KEMBANG LARUK (Part 4) - Mulih Siji Ninggal Papat
Ji, ro, lu, pat,
Muleh siji, ninggal papat..
Koco berlari sembari kedua tangannya menarik celananya, ia menuju ke tempat Riski dan yang lain sedang berada, sontak semua orang menutup hidung, tapi Koco segera mengelak dia bilang kalau meskipun dia baru saja membuang air tapi tidak sebau itu sampai kalian semua menutup hidung.
Sayangnya tidak ada yang menggubris apa yang dikatakan oleh Koco, mereka menutup hidung bukan karena bau taik dari pantat Koco tapi dari bau aroma yang keluar dari badan sosok besar tinggi berwarna hitam yang membuat Riski merasa badannya menggigil.
Benar, kalau sejak tadi Riski mencium bau yang wangi seperti kasturi, maka bau yang keluar dari badan mengerikan dari sosok pocong yang ganjil ini sangat busuk, lebih busuk dari bangkai mayat sembilan belas hari, bahkan Lika sampai mengalihkan pandangannya.
Anehnya tak lama kemudian Koco baru mencium bau itu terlihat dari gestur wajahnya yang bingung. "Cok, ambune opo iki? moso teko silitku?" (cok, bau apa ini? masa dari pantatku?)
Hal ini juga terjadi pada Andris, kecuali Riski, Lika, si pemuda asing dan tentu saja Puteri.
Saat itulah Riski baru saja menyadari kalau baik Koco atau Andris mereka tidak bisa melihat sosok mengerikan yang jauh berdiri diantara dua pohon yang sangat besar di depan mereka.
Disini Riski melihat Puteri yang kemudian berjalan mendekat, gadis itu mendekati sosok itu.
Lika mendekati Riski yang disorot oleh yang lain, "mari ngene ewangono aku goleki mbak-ku yo" (setelah ini bantu aku nyari mbak-ku ya)
Riski hanya mengangguk, saat itu riski masih belum mengerti sama sekali, tujuan dari pendakian ini karena nampaknya semua mulai kabur.
Dari bisikan itu, Lika lalu menuju ke tempat Andris, dia mengatakan sesuatu kepada anak itu yang tak lama kemudian berbicara dengan Koco.
Riski sempat melihat Koco menolak keras apa yang Andris katakan tapi kemudian wajahnya yang tegas tiba-tiba melunak saat Andris menjelaskan sesuatu
Setelah cukup lama mereka menunggu Puteri kembali, akhirnya yang ditunggu-tunggu datang, Puteri berjalan ke tempat Lika dan Riski lalu menjelaskan semuanya, dibalik sanalah jalan menuju ke tempat beliau, tapi.. semua orang diam, menunggu Puteri mengatakan..
"Kabeh Pangukuk sing nang ndukur gunung, kepingin kembang laruk sing kene gowo, termasuk sing ngerabeni mbakmu" (semua penunggu yang di atas gunung, ingin mendapatkan kembang laruk yang kita bawa, termasuk yang menikahi kakakmu)
Puteri mengatakan itu dengan senyuman yang menakutkan.
"Kabeh?" tanya Lika sedikit terkejut,
"Iyo kabeh, jare.." Puteri melihat ke sosok yang hanya berdiri saja melihat mereka, "koen eroh lah sopo sing tak maksud"
Wajah Lika yang sepenuhnya percaya diri tiba-tiba menjadi pucat, Riski tahu kalau ini diluar rencana Lika.
"Mari ngelewati iku, koen bakal nemoni kampung sing tak maksud, munggah berarti kudu siap nerimo kabeh, tapi" (setelah melewati itu, kita akan melihat kampung yang ku maksud, naik berarti harus siap menerima semua, tapi) Puteri melihat pemuda yang dibelakang "akeh sing gak mbalik"
Lika mengangguk, dia sudah berjalan sejauh ini, mundur atau kembali tidak ada dalam kamusnya, diapun segera menyanggupi yang disambut oleh sosok yang ada di tubuh Puteri dengan senyuman yang semakin sumringah, sedangkan Riski tiba-tiba merinding luar biasa.
