Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KEMBANG LARUK (Part 5) - Bagian Akhir

Dulu, orang-orang saling membicarakan cerita pendakian ini, berawal dari satu mulut sampai ke mulut yang lain, mereka bilang yang naik ada 6 orang, tapi yang turun?

Hanya dia, saja.


Priyo tahu yang ada di dekatnya adalah Riski, meskipun pemuda itu belum mengatakan apapun, Priyo dengan tanpa bola mata benar-benar terlihat mengerikan, maksudnya orang macam apa yang bisa melihat hal itu di depan matanya, pantaslah kalau waktu itu Riski sempat ragu dan takut.

Tapi Priyo awe-awe, memanggil Riski dengan melambai-lambaikan tangannya, meski arah yang dia tuju berbeda dengan tempat Riski berdiri, melihat hal itu, Riski yang merasa kasihan pun juga penasaran, sebenarnya apa yang terjadi dengan Priyo, seberapa buruk Njaweh itu.

Ketika wajah Riski sudah berhadap-hadapan dengan Priyo, saat itulah pemuda itu meraba-raba wajah Riski seperti memastikan sesuatu, dengan nafas tersenggal-senggal, Priyo mengatakan, "Mlayu, mlayu mas.. kowe gak eroh Doso iku koyo opo, aku salah!! aku salah!! wes nuruti Lika!!"

Riski tentu saja bingung dengan maksud ucapan Priyo, kenapa anak ini tiba-tiba berubah sikap, kenapa dia menyuruhnya lari, kalaupun lari harus kemana dia, banyak sekali pertanyaan yang sekarang berkumpul di kepala Riski, sebelum dia mengatakan sesuatu yang membuatnya terkejut.

"Kaet awal, Lika iku wes gur pengen mati.. koen, aku mbek liyane, sak jane wes diapusi karo cah iku, gak onok keinginan arek iku nulung dulur'e, murni kepingin mati tapi arek iku sek dijeret karo omongan bapak e"

(dari awal, Lika itu sudah ingin mati.. kamu, aku dan yang lain, itu sudah dibohongi anak itu, gak ada keinginan anak itu pengen nolong saudarinya, murni hanya ingin mati tapi bapaknya masih memasrahi sesuatu kepadanya..)

Riski semakin bingung, kemana arah pembicaraan Priyo sebenarnya, kenapa sekarang orang yang paling pendiam sekarang jadi lebih banyak bicara, tapi Riski tidak bisa membuang perasaan simpati melihat kondisi Priyo yang benar-benar berantakan.

"Uwes, uwes, sak iki, ndi tanganmu, ayok nek kudu muleh, ayok muleh, aku kepisah karo liane.." (sudah, sudah, sekarang, kesinikan tanganmu, ayok kalau memang harus pulang, mari kita pulang, aku terpisah sama yang lain) ujar Riski mencoba membopong tubuh yang lebih besar dari dirinya.

Tapi Priyo benar-benar seperti orang yang sudah sinting, meskipun dia mengulurkan tangannya dan membuat Riski harus menahan bobot tubuhnya, mulutnya tidak bisa berhenti meracau, ia terus berbicara hal-hal yang buruk tentang Lika, tentang kenapa dia mau di bodohi anak yang lebih muda.

Dari sekian banyak kicauan dan omong kosong yang keluar dari mulut Priyo, Riski kemudian tertegun saat Priyo menyebut kalau sejak kecil, Lika diperlakukan buruk oleh bapaknya, sejak kecil saudarinya yang selalu di sayang dan dianggap anak, bahkan Priyo tahu sesuatu yang tidak banyak orang tahu. Satu rahasia kecil yang paling gelap dari latar belakang keluarga Lika.

Tapi Riski benar-benar tidak perduli, maksudnya dengan kondisi yang sudah terjadi, mendengar atau mengatakan hal-hal seperti itu apakah masih penting, yang harus mereka berdua pikirkan, hanya satu.

Cara untuk pulang, hanya itu saja.

Riski tidak pernah tahu kemana dia harus pergi, jadi dia hanya membopong tubuh Priyo di atas jalan setapak, menahan bobot tubuh orang ini benar-benar menguras tenaga, ketika sejengkal demi sejengkal tanah sudah mereka telusuri, saat itu juga entah kenapa Riski terbesit pikiran tentang wajah mbah Kung yang kali terakhir Riski melihatnya, orang tua itu tampak kecewa kepadanya.

