Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KEMBANG LARUK (Part 3) - Pocong Hitam


Riski berlari, kakinya menapak di atas tanah basah, di depannya sudah menunggu rimbun semak belukar dengan tanah lapang lengkap dengan banyak pohon-pohon hutan, waktu itu Riski tidak berpikir jauh kalau bisa saja dia menerobos kearah jurang, baginya saat itu dia harus pergi..

Riski pun sama sekali tidak menengok kebelakang, baginya kepala anak perempuan itu sudah terbayang-bayang di dalam kepalanya.

Riski masih bisa mengingat dengan jelas kalau potongan kepala itu dalam kondisi mata terbuka, hal ini yang membuat Riski tentrum dan memilih berlari saja.

Sejengkal demi sejengkal, kaki Riski berlari naik turun tanah gunung yang memang tidak rata, yang dia ingat saat itu, hujan masih turun dan semakin lama semakin deras, tidak hanya itu saja, suhu udara juga bertambah dingin, tapi Riski terobos saja semuanya, dia bahkan lupa..

Alasan kenapa datang ke tempat ini, saat Riski baru sadar sesaat kemudian, dia baru berhenti di bawah pohon besar dengan akar-nya yang menjulang ke tanah, Riski kemudian menghelas nafas, dia baru ingat kalau dia baru saja meninggalkan kawan-kawannya, sontak bocah malang itu melihat kesana kemari, dia sudah tidak tahu sejauh apa meninggalkan Koco, Lika dan yang lainnya, Riski kemudian berniat untuk kembali sebelum dia menyadari kalau di atas akar-akar yang menjulang itu, Riski tidak sedang sendirian..

Jadi Riski sempat mencium aroma yang familiar tapi karena hujan sedang turun dan tanah dalam kondisi basah sehingga mengaburkan aromanya tapi sejelan waktu bergulir Riski sadar, dia menciumnya dan melihat keatas tempat akar-akar pohon itu tumbuh tidak beraturan, disana..

Riski melihat tujuh sampai sembilan Pocong sedang duduk, ada satu yang bergelantung dalam posisi wajahnya melihat ke tempat Riski yang kemudian diikuti satu pocong jatuh dan menghantam tanah, "gedebuk!!!!" Riski termangu, wajah pocong ini seperti daging dicacah halus..

Tidak butuh waktu lama bagi Riski yang kemudian berlari menjauh dari pohon itu, kakinya bergerak sesukanya menembus semak belukar yang ada dihadapannya, saat itu Riski tahu kalau makhluk itu semuanya sedang melihat kearah Riski, untungnya sekumpulan pocong itu hanya melihatnya saja..

Belum berhenti disana, saat Riski sedang menapaki tanah naik yang mulai berlumpur, Riski terpeleset jatuh dengan kepala bagian belakang menghantam tanah lebih dulu, rasanya.. sakit sekali, sampai membuat Riski menggeliat, untungnya makhluk itu tidak mengejarnya, Riski pun bangun..

Dengan badan terseok-seok, Riski membuka isi tas-nya, niat hati dia mau mengambil senter tapi tak berselang lama Riski lagi-lagi merasa diawasi oleh sesuatu yang sedang beruit-suit, Riski tentu sadar, apa mungkin jika itu kawan-kawannya yang sedang mencarinya..

Dengan senter yang ada di tangan Riski kemudian melihat pemandangan seperti kebun yang dipenuhi dengan pohon karet, hal ini terlihat dari guratan pada badan pohon.

Riski pun berjalan masuk kesana, dimana jarak antar pohon tidak terlalu jauh dengan kabut yang menyelimutinya..

Semakin masuk, suara suit atau siulan itu semakin terdengar, Riski tentu berteriak untuk menunjukkan posisinya sambil mengarahkan senter keatas berharap ada yang bisa melihat dan menemukannya..

Kabut semakin tebal dan udara semakin dingin, tapi Riski tak kunjung bertemu siapapun.

Tapi semakin kedalam jarak antar pohon semakin renggang, hal ini mungkin terdengar sederhana tapi rasa-rasanya Riski mulai merasa ada yang janggal dari tempat ini dan saat itulah suara siulan itu lenyap sudah berganti menjadi suara tertawa yang pernah Riski dengar

si nenek kembali.

Kabut yang seperti asap putih kalau terkena sinar bulan seperti menunjukkan bayang wanita tua berambut panjang keriting berjalan dengan punggung bungkuk melewati satu pohon ke pohon lain, kemudian lenyap saat Riski melihatnya dan seiring waktu dia muncul diiringi suara mengikiknya.

Riski sadar dia terancam, tapi kabur dari tempat ini bukan perkara mudah, dia paham kalau memang tidak ada jalan buat dirinya kecuali Riski mengikuti kemana suara itu membawanya..

Diatas batu diujung jalan kebun pohon karet, Riski melihatnya, sedang duduk membelakangi..

Saat jarak mereka terpaut beberapa langkah Riski ingat kalau dikeadaan sesulit apapun dia kudu berdoa pada tuhan, maka bersiap Riski membacanya tapi belum juga doa terucap dari bibirnya, sosok didepannya berbicara
"ra perlu dungo nek jero atimu ra yakin le ngente-ngentei waktu"

(gak perlu berdoa kalau dalam hatimu gak yakin, membuang-buang waktu saja)

Suaranya persis seperti suara nenek-nenek pada umumnya, sosok itu tidak berbalik dia masih duduk membelakangi Riski,

"Kowe ijen yo, opo tujuanmu mrene le?? golek opo?"

(kamu sendiri ya, apa tujuanmu kesini nak? mencari apa??)

Riski tidak berani bicara, bagaimanapun sosok yang ada didepannya ini bukan manusia, hanya saja entah kenapa Riski merinding sewaktu didekatnya.

"Kih kih kih.. ra usah wedi, aku nek kepingin nyelokoi, wes tak duglang"

(Kih kih kih.. tidak usah takut, aku kalau mau mencelakai, sudah ku tendang kejurang)

Riski masih berdiri, giginya gemeletak seperti orang kedinginan, atau mungkin hal itu karena dia berada di fase paling takut.

"Kulo bade manggah kale rencang-rencang kulo mbah" (saya mau naik keatas sama teman-teman saya mbah) belum selesai Riski bicara, sosok didepannya berteriak kepadanya.

"GAK USAH MBOJOK CAH CILIK!! OPO TUJUANMU MRENE!!!"

"Saestu mbah, ra wani kulo mbujuki njenengan" (sumpah mbah, mana berani saya membohongi anda)

"Ngunu a. kih kih kih. mrene lek ngunu, nyidek." (begitu ya, kih kih kih, kesini kalau begitu, mendekat)

Riski menurut, dia berjalan setapak demi setapak, aroma tubuhnya wangi kemboja.

Nenek itu memanggil, melambai-lambaikan satu tangannya kearah Riski tapi anehnya dia masih tetap dalam posisi membelakangi Riski.

Saat Riski mendekat pun dia sempat melihat sebagian wajahnya yang menghadap kedepan, dia tidak mengerti alasan kenapa sosok ini memanggilnya mendekat.

Riski hanya berani berdiri dibelakang punggungnya, ia menghindari wajahnya, saat itu sosok itu memintanya mendekat lagi, "maneh, nyidek le.." "nyidek maneh.." (lagi, mendekat nak..) (mendekat lagi)

Sampai Riski bisa mencium wangi aroma kamboja yang sangat kuat.

