Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KERIS BENGGOLO IRENG (Part 5) - Warangka

Danan dan Cahyo akhirnya tiba di rumah Dirga. dari awal mereka sudah curiga dengan keberadaan pabrik tahu yang berada disana.
Saat bertemu abah ia menceritakan bahwa benda yang pernah menyegel Keris benggolo ireng berada disana..


JEJAKMISTERI - Sunyinya sebuah hutan kadang menyimpan misteri yang seharusnya tidak perlu disibak oleh manusia yang tidak seharusnya berada disana. Dibalik perasaan tenang yang dihadirkan di bawah sinar mentari, selalu ada kengerian yang menyelimuti di bawah sinar rembulan.

Alas mayit, ternyata masih menghubungkan kami dengan sesuatu misteri yang akan menciptakan tragedi berdarah yang harus kami hentikan.

“Itu! itu paklek!” Teriakku pada Cahyo yang sedari tadi menunggu paklek di ujung lembah.

Kami memang sengaja menjemput paklek disini karena jalan untuk masuk ke desa masih sulit dilalui dan membingungkan.

“Sini paklek tak bantuin” Ucapku sambil membawa sebuat tas kain besar yang dibawa oleh paklek.

Sepertinya mau tidak mau paklek harus tinggal cukup lama di desa ini, karena saat ini hanya ilmu pakleklah yang bisa menahan Mbah Suroto saat tubuhnya diambil alih.

“Kowe nggoleki opo Jul?” (Kamu nyariin apa jul?) Tanya Paklek yang heran pada cahyo yang terlihat mengelilingi paklek.

“Bulek ora nggawani opo-opo paklek? Arem-arem opo lemper ngono?” (Bulek nggak bawain apa-apa gitu paklek? Arem-arem atau lemper gitu?) Tanya cahyo balik.

“Oo.. iyo, iki... gowonen” (ooo, iya ini.. nih bawa) Balas paklek yang menyerahkan sebungkus kantong kresek hitam yang diambil dari tasnya. Cahyo dengan cepat segera mendekat dan mengambil bungkusan itu.

Dengan sumringah Cahyo membuka bungkusan itu dan seketika wajahnya berubah menjadi aneh sambil menutup hidungnya.

“Paklek! Lemper dari mana? Ini Baju kotor!” Teriak Cahyo yang protes dengan bungkusan yang diberikan oleh paklek.

Sontak aku tertawa melihat wajah lucu Cahyo yang termakan tingkah iseng paklek.

“Lha sudah tahu paklek dari desa selatan nggak mampir ke rumah malah ditanyain oleh-oleh” Ucap paklek yang menahan tawa gelinya saat melihat wajah Cahyo.

Setelah kejadian itu sepanjang perjalanan Cahyo hanya menggerutu karena ternyata harapanya untuk menikmati masakan bulek pupus seketika.

“Siapa namanya? Suroto? Apa kondisinya separah itu nan?” Tanya paklek yang ingin mengetahui permasalahan yang kami ketahui di desa ini.

“Kondisi Mbah Suroto mulai stabil setelah dibantu oleh Pak Sardi, tapi sesuatu yang membuat mbah suroto menjadi seperti itulah masalah sebenarnya” Jawabku.

“Pak Sardi ayahnya Sekar?” Tanya Paklek.

Aku mengangguk dan melanjutkan cerita mengenai sebuah keris yang berisi kekuatan hitam yang mengambil alih kesadaran Mbah Suroto. Dirga juga mendapat penglihatan mengenai ketiga keris kembar pembawa petaka yang akan bangkit dan akan mengakibatkan pertumpahan darah.

Saat matahari tepat berada di atas, kami sampai di desa Windualit dan segera membawa Paklek ke rumah singgah tempat Mbah Suroto di rawat. Saat itu juga paklek merasakan keberadaan sosok yang mengelilingi desa ini yang tidak berani untuk mendekat.

“Makhluk-makhluk itu? apa tidak membahayakan desa ini?” Tanya Paklek.

“Kami tidak ada pilihan paklek, mereka adalah pengikut dari sosok yang mendiami Keris Benggolo Abang yang mengikuti Mbah Suroto. Selama Mbah Suroto sadar makhluk itu tidak akan berbuat apa-apa” Jelasku.

Mendengar penjelasanku Paklek hanya diam seolah memang tidak ada solusi lain atas hal ini. Tapi aku mengerti kekhawatiran paklek akan warga desa yang pasti akan tergganggu bila mengetahui keberadaan makhluk-makhluk ini.

“Kulo nuwun..“ (Permisi) Aku mengetuk dan membuka pintu rumah singgah tempat kami merawat Mbah Suroto. Terlihat Sekar segera keluar menyambut kami dan mengenalkan paklek pada Pak Sardi ayahnya.