Pikiran Riski tentang orang tua itu terus menerus muncul sepanjang perjalanan, sementara Priyo, di balik keburukan nasib yang sudah menimpanya, ia masih saja meracau tentang hal-hal buruk, hingga pada satu titik saat Riski masih berusaha sekuat tenaga membopong Priyo dengan susah payah, ia teringat dengan perkataan mbah Kung kepadanya.

"Ojok gampang percoyo karo kanca-kancamu" (jangan mudah percaya dengan teman-temanmu)

Riski seketika berhenti, iya, dia mendadak berhenti dan merasakan jika Priyo yang ada di sampingnya tampak berbeda, entah ini firasat atau apa, Riski merasakan sesuatu yang tidak beres.

Riski melirik satu tangan Priyo yang tersampir di bahunya, melihat ruas jari-jarinya, lalu menghitungnya satu persatu..

"Ji, ro, lu, pat, mo.." (tu, wa, ga, pat, ma)

Riski tercekat, dia pasti salah hitung, maka Riski kembali menghitung ruas pada jarinya sekali lagi..

"Ji, ro, lu, pat... mo"

Riski menelan ludah, lalu mendengar suara Priyo tertawa tepat di sampingnya.

Riski tahu, dia tidak boleh melihatnya, maka meskipun suara yang ganjil itu terdengar di telinganya, Riski membuang muka, dan tangan yang ada di bahu Riski lalu merengkuhnya, erat.. erat sekali, sampai Riski menahan sesak yang cukup sakit di bagian lehernya, dia tidak boleh melihatnya

Dilain pihak, Riski juga tidak tahu cara lepas dari sosok ini yang sekarang hanya bisa Riski gumamkan namanya, "Njaweh!!" "Njaweh" "Njaweh"

Belum pernah Riski merasakan keringat yang keluar dari keningnya terasa sedingin ini, sekujur badan Riski juga lemas,

Disudut matanya sebenarnya Riski sudah sangat ingin melihat wujud sosok ini, tapi bagian lain yang ada pada dirinya menolak, dia takut akan terjadi sesuatu yang mengerikan jika Riski melakukannya.

Hingga Njaweh atau apapun itu mengendus tubuhnya untuk kali kedua. sinting.

Bukan hanya diam, sebenarnya Riski sudah mencoba untuk melepas rengkuhan dari sosok yang kini membuat kepalanya menempel pada sesuatu yang terasa lembab, mungkin badannya atau hidungnya, Riski tidak tahu tapi yang jelas, aromanya wangi namun lembab, hanya itu yang Riski rasakan.

Sosok itu tak berbicara, layaknya nyai yang pernah Riski temui tapi kehadirannya benar-benar mengintimidasi, berbeda, jauh berbeda, apa memang benar semakin jauh dan tinggi gunung itu, penghuninya semakin ganas sampai seperti ini, bahkan Riski sampai terbesit untuk putus asa saja.

Sampai Riski mendengar sebuah kerikil jatuh atau dilemparkan kearahnya, awalnya Riski tidak menyadarinya tapi semakin lama, semakin sering bebatuan kecil itu, Riski masih direngkuh, dia, sosok ini begitu suka mengendus tubuh Riski seperti ada yang dia cari pada dirinya.

Di situ Riski melihat kaki, iya.. kaki orang telanjang dengan celana yang pernah Riski lihat,

Riski tidak bisa memastikan karena keterbatasan, lehernya tidak bisa memutar karena jika dia melakukannya pandangannya pasti menangkap bentuk Njaweh ini, tapi Riski tahu siapa yang berdiri

Entah apa yang sedang dia lakukan, tapi perlahan-lahan Njaweh melepaskan Riski, jadi Riski hanya bisa meringkuk, sesak yang dia rasakan kini perlahan hilang, tapi Riski tidak bisa menoleh, dia juga tidak bisa berbicara dengan orang itu, orang yang pernah membisik di telinga Riski.

Orang itu, orang yang meminta Riski kalau berhasil turun agar mengatakan kepada mbah Kung dimana jasadnya berada. Dia cuma minta agar jasadnya bisa pulang.

Riski yang sejak pertama tahu kalau orang ini bukan manusia, bahkan sejak di bangunan itu. Wanginya, berbeda, dan sekarang, dia sudah menolongnya.