"Demoken sirah si mbah, ben kowe ngerti, si mbah wangine wangi kembang opo?" (sentuh kepalanya si mbah, biar kamu ngerti, si mbah aromanya aroma kembang apa?)

Riski diam saja saat sosok itu mengatakan hal itu, kemudian sosok itu berteriak lagi, "DEMOKEN!!" (SENTUH!! CEPAT!!)

Riski akhirnya menurut, perlahan kedua tangannya menyentuh bagian sisi kepalanya yang berarti rambut bagian belakang nenek-nenek itu, ada tonjolan aneh pada tempurung kepala sosok yang ada dihadapannya ini bahkan ada beberapa lubang yang janggal, tapi anehnya aromanya semakin wangi.

Riski yang meraba bagian tempurung kepalanya kemudian menyisir rambut putih itu karena Riski merasa hal ini terasa semakin aneh dan sewaktu Riski berhasil membiak rambut nenek tua itu, Riski melihat rupanya dibalik rambut yang keriting panjang itu ada wajah lain menyeringai kepadanya

Jadi yang sejak tadi bicara dengan Riski adalah bagian belakangnya, beliau kemudian mengatakan satu hal yang nampaknya Riski pahami, "tambah wangi tambah kuat, wangi gak mesti api le, tak duduhno dalan muleh, siji nggal siji sing nang kene wes sadar ambek ambumu.."

(semakin wangi semakin kuat, wangi tidak selalu baik nak, ku tunjukkan jalan pulang, satu persatu yang ada disini mulai menyadari aroma tubuhmu.."

Riski mundur, dan secara bergantian wajah itu melihat Riski.

"Melu si mbah yok, gendongen si mbah le" (ikut mbah yuk, gendong mbah)

"Lapo le, kowe ragu? aku eroh dalan muleh" (kenapa nak, kamu ragu ya? aku tau loh jalan pulang)

Riski teringat kawannya yang lain, tapi nampaknya sosok yang ada didepannya pun tau, "kancamu niat e gak gawe munggah gunung le, niat e golek sing gok duwur, wedok sing wes di bojo karo."

(temanmu punya niat bukan untuk mendaki nak, niatnya mencari yang ada di atas, perempuan yang sudah diperisteri oleh.."

Sosok itu tertawa semakin lebar, "wes melu ae karo si mbah, dalane nang kunu" (sudah ikut saja sama si mbah, jalannya ada di situ)

Riski melihat tempat berkabut

"Nek kowe ra gelem, gak popo le, si mbah mek ngilingno kowe" (kalau gak mau gak papa nak, si mbah cuma mengingatkan kamu)

Riski berpikir sambil melihat jalan berkabut itu, karena bingung Riski kemudian bersimpuh dihadapan sosok itu, Riski berniat menggendongnya.

"kih kih kih.."

Riski pun menggendongnya, tubuhnya tidak seberat yang Riski awalnya pikirkan karena bagaimana pun Riski sadar ada di dataran yang tidak seimbang, tapi baru juga Riski mengangkat tubuhnya tepat dihadapannya Riski melihat Lika yang menatapnya dengan wajah gelisah

"Kowe lapo?" tanya Lika.

Wajah Lika dipenuhi goresan luka, bahkan kulitnya lebih pucat dari biasanya, rambutnya yang diikat terkembang seolah menunjukkan kalau Lika sama berantakannya dengan kondisi Riski saat ini, apa anak ini mencari dia sampai sebegitunya.

Anehnya Lika masih bertanya kepada Riski.

"KOWE IKI LAPO?? JAWABEN??" ( KAMU INI NGAPAIN?? JAWAB??)

Riski melihat nenek yang sedang dia gendong, wajahnya menyeringai lebar melihat Lika yang berdiri dihadapannya.

Karena Riski tak kunjung menjawab, Lika kemudian berspekulasi, "kowe nggendong sopo??" (kamu sedang menggendong siapa?)

"Opo Nyai??" Lika mulai mengerti, "opo kowe nggendong nyai?? opo nyai nawari kowe dalan muleh??"

(apa kamu gendong nyai?? apa nyai menawari jalan pulang?)

Riski bingung apa Lika tidak bisa melihat si mbah seperti dia melihatnya.

"Ojok percoyo, ojok percoyo omongane, percoyo ambek aku!! kowe bakal digowo muleh, dukno nyai sak iki!!" (jangan percaya, jangan percaya apa yang dia katakan, percaya sama aku!! kamu akan dibawa pergi, turunkan dia sekarang!!)

Setelah Lika mengatakan itu, nenek yang Riski gendong memeluknya semakin erat dan mencium aroma badan Riski dari batang lehernya. Riski merinding tiba-tiba.

"Padahal cah wedok iku kate gunakno kowe le?" (padahal perempuan ini yang mau memanfaatkanmu nak?)

Riski yang mendengar itu melihat Lika dengan ekspresi wajah yang berubah dan Lika menyadarinya, "ngomong opo nyai? ngomong nek aku ngapusi kowe?" (ngomong apa nyai? ngomong kalau aku membohongi kamu?)

Lika berniat mendekat, tapi Riski berjalan mundur,

"Tenang, tenang!!" ujar Lika.

"Aku ra bakal menang karo demit, dadi sak iki terserah kowe, kowe ra bakal iso muleh tak pastino iku, nek kowe gak percoyo karo aku sak iki" (aku tidak akan menang sama setan, jadi terserah, kamu tidak akan pernah pulang, kalau kamu gak percaya sama aku sekarang) Lika masih diam.

Mendengar itu Riski mulai goyah, "CAH GOBLOK! CAH WEDOK IKU NDUWE TUJUAN TERSELUBUNG KARO KOWE LE!! OJOK NURUTI CANGKEME"

(ANAK GOBLOK! ANAK PEREMPUAN INI PUNYA MAKSUD DAN TUJUAN TERSELUBUNG SAMA KAMU NAK!! JANGAN MENURUTI MULUTNYA YANGG MANIS ITU)

Terlalu lama menunggu Lika kemudian menurunkan tasnya, "Nggih nyai njenengan menang, monggo njenengan gowo cah kui, tapi nyai.. bapak titip niki ten kulo?" (iya nyai kamu menang, silahkan bawa anak itu, tapi nyai.. bapak menitipkan ini kepada saya)

Lika mengambil sebuntal kain.

Sebuntal kain kafan berwarna putih yang bernoda merah karena darah.

Lika membuka temalinya dan menunjukkannya di depan Riski, tumpukan gelenjar daging yang busuk sekali, aroma yang sama seperti aroma kepala yang Riski lihat ada di dalam tas Lika.

"Niki, satus ari-ari'ne bayi"

(ini ada seratus ari-ari bayi baru lahir)

Nenek yang ada dipunggung Riski sempat diam dan melotot, lidahnya terjulur keluar.. tapi tangannya memeluk Riski semakin erat, sosok itu nampak aneh.. "ra iso, ra cukup!! mek satus, ra gelem aku, kurang-kuraaaaaaang!!"

Lika menunggu Riski

Riski kemudian bicara dengan suara terbata-bata, "katanya kurang.."

Lika mengerti, wajahnya nampak kesal tapi dia kembali mengambil sesuatu dari dalam tas-nya, "rambut!! rambutku nyai.. piye, njenengan purun.. tapi ojok gowo Riski"
(rambut!! rambutku nyai.. gimana, anda mau?)