“Monggo Paklek masuk, Saya Sardi.. ayahnya Sekar. Terima kasih banyak dulu sudah mau membantu Sekar” Ucap Pak Sardi yang memang sangat ingin bertemu dengan Paklek.

“Sama-sama Pak Sardi, kebetulan aja Cahyo yang nemuin Sekar.. lagipula Sekar juga sudah saya anggap anak sendiri” Jawab Paklek.

“Tuh Sekar, udah dianggep anak sama paklek... sering-sering donk main ke klaten” Ucap Cahyo menyela pembicaraan mereka.

“Iya Sekar, tapi mampir ke klatenya pas bocah ini lagi pergi ya..“ Balas Paklek.

“Gimana sih paklek, kalau gitu percuma donk” Ucap Cahyo.

“Haha.. iya ya, mungkin sewaktu-waktu gantian saya dan Sekar yang mampir ke rumah Paklek.

Kami memang jarang sekali keluar desa” Balas Pak Sardi yang ikut terhanyut dalam obrolan iseng cahyo dan paklek.

Setelah sedikit beristirahat dan menikmati suguhan yang dibuat Sekar, paklek segera menghampiri Mbah suroto yang terbaring di salah satu kamar di rumah ini.

Tepat saat memasuki kamar, paklek menoleh ke arah tas kainya, aku menduga sepertinya Keris Sukmageni juga bereaksi dengan keberadaan Keris Benggolo Abang yang dimiliki mbah Suroto.

“Kulo nuwun...” Ucap Paklek dengan sopan sebelum memasuki kamar. Terlihat Mbah suroto memaksakan dirinya untuk duduk dengan setiap luka yang ada pada dirinya.

“Sudah santai saja Mbah Suroto, Saya Paklek mereka... Nama Saya Bimo mereka sudah menceritakan semuanya kepada saya” Ucap Paklek.

Mbah Suroto terbatuk-batuk namun tetap ingin menjawab paklek.

“Bimo ya? Kata mereka api itu adalah ilmumu... benar-benar ilmu yang hebat dari seorang manusia” Puji Mbah Suroto yang memang merasa sangat tertolong dengan keberadaan geni baraloka milik paklek.

“Ilmu itu hanya titipan Tuhan, saya hanya perantaranya... bertemunya Mbah Suroto dengan api itu pasti juga merupakan salah satu jalan dari Tuhan atas usaha Mbah Suroto yang ingin menyelamatkan keluarga mbah suroto“
Balas Paklek yang segera memeriksa tubuh Mbah Suroto yang terlihat lemah.
Melihat paklek mulai memeriksa dan membaca doa aku dan Cahyo meninggalkan kamar agar paklek bisa berkonsentrasi.

Kami juga harus bersiap-siap meninggalkan desa windualit untuk mencari tahu keberadaan keris yang menjadi asal muasal petaka ini.
Setelah beberapa lama, paklek keluar dari kamar dengan keringat yang bercucuran. Sekar dengan sigap memberikan handuk kecil untuk paklek.

Sudah cukup jelas, paklek juga merasakan kesulitan dengan apa yang dihadapi Mbah Suroto. Tepat saat itu juga Dirga dan Mas Jagad kembali dari alas mayit. Mereka kembali kesana sekedar untuk mengirimkan doa untuk leluhur Dirga Prabu Arya Darmawijaya yang bersemayam disana.

“Paklek.. sudah lama?” Tanya Dirgayang segera salim ke paklek dan bergabung bersama kami.

“Baru saja kok, belum lama.. nah kebetulan kalian sudah sampai... sepertinya kalian harus segera mencari tahu tentang permasalahan ini. Paklek sudah mencoba berbagai cara, geni baraloka dan keris sukmageni hanya dapat mempertahankan kesadaran Mbah Suroto.” Jelas Paklek.

“Bahkan keris sukmageni tidak bisa menghapus kutukan mbah suroto?” Tanya Mas Jagad.
Paklek Menggeleng.

“Itu bukan kutukan, itu adalah perjanjian leluhur Mbah Suroto dengan sosok dibalik keris itu” Balas Paklek.

Kalau begitu ini semua mulai masuk akal, terjawab sudah mengapa ilmu kami tidak mampu memulihkan kesadaran Mbah Suroto sepenuhnya.

Sepertinya kami memang harus mencari tahu keberadaan keris lainya yang menjadi asal muasal petaka ini.

“Maaf ya dek Sekar, besok pagi mas cahyo harus meninggalkan dek Sekar lagi...” Ucap Cahyo dengan wajah penuh drama.

Sekar tertawa kecil mendengar candaan Cahyo, aku sudah bersiap melemparkan sandalku pada Cahyo tapi akhirnya kutahan karena mungkin mereka butuh waktu untuk bercanda lebih banyak sebelum hal-hal buruk mulai menimpa kami.