Malam itu ditengah hujan yang turun, Andris dan Koco berdiri menjauh, sementara Puteri berjalan lebih dulu diikuti Lika dan Riski, sementara si pemuda berjalan terakhir, seperti yang Lika katakan, Andris dan Koco berhenti sampai disini.
Sedangkan empat yang lain melanjutkannya.
Belum pernah rasanya Riski mencium aroma yang sebusuk ini saat dia berjalan mendekati sosok yang benar-benar luar biasa besar, konon Puteri memanggil sosok itu dengan Nyepuh, yang paling di tuakan, Puteri atau sosok yang di dalam puteri juga sempat menanyai Riski, apa yang dia ketahui tentang gunung dan semestanya?
Riski menjawab untuk mendaki dan melihat apa yang ada di bawah mereka sebagai ucap syukur, dan sosok yang ada di dalam tubuh Puteri tersenyum,
"Pengetahuanmu soal gunung iki cilik yo le, nang gunung onok sing gak bakalan koen ngerti" (pengetahuanmu tentang gunung ternyata kecil ya, di gunung ada sesuatu yang bahkan kamu tidak akan pernah mengerti)
Mereka semua melewati jalan setapak yang diapit pohon tempat sosok pocong hitam yang berbau busuk itu berdiri, disekitarnya nyaris ratusan bahkan ribuan pocong-pocong lain mengawasi keberangkatan mereka, atau mungkin kepergian yang tidak akan menemui jalan pulang.
Kalau pernah mendengar di pedalaman jauh di dalam alas, di atas tanah yang terus naik, fajar seharusnya tiba tapi disini, saat kaki itu berpijak di atas bebatuan berlumpur dengan banyak sekali pohon dan semak belukar saat itulah, Riski sadar, di tempat ini pagi tidak pernah ada
Udaranya begitu dingin nyaris menusuk tulang, sejauh mata memandang rumput setinggi mata kaki diinjak basah, banyak sekali akar pohon meliuk sepanjang perjalanan, suara gemerisik daun saat tertiup angin menambah atmosfer kalau Riski sudah berada di satu tempat yang lain..
Lika yang pertama bertanya, "nang ndi mbakku Ris?"
Riski tentu saja bingung, dia tahu Lika membawanya kesini untuk ini, untuk mencari kakaknya, tapi Riski benar-benar tidak tahu bagaimana cara menemukan kakak Lika yang wajah dewasanya saja belum pernah dia lihat, tapi...
Sayup-sayup dari sela-sela pohon Riski melihat banyak sekali sosok manusia yang saling mengintip, saat Riski melihatnya wajah itu akan bersembunyi, saat Riski tidak melihatnya wajah itu mengintip, anehnya nampaknya hanya Riski yang tahu perihal ini..
Semakin banyak pohon yang ada disekitar Riski, semakin banyak sekali wajah-wajah manusia, laki-laki, perempuan, nenek-nenek, anak-anak, mereka semua mengintip dan bersembunyi sembari melemparkan suara tertawa kecil yang membuat bulukuduk berdiri..
"Le, coba mok rasakno, coba mok amboni ambune arek iki.. koen kroso gak onok sing liane nang kene?" (nak, coba dirasakan, coba kamu cium aroma anak ini, kamu merasakan apa gak ada yang seperti dia disini?) Puteri bertanya,
Riski menggelengkan kepalanya, dia tidak mencium apapun.