Nenek itu menyeringai semakin lebar sambil berujar, "rambut e cah perawan.. hem.."

Lika mengambil pisau dan memotong setengah bagian rambutnya sampai menyisahkan potongan sebahu, dia melemparkannya di atas ari-ari itu, Riski kemudian bersimpuh dan wanita itu merangkak turun.

Riski melihat nenek itu memasukkan gumpalan ari-ari yang bercampur rambut Lika ke dalam mulutnya, setiap dia mengunyahnya membuat Riski mual, ia baru menyadari sosok itu begitu rakus, Lika pun berbisik kepadanya, "ayo, liane wes ngenteni" (ayo, yang lain sudah menunggu kita)

Riski melihat Lika dari belakang, di dalam tasnya pasti masih banyak yang dia bawa, untuk apa benda-benda yang amis itu sebenarnya, tapi melihat potongan rambutnya yang tidak rata ternyata tidak mengurangi kecantikannya, Riski bahkan semakin tertarik dengan wanita ini.

Setelah melewati pohon besar tempat Riski melihat pocong yang untungnya sekarang tak dia temui saat bersama Lika, subuh sepertinya mau tiba terlihat dari langit yang berwarna kebiruan, Lika berhasil sampai di pos kedua bersama dengan Riski, disana dia melihat teman-teman yang lain.

Puteri yang pertama mendekat bertanya kepada Lika, "Nyai?"

Lika mengangguk melewati Puteri kemudian tidur di atas lantai pos kedua, Riski kemudian melihat Koco yang mendekatinya dengan wajah seperti ingin memukulinya, di situ Riski melihat ada yang aneh, wajah Koco babak belur.

Tapi ternyata tak hanya Koco yang babak belur, baik Priyo dan Andris sama saja, Puteri kemudian memberitahu Riski kalau Koco berkelahi dengan Prio dan Andris saat Riski menghilang selama dua malam ini.

Dari semua orang yang sudah kelelahan mencari hanya Koco dan Lika yang tetap lanjut

Singkatnya, Riski sudah menghilang selama dua malam, semua persediaan tinggal menipis, dan satu lagi yang Riski perlu tau, Koco sudah tau semuanya.

Sosok kepala yang Riski lihat itu sebenarnya hanya potongan rambut dari perempuan perawan yang belum seratus harinya yang diambil dari kuburannya.

Kini biar Lika beristirahat, Riski juga begitu, saat matahari di atas kepala, di pos keempat disana sudah ada yang siap menunggu mereka.

Pada tahun itu rokok masih menjadi barang yang sulit untuk didapatkan, pada umumnya orang-orang lebih suka membawa kertas linting lengkap dengan tembakaunya yang biasanya diletakkan dalam satu kotak kayu yang sama, seperti Andris dan Prio, mereka baru saja melinting rokok kemudian menghisapnya tidak jauh dari pos kedua, Riski mencoba untuk tidur seperti Lika yang nampaknya sudah sampai dialam mimpi, sekujur badannya terasa sakit dan ngilu, mungkin karena lelah setelah mengalami kejadian janggal itu, bertemu dengan sosok yang mereka panggil dengan nama Nyai, terkadang Riski juga merasa heran..

Bagaimana mungkin dirinya sudah melewati dua malam padahal jelas-jelas dari waktu pelarian tidak lebih dari beberapa jam saja, tapi kembali lagi ke'kepercayaan masing-masing, mungkin saja tanpa Riski sadari dia sudah masuk dan tersesat ke alam lain, tempat di mana yang ghaib benar-benar ada.

Tidak ada yang terjadi selama masa istirahat itu, siangnya ketika matahari sudah berada di atas kepala, Koco membangunkan Riski, dia menepuk-nepuk pipinya, dengan wajah setengah sadar Koco kemudian mengatakan,

“Ayok ayok!! Sak iki munggah maneh mumpung jek awan, target kene dino iki iku gok pos keempat” (ayok ayok!! Sekarang naik lagi mumpung masih siang, target kita hari ini sampai ke pos keempat)

Dengan gestur sedikit malas Riski kemudian bangkit dari tempatnya tidur, dia melihat semua orang sudah bersiap-siap, wajah mereka nampak santai seperti tidak ada yang terjadi kemarin, Riski pun kemudian berdiri dan melihat Lika sedang berbicara dengan Puteri, rambutnya yang sekarang panjang sebahu nampak sudah dirapikan, mungkin Puteri yang melakukannya.

Riski pun mengangkat tas miliknya lalu memulai perjalanan naik bersama dengan yang lain.

Diperjalanan menuju pos ketiga yang kabarnya hanya ada satu tanah lapang untuk beristirahat membuat semua orang setuju jika target mereka hari ini adalah pos keempat, konon pos ketiga hanya gemah yang dibabat alas membuat Prio selaku orang yang memimpin menargetkan pos keempat.

Bahkan jika memungkinkan mereka mau langsung merangsek sampai pos kelima, tapi yang terpenting adalah kali ini mereka harus lebih waspada dari sebelumnya, tidak ada yang tahu kejadian apalagi yang sudah menunggu mereka.

Disini Koco kemudian bertanya mengenai kejadian pada malam pertama, bagaimana bisa Riski melihat sepotong kepala perempuan padahal jelas-jelas yang dia ambil cuma sehelai rambut berwarna hitam, tapi kenapa bisa sampai seperti itu, sayangnya tidak ada yang mau menjawab pertanyaan itu kecuali Puteri yang kemudian berkata kalau yang sudah terjadi biarkan saja terjadi, tidak ada lagi yang perlu dibahas dari kejadian itu, ini hanya kesalahpahaman saja, Koco hanya diam sewaktu mendengarnya, meskipun di dalam hatinya dia tidak puas dengan jawaban tersebut, tapi Koco pada akhirnya memilih untuk mengalah, dia pergi sembari sempat melirik kearah Riski yang kemudian menundukkan kepalanya.

Tanpa mereka semua sadari, waktu berlalu begitu cepat, dari matahari yang ada di atas kepala terus bergerak turun dan mereka semua berhasil mencapai pos ketiga tanpa ada halangan yang berarti, pada pos ketiga mereka semua sempat beristirahat, saat itu lagi-lagi tidak ada yang bisa memprediksi cuaca yang ada di atas gunung, langit yang sebelumnya cerah mulai berubah menjadi gelap, awan-awan mendung mulai berdatangan, merubah jalan pendakian ini menjadi lebih sulit lagi.

Pada sekitar pukul tiga lewat sepuluh menit, perjalanan kemudian dilanjutkan kembali. Hujan deras kemudian turun, semua pendaki sudah mengenakan mantel menutupi kepala mereka dari air hujan, Andris yang berada dibaris paling belakang kemudian berkata kepada yang lain, “sek sek!!" (sebentar-sebentar) katanya sembari melihat kesekeliling, entah kenapa sejak tadi dia merasa kalau mendengar suara binatang yang meraung, Prio yang mendengar Andris kemudian turun dan mendekati anak itu, mereka berdua kompak diam sembari memasang pendengaran mereka masing-masing,

Riski yang juga ikut melakukan hal yang samapun mulai merasa aneh, lagi-lagi bulukuduknya berdiri tanpa ada sebab yang jelas, tapi.. mereka semua hanya mendengar suara gemersak dedaunan yang dihantam oleh air hujan, tidak ada suara raung binatang seperti apa yang dikatakan oleh Andris

“jam piro sak iki?” (jam berapa sekarang?) tanya Prio tiba-tiba kepada yang lain, Puteri mengambil potongan arloji di dalam tas miliknya kemudian berkata kepada Prio, “jam telu liwat limolas” (jam tiga lewat lima belas menit) Prio nampak sedang berpikir sambil sesekali dia menggedek-gedekkan kepalanya, “butuh pirang jam maneh gawe sampe nang pos keempat?” (butuh berapa lama lagi untuk bisa sampai ke pos keempat?)