***

“Panjul! Kalau kedinginan gantian aja aku yang di belakang!” Teriakku pada Cahyo yang dikorbankan untuk duduk di bak belakang mobil pick up Mas Jagad bersama motor vespa kesayanganya.

“Wis, tenangno pikirmu.. pendekar ki ra takut kademen” (Udah tenang saja, pendekar itu nggak takut kedinginan) Jawabnya dengan santai. Tapi aku selalu tahu bahwa memang tabiat Cahyo yang tidak mau membiarkan temanya mendapat posisi yang tidak enak.

Dirga sudah menelpon Abah dan menceritakan mengenai kejadian di Desa Windualit. Beliau berjanji akan mencari tahu lebih banyak informasi mengenai tiga buah keris kembar yang sempat ia ketahui sebelumnya.

Perjalanan kami menuju desa Dirga terhitung cukup lama, kami beberapa kali berhenti di warung kopi di pinggir jalan propinsi untuk sekedar beristirahat dan memastikan Cahyo tidak tertinggal tertiup angin.

Seandainya kami tidak terburu-buru mungkin perjalanan ini akan menjadi menyenangkan ketika kami bisa saling bercerita selama perjalanan mengenai bagaimana sebenarnya hubungan orang tuaku dan Mas Jagad hingga bisa dekat dengan keluarga darmawijaya.

Setelah perjalanan yang cukup panjang kami sampai di sebuah desa yang sudah cukup padat dengan bangunan tepat saat matahari terbenam. Terdapat sebuah pasar yang sudah dikelola oleh pemerintah disana, dan yang paling menarik perhatianku adalah sebuah bangunan besar menyerupai pabrik yang sempat kulihat tak jauh dari sungai.

“Mas Jagad, itu tadi bangunan apa?” Tanyaku yang penasaran.

“Oh, Itu pabrik tahunya Pak Wijaya Kartakusuma tapi beliau saat ini sedang sakit, jadi di kelola oleh istrinya” Cerita Mas Jagad.

“Sakit apa Mas Jagad? Harusnya mereka punya uang untuk mengobati ke rumah sakit kota kan mas?” Tanyaku lagi.

“Penyakitnya cukup aneh Nan, dan Pak Wijaya dan keluarganya juga cukup tertutup dengan penyakitnya” Jawab Mas Jagad.

“Agak misterius ya? semoga saja mereka juga cepat mendapat solusi atas masalah mereka” Balasku.

“Iya Mas Danan, tapi tahu hasil pabrik mereka enak lho! Besok kita coba yang masih fresh” Cerita Dirga.

“Wah siap donk, kalau soal makanan itu yang di belakang pasti semangat” Balasku.

Kami turun di sebuah rumah yang memiliki halaman kebun yang cukup luas dengan bangunan utama yang dibangun dengan tembok dan dekorasi batu alam. Walaupun sederhana, rumah ini terlihat sangat nyaman dengan jendela kayu model lama dengan kisi-kisi kaca di dalamnya.

“Punten.. Abah, Emak, Dirga pulang” Ucap Dirga sambil membuka sendiri pintu rumahnya yang sepertinya memang jarang terkunci. Suara langkah kaki terdengar mendekat menyambut teriakan Dirga.

Itu adalah Abah, Ayah dari Dirga Darmawijaya yang seharusnya ia juga adalah salah satu garis keturunan bangsawan dari Prabu Arya Darmawijaya.

Namun pakaianya terlalu sederhana untuk seorang keturunan darah bangsawan dan satu lagi yang membuatku penasaran pasti ada cerita menarik mengenai kepindahan mereka ke tanah Sunda.

“Permisi Abah.. Saya Danan, dan ini teman saya Cahyo. Mohon Ijin merepotkan Abah” Ucapku memperkenalkan diri.

“Merepotkan naon? Sudah ayo masuk. Dirga sudah cerita semuanya, sama saudara sendiri tidak usah sungkan-sungkan” Ucap Abah yang ternyata begitu ramah.

Mendengar itu kami tidak sungkan lagi dan segera masuk menuju ruang tamu dan melepaskan lelah selama perjalanan dengan minuman hangat yang sudah disediakan oleh orang tua Dirga.

“Cahyo, nih minum dulu masih anget..” Ucapku pada Cahyo sambil menggeser duluan teh hangat yang dihidangkan ke Cahyo yang terlihat masih kedinginan sambil menutupi tubuhnya dengan sarungnya.

Tanpa banyak bertanya Cahyo segera menikmati teh hangat yang ada dihadapanya dan mencomot beberapa gorengan.

“Keliatanya pada kelelahan ya? Malam ini istirahat dulu saja bicara seriusnya besok saja” Ucap Abah yang melihat wajah cahyo yang sedikit pucat setelah menghadapi terpaan angin sepanjang perjalanan.