Lika lalu membuka isi tasnya, ia berniat mengambil sesuatu yang ada di dalamnya, tapi sosok Puteri memberi peringatan, "ojok sek, gak usah mekso mergo nang kene kabeh isok eroh, entenono diluk engkas.." (jangan dulu, gak usah memaksakan diri karena disini semua bisa melihat, tunggu sebentar saja)
Tapi dasarnya Lika sudah tidak perduli, di tangannya ada kain yang dilipat, si pemuda nampak terkejut saat melihat kain itu namun dia hanya diam saja, sementara Riski sejak tadi mendengar suara-suara dibalik pohon benar-benar menertawainya, tempat ini membuatnya kehilangan keseimbangan, pikirannya seperti pelan-pelan dimakan dan dibuat kacau. Tapi Riski masih sadar, dia melihat kain putih yang ada di tangan Lika, saat lipatan kain itu di buka, Riski melihat dua butir gigi rahang.
Wajah Puteri nampak melotot, meskipun dia tidak berkata apa-apa tapi raut wajahnya nampak menolak ide ini, sedangkan pemuda asing itu bersikap sama seperti Puteri membuat Riski bertanya-tanya mau apa dengan dua butir gigi rahang itu, apa yang mau Lika lakukan dengan itu..
"Koen wes tau mati suri too.. aku oleh ndelok untumu?" (kamu sudah pernah mati suri kan.. aku boleh lihat gigimu?)
Sosok Puteri kemudian sekali lagi mencoba menenangkan Lika, "nduk ojok ngene, koen gak ngerti opo sing mok lakoni!!!" (nak jangan begini, kamu gak tau apa yang kamu lakukan)
Tapi Lika kemudian berkata, "koen mek dikirim karo wong iku, menengo ae, iki urusan mbakku, tugasmu mek ngeterno aku tok" (kamu dikirim sama orang itu, diam saja, ini urusan keluargaku, tugasmu cuma mengantar)
Sosok Puteri pun diam, ia lalu menyeringai..
Wajahnya nampak menahan kesal pada Lika, pemuda itu juga memilih diam, dari semua orang Riski yang masih melihat wajah-wajah mengintip itu lalu mendekati Lika yang sekarang berdiri di depan wajahnya, menyuruh Riski membuka mulutnya, tangan Lika lalu memeriksa satu persatu bagian gigi
"Gak onok e mbakyu sing tanggal" (gak ada e mbak yang lepas) teriak Lika seolah memberitahu Puteri dan pemuda yang ada di belakang Riski, namun Riski sadar jika Lika seperti berpura-pura pun dengan yang lain yang hanya melihat, dan benar saja, tiba-tiba dengan gerakan tangan yang cekatan
Lika memasukkannya begitu saja dua butir gigi itu kedalam mulut Riski lalu menahan bibirnya saat Riski kemudian menelannya bulat-bulat, Riski tentu saja terkejut dengan apa yang baru saja Lika lakukan sehingga reflek tangannya memukul Lika tepat dibagian wajahnya, menghajarnya..
Iya, Riski memukul wajah Lika berkali-kali seperti orang yang kesetanan, apa yang baru Lika lakukan seperti kelewat batas, tapi mendadak kepala Riski seperti dihantam dengan balok kayu, sakit, sakit sekali, Puteri dan yang lain tidak mencoba menghentikannya, Riski hanya tau, wajah Lika berdarah-darah tapi gadis itu masih sempat tertawa dengan mulut bersimbah darah, saat semuanya mulai temberam, Riski sudah jauh dari mereka--jauh--jauh sekali, karena dia mencium aroma yang dia suka, aroma tubuh Lika yang kuat, tapi Riski tahu itu bukan Lika..
Riski sudah berlari sendirian sejak tadi dan sejauh riski berlari, Lika dan yang lain tidak bisa mengerjarnya, Riski hanya mengikuti aroma itu.. bau insting yang menuntunnya, saat Riski sadar dia sudah sendirian di tempat ini, jauh masuk ke dalam hutan yang lebih dalam,
Riski melihat kesana-kemari, tapi tidak ada siapapun, hari gelap tapi gelapnya seperti saat surup, dimana langit masih kebiruan dan di bawah pohon yang sangat tinggi Riski lalu mendengar orang-orang berkerumun di atas jalan setapak dengan derap kaki yang cepat,
Riski yang pucat kemudian datang memeriksa keatas bukit dengan rumput-rumput basah, dia pikir dia bisa meminta tolong derap langkah orang itu, Riski masih tak memahami tempatnya sedang berdiri dan benar saja seperti yang dia duga, tak jauh dari tempatnya ada segerombolan orang..