Riski pun bergegas pergi, meninggalkan tempat itu dimana Njaweh pasti saat ini sedang melumat orang itu.

Awalnya Riski bisa lari, tapi lambat laun dia putus asa lagi, toh dia juga tidak kunjung melihat matahari, disini rasanya akan terus menerus gelap, bahkan saat Riski kemudian duduk di bawah salah satu pohon trambesi, Riski mendengar suara itu lagi yang sepertinya lewat tak jauh dari tempatnya.

Ya, para penduso itu yang sedang mengangkat keranda, benar. Disini pemandangan seperti itu sudah menjadi hal biasa, Riski pun rasa-rasanya tidak lagi perduli kalau harus mati disini. Dia tahu sejak awal sudah banyak yang memperingatkan, dasar manusianya yang bodoh.

Dan itulah saat dimana, Riski akhirnya melihatnya.

Benar, rasa susah, sedih, putus asa, semua campur aduk, Riski sudah menyiapkan dirinya untuk mati, tapi sekarang berdiri seseorang yang wanginya, wanginya dia cari, wangi dari bebauan paling wangi.

Riski melihat saudari Lika.

Si Kembang Laruk, dia yang sama seperti dirinya, sedang tersenyum, sedang mengulurkan tangan. Dia sepertinya meminta Riski agar mengikutinya.

Putus asa, tidak bisa pulang, tidak bisa kembali, Riski kemudian berjalan setapak demi setapak di bawah tinggi dan besarnya pohon trambesi, akasia dan jenis pohon apapun di atas ketinggian yang tidak Riski ketahui.

Cara gadis itu berjalan, anggun namun cepat..

Riski mencoba mengimbangi bagaimana gadis itu berjalan, tapi tampaknya si gadis tidak perduli, sesekali dia menoleh lalu tersenyum, manis, manis sekali, benar-benar seperti pinang dibelah dua, bahkan kalau ada orang mengatakan dia adalah Lika yang Riski kenal, tampaknya dia percaya

Suara angin malam berhembus, jeritan, tangisan, suara-suara sumbang dari segala penjuru hutan mulai terdengar, sosok yang menyerupai Lika itu lalu berhenti, berhenti di satu pohon dengan sulur merambat, dia duduk pada akarnya. Menunggu Riski mendekatinya, sejengkal demi sejengkal..

Riski masih tidak tahu alasan kenapa dia membawanya ke tempat ini, dengan sabar Riski berusaha berkomunikasi, mengajaknya berbicara, tapi si gadis hanya tersenyum sembari menggelengkan kepala, dia tak bisa bicara?

Atau dia memang tidak mau bicara?

Tak menunggu lama, dia menunjuk sisi bagian lain pohon yang besar itu, Riski yang tahu perihal tanda ini, melakukannya. Dia berjalan perlahan-lahan, satu langkah demi langkah, melihat si gadis itu yang masih duduk menatapnya, sementara Riski memutari akar-akar menjulang pohon ini.

Disana, Riski melihat seseorang, seseorang yang Riski kenal, sosok yang tidak seharusnya dia lihat lagi, tapi sorot matanya, tampak menahan sakit yang luar biasa, Puteri.

Riski melihat Puteri, meringkuk dengan tulang menyembul keluar, gadis itu, sekujur badannya seperti badan boneka.

Tapi saat Riski berniat mendekat, gadis itu menjerit, berteriak agar Riski terus berjalan, Riski hanya begidik ngeri, melihat kedua lutut gadis itu menonjol dengan darah segar yang menetes diatas tanah, dia seperti orang yang jatuh dari jurang, dan menahan sakit itu untuk hidup.

Riski kembali berjalan, sekali lagi pohon ini cukup besar untuk menutupi bagian-bagian akarnya yang menyembul keluar, menciptakan rongga-rongga di setiap sisinya.

Tak terhitung Riski mendengar suara menjerit, suara tertawa, suara menangis, semua campur aduk menjadi satu.

Disisi yang lain setelah Puteri, Riski melihat seorang laki-laki, tubuhnya gempal dengan kulit sawo matang, rambutnya panjang keriting, dia meringkuk membelakangi Riski, tak perlu menunggu waktu lama bagi Riski untuk mengenali, sosok yang sempat diserupai oleh Njaweh. Priyo.

