Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KEMBANG LARUK (Part 2) - Gunung

Tempat dimana tragedi naas ini bermula.

Disinilah awal tempat mereka semua berpijak.


Riski duduk disamping seorang bapak tua yang mengapit keranjang bambu nampaknya berisi ayam peliharaannya, sedangkan Koco beradu tenaga berhimpit-himpitan dengan seorang pria berbadan bongsor, sementara kawan-kawan Lika yang belum Riski ketahui namanya nampak sedang berbaur.

Mereka berbicara dengan penumpang lain, Lika sendiri tidak berhenti melihat Riski sewaktu kereta terus melaju, sorot matanya membuat anak laki-laki itu merasa tidak nyaman.

Di dalam suasana yang ramai dipenuhi oleh manusia, bapak tua yang duduk disamping Riski kemudian membuka pembicaraan dengannya. “bade ten pundi dik?” (mau kemana dek?)

Riski mengangguk membalas hormat kepada si bapak, kemudian ia menyebutkan nama sebuah tempat, bapak itu lalu mengangguk mengerti, ayam yang sejak tadi ada di dalam dekapannya tiba-tiba saja menjadi tidak bisa tenang mungkin terganggu dengan laju kereta yang gerasak-gerusuk.

“Mau apa dik ditempat itu?” tanya bapak itu lagi, Riski melihat Lika sebentar sebelum menjawabnya,

“Mau naik pak, ke gunung yang ada di..” belum selesai Riski mengatakan nama tempatnya, si bapak tiba-tiba berkata kepadanya dengan ekspresi wajah yang datar, "urungkan!!"

"Nopo pak? maksud njenengan?" (gimana pak? maksud bapak?)

"Urungkan!!" katanya lagi, Riski mulai merasa tidak nyaman dengan bapak tua itu, sorot matanya benar-benar berbeda dengan tadi, Riski mencoba melihat kearah Lika yang juga melihat dirinya dari bangku yang lumayan jauh.

Saat menoleh kembali ke bapak tua itu, Riski dibuat tersentak dari tempat duduknya, kedua tangannya memegang bagian wajah Riski lalu berteriak sangat keras, "URUNGKAN!! CAH CILIK!!"

Untungnya salah satu kawan Lika, pria tegap dengan rambut panjang agak keriting itu datang.

Pria itu langsung mendorong bapak tua itu, sambil satu jari jempolnya seperti menyentuh keningnya, anehnya setelah melakukan hal itu, bapak tua itu kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya, kejadian itu membuat Riski menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada di dalam gerbong.

Untungnya tidak ada yang tau kejadian yang sebenarnya, semua orang kembali ke tempatnya masing-masing, pria itu kemudian berjalan mundur, meninggalkan Riski, bapak tua itu melihat Riski kemudian bertanya kepadanya lagi. "bade ten pundik dik?" (mau kemana dik?)

Seperti itulah, belum sampai menginjak tanahnya saja hal janggal sudah mulai terjadi, Riski tidak bisa membayangkan apa yang sebenarnya sudah menunggu dirinya.

Kereta yang ditempuh oleh Riski memakan waktu kurang lebih 10 jam, itupun baru menginjak satu kota, karena ia harus segera bersiap untuk langsung naik ke kereta selanjutnya yang juga memakan waktu yang tidak sedikit, sejujurnya ini adalah perjalanan yang paling melelahkan bagi Riski.

Mereka baru sampai di kota terakhir pukul 11 siang, setelah itu Lika baru bisa memimpin semua orang menuju ke suatu tempat yang tidak jauh dari stasiun terdekat, sebuah bengkel tua yang entah dimiliki oleh siapa, bengkel itu menampung mobil besar dan Lika menemui seseorang disana.

"Pak lek, iki aku?" katanya kepada seorang laki-laki yang mengenakan kaca mata hitam yang duduk sambil menyesap kopi, laki-laki itu membuka kacamatanya dan langsung mengenali Lika,

"Loh kowe nduk, kowe lapo nang kene, kowe gurung paham tah ambek" (loh kamu nak, kamu ngapain di sini, kamu masih belum paham ya sama) belum juga orang itu selesai berbicara, Lika sudah memotong pembicaraannya, "sak iki aku wes gowo kembang 'e" (sekarang aku sudah membawa bunga-nya)

Setelah mengatakan itu, laki-laki itu kemudian memandang ke semua orang, ia nampak terkejut terutama saat melihat wajah Riski.

"Edan!!" ujar laki-laki itu, "ojok ngomong kowe bakal?" (Gila!! jangan bilang kamu akan?) lagi-lagi belum selesai berbicara, Lika memotong ucapan orang itu, "wes, sak iki terno nang omahe mbah Kung, diomongno nang kono ae?" (sudah, sekarang antar kerumahnya mbah Kung, kita ngomong saja disana)

Orang itu masih menunjukkan ekspresi yang gelisah, ia tidak berhenti melihat Riski, ini tentu saja hal yang sangat mengkhawatirkan, "kowe ra ngerti kapan kudu mandek nduk!!" (kamu itu gak juga paham kapan harus berhenti!!)

Semua orang kemudian naik ke mobil jeep buntut milik orang itu.

Riski duduk disamping perempuan berambut pendek yang selalu tersenyum setiap kali Riski tanpa sadar melihatnya, Koco sendiri juga lebih banyak diam, tidak seperti Koco yang biasanya.