Mereka berjalan berkerumun, menggunakan kaos oblong putih tanpa alas kaki, menapaki setapak demi setapak jalan yang menurun, Riski bersyukur dia tidak harus sendirian, maka cepat-cepat ia mendekat menuju ke gerombolan orang itu yang rupanya melantunkan sesuatu yang dia kenal,
Ditengah-tengah rombongan ada empat sampai enam orang menandu sesuatu seperti kotak panjang, tinggal beberapa langkah lagi, jarak mereka tidak terlalu jauh, Riski berteriak sambil memanggil-manggil orang-orang itu, saat Riski mulai menyadari kalau rombongan orang itu sedang menandu keranda mayat, saat itulah Riski berhenti dan menghentikan langkahnya, sorak-sorai lantunan doa saat mengangkat mayit seketika Riski sadari namun terlambat sudah karena rombongan orang itu kemudian berhenti, sebelum menoleh bersama-sama melihat kearah Riski,
"Bajingan" umpat riski, menyadari jika yang ada dihadapannya adalah rombongan laki-laki berwajah pucat dengan luka seperti orang yang jatuh dari ketinggian, beberapa bola matanya tidak ada di wajahnya, tapi ada satu kesamaan diantara semua laki-laki ini, mereka menjulurkan lidah yang sangat-sangat panjang sambil berujar kepada Riski, "monggo, tasik enten enggon kangge njenengan" (silahkan, masih ada tempat untuk anda)
Riski pun tunggang langgang berputar arah sambil melihat rombongan itu mengamatinya. Riski tahu kalau tempat ini dipenuhi oleh semua yang dimaksud oleh Puteri.
"Pengetahuanmu soal gunung iku cilik yo" (pengetahuanmu soal gunung itu masih sedikit ya)
Riski terus dan terus berlari, dia tahu di atas gunung memang masih banyak sekali hal-hal yang tidak dia ketahui, termasuk apa yang baru saja dia lihat dan segala jenis makhluk yang ada di dalamnya, namun, sekarang dia harus bagaimana kalau Lika dan yang lain saja sudah tidak ada..
Disela-sela langkah kakinya yang semakin tidak tentu arah, tiba-tiba dari kejauhan Riski melihat seseorang berdiri seperti menungguinya, Puteri.
Akhirnya Riski menemukan satu kawannya, atau mungkin tubuh kawannya yang entah dipakai oleh siapa.
"Uwes ketemu ambek Ayut-ayutan?" (sudah ketemu dengan iring-iringan?) tanya Puteri,
"Ayut-ayutan, biasane ngiteri gunung munggah mudun nganggo nggowo sukmone wong sing mati, awakmu eroh kan, nang gunung akeh wong sing mati" (iring-iringan, biasanya mengelilingi gunung, naik turun membawa sukmanya orang yang sudah mati, kamu sendiri tahu kan, di gunung banyak orang yang sudah mati)
Puteri mendekati Riski, menciumi aroma badannya, "wangi.. wangi temenan awakmu yo"
Jujur, waktu itu riski merasa tidak nyaman dengan kehadiran Puteri.
"Gak usah wedi, aku mek takon kok, menurutmu sing mati mau mergo opo yo gok ndukur gunung?" (gak perlu takut, aku hanya bertanya kok, menurutmu yang mati karena perkara apa ya di atas gunung?)
