, kami diutus kerajaan manusia terkuat di muka bumi ini untuk mengenyahkan kalian dan membebaskan warga desa Bakor dari penindasan." gertak adipati berambut sebahu itu. 

"Oh begitu? Aku jadi bertanya-tanya apa yang akan kalian lakukan seandainya sudah berhasil menaklukan kerajaan kami?" tanya Nagindi. 

Menggala maju selangkah, "Tentu saja, kami akan memasukkan wilayah tak bertuan ini menjadi wilayah dalam kekuasaan kami" 

Kali ini Siluman Gagak Rimang yang tertawa, "Kami kaum iblis memang suka dengan kejahatan, tapi tak serakus makhluk serakah seperti manusia!" 

"Tidak usah banyak bacot! Serang!" perintah Jagadnata tanpa basa basi. 

Ribuan prajurit segera menyerbu dari tiga penjuru. 

Siluman Gagak Rimang membentangkan sayap lebar di punggungnya yang beraura kehitaman. "Jangan sembrono dengan pedang itu Nagindi" bisiknya. 

Nagindi tertawa kegirangan ia berputar tiga kali dan mengeluarkan kabut asap berwarna kehijauan. Dari kabut itu menyeruak kepala ular raksasa bersisik hijau. Tanah bergemuruh ketika tubuh gilig besar memporak-porandakan formasi pasukan.

Mata ular itu sebesar tampah dengan mulut begitu besar penuh gigi tajam, sekali sambar tiga prajurit langsung tercengkram dimulut. Tubuh mereka dirobek jadi dua oleh gigi taring Nagindi.

"Awass" perintah Menggala terkaget melihat ular raksasa menyerang tiba-tiba, ia meloncat ke atas sambil mengirim isyarat dengan tangan kanan. 

Serentak prajurit Kalingga mundur sembari melempar senjata yang ada di tangan, hujan tombak segera memenuhi angkasa. 

Walau bertubuh raksasa ular itu bergerak sangat lincah menghindari hujan tombak dari para prajurit. Sisik Nagindi sekeras lempengan baja, tidak mampu ditembus mata tombak yang tajam. Ekornya menyabet kencang, puluhan prajurit terlempar terkena ujung ekor sebesar glagah kayu kelapa. 

Banyak prajurit yang tulang dadanya remuk akibat hantaman siluman itu. 

Belum habis rasa terkejut mereka, Siluman Gagak Rimang juga turun tangan. Ia terbang rendah dengan kecepatan tinggi menyasar kaki para prajurit, yang bernasib malang langsung terbabat oleh cakar tajam siluman itu.

"Menggala, habisi siluman burung itu!" perintah Jagadnata sambil melempar pedang Sinar Matahari ke arah adipatinya.

Menggala menyambar pedang itu dengan tangkas dan menghadang Siluman Gagak Rimang ditemani beberapa pengawal.

Siluman Gagak rimang harus menghadapi sepasukan lagi prajurit yang gagah berani ditambah Adipati Menggala. Namun siluman ini tidak gentar, dengan menggunakan aji kesaktian Iblis Sayap Hitam ia mengepak sayap mengeluarkan serangan angin berwarna hitam yang dahsyat. Sehingga menerbangkan para prajurit barisan depan yang berilmu rendah. Begitu mendarat keras ditanah para prajurit malang itu memuntahkan darah segar akibat luka dalam. Prajurit itu seperti dihantam godam raksasa yang tak kasat mata. 

Dua panglima siluman jalmo mayit nampak mengerikan dikerubuti para prajurit seperti semut. Namun banyak dari mereka yang meregang nyawa karena kesaktian keduanya terlalu tinggi. 

Di belakang medan tempur Ni Ayu terlihat sangat menikmati pemandangan yang terjadi. Gadis cilik itu tidak ikut bertempur tetapi malah  bersenandung riang membuat hati Murni mencelus ke dalam kengerian.