Dari stasiun mereka kemudian menuju ke sebuah desa yang ada di kaki gunung, tempatnya sangat jauh di pedalaman, sempat melewati bagian-bagian jalur setapak dengan pohon-pohon tinggi besar di kanan-kiri, bahkan mobil harus melaju diatas lintas sungai kecil.

Setelah melewati segala halang rintang barulah mereka melihat sebuah gapura yang dibangun dari batu bata merah.

Jika diperhatikan gapura ini cukup lama, dengan rumah-rumah disepanjang jalan yang terus naik, sampai akhirnya mobil jeep berhenti di satu rumah dengan halaman yang luas.

Orang itu kemudian turun dan menuntun mereka bertemu dengan seorang kakek tua yang sedang memberi makan ayam.

Awalnya tidak ada yang terjadi dengan mereka bahkan setelah melihat Lika, tak ada perubahan ekspresi apapun sampai orang tua itu melihat Riski dan seketika wajahnya berubah

Orang tua itu sontak berteriak dengan nada yang keras, "KOWE EDAN!!! OPO MAKSUDMU IKI?" (KAMU GILA!!! APA MAKSUDMU INI?)

Lika kemudian maju dan berusaha menjelaskannya, tapi kakek tua itu tidak mau mendengarkan, "melu aku!! kowe sisan!!" (ikut aku!! kau juga!!)

Riski termangu,

Ia juga dipanggil oleh orang tua yang tidak dikenalinya itu bersama dengan Lika.

Sementara Koco dan yang lain menunggu di sebuah bangunan mirip mushola atau padepokan yang ada di bawah pohon rambutan.

Di dalam ruangan itu, Mbah Kung orang yang sudah bertahun-tahun diberi mandat jadi juru kunci di atas tanah ini berteriak kepada Lika, wajahnya benar-benar menakutkan tidak seperti wajah tenang yang sebelumnya dia tunjukkan.

"Kowe iki golek molo nang kene, ra ngene carane nganggo goleki dulurmu, iso-iso sing gak iso muleh koen-koen iki!!" (kamu itu mencari masalah disini, gak begini caranya untuk mencari saudaramu, bisa-bisa yang gak bisa pulang itu kalian juga)

Lika hanya diam saja melihat orang tua itu sebelum kemudian dia berdiri, Lika berkata dengannya dengan suara yang selembut mungkin, "ngartos mbah tapi bapak tambah suwe tambah ra kuat nangung iki, ngenteni njenengan goleki mbak ra ndang ketemu juntrungane, kulo gowo kembang kale kulo gowo niki"

(ngerti mbah tapi bapak semakin lama semakin tidak kuat menanggung ini semua, menunggu anda mencari si mbak gak juga menemukan ujungnya, selain saya membawa si kembang saya juga membawa ini)

Lika menunjukkan sesuatu di dalam tas yang dia bawa, seketika wajah orang tua itu nampak bingung.

Wajahnya tiba-tiba berubah menjadi semakin pucat, ia terus berjalan mundur, "maksudmu opo kowe sampe nggowo iki? kowe ra ngehormati aku yo dadi juru kunci nang kene?" (maksudmu apa kamu sampai membawa ini? kamu tidak mau menghormati saya ya sebagai juru kunci di sini?)

Lika berujar dengan suara yang teramat tenang, "bar aku karo kancaku munggah, mbah ra usah melu-melu, kabeh sebab akibat siap tak tanggung dewe" (biar aku dan teman-temanku naik, mbah tidak perlu ikut campur, semua sebab akibat siap ku tanggung sendiri)

Mbah Kung mengalihkan pandangannya melihat kearah Riski, ia bisa tahu kalau ada yang tidak beres dari anak ini, maka mbah Kung mendekatinya, "kowe le, kowe gelem munggah karo cah wedok iki?" (kamu nak, kamu mau naik dengan anak perempuan ini?)

Riski melihat Lika sebelum mengangguk

Mbah Kung kemudian mengerti, ia memijit bagian tengkuk belakang Riski sembari berkata kepada Lika, "ya wes, aku ra bakal melu urusanmu, sing mok gowo iku barang sing bahaya, cah cilik koyo kowe-kowe ra bakal iso nulung mbakmu, caramu iki salah, cah edan!!"

(ya sudah, aku tidak akan ikut campur urusanmu, yang kamu bawa itu barang yang berbahaya, anak kecil kaya kalian tidak akan bisa menolong saudaramu, caramu ini salah, anak gila!!)

Mbah Kung masih memijat-mijat tengkuk Riski, "tapi aku ra iso mbarke cah iki mok leboni barang gak jelas koyo ngene, setidaknya dia kudu milih dewe dalane" (tapi aku tidak bisa membiarkan anak ini kamu beri barang gak jelas seperti ini, setidaknya dia harus memilih jalannya sendiri)

Tiba-tiba isi dalam perut Riski seperti naik dengan sendirinya, ia mulai merasa mual, dan semakin lama ia tidak bisa menahannya lagi.

Riski memuntahkan isi di dalam perutnya, seketika ia tersentak dari tempatnya duduk saat melihat gumpalan darah yang seperti sepotong daging tapi dalam keadaan yang menyengat.

"Sak iki tak takoni maneh, kowe gelem melu cah wedok iki?"

(sekarang ku tanya sekali lagi, kamu mau ikut anak perempuan ini?)