“Iya, sudah saya siapin air panas buat mandi... Mas Jagad nginep disini saja sekalian.” Tambah Emak ibu dari Dirga yang ikut keluar menyambut kami.

“Wah nggak usah, Saya pulang saja.. sudah ditunggu orang rumah juga.” Jawab Mas Jagad yang sepertinya sudah tidak sabar untuk pulang ke rumah.

“Ya sudah, setelah ini istirahat dulu saja. Ada banyak hal yang ingin saya ceritakan berdasarkan cerita Dirga kemarin. Tapi saya harus mengambil sesuatu dulu besok. Jadi mungkin bicara seriusnya besok siang saja ya” Lanjut Abah.

Kami setuju, malam itu hanya dilalui dengan perbincangan kecil dan ditutup dengan Cahyo yang diam-diam minta kerokan sebelum akhirnya kami tidur ditemani suara dengkuran Cahyo yang sepertinya menggema sampai satu desa.

***

Pagi itu aku terbangun lebih awal, Cahyo masih tertidur dengan pulas sementara aku menyadari Dirga sudah bersiap-siap melakukan sesuatu.

“Lah, masih pagi.. mau kemana Dirga?” Tanyaku.

“Oh.. biasa mas, bantuin Mas Jagad nganter barang ke pasar.” Jawab Dirga. Ternyata sudah rutinitas Dirga setiap pagi untuk membatu Mas Jagad mengantarkan daganganya ke pedagang-pedagang pasar.

“Eh, aku ikut deh.. sekalian jalan-jalan” Ucapku yang dengan senang hati disetujui oleh Dirga.

Pasar di desa ini cukup ramai, Mas Jagad terlihat cukup dekat dengan pedagang-pedangang di pasar ini. Tak jarang juga pengunjung pasar yang menyapa Jagad dan Dirga.

“Mas Jagad terkenal juga ya di pasar?” Tanyaku penasaran.

“Kan wajar Nan, kerjaanku nganter-nganter barang dari toko grosir ke pedagang-pedagang pasar, jadi wajar pada kenal” Jawab Mas Jagad.

Setelah menyelesaikan pekerjaanya, Mas Jagad mengajaku makan di sebuah warung bakso yang berada di sudut pasar.

“Eh Dirga, lama nggak keliatan” tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan yang menyapa kami di warung bakso tempat kami ingin menuntaskan lapar.

“Teh Rini, Sama siapa kesini? Sama A Putra?” Tanya Dirga yang membalas ucapan perempuan itu.

“Nggak.. Sama Mang Toha, itu lagi mesen. Dirga sama Mas Jagad teh dari mana saja? Baru keliatan” Tanya Seseorang bernama Rini itu.

“Habis ada acara di Jawa Tengah, Teh Rini juga tumben ikut nganter tahu?” Balas Dirga yang terlihat cukup akrab denganya.

“Iya, lagi libur saja..” Jawabnya yang dilanjut dengan perbincangan-perbincangan ringan. Namun sebenarnya aku sedikit lebih tertarik dengan perbincangan antara Mas Jagad dengan Mang Toha.

“Mas Jagad, sekali-kali kalau ada waktu mampir ke pabrik. Saya teh penasaran, bener nggak pabrik itu katanya angker” Terdengar suara Mang Toha seperti bertanya ke Mas Jagad.

“Iya mang, saya sudah sempat lewat kesana. Karyawan-karyawan juga sudah ada yang cerita, Katanya ada sosok yang mirip Mang Toha ya?” Tanya Mas Jagad dengan nada menggoda ke Mang Toha.

“Mas Jagad teh jangan begitu, walaupun nggak gitu mengganggu tapi lama-lama serem juga.” Lanjut Mas Toha.

“Iya Mang Toha, mereka sepertinya sudah penunggu lama disana. Seharusnya tidak ada yang mencelakai, tapi yang harus jadi perhatian sebenarnya sosok wanita di sebelah pabrik, tepatnya dekat sebuah pohon. Sepertinya dia membawa dendam, entah untuk siapa. Sayangnya setiap saya mendekat sosok itu lebih dulu menghilang” Ucap Mas Jagad.

Dari perbincangan ini aku seolah bercermin, ternyata Mas Jagad juga sering mendapat permintaan dari orang-orang yang dikenalnya. Mungkin memang sudah takdir keluarga kami untuk mengemban tugas seperti ini.

Setelah cukup kenyang kami kembali ke rumah Dirga dengan diantar oleh Mas Jagad. Dia juga ingin mengetahui informasi yang didapat oleh Abah akan keberadaan keris-keris itu.

Saat sampai di rumah Dirga, terlihat Cahyo seperti sedang berbicara serius dengan Abah. Sepertinya ada suatu kabar yang cukup serius.