Yen kongsiho, 
Mengertilah
Sasar jeroning pati
Tersesat di alam kematian
Dadya tiwas uripe kesasar
Akhirnya hidupnya di alam kematian tersesat
Tanpa penclokan sukmane
Tiada tempat hinggap sukmanya
Sak paran-paran nglangut
Kemana-mana bingung
Kadya mega katut ing angin
Seperti mega yang tertiup angin
Wekasan dadi udan
Akhirnya jadi hujan

Murni merinding mendengar syair tentang kematian didendangkan. 

"Ketika jasad berpisah dari ruhnya, saat nadimu dingin tak teraliri darah. Kemana sukmamu terbang pergi? Nah dengarkan Nduk... Tidak perlu mencari dalam kebingungan, karena Kegelapan akan selalu menemanimu, walau  dalam sunyi sepi kesendirian..." celoteh Ni Ayu Sukma Abang dengan lirih.

"Aku tak mau mati Ni Ayu" pinta Murni. 

"Mengapa? Dalam kematian kau tidak akan merasakan lagi rasa duka nestapa..."

"Tapi aku belum siap... Aku masih ingin hidup, berkelana dan berteman dengan banyak orang"

Murni melihat sebersit titik bening di sudut mata Ni Ayu Sukma Abang. Apakah dia sedang menangis?

Terdengar kembali alunan gamelan gaib bersamaan dengan tembang tentang kematian yang dinyanyikan oleh Ni Ayu berulang-ulang,  tubuh gadis kecil itu bergetar seperti kerasukan sesuatu. Murni merasakan tanah tempat dia duduk bergetar hebat. 

Ni Ayu kemudian menggerakkan tangannya dengan gemulai melintang dengan kaki terangkat membentuk posisi teratai, lalu ia berloncatan menari dengan lincah sekaligus anggun. Gerakannya begitu lincah hampir saja Murni tersihir bergerak ingin ikut menari.

Jemarinya lentik menebar selendang merah darah yang ada di pinggang. Itu adalah ritual untuk memanggil kuasa iblis dari Kitab Sangang Wengi.

Mendadak tubuh Murni kembali menggigil tanpa diminta, napasnya mulai membeku akibat suhu udara jatuh tiba-tiba. Suara gamelan semakin jelas terdengar, berdengung keras dalam rongga telinga gadis itu.

Langit mulai berubah, kerlip bintang tidak terlihat lagi. Hanya kegelapan di angkasa tanpa dasar, sungguh hitam. Hanya ada satu benda bulat di angkasa, Bulan Purnama yang teramat besar berpendar merah darah. Murni tidak pernah melihat fenomena alam seperti ini selama hidup. Begitu janggal.

Yang selanjutnya Murni hampir tak mempercayai penglihatannya. Dibawah siraman purnama yang  semburat merah, tanah lapang Segoro Mayit mulai merekah di sana-sini, disusul tangan tengkorak berwarna keputihan berusaha menggapai keluar dari kubur. 

"Je-jerangkong hidup!" seru Murni dengan tergagap.

Baru kali ini ia melihat jenis memedi tengkorak keluar dari tanah. Menurut cerita orang tua di desa, Iblis ini muncul dari jasad manusia yang mati tidak wajar. Mereka bangkit memburu manusia hidup untuk memperbanyak jumlah mereka. 

Wujudnya berupa tulang belulang tengkorak yang bisa bergerak. Mulanya hanya ratusan lalu tengkorak yang keluar terus bertambah menjadi ribuan, tak henti mereka bangkit dari dalam tanah. 

Tengkorak itu begitu mengerikan, ada yang keropos bagian kepala, ada yang hampir keluar bola mata dari lubangnya. Jasad yang masih baru masih terlihat daging membusuk penuh belatung menggeliat di rongga tulang dada. Baunya begitu busuk bercampur anyir darah.

Warga Desa Bakor berteriak ngeri penuh ketakutan.