Anehnya, Riski tidak merasakan intimidasi dari Lika lagi, ia bahkan tidak perduli meskipun Lika memandangnya dengan sorot mata yang kosong, Riski menatap mbah Kung lalu berkata kepadanya. "purun mbah" (mau mbah)

Mbah Kung nampak kehabisan kata-kata, beliau kemudian berujar kepada Lika dan Riski,

"yowes, sak iki kabeh istirahat disek, mene kaet munggah, engkok bengi bakal onok udan deres!!" (ya sudah, sekarang istirahat dulu, besok baru naik, nanti malam akan turun hujan yang deras!!)

seperti yang mbah Kung katakan, malam harinya hujan deras kemudian turun, di dalam rumah milik mbah Kung Lika kemudian memperkenalkan satu persatu orang yang besok akan pergi naik.

Lika menunjuk orang yang paling tua disini, seorang teman yang sudah lama Lika kenal.

Pria tegap yang pernah menolong Riski, namanya adalah Prio, beliau selama ini bekerja sebagai pemborong, Prio ini memiliki kebatinan yang kuat, beliau merasa kasihan sewaktu tau keluarga Lika menghadapi masalah yang sangat sulit, sehingga menawarkan diri dalam pendakian ini.

Lalu perempuan dengan potongan rambut pendek, ia adalah teman dari saudara Lika, beliau sebenarnya sudah lama menawarkan diri untuk membantu tapi baru kali ini dia mendapat kesempatan itu, sedangkan yang satu lagi juga sama, mereka mengaku satu group dengan saudara Lika dan hanya berniat menolong sebisa mereka, sedangkan Koco yang masih tidak mengerti kenapa list orang-orang yang datang berbeda seperti yang Lika jelaskan saat pertama kali menawarinya untuk ikut pendakian masih belum diberitahu alasan yang sebenarnya.

Lika hanya berujar kalau teman-teman mapala yang lain, semuanya tidak bisa ikut dalam pendakian ini karena hal yang Lika sendiri tidak ketahui.

Riski pun memilih diam apalagi Lika sudah memohon kepadanya untuk merahasiakan ini kepada Koco, perempuan itu berjanji tidak akan ada yang terjadi dalam pendakian ini.

Singkat cerita, malam itu, sewaktu Riski dan Koco sedang tidur di dalam ranjang yang ada di kamarnya tiba-tiba anak itu dikejutkan dengan suara seperti benda jatuh, suaranya sendiri keras sekali sampai membuat tubuhnya seketika bangkit dari tempatnya.

Jantung berdegup kencang, Riski benar-benar yakin kalau dia baru saja mendengar suara benda jatuh itu, iapun menyenggol badan Koco berusaha membangunkannya agar dia ikut memeriksanya.

Koco hanya menggeliat sambil berkata kepadanya. "turuo su, mene munggah!!" (tidurlah njing, besok kita naik!!)

"Diluk Co, he, tangi!! tangi o, aku krungu suoro!!" (sebentar Co, he, bangun!! bangun!! aku tadi dengar suara!!)

Tapi Koco tak menghiraukannya dan mengatakan, "halah wes talah turu o" (halah sudalah tidur sana!!)

Karena kesal Riski menjambak rambut Koco dan membuat anak itu seketika membuka kedua matanya dengan wajah yang dongkol Koco berkata, "LAPO SEH BLOK!!" (NGAPAIN SIH BLOK!!)

Riski kemudian menjelaskan kalau tadi dia mendengar suara benda jatuh, keras sekali, dia pikir mungkin ada yang gak beres.

Koco sebenarnya sudah mengatakan kepada Riski untuk tidak perlu terlalu memikirkan hal seperti itu, dia bilang kalau yang Riski dengar mungkin saja cuma krunguen, suara yang sebenarnya tidak ada, tapi belum selesai Koco bicara tiba-tiba suara benda jatuh itu terdengar kembali..

"JANCOK OPO IKU MAU" (JANCOK APA ITU TADI)

Koco kemudian melihat Riski, kali wajahnya nampak pucat, "iku sing mau marai aku tangi.. kowe krungu pisan kan?" (itu tadi yang membuat aku ikut bangun.. kamu dengar juga kan?)

Koco mengangguk, Riski kemudian melangkah turun diikuti Koco

Riski berjalan mengendap-endap di dalam rumah mbah Kung bersama dengan Koco, rumah mbah Kung ini besar tapi masih berlantaikan tanah, mereka melihat keluar kamar dimana seluruh ruangan dalam keadaan sunyi senyap, tidak ada siapapun kecuali mereka berdua.

Tak lama kemudian lagi-lagi terdengar suara benda jatuh itu, kali ini lebih keras dari sebelumnya, penasaran dengan asal muasal suara, Riski kemudian melangkah sembari diikuti oleh Koco yang ada dibelakangnya, mereka mencari-cari asal suara itu sampai tertuju pada salah satu kamar,

Koco sempat mengingatkan Riski, "he, ra usah lah ndelok ngene iki, ra sopan, mbalik ae nang kamar" (he, gak usah lah lihat yang beginian, tidak sopan, kembali saja ya ke kamar)

Tapi Riski sudah kepalang penasaran, ia melihat pintu yang di cat dengan warna hijau tua itu, tak lama kemudian, dia mendorongnya pelan, di dalam sana, Riski mendengar suara-suara lain selain suara benda jatuh ada suara seperti anak-anak sedang bermain.