“Danan, Sepertinya kita harus pisah jalan” Ucap Cahyo tiba-tiba.

“Maksudmu gimana? Ada kabar apa to?” Tanyaku yang heran dengan ucapanya.

“Barusan aku ditelepon sama Guntur, sepertinya aku harus ke desanya” Ucap Cahyo.

Cahyo menceritakan bahwa tiba-tiba desa guntur di serang oleh seorang dukun berwujud nenek tua yang membawa pengikut–pengikut makhluk halusnya untuk menyerang desanya.

Rupanya yang diincar adalah seorang perempuan bernama Indira. Dia adalah satu-satunya keturunan yang tersisa dari pewaris Keris Benggolo Ireng. Ibu dan kakaknya mati dengan mengenaskan dibunuh oleh ayahnya dalam pengaruh keris itu.

“Lalu mereka gimana? Apa mereka selamat?” Tanyaku yang mulai khawatir.

“Mereka selamat, Nyai Jambrong membantu mereka mengusir dukun dan pengikutnya.” Jawab Cahyo.

“Nyai Jambrong? Nyai Jambrong pemilik ilmu rawarontek yang bertarung sama kita dulu?” Tanyaku semakin heran.

Cahyo mengangguk. Rupanya setelah kehilangan ilmunya Nyai Jambrong mengasingkan diri di hutan di rumah tempat arum dan Bu ningrum tinggal dulu sekaligus menurunkan ilmu bela dirinya ke Guntur.

“Rupanya kalian sudah melalui kejadian-kejadian besar yang mengerikan ya?” Ucap Abah yang cukup kaget mendengar cerita kami.

“Iya Bah, Dirga juga belajar banyak dari Mas Danan dan Mas Cahyo.” Ucap Dirga.

“Ya sudah, duduk dulu semua.. Abah mau bercerita sesuatu sebelum Mas Cahyo berangkat.”

“Kalau memang perkara yang kalian hadapi itu berhubungan dengan Keris Benggolo Ireng maka ini bukan masalah sepele” Buka Abah.

Abah bercerita bahwa Keris Benggolo Ireng merupakan keris kembar tiga yang dibuat pada jaman kerajaan ratusan tahun yang lalu. Keris yang dibuat oleh empu gila dengan ‘batu langit’ yang jatuh di salah satu hutan saat itu.

Empu itu memberi syarat pada yang akan menggunakan ketiga keris itu bahwa mereka tidak boleh berhenti membunuh. Bahkan ketika perang sudah usai, sumpah ini akan diteruskan kepada setiap keturunanya.

Saat itu panglima-panglima yang haus akan kemenangan berkompetisi untuk mendapatkan keris-keris itu tanpa mengindahkan konsekuensinya. Hingga terpilihlah ketiga panglima yang akan dikirim ke perang akhir dengan bersenjatakan keris itu.

Ketika sudah diwariskan, Keris itu diisi sosok makhluk yang tidak diketahui asalnya dari mana. Namun setiap pemegang keris pusaka itu mendapat kuasa untuk memerintah pengikut dari sosok mengerikan yang mendiami keris itu.

Keris Benggolo Ireng dan Keris Benggolo Abang dapat diwariskan dengan sumpah dari pewarisnya. Namun salah satu panglima penerima Keris Benggolo Lanang mati di malam saat keris itu akan diterima.

Anehnya saat akan dipindah tangankan, sosok roh panglima yang gagal menerima keris itu selalu menghalangi siapapun mendapatkan kekuatan keris itu. Mungkin itu yang membuat keris benggolo lanang tetap netral tidak seperti kedua saudaranya.

Walaupun begitu kedua panglima tetap dengan mudah bisa mengalahkan lawan-lawanya dan memenangkan berbagai perang. Namun saat perang sudah usai, kedua keris terkutuk itu tetap memaksa kedua panglima untuk membunuh.

Saat mereka tidak memenuhi janjinya, sosok penghuni keris itu akan mengambil alih tubuh mereka dan membunuh orang-orang terdekat dari kedua panglima itu.

Hal ini menyebabkan kedua panglima selalu mencari cara untuk memulai perang dengan kerajaan lain agar mereka terus bisa mendapatkan korban untuk keris yang mereka sesali untuk dimiliki.

Hingga pada akhirnya mereka berhadapan dengan salah satu kerajaan di wilayah setrageni dan berhadapan langsung dengan raja di kerajaan itu. Raja Indrajaya..

Raja Indrajaya yang sudah mengerti dengan kekuatan keris itu dan mempersiapkan cara untuk menahan kekuatan keris itu dengan bantuan pendekar kepercayaanya yang bernama Daryana dan bantuan dari Pangeran Kerajaan Darmawijaya pada saat itu.