Pasukan Kalingga serentak membuat formasi lingkaran-lingkaran kecil dengan warga desa ditengah-tengah untuk bertahan. Karena saat ini posisi menjadi terbalik, awalnya pasukan kalingga berjumlah ribuan melawan dua panglima siluman dan beberapa hantu palasik. Kini jumlah iblis yang menyerang menjadi berkalilipat diatas jumlah pasukan Negeri Kalingga. 

Iblis Jerangkong bergerak dengan aneh mendekati semua yang berjiwa, suara derit gemeretak tulang memenuhi medan pertempuran. Sedikit demi sedikit ribuan tulang tengkorak itu mendekati para prajurit.

Suitan panjang menggema dari mulut Patih Menggala, memberi isyarat kepada pasukan untuk menyerang.

Pasukan Jerangkong mudah untuk dipukul, gerakan mereka lambat dan tulang keropos. Tetapi begitu tengkorak itu dihancurkan dan menyentuh tanah maka tubuh mereka akan menyatu kembali seperti semula. Itulah kekuatan sejati dari iblis Jerangkong, tak bisa dihancurkan. Makin lama pasukan Kalingga mengerucut terdesak Jerangkong yang jumlahnya ribuan.

Tandu yang membawa tumbal hancur, Candini meloncat keluar menggandeng anak tumbal satunya. Dengan susah payah Ia membuka jalan, mencari tempat yang aman dari kepungan para Jerangkong.

Beberapa prajurit setengah mati menebas tengkorak itu, tetapi percuma, tubuh makhluk itu kembali utuh walaupun sudah berkali-kali dihancurkan dan disabet dengan pedang.  Akhirnya cakar iblis itu berhasil menangkap pedang atau tombak yang sudah mulai pelan diayun karena kehabisan tenaga. Tangan para prajurit yang mandi keringat itu tak berhasil mempertahankan senjata. Sontak Jerangkong itu berhasil merebut pertahanan terakhir pasukan kalingga.

Crott...

Cakar putih itu berhasil menikam perut seorang prajurit, tanpa ampun iblis itu menarik usus dari perut manusia malang. Terdengar rintihan menyayat sukma bersahutan, prajurit Kalingga mulai berjatuhan satu demi satu diserbu pasukan tengkorak. Darah menggenang deras dengan isi perut yang terburai keluar. Lautan mayat dimana-mana.


Jagadnata sibuk bertukar puluhan jurus melayani ular besar Nagindi, setiap cambukan ekor maupun tubrukan kepala ular itu mengandung tenaga ribuan kati, namun begitu berbenturan dengan tinju dan telapak Jagadnata keduanya saling terlempar mundur akibat ledakan keras.

Sementara Menggala menghadapi Siluman Gagak Rimang, dengan kekuatan ilmunya sekarang Menggala masih kalah dua tingkat dari Gagak Rimang namun dengan bantuan pedang Sinar Matahari ia mampu mengimbangi keganasan cakar Siluman itu, bahkan setelah ratusan jurus berlalu, posisi Menggala mulai di atas angin.

Pertarungan tak berjalan dengan imbang lagi. Jagadnata melihat keadaan berbalik tak menguntungkan bagi bangsa manusia, ia segera mencelat mundur dan menempelkan kedua tangan secara berhadapan di depan dada. Kali ini ia akan mengeluarkan jurus andalan dari kitab Angin dan Hujan. 

Tanah bergetar, angin kembali berhembus kencang. Namun kali ini semua berputar-putar pada rongga kosong diantara telapak tangan Jagadnata. 

Pasukan iblis Jerangkong adalah iblis yang tidak memiliki akal pikiran, mereka tertarik akan hawa kehidupan yang dimiliki manusia. Saat Jagadnata memakai penuh tenaga dalam dan daya hidup  yang ia miliki maka perhatian ribuan pasukan mayat itu teralihkan.

Ribuan tengkorak putih berjalan merayap ke arah Jagadnata seperti laron menghampiri api. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh ratusan prajurit dan warga desa yang masih selamat untuk memulihkan tenaga termasuk Candini.