Orang normal tentu saja berpikir, bagaimana mungkin di jam selarut ini masih ada anak-anak yang terbangun.

Riski bersama dengan Koco kemudian mengintip dari celah pintu yang terbuka, di dalam sana dia melihat ada anak-anak perempuan kecil, rambutnya panjang sampai sepunggung sedang berlari-larian di dalam kamar, mereka semua mengenakan pakaian berwarna putih.

Riski dan Koco tentu saja bingung, bukankah mbah Kung tinggal sendirian di rumah ini bersama dengan Mas Arman sopir jeep yang sudah mengantar mereka, lalu siapa anak-anak kecil ini?

Apa mereka cucu-cucu mbah Kung. Pikir Riski waktu itu.

Tapi pemandangan ini belum menjawab darimana suara benda jatuh itu datang, jadi sewaktu Riski dan Koco sedang memandangi anak-anak yang berlarian itu tiba-tiba terdengar suara sekali tepuk tangan "Clap!!" dan anak-anak perempuan itu kemudian berlarian menuju ke satu lemari tua.

Lemari tua ini dibuat dari kayu jati, anak-anak perempuan itu kemudian mengerumuni lemari dan mengangkat tangannya yang mungil keatas seperti orang yang menunggu buah jatuh dari pohon, maka Riski dan Koco kemudian mengedarkan pandangan melihat keatas..

Rupanya.. di atas lemari ada seorang wanita yang rambutnya panjang sedang menunduk melihat kebawah, wanita itu sedang dalam posisi orang yang seperti merangkak, anak-anak perempuan itu tertawa-tawa masih mengadahkan kedua tangannya, dan suara itu akhirnya terjawab saat Riski dan Koco melihat kepala wanita yang ada di atas lemari jatuh dan menghantam tanah, menimbulkan suara berdebam yang keras, sontak Riski dan Koco terdiam seketika, terutama saat tawa anak-anak itu tiba-tiba lenyap dan melihat kearah Riski dan Koco yang sedang mengintip.

Iya, anak-anak perempuan itu melihat Riski dan Koco, tapi sialnya, anak-anak kecil itu satupun tidak ada yang memiliki wajah, termasuk sepotong kepala yang ada ditangannya.

Riski seketika membanting pintu itu kemudian berlari bersama dengan Koco, mereka cepat-cepat menuju ke kamar

"Opo iku mau!!" (apa itu tadi!!) ujar Riski yang benar-benar merasa ketakutan, Koco masih berdiri di depan pintu seperti sedang menahannya, Riski hanya bisa duduk sambil mengusap-usap wajahnya, setelah ia cukup tenang, Riski melihat kearah Koco, "lapo kowe iku, mrinio loh"

(kamu ngapain di situ, kesini loh?)

Tapi Koco bergeming dari tempatnya, ia masih diam mematung seperti orang yang melamun, Riski pun berdiri mendekati Koco, "lapo seh mbut koen iki" (kenapa sih mbut kamu ini)

Koco masih diam.

Saat itulah Riski melihat ke tempat Koco sedang melihat dan disana, Riski menemukan ada seorang wanita yang tadi sedang duduk dan menyisir rambut panjangnya menggunakan jemari tangannya.

Riski seketika terdiam tidak dapat bergerak.

"Mas, kowe mbesok munggah nggih?" (mas, kamu besok mau naik ya?) kata wanita itu, meskipun tak memiliki wajah, suara itu seperti keluar dari dirinya, tidak hanya itu saja, suaranya terdengar begitu lembut dan halus.

Riski tidak menjawab, Koco juga sama saja.

"Nang nduwur iku nggone sing jahat-jahat loh, nek aku dadi kowe, aku nang kene ae, enakan ambek aku mas, aku ra bakal sampe narik sukmamu koyok kae" (di atas itu tempat yang paling jahat-jahat loh, kalau aku jadi kamu, aku akan memilih disini saja, enak sama aku mas, aku tidak akan sampai mencabut sukmamu seperti apa yang mereka lakukan)

Wanita itu masih menyisir rambutnya. Rambutnya panjang sekali hingga menyentuh ke tanah.

Ditengah-tengah ketakutan itu, Riski melihat wanita itu kemudian berdiri, ia menutupi wajahnya dengan rambutnya yang panjang.

"Mrene, nang kene ae yo mbek aku" (kesini, di sini saja ya sama aku)

Riski menggelengkan kepalanya dengan keras, menolak, sembari tubuhnya menyenggol Koco yang ada disampingnya, niat Riski adalah pergi dengan Koco dari kamar ini, tapi aneh, Koco masih diam seperti orang yang benar-benar kosong.

"He su, su!! sadar!! sadar!!" (he njing, njing!! sadar!! sadar!!

Wanita itu kemudian mendekat.. angin seperti bertiup membuat tubuh Riski terasa dingin, iapun menyenggol Koco lebih keras dengan bahunya dan saat itulah, Riski melihat kepala Koco jatuh dan menghantam ke tanah.

Pagi harinya, Riski dibangunkan Koco dengan cara menepuk pipinya, "tanggi ndul, turu koyo mayit, setan!! tangi!! gur adus ndang sat set ngunu loh, bujangan tapi tangi awan" (bangun ndull, tidur kaya mayit, Setan!! bangun!! cepat mandi terus pergi gitu loh, bujang tapi bangun siang)

Riski melihat Koco sudah rapi, baju dan perlengkapan mendaki juga sudah siap semuanya.