Berbeda dengan kondisi Puteri yang tak seperti rupa manusia lagi, akibat sekujur tulang di badannya yang semuanya menyembul keluar, Priyo tampak baik-baik saja, kecuali dia hanya meringkuk tanpa baju, tanpa sepatu, dan masih membelakangi Riski.

Priyo yang sekarang tak bersuara.

Tempat Priyo meringkuk duduk, tenang sekali, tak ada jeritan, tak ada tangisan bahkan tak ada suara. Hening, hening sekali sampai membuat Riski merasa tidak nyaman. Tapi Riski ingin melihat kondisi anak itu, maka dia mendekat, mendekat ke tempat Priyo sedang meringkuk sendirian.

Nafas Riski tersenggal, sejujurnya melihat kondisi Puteri, sudah cukup membuat kepalaya penuh, sesekali Riski memukul kepalanya, dia seperti orang yang di bikin gila dengan segala kekacauan ini.

Kini Riski sudah berada tepat di belakang Priyo, dengan keberanian yang tersisa, Riski menyentuh bahunya.

Saat itulah, Priyo menoleh, melihat ke tempat Riski sedang berdiri, dan betapa tersentaknya Riski saat melihat dari bagian pusar sampai ke ujung kening di bawah rambut, semua, semua yang ada di sekujur badan Priyo, rata, rata dengan darah yang menggenang.

Layaknya bayi yang baru bisa merangkak dan meraba, Priyo menggerakkan tangannya berusaha menjangkau Riski yang kelabakan mundur, sinting, sinting, sebenarnya tempat apa ini.

Riski memukul kepalanya lagi, dia tidak mau terlarut, sementara Priyo masih meraba-raba udara.

Dia seperti sedang mencari dimana keberadaan orang yang baru saja menyentuh bahunya.

Riski pun mundur, dia berusaha untuk tak mengeluarkan suara, lalu lanjut berjalan memutari pohon ini, dimana dia bisa melihat rongga lain di samping akar yang menyembul keluar.

Dan di sanalah, Riski kemudian melihat orang yang paling ingin dia lihat.

Celana hitam, jaket cokelat lusuh yang melekat dan rambutnya yang hanya tinggal sebahu, meskipun, dia dalam posisi meringkuk, Riski bisa langsung tahu jika yang ada dihadapannya adalah Lika.

Gadis itu meringkuk, menutupi wajahnya dengan lututnya, awalnya Riski hanya berdiri memandanginya, ia melihat apakah sosok yang ada di hadapannya benar-benar Lika,

Lika yang dia kenal, Lika yang dia pukul wajahnya, tapi dilihat dari manapun, Lika yang ini adalah Lika yang dia kenal,

Riskipun mendekatinya, pelan, pelan, dan tampaknya dia menyadari kehadiran Riski, terlihat dia sempat bergerak meskipun hanya barang sedetik saja, Riski yang benar-benar lelah setelah melalui semua ini, kini berlutut menyentuh bahu Lika dan gadis itu mengangkat wajahnya..

Tapi sebelum Riski melihat rupa Lika, sosok saudari Lika menahan kepalanya, dia membuat Lika kembali tertunduk dan menggandeng Riski untuk kembali berjalan, sementara sosok Lika seperti menjerit dalam posisi masih meringkuk, hanya saja suaranya tampak sumbang.. tak begitu jelas,

Iya, Riski dituntun terus berjalan memutari pohon ini, disana, dia melihat sosok yang lebih terlihat seperti seonggok daging, tak bersisa, Riski terus berjalan-berjalan dan terus berjalan hingga pada akhirnya dia sudah memutari pohon ini, dan di situah sosok itu baru berbicara..

"Sing isok muleh mung siji, sing papat liyane tetep nang kene yo..." (yang boleh pulang cuma satu, yang empat lainnya tetap disini ya...) ujar sosok yang menyerupai saudari Lika, namun, suaranya tak seperti suara seorang wanita, dia kemudian menyentuh wajah Riski, mempersilahkan duduk

Sosok saudari Lika lalu mundur, sembari melihat Riski yang sedang duduk tepat di bawah pohon itu, wajahnya benar-benar tampak seperti sesuatu yang sangat gelap...