Mendengar itu Lika kemudian menjawab, “nek lancar palingan butuh petang jam maneh” (kalau lancar harusnya butuh empat jam lagi?)

Prio mengangguk pertanda dia mengerti, kemudian dia meminta Andris berjalan didepan sementara Prio ada di baris belakang, tapi anehnya Prio mengatakan sesuatu yang mungkin akan terdengar sangat janggal bagi anak-anak yang lain.

“Mari ki kene bakal ngelewati masa SOROP, nek iso mulai tekan kene ojok onok arek sing wani-wani noleh mburi? Ngerti!!” (sebentar lagi kita akan melewati masa PERALIHAN dari terang kegelap, kalau bisa mulai dari sini satupun dari kita jangan ada yang melihat kebelakang? Mengerti)

Mendengar itu sontak wajah Lika nampak terkejut, dia menatap Prio sembari bergumam lirih kepadanya, “Njaweh onok nang kene?” (dia ada disini?)

Prio kemudian membuka mantel dan menunjuk bagian leher, rupanya tidak hanya Riski saja yang merasakan perasaan tidak enak ini, tapi semua anak-anak yang mendaki sekujur tubuhnya merinding luar biasa. Bahkan Puteri yang ada pada barisan depan sempat menyentuh bagian belakang lehernya.

“Heee onok opo iki, sopo Njaweh iku?? Sopo sing dimaksud iki?” (Hee ada apa ini, siapa dia?? Siapa yang dimaksud ini??) tanya Koco, wajahnya nampak pucat.

Tapi nampaknya tidak ada yang memperdulikan pertanyaan Koco, justru semua orang malah tertuju pada Puteri yang berkata,

“Kok isok loh, sak jane Njaweh onok nang nduwur dewe, lapo Njaweh iku mudun sampe semene?” (kok bisa loh, bukannya dia harusnya ada di tempat yang paling atas, ngapain dia sampai turun sejauh ini?)

Semua orang yang melihat Puteri kemudian tersadar akan sesuatu, dengan perlahan mereka semua kemudian beralih memandang kearah Riski,

“Soale kembang sing iki wangine semerbak sampe kabeh teko siji nggal siji” (karena bunga yang satu ini wanginya benar-benar harum sampai semuanya datang satu persatu) kata Riski menirukan cara bicara Nyai kepada semua orang yang ada di tempat ini.

Tidak ada lagi dari mereka yang berbicara, selepas Riski mengatakan itu.. rasa-rasanya semuanya sudah mengerti penyebab sosok yang paling dihindari di gunung ini sampai turun sejauh ini, Prio tetap mengatakan untuk tidak menoleh kebelakang, meski pun Prio tidak menjelaskan akibatnya.

“Kurang sak jam maneh SOROP mas, piyeee opo lanjut opo leren sek nang kene?” (kurang satu jam lagi MASA PERALIHAN, gimana? apa tetap melanjutkan atau berhenti sebentar disini?) kata Lika yang bertanya kepada Prio, sembari berjalan Prio seperti orang yang sedang melamun, dia tidak fokus dengan pembicaraan ini, sementara di atas Riski melambatkan langkah kakinya agar dia bisa menguping apa yang sedang Lika dan Prio sedang bicarakan.

“Lanjut Lik, tapi kabeh kudu paham nek situasine iki wes diluar kendaline kene, piyee iki, Njaweh sampek mudun, asuu!!” (lanjut Lik, tapi semua harus paham dengan situasinya, ini sudah diluar kendali kita, gimana ini, Njaweh sampai turun, anjing!!) bentak Prio yang marah.

“Lah ya mas aku yo gak paham kok sampai bangsat sitok iki melu-melu mudun, sakjane lak gak ngene carane!! Opo gara-gara…” (Lah iya mas aku juga gak paham kok bisa si bangsat satu ini ikut-ikut turun, seharunya kan gak begini caranya!! Apa gara-gara..) Lika menatap punggung Riski

Prio kemudian menjawab dengan suara yang setengah berbisik, “Opo kene salah gowo kembang yo, Kembang laruk sing kene gowo iki ambune wangi sak wangi-wangine kembang, mergo iku sing nang duwur siji gal siji pasti mudun”

(apa kita sudah salah bawa kembang, Kembang Laruk yang kita bawa ini aromanya wangi sewangi-wanginya bunga, karena itu yang di atas pasti turun satu persatu)

Lika kemudian berhenti berjalan, Prio pun ikut berhenti. Tapi Prio tak berani melihat kebelakang, dia menunggu Lika menyusul dirinya dan berbicara, “artine sak iki onok kemungkinan nek demit siji iku yo bakal teko.. onok kesempatan kanggo nolong si mbak?”

(apa itu artinya sekarang ada kemungkinan kalau setan yang satu itu juga akan datang.. ada kesempatan untuk bisa menolong si mbak?)

Prio mengangguk. “Sakjane ngunu, sawise pos keempat, kene bakalan eroh nang ndi mbakmu disingitno rung tahun kepungkur iki”

(seharusnya begitu, setelah melewati pos keempat, kita akan tau dimana mbakmu selama ini disembunyikan selama dua tahun belakangan ini)

Waktu terus berjalan, sampailah mereka pada titik hutan yang banyak ditumbuhi tanaman liar bersemak belukar, di atas sini, suhu udara semakin dingin dikarenakan hari juga mulai gelap, selain itu hujan juga tak kunjung reda, Riski menggigil sembari mengusap-usapkan tangan,

Puteri kemudian memberitahu, beberapa menit lagi waktu SOROP akan segera dimulai..

Prio yang berada dibarisan paling belakang kemudian berjalan semakin cepat untuk menyusul yang lain, disana di bawah pohon pinus, Prio kemudian menjelaskan permainannya,

“Ojok onok siji sing wani-wani noleh nang mburi apapun yang terjadi!! Sekalipun kowe krungu suarane kancamu jalok tulung.. ojok direken, iling.. sampe aku ngomong aman, kowe kabeh kudu nuruti aku, nek igak..!! nek igak…” Prio sempat menelan ludah, “aku karo Lika ra jamin kowe bakal iso mbalik dalam keadaan urip” (jangan ada satupun orang yang berani-beraninya melihat kebelakang apapun yang terjadi!! Sekalipun kalian mendengar suara temanmu sendiri minta tolong.. jangan diperdulikan, ingat.. sampai aku bilang aman!! Kalian semua harus menuruti apa kataku, kalau tidak..!! kalau tidak..!! aku tidak bisa menjamin kalian bisa kembali dalam keadaan hidup-hidup)

Puteri, Andris, Koco dan Riski, semuanya kemudian mengangguk dalam kondisi saling melihat kepunggung masing-masing, Prio kemudian menjelaskan lebih lanjut, urutan pendakian ini dan tidak boleh dirubah posisinya, mereka semua harus saling menjaga satu sama lain, yang berada di depan adalah Andris dan Puteri, ditengah-tengah ada Riski dan Koco, sementara dibagian paling belakang ada Lika dan Prio. Urutan ini tak boleh berubah sampai dipos keempat.