Daryana dengan keris Rogosukmonya seorang diri bertarung dengan sosok penghuni kedua keris itu dan Pangeran Darmawijaya dengan Keris Dasasukmanya menghadapi kedua panglima.

Dengan bantuan mereka Pasukan Raja Indrajaya berhasil memukul mundur pasukan musuh dan menyegel kekuatan kedua keris dengan Warangka atau sarung keris yang dibuat oleh empu kerajaan.

Setelah mengetahui keris itu berhasil disegel kedua panglima menyerah tanpa syarat seolah merasa lega terlepas dari sumpahnya. Sayangnya ternyata tidak semudah itu.
Sumpah kedua panglima itu terus dibawa hingga anak dan cucunya.

Hingga salah satu dari mereka menemukan keberadaan keris itu dan beringinan untuk menggunakanya.

“Abah tahu keberadaan warangka yang digunakan untuk menyegel keris itu?”Tanyaku.

Abah menggeleng. Wajar saja, benda itu sudah ada lebih dari ratusan tahun yang lalu. Berarti mungkin kami harus mencari cara lain untuk menyegel atau memutihkan keris itu.

“Saat ini pasti sudah ada banyak korban di desa asal Indira dan keluarganya” Ucap Abah yang dibalas dengan wajah gelisah cahyo.

“Lantas bah, kalau sumpah itu diturunkan untuk apa mereka mengincar Indira? Bukankah itu artinya mereka tidak punya keturunan lagi untuk mewariskan sumpahnya?” Tanya Dirga.
Ucapan Dirga benar, mengapa mereka ingin membunuh indira?

“Mungkin, mereka ingin melahirkan pewarisnya sendiri..” Ucap Jagad.

“Maksud Mas Jagad?” Tanyaku.

“Saat ini pewaris mereka sudah tidak ingin menggunakan keris itu lagi dan mencari cara untuk menyegelnya.

Seandainya makhluk penghuni keris itu merasuk pada pewaris, memilih pasangan, dan melahirkan pewarisnya sendiri, sumpah itu tetap berlaku walaupun pewarisnya bukan sepenuhnya manusia” Jelas Mas Jagad.

Gila, bahkan makhluk seperti itupun bisa punya niatan seperti ini. Bila ucapan Mas Jagad benar, berarti wajar saja bila makhluk penghuni keris itu ingin menghabisi semua pewaris terakhirnya.

“Abah, Apa keris yang Dirga dapat itu adalah keris Dasasukma?” Tanya Dirga yang segera diiyakan oleh Abah.

“Mas Danan adalah pewaris Keris Ragasukma, sedangkan aku pewaris Keris Dasasukma.. apa dengan ini kita bisa menghadapi secara langsung pengguna keris itu?” Tanya Dirga.

Abah menggeleng.
“Tidak semudah itu Dirga, ini bukan sekedar adu pusaka.. kamu juga harus memiliki ilmu dan siasat. Seandainya kalian menangpun keris itu tetap tidak bisa dihancurkan dan akan mencari empu lainya” Jelas Abah.

“Berarti kita harus mencari cara untuk menyegel atau memutihkan keris itu sepenuhnya” Ucap Jagad menarik kesimpulan.

“Ngapunten, maaf Abah, Mas Jagad.. saya percayakan mencari petunjuk soal itu pada Danan dan kalian. Saya khawatir dengan Guntur, Indira, dan desanya.” Jawab Cahyo dengan wajah gelisah.

Itu memang sudah sifatnya yang tidak bisa tenang saat ada masalah yang berhubungan dengan orang lain.

“Oh Iya Mas Cahyo, segera berangkat saja.. kalau ada informasi apapun akan kami kabari” Ucap Abah.

“Jul.. Pokoknya hati-hati, jangan gegabah. Pastiin ponselmu aktif terus” Ucapku mengantarkan cahyo keluar.

“Iyo nan, kowe yo hati-hati.” Ucapnya sambil menepuk pundaku dan segera pergi dengan menaiki motor tuanya. Terlihat dengan jelas raut muka khawatir di wajahnya.

Setelah mengantarkan Cahyo aku kembali ke rumah dan melanjutkan pembicaraan kami tadi.

“Sementara Cahyo menemui Indira, apa yang bisa kita perbuat Bah?” Tanyaku.

“Dulu pernah ada seorang dukun yang mencoba mengirimkan ilmu hitam ke desa ini, ternyata dibalik dukun itu ada pewaris keris Benggolo ireng yang mencoba mencari tumbal dari desa ini.. kalau tidak salah namanya Sumar” Cerita Abah.

“Terus Bah, berarti Abah pernah menghadapi keris itu?” Tanyaku.

Abah menggeleng dan menghela nafas. Ia mencoba menceritakan dengan lebih rinci.
Menurut cerita Abah seseorang bernama Sumar itu meminta bantuan seorang dukun untuk melepas segel keris itu.