Riski tidak menjawab, Puteri masih menunggu.. namun jawaban dari pertanyaan itu kemudian ditunjukkan oleh Puteri, "sak iki sing gok ndukur podo mudun, sing gok ngisor podo munggah, mergo opo? mergo awakmu" (sekarang yang di atas semuanya turun, yang di bawah semuanya naik, karena apa? karena kamu)
Puteri kemudian menunjuk sesuatu di depannya, disana berdiri banyak sekali anak-anak sedang berdiri, puluhan atau mungkin lebih dari itu, mereka berdiri dengan kepala dililit kain hingga darah yang merembas keluar terlihat, "pertanyaanku mau jawabane, tumbal"
"Arek cilik sing mok delok gok ngarepmu iku mati perkoro tumbal, sak iki nang kene, iku nggone wong sing ngadek gok antara urip lan mati, koen eroh nek sing njupuk sukmone mbak e Lika iku sing manunggal, sing nyekel gunung iki, awakmu sek mikir isok urip?"
(anak kecil yang kamu lihat sekarang itu mati karena tumbal, sekarang disini itu tempatnya orang diantara hidup dan mati, kamu tau kalau yang mengambil sukma kakaknya Lika itu yang paling tinggi, dia yang memegang gunung ini, kamu masih berpikir bisa hidup?)
saat Puteri mengatakan itu tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara gending gamelan pergelaran seperti dimainkan dengan sangat meriah, kemudian anak-anak kecil yang kepalanya dililit dengan kain putih menunjuk keatas, Riski yang bingung menatap Puteri yang menyeringai, tak lama kemudian dia mengatakannya,
"Sing diomongno wes teko, kanggo jemput awakmu, kembang laruk sing wangine ngalah-ngalahi kembang suoko" (yang dibicarakan sudah datang, untuk menjemput dirimu, kembang laruk yang aromanya mengalahkan bunga Suoko)
Puteri melihat Riski, cara melihat gadis itu tak sama lagi, bibirnya menyeringai dengan posisi badan berdiri tegak sementara dibelakangnya barisan anak kecil yang setinggi pinggang orang dewasa, semuanya tertuju ke tempat Riski sedang berdiri..
Puteri kemudian menekuk satu kakinya seperti gerakan seseorang sedang bersiap menari, satu tangannya di atas kepala sementara tangan yang lain menekuk disamping pinggang, saat itu terjadi, puluhan atau ratusan anak kecil itu tiba-tiba menunjuk Riski yang tentu saja kebingungan.
Aroma yang belum pernah Riski cium tiba-tiba saja muncul sekelibat, dan itu adalah aroma yang sama seperti aroma pada selembar kain yang diberikan oleh Lika.
Sepertinya.. Riski tau kemana dia harus pergi, iya. Semua pemandangan mengerikan itu seperti merujuk pada satu hal,
"Bade ten pundi le.." (mau pergi kemana nak..) kata Puteri, suara gadis itu sudah berubah total, kali ini terdengar tipis tapi terasa begitu mengancam, Puteri menggedek-gedekkan kepalanya,
"Ket awal koen iku janne ojok gelem munggah nang gunung le.. mergo," Puteri tersenyum,
(sejak semula kamu itu seharusnya jangan mau naik keatas gunung nak.. karena..)
"karena.."
Dari ujung mata Puteri keluar sesuatu, seperti cairan berwarna merah kehitaman, Puteri juga menunjukkan gigi-giginya yang terlihat saling bergemeletak, darah keluar dari celah-celah gusi..
"Sing wes munggah, opo meneh nggowo Kembang Laruk iku gak iso muleh" (yang sudah naik, apalagi kalau sudah membawa Kembang laruk gak bisa pulang)
Puteri tertawa, ekspresi wajahnya seperti seseorang yang sudah kehilangan akal, Riski juga merasakan ada yang ganjil dengan tubuhnya.
Bagian daging gadis itu seperti menyusut sampai sela-sela tulang di bawah lehernya nampak menonjol, ada sesuatu yang terjadi dengan gadis itu, hanya Riski tidak tahu apa itu.