Mereka saling memberi botol minum yang tersisa, meneguknya sebelum wajah mereka melihat waktu SOROP yang pada akhirnya tiba. Mendadak angin dingin berhembus pelan menyapu badan mereka, tapi anehnya hembusan angin yang ini membuat degup jantung mereka berdetak semakin cepat, perasaan ini adalah seburuk-buruknya perasaan yang pernah Riski dan yang lain rasakan satu sama lain.

Dengan cepat, semua orang kemudian melangkah lebih cepat dan tegas dari sebelumnya, Riski hanya mendengar derap kaki teman-temannya saja, semua orang nampak ingin segera sampai ke pos keempat, Riski juga hanya bisa melihat punggung tiga orang yang ada dihadapannya,

Riski terus tertuju pada punggung Puteri, Andris dan Koco, dia sama sekali tidak bisa melihat Lika dan Prio yang ada dibelakang, waktu itu kabut sudah mulai menyelimuti sela-sela pepohonan, Riski belum pernah merasakan kalau sekujur badannya saat ini kedinginan sekaligus ketakutan.

Beberapa kali juga Riski seperti melihat ada wajah-wajah manusia yang mengintip dari celah-celah pepohonan, mereka diselimuti oleh kabut yang tebal, bersama-sama mereka saling mengingatkan satu sama lain, “ra usah direken, lurus.. ndelok nang ngarep ae!!”

(tidak usah diperdulikan, lurus saja dan lihat kedepan!!) teriak Puteri, tapi sedikit demi sedikit, perasaan was-was dengan sosok-sosok yang memperhatikan mereka semakin kentara, mereka semakin menunjukkan eksistensinya, hujan mulai reda meskipun masih rintik-rintik,

Riski mulai melepaskan penutup kepalanya, dia masih berjalan mengikuti punggung Koco yang ada dihadapannya, sebelum tiba-tiba saja dia mendengar dengan jelas suara jeritan Lika yang datang dari arah belakang, sontak hal ini membuat tubuh Riski berhenti bergerak. Riski mematung diam.

Melihat ada yang aneh pada tubuh Riski yang tiba-tiba diam, Lika cepat-cepat berkata “onok opooo!! Kowe ra usah noleh!! Ojok percoyo.. aku karo Prio gak popo…!!” (ada apaa!! Kamu gak usah berbalik!! Jangan percaya.. aku sama Prio baik-baik saja..!!)

Setelah Lika mengatakan hal itu, tak lama kemudian terdengar suara tertawa yang seperti sedang menertawakan Riski.. ”Hihihihi…” suaranya seperti suara anak-anak kecil yang cekikikan, anehnya sepertinya hanya Riski yang bisa mendengarnya.

Lika kemudian bertanya, “kowe sempet mandek perkoro opo?” (kamu tadi sempat berhenti karena apa?)

Riski kemudian menjawab, “mau.. aku krungu koyok onok suaramu jerit, tak kiro awakmu jalok tolong” (tadi.. aku dengar kaya ada suaramu yang menjerit, ku kira kamu meminta tolong)

Lika kemudian berkata, “igak!! Aku gak jerit ket mau, tambah aku ra eroh nek onok suara, tapi aku paham awakmu pas sempet mandek pasti onok opo-opo, mangkane awakmu dideleh nang tengah”

(tidak!! Aku tidak berteriak tadi, malah aku tidak tau kalau ada suara, tapi aku paham kalau kamu sempat berhenti pasti ada apa-apanya, makanya kamu ditaruh diposisi tengah)

Seketika Riski hanya bisa membatin, tipu muslihat sosok ini jauh lebih sulit dibandingkan Nyai yang menunjukkan wujudnya secara terang-terangan. Prio kemudian ikut berkata, “ojok sampe kowe ndelok Njaweh!! Percoyo karo aku, ojok kebujuk Ris karo demit siji iki”

(jangan sampai kamu terkena tipu dayanya!! Percaya sama aku, jangan sampai tertipu Ris dengan setan yang satu ini) Riski hanya bisa mengangguk setelah mendengarnya, bagaimanapun juga Riski bisa merasakan kalau sosok yang mereka bicarakan ini jauh lebih gelap dibandingkan Nyai.

Rombongan terus berjalan naik, sementara suasana gelap sudah menyelimuti tempat ini, Riski dan yang lain sudah memegang senter ditangannya masing-masing, mereka masih mengikuti alur dimana Koco mengikuti punggung Andris begitu pula dengan Lika dan Prio yang berjalan mengikuti Riski.

Hujan deras kemudian kembali turun, membuat Riski menggunakan penutup mantel dikepalanya lagi yang sebelumnya dia turunkan, medan pendakian juga menjadi semakin sulit, di depan banyak ditemui hambatan tanah berlumpur, terpaksa satu persatu dari mereka mengeluarkan tenaga yang besar,

Beberapa kali Riski juga menghela nafas berat karena selain medan yang menyusahkan, suhu udara juga terasa semakin dingin, teriakan-teriakan dari Puteri, Koco dan Prio saling bersahut-sahutan satu sama lain, mereka saling memberikan nasihat untuk tetap tenang dan tidak terburu-buru

Saat itulah Riski kemudian mencium aroma yang sangat wangi, aroma dari sepuhan ratusan kembang melati, dan aroma ini berasal tepat dibelakang Riski, sontak Riski seketika terdiam, merinding, dia merasa kalau dibelakangnya ada sosok lain yang bergabung bersama dengan Lika dan Prio.

Tapi Riski mencoba abai dengan situasi ini, dia terus menerjang medan yang sulit itu kemudian tetap mengikuti punggung Koco yang juga mengikuti punggung Puteri dan Andris.

Hanya saja semakin lama, wangi aroma melati membuat rasa penasarannya kian meninggi, apa Lika dalam bahaya?

Kejadian ini kemudian mengingatkan Riski dengan apa yang dikatakan oleh nyai kepadanya. “tambah wangi tambah bahaya” (semakin wangi semakin berbahaya) entah kenapa, ia kemudian terngiang-ngiang dengan kalimat itu sampai tanpa sadari, kakinya menjejak pada tanah yang gembur.

Sedangkan yang lain, Koco, Puteri dan Andris menapak pada akar-akar pohon, seketika Riski tersungkur jatuh sendirian diikuti teriakan Lika dan Prio yang terkejut melihat kegawatan ini, sayangnya mulai dari barisan Koco sampai Puteri tidak ada yang berani menoleh melihat kebelakang.

Setidaknya itu yabg Riski rasakan waktu itu sebelum tubuhnya menerjang jatuh kebawah, untungnya jatuhnya Riski tidak berakibat fatal karena tubuh Riski sempat tertahan menghantam akar pohon lain, otomatis sekarang Riski berada di barisan paling belakang, dan saat itulah dia kemudian bisa melihat punggung Prio dan Lika yang ada dihadapannya, hal ini membuat Riski melotot tidak percaya dengan apa yang dia lihat.

Disamping Lika dan Prio yang sedang diam sembari berteriak memanggil Riski, ada anak-anak kecil bergaun putih menggandeng tangan mereka.