Dia bersujud, seperti gerakan orang menyembah, sambil berujar lirih, dia berkata, "Dosoh sampun teka" (Dosoh sudah tiba)

Riski duduk seperti seorang raja, tapi ini bukan kemauan Riski, dia seperti melakukan ini di bawah kendali sesuatu, sesuatu yang saat ini berada tepat di belakangnya, Riski tak bisa melihatnya dengan jelas tapi dia sangat besar, tinggi, hitam dan aromanya semilir lembut wangi..

Disana juga untuk pertama kali Riski melihat sesuatu, sosok nyai mengamatinya.. bersembunyi dari ballik riuk jelantir semak belukar, tak hanya Nyai, tapi sosok-sosok lain seperti wanita yang sangat cantik juga mengawasinya, meskipun Riski tak pernah melihatnya tapi Riski tau, dia makhluk yang menyambut samben Andris kepada Puteri, dan yang paling mengejutkan, Riski melihat sosok yang sejak tadi tidak dia lihat, Njaweh menyerupai barong namun memiliki kepala yang panjang, lonjong, buruk sekali, hingga Riski tak sudi melihat wajahnya.

Semakin lama, semakin banyak yang berkerumun, seperti tempat ini adalah pusat dari segalanya. Berbagai bentuk, berbagai rupa, berbagai wujud, tak ada yang bisa Riski jelaskan, semuanya di luar batas, seperti makhluk yang membisik di dalam tubuh Puteri.

Pengetahuan Riski tentang gunung ini, bagaikan setitik ujung kuku jari.

Karena setelahnya. Riski terus dan terus mendekam di dalam sana. Tidak pernah bisa pulang, kecuali, Kembang Laruk yang lainnya, menggantikannya.

Mbah Kung datang, dia duduk setelah meletakkan tampah berisikan kembang dan potongan daging ayam cemani dengan tiga butir telur. Setelahnya, mbah Kung cerita, butuh waktu sembilan hari buat nemuin jasad Riski, sekarang mbah Kung yang menjaganya, menguburkannya di belakang rumah, kalau dibilang menguburkan mungkin kurang tepat, yang benar menjaganya.

Mbah Kung cuma minta waktu sebentar, walaupun perbedaan sebentar itu mungkin berbeda dengan dimensi tempat Riski berada. Dia bilang Kembang Laruk itu bukan tentang orang yang mati bisa hidup lagi, bukan.

Tapi, orang yabg karena kematiannya, sukmanya jadi lebih pekat, dibilang mati dia hidup, dibilang hidup setengahnya mati

Di samping sesajen itu, Mbah Kung juga memberitahu, saudari Lika sudah pulang, sudah kembali, sudah bisa bertemu bapaknya lagi, tapi Likanya, dia masih disini

Selain Lika, dua yang lain, juga masih disini, bahkan tidak ada yang seberuntung Riski karena jasad mereka tidak di temukan, malah mbah Kung menemukan jasad orang yang lain lagi.

Jadi setiap Malam, setiap hari khusus, hari buminya orang sini, mereka masih akan menyalakan pendar,

berharap tanpa Kembang Laruk yang lain, Riski bisa kembali, tapi alam memiliki rahasianya sendiri.

Alam bergerak karena kerja ilahi, jadi Mbah Kung hanya bisa berjanji jika memang sudah waktunya, Riski seharusnya bisa pulang, tapi sampai tahun yang terus berganti,

Riski tak pernah kunjung kembali.

Mbah Kung memeluk Koco, orang yang paling sering menangis di luar rumahnya setiap kali datang dan melayat ke kediaman ini, Mbah Kung hanya bisa berpesan, kalau jadi manusia jangan nambeng, jangan memaksakan diri, karena sejatinya yang lebih tahu seharusnya lebih di dengar.

Sejak saat itu, Koco hidup selayaknya orang yang benar dan tahu kalau memang di atas tanah gunung, hal di luar nalar itu memang ada.

Mbah Kung juga sudah mengatakan bagian yang tak diketahui Koco, sesuatu yang tak dia ceritakan dan biarlah menjadi rahasianya sendri yang di bawa mati.

Yang bisa dia bagikan hanya, dimana Riski dan ketiga kenalannya berada. Lika, Puteri dan Priyo.

Dan bagaimana mereka tidak akan pernah bisa pulang terkecuali si Kembang Laruk itu sendiri.

-TAMAT-
close