Tapi yang paling gila dari semua itu ialah, Puteri kemudian menggaruk wajahnya, ia terus melakukannya.
Awalnya hanya garukan kecil sambil terus tertawa seperti orang yang sudah sinting, semakin lama semakin keras, warna kemerahan kemudian mulai timbul di pipi dan bagian bawah matanya, tapi Puteri terus menggaruknya, dia garuk dan terus dia garuk,
Seluruh badannya juga semakin menyusut hingga di titik, badan Puteri yang sebelumnya berisi kini seperti tulang kering, dia kini berdiri dengan leher yang kesusahan menahan batok kepala setelahnya barulah tawa itu pecah dan Puteri memuntahkan seonggok daging keluar dari mulutnya, tak hanya sekali, tapi berkali-kali dan setiap kali benda berlendir itu keluar, anak kecil yang ada di belakangnya seperti membentuk gerakan tangan orang yang menyembah, Riski yang melihat itu bingung antara apakah dia harus lari atau membantu Puteri yang dari ekspresi wajahnya nampak sedang putus asa.
Tapi seiring apa yang Puteri lakukan, Riski menyadari sesuatu, gerak gerik mata Puteri, diikuti lehernya yang mulai kembali normal, gadis itu seperti memberi tanda agar Riski segera pergi meninggalkan tempat ini.
Hanya saja Riski masih bimbang untuk melakukannya.
Saat itulah, Riski kemudian melihat masing-masing dari dua jari Puteri merogoh masuk ke dalam mulut, sementara mata Puteri melihat keatas.. tersiksa, ada sesuatu yang akan dia ambil, sesuatu yang paling dia ingin keluarkan, sekujur pada bagian leher menunjukkan urat yang menonjol,
Riski bisa melihat jika gadis itu kesakitan, gadis itu benar-benar tersiksa dengan sesuatu yang sedang dia pikul, sementara sesuatu yang berwarna hitam panjang dan menyerupai sulur rambut mulai terlihat, tapi sebelum Riski tahu apa itu, Riski dikejutkan dengan sesuatu yang menyentuhnya
Riski menoleh mendapati jika satu tangannya digenggam oleh tangan kecil dari salah satu anak yang entah kapan tiba-tiba sudah berada di sampingnya, Riski terhenyak sepersekian detik sebelum anak itu tiba-tiba membuka selembar kain yang menutupi kepalanya, sembari berujar..
"MLAYUUUOOOOOOOO!!!" Dosoh, wes teko!!"
Riski menjerit saat melihat kepala anak itu yang mana bagian batok kepalanya terbelah tapi tak terpisah, satu mata anak itu sudah hilang, Riski seketika merinding tapi itu belum seberapa karena tiba-tiba saja anak itu memelintir kepalanya,
Iya. Riski melihat bagaimana leher anak yang masih kecil itu memutar dengan sendirinya hingga tulang yang ada di bawah leher menyembul keluar dan itu terjadi karena sesuatu yang ada di belakang Puteri, benar, Riski melihat dari sudut mata, yang mana saat ini Puteri sedang bersimpuh,
Puteri tertawa tapi bukan suara tawa yang seperti tadi, suara tertawa yang seperti sedang meremehkan, bukan meremehkan Riski tapi meremehkan sesuatu yang lain, di ana Puteri juga bicara meskipun suaranya sedikit tertahan, "ojok ndelok!! ojok ndelok sek, nek aku ngomong mlayu,,mlayu"
"Jangan di lihat!! jangan di lihat dulu, kalau aku bilang lari.. lari!!"
Riski hanya bisa mematung sembari menelan ludah, dan suara itu timbul, Riski tahu ada aroma yang seperti aroma badan saudara Lika, hanya saja tersamar dengan bau lain, "gak popo le, aku too sing digoleki" (gak papa nak, aku kan yang dicari)
Suaranya ini jauh lebih mencekam dari suara apapun yang pernah Riski dengar, suara seperti wanita tapi sedikit lebih berat.. Riski sebenarnya ingin melihat bentuk dan wujud dari sosok itu, dia bilang dia yang Riski cari, atau yang Lika cari..