Anak-anak itu kemudian tertawa, suaranya sama persis dengan sosok yang menertawai Riski tadi, mereka menoleh melihat Riski dengan wajahnya yang buruk rupa.. seperti daging yang mengelupas dari tengkorak kepala mereka, kemudian.. anak-anak ini memberi gestur di bibir sembari menunjuk..

Riski yang merasakan getir ngilu disekujur tubuhnya tidak mengerti maksud dari sosok anak-anak kecil ini tapi Riski menyadari satu hal, aroma melati itu tidak berasal dari tubuh anak-anak misterius ini, tapi.. aroma melati itu masih berada tepat dibelakangnya..

Tak berselang lama, Riski merasakan ada yang menyentuh bahunya, Riski termangu ketakutan melirik sepotong tangan dengan 5 ruas jari, pada umumnya manusia normal hanya memiliki 3 ruas pada setiap jarinya tapi yang ini sampai memiliki 5 ruas jari dengan kuku yang cukup panjang..

Aroma sepuhan wangi melati tercium menyengat dan membuat Riski melengus menutup hidungnya, dari arah belakang suara berat itu kemudian terdengar ditelinga Riski, "Aaaweeeehhh" "Aaaaaweeeeeh"

Terdengar seperti Aweeh atau mungkin Njaweeeeh..

Anehnya, tubuh Riski kaku tidak berani bergerak sementara anak-anak perempuan itu terus tertawa seperti sengaja menertawai Riski, mereka terus menerus menunjuk Riski. Saat itulah hal yang tidak pernah diduga-duga dilakukan oleh Prio,

Pemuda itu menoleh kebelakang, wajahnya pucat

Prio kemudian berlari tunggang langgang naik keatas sendirian, tak perduli apapun yang ada dihadapannya, Prio berlari sendirian melewati Koco, Puteri dan Andris..

Riski yang melihat peristiwa itu kemudian sadar kalau aroma melati yang ada dibelakangnya sudah lenyap..

Riski kemudian berdiri, dengan gestur yang sadar kalau Prio dalam bahaya besar, ia kemudian berlari menuju ke tempat Lika, dia mengingatkan kalau Njaweh saat ini sedang mengejar Prio, Lika yang mendengarnya nampak terkejut wajahnya pucat pasi, dia kemudian berkata, "ra bakal selamet" (tidak akan selamat)

Lika kemudian menarik tangan Riski, membawanya mendekat kearah yang lain, Puteri tampak bingung kenapa tiba-tiba Prio berlari seperti itu, dengan wajah datar Lika berkata, "cepet ayok nang pos keempat" (cepat ayok kita pergi ke pos keempat)

Puteri hanya diam, dia sadar ada yang tidak beres, sementara Riski melihat diatas dahan-dahan pohon semakin banyak anak-anak yang duduk menggoyang-goyangkan kakinya, mereka masih menertawai Riski, Koco dan Andris pun terpaksa memimpin di depan sebelum aroma itu kembali diikuti suaranya, "Kih kih kih"

Riski berkata kepada Lika, "Nyai mbalik"

Mendengar itu, Lika mengangguk dan semua orang yang ada disana berlari sekuat tenaga, Riski pun melakukan hal yang sama, sayup-sayup suara wanita tua itu tertawa semakin keras, sampai membuat Riski begidik ngeri melihat sosoknya yang merangkak

Sembari berlari, Lika berteriak kepada Puteri.. "tiange nang pos keempat kan?" (dia ada di pos keempat kan?)

Puteri mengangguk sembari berkata, "iyo, Nyai ra wani melbu pos keempat, soale wes bedo teritorine" (iya, nyai gak akan berani masuk kesana, soalnya sudah beda wilayah)

Koco yang berlari paling depan ikut berteriak, "asline ki kene ki lapo mlayu, sak umur-umur gak tau aku ndaki terus mlayu koyok maling dikejar-kejar!!" (sebenanya kita itu kenapa harus lari, seumur hidup aku gak pernah mendaki tapi lari kaya maling yang dikejar-kejar)

Riski dan yang lain tidak perduli, mereka saling berlari meninggalkan satu sama lain, Koco pun akhirnya tidak punya pilihan lain selain ikut mengejar Andris yang sudah berada didepannya, saat itulah medan naik terlihat dan Puteri menunjuk itu..

Pos keempat, akhirnya mereka sampai..

Semua orang seketika melesat masuk ke dalam gedung tua yang berukuran sedang, Lika melihat ke jendela mengamati apa yang ada di luar, saat itulah Riski mengatakan kalau Nyai sudah pergi hal ini terasa dari aroma wangi tubuhnya yang sudah lenyap..

Tapi rupanya ini belum selesai, Andris yang pertama menyadari kalau di dalam bangunan tua ini ada seorang pendaki yang sedang duduk menatap mereka dengan pandangan mata yang dingin..

Seorang pemuda biasa yang memiliki kulit pucat yang seperti mayat..

Riski kemudian meminta semua temannya mundur, dengan gemetar Riski kemudian berkata, kalau pemuda yabg ada didepannya ini meskipun memakai baju pendaki tapi aroma tubuhnya wangi sekali.. seperti aroma minyak kasturi, Riski tau dia bukan manusia..

"Kulo.. kesasar, mboten saget mudun, oleh a kulo gabung kaleh njenenengan sekalean?" (saya tersesat, gak bisa turun, boleh saya ikut bergabung sama kalian?)

Riski melihat Lika, bulukuduk Riski merinding didekat anak laki-laki ini, wajahnya nampak tak memiliki emosi..

"Saya masih manusia kok" katanya, tapi Riski tidak percaya, Lika dan Puteri saling memandang,

"Kalo saya menolakpun rasa-rasanya mas juga pasti ikut kan?"

Laki-laki itu tersenyum menyeringai, "nggih.. saya akan tetap memaksa untuk ikut kalian"

Semua orang seketika terdiam..

Lika kemudian tak memperdulikan laki-laki itu, sekarang Lika menagih janji kepada Puteri, "nang ndi kampunge? nang ndi tiang e?" (dimana kampungnya? dimana dia?)

"Kudu onok sing Nyamben aku sek Lik" (harus ada yang Nyamben aku dulu Lik)

Andris kemudian maju, dia berkata kalau seharusnya ini pekerjaan Prio, tapi orang itu sudah pergi dan tidak tau bagaimana keadaannya, sementara Lika juga tidak mengerti caranya..

Riski dan Koco sama bingungnya, apa yang dimaksud Nyamben ini..

Puteri akhirnya menunjuk Andris, memaksa bocah itu melakukannya apapun resikonya, mereka sudah berjalan sejauh ini, naik atau turun sama berbahayanya, Andris nampak ragu, dia ingin menolak tapi Lika melotot kearahnya, anak itupun akhirnya setuju melakukannya..

Didepan bangunan itu, Andris menyalakan kemenyan yang dibawa oleh Lika, dia juga mengambil daun pandan, sementara Puteri melepas seluruh pakaiannya di depan semua orang, Koco pun sampai terngangah melihatnya, tidak ada yang tau apa yang mau dilakukan Puteri..

Hanya menggunakan pakaian dalam ditengah suhu yang sangat dingin, Puteri kemudian memberi gestur orang yang seperti bersimpuh di depan tungku kemenyan yang mengepulkan asap, Andris yang berdiri dibelakangnya kemudian melilit leher Puteri sampai anak itu tersedak dan meronta-ronta..