Riski menahan sakit di kepalanya setelah semalam dia merasa kalau benar-benar melihat hantu wanita yang menghuni rumah mbah Kung, diapun pergi ke kamar mandi, bersiap seperti yang lain.

Setelah semua perlengkapan dan persedian sudah selesai, Riski kemudian menyusul yang lain, di luar rumah, Koco, Lika, Prio, Puteri dan Andris sudah menunggu Riski, mereka memang sengaja akan mulai mendaki saat matahari sejajar di atas kepala, maka merekapun bersiap bersama, tapi..

Mbah Kung yang sedang duduk di teras depan rumah sembari menyesap tembakau memanggil Riski, beliau kemudian bertanya, "wes ketemu demit e omah iki, yo opo, awakmu jek nekat kate melok?" (sudah ketemu sama hantunya rumah ini, gimana, kamu masih mau nekat ikut?)

Riski melihat Lika.

"Nggih mbah, saya akan ikut"

Mbah Kung kemudian mengangguk, "yawes, sing mok temoni mambengi iku gak onok opo-opone karo sing gok nduwur, ati-ati bahkan ambek kancamu dewe? yo" (yasudah, yang kamu lihat semalam itu masih gak ada apa-apanya sama yang ada di atas, hati-hati bahkan sama temanmu sendiri? ya)

Riski mengangguk, siang itu, mereka berenam memulai jalan mereka untuk mulai mendaki menuju ke pos pertama.

Riski yang notabennya belum pernah satu kali pun naik ke gunung tentu saja merasakan perasaan yang campur aduk, dilain hal ini adalah pengalaman pertamanya tapi sekaligus pengalam yang bisa membahayakan, satu hal yang tidak dia pahami, kenapa dia sampai seperti ini pada satu wanita saja.

Apalagi wanita ini belum terlalu lama dia kenali, tapi seolah Riski mau melakukan apapun untuk Lika yang memang memiliki paras cantik yang tidak biasa bahkan Riski bercerita jika Lika memiliki kecantikan yang tidak bisa dia gambarkan, dia jauh di atas kecantikan banyak wanita.

Pada pendakian pertama ini Riski banyak sekali melihat pohon, ia benar-benar merasakan suasana yang baru, pantas banyak orang memilih gunung untuk menenangkan diri, rupanya inilah perasaan para pendaki-pendaki yang sering Riski dengar dari komplotan teman-teman Koco.

Tanpa Riski sadari bahkan ia sempat tersenyum sendirian, hal ini rupanya disadari oleh Koco, dia menyenggol Riski lalu berujar, "Piyeeee, enaaak too munggah gunung? kandani ket biyen, kowe nek melu tak jak nang puncak mahameru?" (gimanaaa? enaaak ya naik gunung? sudah kubilang dari dulu, kamu kalau mau naik sudah ku ajak ke puncak mahameru?)

Riski tidak menjawab godaan Koco, semua orang di dalam rombongan hanya melirik Riski, karena tidak terlalu akrab jadi jarak mereka terpaut satu sama lain, kecuali Lika, ia sempat menahan senyum, satu hal yang membuat jantung Riski berdegup semakin cepat, sungguh, Lika ini mungkin gambaran dari bidadari yang sering orang-orang bilang saat bermimpi.

Awalnya, masih tidak ada yang terjadi, Riski juga bisa menempuh pendakian dengan normal, ia bahkan sempat mempertanyakan dimana kesulitan saat pendakian seperti apa yang orang-orang pernah katakan, nyatanya baik fisik ataupun mental, Riski masih terlihat baik-baik saja.

Tapi, semua baru terjawab saat kurang lebih sudah satu setengah jam mereka bergerak terus naik ditambah tanah yang mereka daki mulai tidak rata, terkadang mereka juga harus menggunakan otot kaki lebih kuat untuk menanjak dan terkadang Riski harus menahan bobot tubuh serta beban yang dia bawa dipunggungnya.

Riski mulai menghela nafas lebih sering bahkan beberapa kali pijakannya terasa goyah, hal ini disadari tidak hanya oleh Koco tapi oleh yang lain, Priyo sebagai orang yang paling tua kemudian berujar, "istirahat sek ya"

Mendengar itu Lika nampak tidak senang

Tapi tidak ada yang protes kecuali Riski, ia merasa tidak enak sehingga sempat berkata kalau lebih baik lanjut saja lagipula pos 1 masih cukup jauh dari tempat ini.

Koco yang melihat kondisi Riski menggampar pipi bocah itu, "Goblok, jalok semaput kowe, tambah repot kabeh engkok, wes ngasuh sek" (bodoh!! kamu mau pingsan, tambah semuanya nanti kerepotan, sudah istirahat dulu)

Koco bahkan memijat kaki Riski sambil berujar, "munggah gunung susah to, mangkane tak kongkon mlayu-mlayu sek kowe" (naik gunung susah kan, makanya tak suruh lar-lari dulu kamu itu)

Riski tidak bisa apa-apa selain menurut, di situ, Priyo dan Lika sempat berbicara berdua, sementara Puteri dan Andris ikut mengajak Riski ngobrol, hal ini mereka lakukan agar Riski tidak membawa pikiran negatif saat naik, membawa rasa bersalah ketika pendakian itu tidak enak.