Sebagai syarat permintaan itu dukun itu membutuhkan tumbal dan sosok roh yang penuh dendam untuk memancing makhluk di dalam keris itu.

“Bodohnya Abah baru sadar desa ini memiliki itu semua, ada sosok roh penuh dendam di desa ini” Ucap Abah.

“Di Pabrik Tahu itu?” potong jagad yang sepertinya mengerti dengan arah ucapan Abah.

“Benar.. Saat itu Abah berhasil menggagalkan niatan dukun itu untuk mencari tumbal dari desa, namun yang Abah lewatkan sepertinya dukun itu seperti berhasil mengikat perjanjian dengan roh di sana” Lanjut Abah.

“Berarti ada kemungkinan benda yang digunakan untuk menyegel keris itu masih ada di Pabrik tahu itu bah?” Tanyaku.

“Mungkin saja, tapi apakah benda itu masih berfungsi Abah juga tidak tahu” Jelasnya.

“Mas Jagad, bisa bantu saya untuk meminta ijin ke pemilik pabrik itu? kita kesana malam ini..“ Ucapku.

“Bisa Danan, sebaiknya kita bersiap.. walau di siang hari pabrik itu terlihat biasa saja, saat malam hari suasana disana akan berubah drastis” Ucap Mas Jagad.

Dari perbincangan ini aku dan Mas Jagad memutuskan untuk menghampiri pabrik tahu dan mencari keberadaan benda yang pernah menyegel Pusaka Keris Benggolo Ireng itu sementara Dirga dan Abah mencari tahu tentang keris yang baru ia dapat yang mungkin akan berguna nanti.

***

Waktu menunjukan pukul delapan malam. Terlihat lampu-lampu di pabrik tahu ini masih menyala menandakan masih ada karyawan yang bekerja.

“Punten, Mang Toha.. maaf malah jadi ngerepotin” Ucap Mas Jagad pada Mang Toha yang sudah menunggu kami di luar.

“Nggak papa mas, sekalian Mang Toha juga pengen tahu ada apa sama pabrik ini” Ucap Mang Toha.

“Hatur nuhun lho mang, nanti segera saya cari tahu.. saya ijin untuk memeriksa halaman dulu, nanti saya periksa yang di dalam kalau karyawan sudah pulang saja” Balas Mas Jagad lagi.

“Sok Atuh, kalau ada apa-apa panggil Mang Toha saja di dalam ya”

Kami berterima kasih pada Mang Toha dan berpisah untuk memulai pencairan. Secara sekilas saja sudah terlihat dengan jelas ada sesuatu yang tidak beres di pabrik tahu ini.

Dari penglihatan kami, bangunan ini dipenuhi oleh berbagai macam roh dan berbagai jenis jin seolah tempat ini memang wilayah mereka sejak dulu.

Namun sepertinya tidak ada niatan jahat dari makhluk-makluk ini selain satu sosok yang kurasakan keberadaanya namun tidak dapat kutemukan sosoknya.
Cukup lama kami mencari petunjuk namun hampir tidak menemukan apapun selain keberadaan makhluk penunggu pabrik ini.

Sesekali aku dan Mas Jagad membacakan doa untuk mereka berharap mereka bisa tenang atau setidaknya tidak mengganggu karyawan disini.

“Mas Jagad, Mas Danan.. kesini ngopi dulu” Panggil Mang Toha.

Tanpa menunggu lama kami segera menghampiri Mang Toha dan menikmati kopi yang disuguhkan oleh Mang Toha.

“Gimana Mas Jagad, ada hasil?” tanya Mang Toha.

“Belum mang, makhluk-makhluk di tempat ini sepertinya memang penunggu asli tempat ini. Tapi ada sesuatu yang membuat mereka terganggu hingga menampakan diri.” Jelas Mas Jagad.

“Mas Jagad tahu? Apa yang membuat mereka seperti itu?” tanya Mang Toha.

Aku mengingat sosok yang kurasakan tadi, samar-samar aku juga melihat sosok seorang perempuan dengan baru berwarna merah.

“Apa karena sosok roh perempuan itu?” tanyaku pada Mas Jagad.

“Maksud Mas Danan roh perempuan apa?” Tanya Mang Toha memastikan.

“Ningsih.. Mang Toha masih ingat tentangnya, tetangga satu desa Dirga dan Abah juga” Jelas Mas Jagad. Ternyata itulah nama sosok yang mengganggu inderaku selama di tempat ini.

“Iya, Mang Toha ingat... tapi ada apa tentang Ningsih?” Mang Toha semakin penasaran.