Riski dan Koco sempat mau beraksi menghentikan Andris tapi dihentikan Lika, sementara wajah Puteri sudah kemerahan, matanya melotot keatas, sebelum.. dia rubuh tak sadarkan diri..

Andris membuang kain yang dia gunakan untuk melilit sekaligus daun yang ada didalamnya..

Saat Riski bertanya apa yang dilakukan oleh Andris yang memilih diam dan masuk ke bangunan sendirian, tiba-tiba tersentak saat melihat Puteri menciumi tubuh Riski, dia seperti binatang yang mengendus, dengan wajah menyeringai dia berkata, "Kembang iki iso ndudui nang ndi mbakmu.. nduk"

(kembang ini bisa menunjukkan dimana keberadaan kakakmu.. nak)

Riski seketika menyadari, aroma tubuh Puteri sudah berbeda, jika ada wangi yang bisa mengalahkan minyak kasturi, itu adalah wangi tubuh Puteri yang membuat Riski menggigil karena merinding..

Sorot mata Puteri lebih seperti sorot mata orang yang sedang kosong, teduh, sejuk tapi menakutkan.

Riski sampai harus menghindarkan dirinya dari pandangan Puteri dibelakang tubuh Koco, sementara Koco tertuju melihat tubuh Puteri yang begitu berisi sembari sesekali menelan ludah.

"Ndak usah takut mas Riski, saya ndak ada keinginan buat makan kamu walaupun aroma badanmu manis"

Riski melihat Lika, anak itu hanya melihat Puteri dengan ekspresi yang dingin.

Tak lama kemudian Koco yang baru sadar dari lamunannya menyuruh semua orang masuk ke pos bangunan.

Puteri berdiri bersama dengan Lika, mereka seperti sedang berbicara, lagi-lagi Riski mendapati tingkah Puteri yang sedikit aneh, sesekali mereka seperti sedang melihat kearahnya.

Riski merasakan sesuatu yang tidak mengenakan di dalam tubuhnya, tapi dia masih belum tahu apa itu.

Andris duduk dipojok sembari menekuk lutut, sejak apa yang tadi dia lakukan kepada Puteri, bocah itu seakan memilih menyendiri jauh dari semua orang, sementara Riski masih bersama dengan Koco, duduk sambil mempelajari situasi, kecuali Koco matanya tidak berkedip melihat Puteri.

"Cah kui ayu yo asline, tapi kok ra waras, moso adem-adem ngene mek gawe ngunu iku?" (anak itu cantik loh aslinya, tapi ya kok sedikit gak waras, masa dingin-dingin gini pake pakaian kaya gitu?) ujar Koco kepada Riski, dari semua orang yang disini Koco memang yang paling tidak peka.

"Kancamu onok sing nggandeli, cah wedok sing ayu tapi asline rupane remuk sampek gak kekiro" (temanmu ada yang menggantikan, seorang perempuan yang sangat cantik tapi rupa aslinya hancur sampai tidak terkira)

Riski terhenyak, ucapan itu keluar dari pemuda asing yang ada disampingnya.

Riski baru sadar kalau ada pemuda ini sejak tadi, terkadang hawa keberadaannya samar.

"Ngapusi kowe, cah ayu koyok ngunu kok diomong remuk, ndasmu iku remuk" (bohong kamu, anak cantik gitu kok dibilang hancur, kepalamu itu yang remuk)

Pemuda itu hanya tersenyum kepada Koco.

"Sinten asmane?" (siapa nama anda?)

Pemuda itu melihat Riski, melambaikan tangannya meminta Riski mendekatkan telinganya, Koco yang melihat itu sedikit kesal dengan tingkah laku orang yang ndak jelas asal usulnya ini.

Setelah pemuda itu selesai berbisik, Riski nampak pucat.

Koco menyenggol badan Riski, saat itulah bocah itu baru sadar, Koco memberikan gestur apa yang dibisiki oleh orang aneh yang ada disamping mereka ini, ketika Riski melihat pemuda itu lagi, satu jarinya berdiri tepat didepan mulut seakan memberitahu agar Riski tidak mengatakannya.

Lika menyingkir dari hadapan Puteri, ia mendekati Andris dan lagi-lagi mereka seperti sedang membicarakan sesuatu.

Puteri yang sendirian kemudian menoleh melihat kearah Riski, ia tersenyum menyeringai lalu dengan tenang berjalan mendekati Riski, Koco masih tertuju pada tubuhnya.

"Jancok mrene cok arek iki!! lapo iki.." kata Koco sambil menepuk-nepuk bahu Riski.

Saat jarak diantara mereka terpaut beberapa langkah, Puteri berhenti lalu melirik pemuda yang juga sedang melihatnya, ada garis wajah yang jijik saat mata mereka bertemu.

Tak lama pemuda itu pergi.

Puteri kemudian meminta Riski berdiri, ia mendekatkan wajahnya sambil berkata, "mari ngene nek sawut'e wes podo mudun, kabeh mlaku maneh yo, kampunge wes cidek, kowe karo Lika kudu gelem jamin cah-cah iki" (setelah ini kalau mendung sudah turun, semua jalan lagi ya, kampungnya sudah dekat, kamu dan Lika harus mau menjamin anak-anak ini)

"Jamin?" Riski bingung dengan ungkapan itu, tapi Lika kemudian berkata, "iyo, aku karo Riski sing jamin" (iya aku dengan Riski yang akan menjamin)

Riski yang melihat Lika kemudian tak berkata apa-apa.

Wajah pemuda yang menyingkir itu sempat menunduk seperti kecewa dengan keputusan Riski yang tidak melawan Lika sama sekali.

Sementara Koco yang paling bingung dengan situasi ini hanya bisa hah heh, apalagi dia satu-satunya yang rasa-rasanya masih ingat dengan kawan mereka yaitu Prio.

"Prio piye cah kui rung mbalik loh? opo gak digoleki?" (Prio gimana, anak itu belum balik loh? apa gak dicari dulu?)

Lika mendekat kemudian berkata "Prio ra popo, engkok lak ketemu maneh, turu ae kowe.. engkok tak gugah kapan lanjut mlaku" (Prio gak papa, nanti pasti ketemu lagi, tidur saja dulu kalian, nanti tak bangunin kalau lanjut jalan)

"Lanjut?" Koco tentu saja kaget, dia kira mau istirahat semalam disini tapi rasa-rasanya Lika ingin tetap melanjutkan perjalanan meskipun masih butuh berjam-jam lagi sampai pagi datang.

"Iyo lanjut, nek kowe ra gelem, turu ae nang kene, tapi ijen yo?" (iya lanjut, kalau kamu gak mau, tidur aja disini, tapi sendirian ya?)

Koco pun menolak, sementara Puteri pergi, ia mengenakan lagi pakaian yang tadi dia kenakan, sembari matanya terus melihat Riski.