Di sinilah Riski baru tau kalau Puteri rupanya juga sering melakukan pendakian, dia bahkan jauh di atas Koco, ia pernah sampai keluar pulau hanya untuk mengkoleksi gunung mana saja yang sudah pernah dia jelajahi, dia bilang perempuan punya batas kebebasan yaitu saat sudah menikah.

Andris juga sama seperti Puteri hanya saja dia masih memiliki batasan, dia tidak senekat dan seketagihan seperti Puteri, berbicara dengan dua orang ini memberikan Riski waktu yang cukup untuk istirahat sehingga pendakian akhirnya dimulai lagi.

Langit yang sebelumnya cerah tiba-tiba bisa berubah dalam hitungan jam, dari cerah menjadi mendung tebal, Riski bertanya kepada Koco berapa lama lagi mereka sampai di pos 1, Koco mengatakan jika mereka akan sampai di pos 1 kurang lebih setengah jam lagi. Riski bernafas lega.

Tapi ada sesuatu yang membuat Riski merasa tiba-tiba awas, seolah ada yang sedang mengamatinya dari tempat yang jauh, anehnya hanya Riski seorang yang merasakan perasaan ini, ia ingin mengatakan hal ini kepada yang lain tapi Riski takut kalau mereka nanti akan berpikir yang tidak-tidak.

Priyo dan Lika yang berjalan paling depan kemudian berhenti, mereka melihat dua jalur yang sudah dibuka, Lika yang sebelumnya sudah pernah mendaki gunung ini tiga kali tiba-tiba melihat jalan itu dengan ekspresi bingung.

Ia beberapa kali menggelengkan kepalanya seolah berpikir.

Tapi anehnya, Riski seperti tau tempat ini, bukan tau lebih ke kalau dia pernah melewati jalan ini, di dalam kepalanya berputar ingatan de ja vu yang membuat Riski terus melihat jalur yang sebelah kiri, hanya saja Riski lebih memilih diam.

Lika kemudian menunjuk jalur yang kanan.

Merekapun bergerak bersama, langit semakin gelap dan udara turun dengan begitu cepat membuat Riski dan yang lain semakin merapatkan tangan berharap hal itu bisa menghangatkan tubuhnya, disini sebenarnya baik Priyo dan Puteri sudah merasakan gelagat tidak nyaman.

Puteri bahkan berbicara terang-terangan untuk berhenti sebentar dan beristirahat lagi, disini Koco sempat protes karena baru pos 1 saja mereka sudah menghabiskan waktu yang tidak perlu tapi Puteri memaksa bahkan dia melotot seolah wajah Puteri yang sebelumnya ramah hilang sudah.

Riski pun berusaha menenangkan Koco, ia cukup kaget rupanya benar yang orang bilang, di gunung orang benar-benar bisa berubah, Lika berdiri paling jauh, ia menatap lurus kearah jurang, sementara Puteri, Priyo dan Andris seperti sedang membicarakan sesuatu, tak lama kemudian mereka bertiga pergi, berjalan menjauh sampai Riski dan Koco serta Lika tidak bisa lagi melihat kemana mereka pergi. Hal ini benar-benar terasa mencurigakan.

Riski sendiri masih merasa waspada, jantungnya tidak bisa berhenti bergerak cepat, hingga tanpa sadar tubuhnya merinding

Riski berdiri, tubuhnya benar-benar merasa menggigil tiba-tiba, Lika kemudian memperhatikan dirinya dari jauh tapi Riski memilih menghindar, Koco sendiri juga nampak bingung dengan sikap Riski yang tiba-tiba menjauh dari dirinya, di dekat pohon di sisi jurang yang lain, Riski lalu melihatnya, dia melihat sosok wanita tua, nenek-nenek sedang membawa kayu dengan kain jarik, anehnya, wanita tua itu menyeringai dan bersembunyi dibalik pohon tunggal, Riski tentu saja merasa janggal dengan situasi ini, untuk apa dia bersembunyi kalau Riski bisa melihatnya.

Riski termangu cukup lama, wajah nenek-nenek ini sedikit janggal dengan tempurung kepala yang lain seperti orang yang menderita cacat pada bagian kepalanya.

Dia menunjuk Riski dengan satu jarinya yang memiliki kuku hitam panjang seolah sedang berbicara dengan dirinya.

Untungnya dalam sepersekian detik seseorang menepuk bahunya, itu adalah Priyo yang kemudian bertanya kenapa Riski ada disini, Riski pun termangu, dia baru menyadari kalau semua orang sedang melihatnya.

"Bos, ojok mlaku dewe-dewe yo, bahaya" kata Priyo yang kemudian melihat ketempat Riski sedang tertuju tapi anehnya sosok itu sudah lenyap begitu saja.

Riski ingin menceritakannya tapi tubuhnya keburu kedinginan, iapun akhirnya mengurungkan niatnya, kemudian melanjutkan perjalanan.

Puteri kali ini yang memimpin sementara Lika dibelakang.

Hanya dalam waktu setengah jam setelah Puteri mengambil alih mereka kemudian berhasil mencapai pos 1 tepat pukul 4 sore, di pos 1 yang rupanya terdapat satu bangunan yang kecil itu mereka kemudian berembung apakah harus melanjutkan apa tidak.