“Ia meninggal dengan membawa dendam, saya belum mengetahui secara pasti namun sepertinya ada hubungan dengan garis keturunan Pak Wijaya Kartakusuma dan harus garis keturunanya lah yang menyelesaikanya” Jelas Mas Jagad.

Mang Toha sedikit berpikir, sepertinya ia juga mengetahui sesuatu tentang ucapan Mas Jagad.

“Maaf Mang Toha, memangnya sosok roh ningsih itu sering muncul dimana” Tanyaku yang belum menyerah untuk mencari petunjuk.

“Oh iya Mas, pernah ada karyawan yang melihat sosok roh ningsih di dekat tumpukan kayu di samping pabrik. tapi punten Mang Toha tidak tahu apa yang kalian cari ada disana” Jelas Mang Toha.

Aku dan Mas Jagad saling menatap dan segera menghabiskan kopi ini untuk mengecek ke tempat ini, kali ini Mang Toha menemani kami menuju tumpukan kayu ini.

“Mas Jagad ngerasain sesuatu?” Tanyaku.

Mas Jagad menggeleng, namun ia mengambil dan memandangi sebuah tali yang terlihat berbeda dari tumpukan tali lainya di tempat itu.

“Mang Toha, seandainya Mang Toha tahu sesuatu, sebaiknya segera beri tahu ke keluarga Pak Jaya yang bisa dipercaya. Sosok roh seperti ini akan mudah dimanfaakan oleh dukun atau roh jahat.” Ucap Mas Jagad tiba-tiba.

Ia menggeser beberapa tumpukan kayu dan menemukan sebuah lubang yang tertutup oleh tanah dan berbagai benda secara berantakan. Tanganya merogoh lubang itu dan mengeluaran sebuah benda menyerupai kain kafan lusuh, ia merogoh lagi dan menemukan beberapa benda seperti tulang belulang hewan pengerat, hingga akhirnya tangan Mas Jagad keluar dengan menggengam benda seperti pecahan warangka atau sarung keris.

“Danan! Ini!” Mas Jagad menunjukan temuanya itu.

“Iya mas, benar! Ini yang kita cari.. pantas saja kita tidak bisa merasakan benda ini. sepertinya dukun itu menggunakan ritual dan benda-benda khusus untuk menyembunyikan keberadaan benda ini dan agar benda ini kehilangan kekuatanya secara perlahan”

Aku mencoba mengutarakan pendapatku sementara Mas Jagad terus mengumpulkan pecahan warangka yang samar-samar memancarkan kekuatan putih walau mulai melemah.
Aku mengambil sepotong kain dari tas yang telah kupersiapkan dan mengumpulkan pecahan itu.

“Mang Toha, sebelumnya ada seorang dukun yang memanfaatkan kekuatan hitam dari dendam Ningsih untuk memancing keluar sosok berbahaya dari keris yang disegel oleh benda ini, Mang Toha harus berhati-hati, bisa jadi hal ini akan terulang lagi” Ucap Mas Jagad.

“Terus kami harus bagaimana Mas Jagad?” Tanya Mang Toha.

“Saya akan cari tahu, tapi sebelumnya ada masalah yang cukup besar yang harus kami tangani. Tapi seperti yang saya bilang hanya garis keturunan Pak Jaya yang bisa menghentikan permasalahan di pabrik tahu ini.

Untuk sementara kami sudah mendoakan roh di tempat ini, setidaknya mereka tidak akan melukai karyawan walau sering menampakan diri” Ucap Mas Jagad.

“Baik Mas Jagad, saya akan coba sampaikan.. terima kasih banyak mas” Ucap Mang Toha.

“Kami yang berterima kasih mas, kami mendapatkan petunjuk baru dari permasalahan kami disini” Jawabku.

Tak lama setelahnya kami segera pamit dan meninggalkan Pabrik Tahu itu. Pabrik Tahu milik keluarga Wijaya Kartakusuma yang masih menyimpan banyak misteri.

Namun kami percaya, pasti akan ada seseorang dari keluarga itu yang mampu memecahkan misteri itu.
Sesampainya di rumah kami menunjukan pada Abah benda yang kami temukan dan memastikan bahwa itu adalah benda yang pernah menyegel Keris Benggolo Ireng.

Sayangnya kondisinya sudah tidak memungkinkan untuk melakukan tugasnya seperti sebelumnya.
Ditengah kebingungan kami, aku berkonsultasi pada paklek dan mendapatkan jawaban yang tidak terduga darinya.

Ia memberikan alamat sebuah tempat di dekat lembah dan memintaku menemui seseorang bernama Mbah Jiwo dan menyerahkan benda itu padanya.

Entah siapa orang itu, setidaknya jika paklek percaya denganya mungkin ia bisa membantu kami untuk mendapatkan cara menyegel Keris Benggolo Ireng dan segera menyusul Cahyo yang pasti sedang kerepotan di desa Guntur.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close