Tak berselang lama hujan deras turun, sekuat apapun Riski mencoba untuk tidur dia tidak bisa, ada sesuatu yang mengganjal, mulai dari jaminan, kemudian bisikan dari pemuda itu yang entah kenapa bisa membuat Riski begidik ngeri. "Bangsat!! kenapa jadi gini setan!!" ujarnya,

Ketika waktu menunjukkan pukul 1 malam, saat itulah Puteri berdiri dari tempatnya, diikuti Lika yang kemudian sadar, Andris dan Riski pun langsung mengangkat tas mereka, berikut si pemuda yang sejak tadi menghabiskan waktu duduk di teras pos bangunan, hujan juga mulai reda,

Koco adalah orang terakhir yang dibangunkan oleh Riski, meski awalnya bocah sial itu menolak dan memilih tetap tidur tapi pada akhirnya Koco mengalah dan memaksa tubuhnya untuk menembus tanah berlumpur akibat hujan tersebut.

Mula-mula Puteri yang berjalan paling depan, sambil berkata dia hanya bisa mengantarkan rombongan ke kampung itu, jaminan yang sudah dibuat tidak menentukan langkah selanjutnya tapi Lika punya hutang kepada siapapun yang ada pada diri Puteri. Riski memahami situasi ini.

Pemuda itu berjalan paling belakang seolah menjauh dari Puteri, Riski sesekali mengawasi wajahnya yang benar-benar pucat, mata-nya cekung dengan bibir kebiru-biruan, sementara Lika yang berada dibelakang Riski berjalan tanpa perduli apapun.

Tanah yang tidak rata dengan kepadatannya yang menggembur menyulitkan medan ini, beberapa kali mereka nyaris terperosok atau terseok, di bawah pohon-pohon besar dan tinggi, satu persatu dari mereka mulai merasakan gejala yang aneh, dimulai sekujur badan mulai merinding.

Puteri menunjuk bahwa tidak lama lagi semua orang akan sampai di kampung itu, lebih baik tidak ada yang pergi atau berpencar karena semakin dekat kampung, akan semakin banyak warganya yang sudah siap menyambut.

Barisan pohon-pohon besar itu semakin lebat dengan semak nyaris setinggi badan manusia, menutupi setiap sela dan tidak memberikan kesempatan mata untuk mengeksplor lebih jauh apa yang ada di depan, Lika berjalan semakin cepat, karena Puteri menambah kecepatan. termasuk si pemuda.

Si pemuda yang awalnya ada di belakang tiba-tiba saja sudah melewati Riski dan Koco, tak ada yang tahu apa dan tujuan pemuda ini untuk memaksa tetap ikut, sementara Koco dari raut wajahnya sepertinya tubuhnya sedang dalam kondisi yang tidak menyenangkan, beberapa kali dia bernafas lebih panjang.

Saat jarak mereka terpaut sekitar sepuluh sampai dua belas langkah, Koco menarik ransel Riski sebelum berujar, "hancok kebelet ngeseng aku!!" (hancok, aku pengen buang air besar)

Riski yang mendengarnya hanya bisa diam sambil menatap Koco nanar.

Riski kemudian melihat kedepan hanya Andris yang nampaknya menyadari kalau Riski dan Koco tertinggal, Riski menjelaskan keadaannya, dengan terpaksa seluruh rombongan pun berhenti, hanya Lika yang nampak geram melihat kejadian ini, tak lama Puteri mendekat lalu menawarkan diri untuk mengantar Koco.

"Gak popo, iki wes kawasan kampunge, ayok nang kunu onok godong kriwuk, tak terke" (gak papa, ini sudah masuk kawasan kampungnya, ayok disitu ada daun rimbun, kuantar)

Koco pun setuju, mereka berdua pergi menembus semak belukar yang tidak jauh dari mereka.

Riski yang merasa Koco dan Puteri sudah pergi terlalu lama mulai khawatir apalagi ia berkali-kali merasa sungkan dengan Lika yang melihatnya dengan sorot mata dingin, Riskipun berkata akan menyusul mereka berdua, saat itu Andris menawarkan diri tapi Riski menolak..

Riski menyingkirkan setiap daun rimbun yang menghalanginya, dedaunan ini menyerupai daun muris yang mempunyai dimensi lebar, terkadang sayatan rantingnya membuat kulit Riski terasa perih, saat menjelajah semakin jauh samar-samar terdengar suara Koco yang mengejan.. sebelum, Gedebuk!!

Suaranya seperti karung jatuh atau sesuatu yang menyerupainya, Riski berhenti sebentar menyingkirkan rimbun yang menghalangi pandangannya dan lagi-lagi suara gedebuk jatuh terdengar lagi, bahkan hingga dua tiga kali dalam satu waktu yang berdekatan.

Riski tidak tahu suara apa itu tadi jadi dia melanjutkan langkahnya, ketika melewati satu pohon kembar dimana dibagian tengahnya terdapat tanah agak menurun disitulah Riski menemukan Koco sedang melihatnya dengan ekspresi orang yang bersusah payah mengeluarkan apa yang ada diperutnya

Riski pun menyingkir kebagian sisi pohon sambil berteriak, "ning ndi Puteri?" (kemana Puteri?)

Suara Koco terdengar dimana dia mengatakan kalau Puteri ada dibagian sisi pohon yang lain, Riski pun mengerti, tiba-tiba suara gedebuk itu kembali dan mengejutkan mereka berdua.

"Kowe krungu gak sih koyo onok suara rutuh?" (kamu dengar gak sih kaya ada suara jatuh?)

Koco yang ada dibawah menjawabnya, "krungu, suarane koyok kelopo rutuh" (kedengeran, suaranya kaya buah kelapa yang jatuh)

"Ing ndi onok kelopo nang tengah hutan ngene ki?" (dimana ada pohon kelapa ditengah hutan kaya gini?)

"Lah iku mangkane" (lah ya itu makanya) jawab Koco, ditengah-tengah percakapan itu, Riski kemudian melihat benda jatuh itu dari arah tempat seharusnya Puteri sedang berada, begitupula dengan Koco suara benda jatuh juga terdengar dibelakangnya..

Riskipun berjalan mendekat melewati bagian tengah tempat Koco bisa melihat Riski, dengan langkah kaki pelan Riski melihat apa yang jatuh dari balik pohon itu saat dia melihat selembar kain yang membungkus, warnanya putih kusam dalam kondisi terbaring, karena samar Riski mengamatinya

Disana, Riski melihatnya, wajah manusia yang hitam legam seperti daging yang lama membusuk sedang melotot melihat Riski sembari mengangah lebar,

Belum bergerak dari tempatnya, Riski mendengar suara Koco menjerit dengan suara lantang, "POCONG ALAS DADAKNO"

Disitulah, Riski sadar..

Baik di bawah maupun di atas ranting-ranting pohon, nyaris seluruh tempat ini dihuni oleh puluhan bahkan mungkin lebih sosok pocong yang memiliki bentuk tubuh dan ukuran berbeda-beda.

Wujud mereka sama dengan kulit wajah nyaris hancur seperti daging dicincang hingga merah hitam

Saat itulah Puteri datang dengan yang lain sambil berujar "aku salah, iki wes melbu kampung e, enggen sing digawe Koco ngising iku nggone mbok-mbok ane, nggon Sadekwoh sing butuh jaminan mau" (aku salah, ini ternyata sudah masuk kampungnya, tempat yang dipakai Koco buang air besar itu tempat yang paling tua berada, tempat dia yang membutuhkan jaminan tadi)

Riski menoleh melihat Koco yang sudah kocar kacir dimana dibelakangnya ada wujud familiar yang Riski kenal,

Seonggok Pocong dengan kain berwarna hitam legam hanya saja ukurannya tujuh kali manusia normal.

BERSAMBUNG
close