Koco memberitahu untuk ke pos 2 hanya membutuhkan waktu 2 jam, seharusnya tidak lama, dan disana akan lebih baik daripada di sini apalagi kalau nanti turun hujan, Lika juga sependapat, hanya Andris yang seperti menolak karena firasatnya mengatakan tidak, semua kemudian diam mereka menunggu keputusan Riski.

Sebenarnya jika melihat apa yang Riski sudah lihat, dia condong setuju dengan Andris, melihat langit juga semakin gelap apalagi dia sejak tadi mendengar seperti ada yang membisikinya di telinga. "cah wangikuuuu.."

Tapi melihat Lika yang menatap Riski terus menerus, anak itu kemudian berkata kalau dia setuju dan lebih baik pendakian berhenti di pos kedua.

Andris pun akhirnya mengalah, mereka melanjutkan perjalanan saat hujan rintik-rintik mulai perlahan turun.

Apapun demi Lika.

Disini Riski kemudian baru mengingat sesuatu, bukankah seharusnya kalau sedang mendaki gunung setidaknya ada satu orang poter yang bertugas membimbing mereka atau setidaknya menjaga mereka dari hal-hal yang mungkin tidak diinginkan.

Priyo kemudian menjawab, "Iya, nanti.. di pos keempat ada satu poter yang sudah menunggu mereka, disana juga pendakian utamanya di mulai"

Anehnya, selepas Priyo mengatakan itu dia bisa melihat sorot matanya seperti menyimpan sesuatu yang tidak menyenangkan.

Karena hujan rintik sedang turun menyulitkan pendakian ini apalagi bagi Riski yang benar-benar buta teknik tidak seperti yang lain, mereka bisa tahu mana tanah yang bisa dilewati maupun tanah yang membuat mereka tergelincir, Koco bahkan memberitahu, "gawe o irung gawe ndelok lemah sing garing. Ojok moto!!" (pakai hidung untuk melihat tanah yang kering jangan pakai mata!!)

Meskipun Riski tidak mengerti, ia ditempatkan ditengah rombongan, jadi beberapa kali Koco dan Andris membantu secara bergantian saat tanah yang harus mereka lewati semakin curam.

Mereka baru berhenti ditengah-tengah pendakian, tanpa terasa hari mulai semakin gelap, Riski menghela nafas semakin sering, belum pernah rasanya dia sampai selelah ini.

Riski meminum air bersama Koco dan lagi-lagi dia melihat Priyo dan tiga orang yang lain sedang berbicara serius.

Mereka seperti sengaja menjauhi dirinya bersama Koco, hal ini tentu saja membuat Riski mulai jengkel sebenarnya apa yang sedang mereka lakukan, bukankah mereka mendaki bersama, seharusnya tidak perlu ada rahasia diantara mereka, anehnya Koco yang biasa sensitif dengan hal ini, nampak tidak perduli, Koco bahkan memberi wejengan Riski kalau hal seperti ini biasa, orang-orang melakukan itu untuk menentukan siapa yang memimpin, dan Koco maupun Riski pasti mereka anggap sebagai anak bawang.

Riski yang tidak tahan kemudian mendekat, mereka bergerombol sedang membicarakan sesuatu dibalik pohon besar, disana langkah Riski kemudian terhenti saat dari tempatnya sedang berdiri dia bisa mendengar Pryo sedang berbicara. "pos 1 sampe pos 2, omahe nyai kan?"

"Nyai?" batin Riski, ia tidak mengerti siapa yang dimaksud oleh nyai ini.

Andris kemudian berkata, "pos 1 sampai pos 3, nyai biasanya bisa naik sampai situ"

Puteri kemudian ikut berbicara, "Kampunge nang ndi?"

"Pos 4 paling" jawab Lika, mereka semua terdengar serius..

"Kampung, nyai?"

ketika Riski sedang menguping, tiba-tiba suara itu seperti kembali, "cah sing wangi.. nggone sopo" (anak yang wangi, punyanya siapa)

Riski hanya diam, sekujur tubuhnya semakin menggigil, entah karena hujan atau karena suara ini.

Tapi Riski kemudian berusaha melawan dirinya, ia kemudian bisa mengendalikan tubuhnya tapi sialnya Priyo dan yang lain memergokinya, "kowe lapo nang kene?" (kamu ngapain disini?)

Riski tidak bisa menjawab,

Puteri kemudian melindungi Riski, "wes-wes, gak popo, gak popo"

Akhirnya Priyo meninggalkan Riski menuju ke tempat Koco, Andris hanya diam, sorot matanya nampak bersimpati, sementara Lika, dia tidak melihat Riski sama sekali, hanya Puteri yang sejak tadi ada untuknya

"Ayo siap-siap, diluk engkas sampe" (ayo siap-siap, sedikit lagi sampe)

Riski kali ini ditempatkan dibelakang Priyo, ditengah-tengah perjalanan yang semakin sulit ini, Riski masih mendengar suara itu, suaranya tipis seperti suara mbah-mbah tua tapi ada suara tertawa dibalik bisikan itu, beberapa kali Riski melihat ke orang lain tapi tidak ada yang merasa

Semakin mereka bergerak maju rasanya semakin jauh ke tempat yang mereka tuju, baik Koco dan yang lain mulai merasa letih, Puteri bahkan menggelengkan kepala setiap kali Lika melihatnya seperti mereka sedang menjalin komunikasi

Priyo meminta berhenti lagi, kali ini kabut mulai turun

Hujan masih rintik-rintik, Riski kemudian untuk kali pertama mengatakannya, "mas kayae salah dalan" (mas sepertinya salah jalan)

Priyo sontak bingung, salah jalan? mana mungkin, tempat ini hanya memiliki satu jalur.