Puteri masih tertawa getir sebelum mulai menangis sesenggukkan, "salah!! iki salah!! iki salah" kata Puteri saat Riski tidak bisa melihatnya karena sosok itu masih berdiri di belakang Puteri, ia berujar meskipun tidak tahu pada siapa dia sedang bicara,
"Kabeh sing gok nduwur iki sak jane ancen gak oleh di delok ambek menungso, nang nduwur gunung iku bedo karo gok nduwur lemah biasa" (semua yang ada diatas ini ternyata memang tidak boleh di lihat oleh mata manusia, di atas gunung itu berbeda dengan di atas tanah biasa"
"Mari ki.. mari ki.." (sebentar lagi.. sebentar lagi..)
Riski kemudian melihat anak kecil yang memenuhi tempat ini, masing-masing dari mereka mulai bergerak, satu tangan mereka mulai di atas kepala, sementara suara tangis Puteri masih terdengar meskipun semakin lama semakin lemah
Saat itulah, Puteri kemudian menjerit dan dari sudut mata Riski, Puteri menoleh kebelakang, itu juga menjadi bagian terakhir sebelum Riski berlari meninggalkan tempat itu.. tanah, pohon, langit, semuanya terasa hambar, dan Riski sempat melihat wujud kepala wanita tanpa wajah..
Riski menembus apapun yang ada di depan, yang ada di belakang tadi memang tercium seperti saudara kembar Lika, tapi yang tidak disadari aromanya berbeda dengan yang sekelibat lewat tadi, Riski berpikir jika yang dibelakang bukan yang benar-benar dia cari, tapi bagaimana bisa aroma mereka nyaris mirip, saat itu Riski teringat dengan apa yang di lakukan oleh Andris kepada Puteri, apa mungkin sejak awal, Andris salah mbubat, Puteri salah membawa siapa yang seharusnya dia bawa, tapi di tempat yang nyaris selalu membuat sekujur badan Riski merinding,
Dia kemudian melihat sesuatu yang lain di depannya, sesuatu yang sedang berdiri di samping pohon, sosok itu bersandar tangan pada pohon di samping tanah yang menapak naik, Riski terdiam sejenak sebelum menyadari celana yang dipakai oleh sosok itu.. Riski pun mendekati,
Melihat lebih dekat, sosok itu bertelanjang dada, dan bernafas lebih cepat seperti orang kelelahan, Riski terus mendekat karena jujur, dia sudah terpisah jauh dengan anak-anak yang lain, apalagi Puteri juga sudah bernasib seperti itu, jadi tidak ada yang tau lagi apa yang harus Riski lakukan... iapun mendekati sosok itu, nafasnya nampak memburu dan dia membelakangi Riski,
Selangkah demi selangkah Riski terus mendekat, dari cara berpijaknya Riski merasa mengenalinya, dan benar saja saat Riski melihat bahu dari sosok asing itu, Riski mengenalinya, tidak salah lagi itu adalah Priyo, bagaimana mungkin pada akhirnya Riski bisa bertemu lagi dengan Priyo
Cepat-cepat dia mendekat dan sosok itu nampaknya menyadari kalau ada yang sedang berlari mendekatinya, anehnya, Priyo tak kunjung berbalik, ia baru menyadari kehadiran seseorang saat Riski mulai menepuk bahunya, dan saat wajah sosok yang menyerupai Priyo itu menoleh menatapnya,.
Riski seketika terhenyak diam di tempatnya, karena Priyo rupanya sudah kehilangan matanya..
"Ku ambil mataku agar Njaweh gak mengejarku..."
Ujar Priyo yang kemudian tertawa terbahak-bahak..
BERSAMBUNG