"Luar biasa kekuatan Tuan Panglima Jagadnata" ujar Darkun sambil berdecak kagum.

Candini tersenyum sinis, "Tentu saja Sebagai Panglima Kerajaan Kalingga Jagadnata telah mempelajari ilmu dari Kitab Angin dan Hujan yang termasuk dalam lima Kitab Utama jagad alam ini.  Hm dijelaskan pun pak tua belum tentu mengerti"

Sebuah suara berat terdengar di belakang, "Mungkin Nimas pendekar bisa menjelaskan sedikit ilmu Angin dan Hujan yang luar biasa hebat ini kepada hamba, karena hamba bisa sedikit ilmu silat"  

Ternyata suara itu berasal dari Sasrobahu yang baru tiba dari goa pelangi. Langkahnya terlihat gontai menyeruak dari semak belukar. Matanya menatap tajam dengan kilat yang aneh mengawasi para sesepuh desa. 

"Baik, asal kau tahu saja, Ilmu ini terdiri dari sepuluh tingkatan;" terang Candini. 

Tahap satu : Nafas setenang dada
Tahap dua  : Tubuh MelawanHujan
Tahap tiga  : Indra Melawan Ombak
Tahap empat  : Raga Melawan Pusaran
Tahap lima : Jiwa Melawan Samudera
Tahap enam : Nafas setenang Udara
Tahap tujuh : Tubuh Menentang Angin
Tahap delapan : Indra Menentang Topan
Tahap sembilan : Manusia Menentang Badai
Tahap sepuluh : Jiwa Angin Raga Hujan
Dengan sembilan jurusnya yang terkenal :
Pukulan Gelombang Air Pasang
Telapak Pasir menyapu Ombak
Menatap Laut Menantang Badai
Rinai Hujan Menyapu Bumi
Mengirim Hujan ke Seberang Gunung
Telapak Angin menembus hujan
Dewa Topan Menghembus Badai
Samudera Musnah tak bersisa
Pedang Air Surgawi

"Biasanya para prajurit dasar akan diberikan rapalan tingkat pertama. Bagi mereka yang berhasil menguasai akan lanjut ke tingkat berikutnya disertai kenaikan pangkat. Namun untuk menguasai kitab ini sangat rumit hanya satu dari seribu orang yang mampu melewati tingkat tiga, kelebihan dari jurus-jurus elemen Angin dan Hujan terletak pada kemampuan untuk mengontrol tenaga dalam sampai tingkat paling rumit. Layaknya tetesan hujan, pengguna jurus akan mampu mengendalikan ratusan bahkan ribuan benda yang ada disekitarnya dengan imbuhan tenaga dalam. Saat ilmu ini menyatu dengan tubuh pengguna, seperti Angin yang berhembus, juga akan mampu bergerak secepat kilat." tukas Candini.

Posisi Jagadnata sebagai panglima membuktikan kejeniusan pendekar ini dalam mencapai puncak, kini ia menguasai tahap ke delapan, kekuatannya menjadi bukan main susah dicari tandingannya.

Lelaki ini berkonsentrasi penuh, tenaga dalam  angin dan Hujan berhembus kencang dari segala titik vital tubuhnya. Dengan satu teriakan kencang ia kembali mengeluarkan jurus Mengirim Hujan ke Seberang Gunung dengan dahsyat.

Prana murni dikirimkan ke tiap benda dalam radius sepuluh tombak. Bagi yang tidak kuat maka prana itu akan menyeretnya mendekati Jagadnata. 

Seakan ada lubang hitam di perut Jagadnata yang menghisap semua udara di daerah itu. Angin kencang bertiup riuh rendah membawa semua senjata yang tergeletak di tanah, seakan semua terhisap oleh aura sakti kebiruan yang dipancarkan Jagadnata.

Sebentar lagi ia akan mengeluarkan salah satu ajian pamungkasnya. 

BERSAMBUNG
close