Lika pun mendekat, "kok iso ngomong ngunu?" (Kok bisa kamu ngomong gitu?)

Riski kemudian menunjuk pohon yang besar, "nang kunu, dalane sak walike uwit iku" (di situ, jalannya selepas melewati pohon yang itu)

Priyo dan yang lain saling menatap satu sama lain, bahkan Koco hanya memandang Riski janggal.

Koco yang melihat pohon itu kemudian mendekati Riski sebelum menampar pelan pipinya, "kowe ngelindur ta blok? lak podo ae seh dalane wong kene wes mari ngeliwati wet iku, moso kudu mbalik?" (kamu ngelidur ya blok? bukannya sama saja jalannya, orang kita sudah melewatinya tadi, masa kita harus kembali?)

Riski bingung menjelaskannya, intinya mereka harus kembali tapi dari sisi kiri pohonnya bukan dari kanan seperti tadi.

Puteri nampaknya yang mengerti maksud Riski, dia kemudian meminta yang lain melakukannya meski terasa konyol.

Semua orang kembali, setelah mereka berada di balik pohon besar yang menyerupai trambesi, Riski yang memimpin jalan melewati jalur kiri, merekapun melangkah bersama-sama, Riski sempat melirik Lika yang sekarang nampaknya mulai tertarik dengan Riski, persetan, dia hanya mau wanita ini.

Tapi seperti yang Koco katakan, jalannya sama saja, "bangsat!! podo ae blok!!" katanya, tapi Riski belum berhenti berjalan, dia memutar sekali lagi yang otomatis membuat yang lain tambah bingung, "loh loh kowe kate balik maneh ta?" (loh loh kamu mau balik lagi ta?)

Tapi Riski tetap melanjutkan langkahnya, barulah setelah itu mereka semua tidak bisa berkata apa-apa lagi, saat memutar seharusnya mereka sampai di posisi semula sebelum melewati pohon tapi nyatanya jalan ketika Riski mengitari pohon ini, jalan itu berubah.

Riski menemukan jalan ke pos 2

Riski kemudian menoleh ke orang-orang, Koco akhirnya menyadari ada yang aneh dengan pendakian ini.

Kemudian tiba-tiba, Riski mencium bau busuk yang sangat menyengat, bau ini sungguh bau paling busuk sampai Riski memuntahkan isi perutnya, Priyo dan yang lain seketika mendekat.

Lika ikut mendekat tapi Riski semakin mencium bau busuk itu, diapun melihat Lika, tidak salah lagi aroma ini, aroma ini berasal dari tas yang Lika bawa.

"Kowe nggowo opo? kowe nggowo opo!!!!!" (kamu bawa apa?? kamu bawa apa!!!!)

Riski melangkah mundur.

Koco tentu saja membantu Riski menjauhkannya dengan Lika, "Piyeee piyeee piyeee?" (ada apaaa ada apaa ada apaaa ini??)

Lika berusaha memberi gestur agar Riski tenang, tapi Riski terus mendorong agar Lika memberitahu apa yang dia bawa..

Lika kemudian melihat Puteri dan Priyo.

Mereka berdua mengangguk seolah mengatakan biarkan Riski melihat isinya, tak usah ada yang ditutupi lagi..

Lika pun mengangguk, mencondongkan tas miliknya kearah Riski yang direbut oleh Koco,

Koco kemudian memberikan tas itu kepada Riski, anak laki-laki itupun membukanya.

Di dalam tas itu bersama dengan Koco Riski mengambil sesuatu yang ada di dalamnya, semburan aroma busuk membuat Riski memalingkan wajahnya, saat benda itu terangkat dan Koco juga melihatnya, Riski tersentak dari tempatnya, dia langsung melemparkan benda itu..

Kepala perempuan.

Tapi anehnya Koco hanya melihat potongan kepala itu dengan wajah yang biasa saja, justru Koco merasa aneh melihat Riski yang melompat mundur sambil menunjuk potongan kepala itu, Puteri, Priyo dan yang lain saling memandang satu sama lain.

"Kowe nyapo?" ujar Koco.

"Ndas e sopo kui??"

"Ndas opo?? ndi??" teriak Koco bingung.

Iku iku iku!!! iku setaan!! goblok!!" Riski terus menunjuk tapi Koco semakin bingung, dia melihat ke tanah mencari-cari tempat yang ditunjuk oleh Riski.

"Ikuuu, ndas e cah wedok!!! aduh!! mati kui cah e" teriak Riski.

Riski kemudian melihat Lika yang juga nampak bingung saat itulah dibelakang Andris dia melihat nenek tua menyeringai dari bahu anak laki-laki itu sambil berkata kepadanya, "Cah wangiiii... wes onok sing nduwe.. melu si mbah yok, ojok munggah maneh, ning nduwur bahaya"

(anak yang wangiii..... sudah ada yang punya.. ikut si mbah yuk, jangan naik lagi, di atas bahaya!!)

Wanita tua itu kemudian menempelkan jari yang berkuku panjang hitam itu ke mulutnya, ia berjalan dibelakang Priyo dan yang lain. Riski pun kemudian berlari pergi dari tempat itu.

BERSAMBUNG
close