Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KEMBANG LARUK (Part 1) - Ketika Aku Mendaki Karena Ketidaktahuan

Gambar ilustrasi dalam cerita ini menggunakan foto kembang Wijayakusuma, alasannya sederhana hanya untuk penggambaran filosofis dari apa yang coba saya utarakan dalam bentuk narasi dari maksud kembang Laruk dalam cerita ini.

Untuk nama, tempat dan sebagainya rasanya tidak perlu ditulis karena, anggap saja cerita pengalaman narasumber ini sebagai penggingat, ambil baiknya buang buruknya, selebihnya dinikmati saja sebagai sajian kalau manusia masih terlalu kecil untuk tau perihal apa yang ada diluar sana.


Tahun 1993, Riski Anggoro Prasetyo, lahir dari sebuah keluarga yang kental dengan pemahaman kejawen, sejak dulu Riski banyak dikenalkan dengan berbagai budaya jawa lama oleh bapak, sebuah budaya yang sudah jarang sekali ditemui di tempat-tempat umum seperti wayang, ludruk atau tari.

Bahkan di rumahnya, benda-benda antik peninggalan leluhurnya masih dirawat dan dijaga dengan sangat baik.

Riski menghormati bapak lebih dari sekedar hubungan antara anak dan orang tua, ia mengaggungkannya karena selama hidupnya Riski hanya mengenali orang tua ini yang selalu menemani dia semenjak masih anak-anak, ibunya tidak beruntung karena harus pergi terlebih dahulu saat melahirkan Riski kecil, sehingga hanya sosok bapaknya sajalah yang akhirnya dia kenali sebagai sosok yang paling penting di dalam hidupnya.

Orang jaman dahulu pernah mengatakan, “tresno iku apik, nanging sing ngelebihi tresno nang kuoso iso garai menungso salah dalan, sing kelebihan iku gak tau apik” (menyukai itu bagus namun jika melebihi kesukaan kepada Tuhan yang maha kuasa itu bisa membuat manusia salah jalan, yang berlebihan itu tidak selalu membawa hal yang baik), di sinilah momen dimana Riski yang waktu itu berusia 16 tahun harus mendapati kabar kalau bapaknya kemudian meninggal dunia karena kecelakaan di tempat kerjanya di sebuah pabrik kimia, dimana seluruh bagian tubuh sampai tidak bisa dikenali lagi.

kehilangan itu yang membuat Riski hanya bisa berdiam diri seperti orang yang nyaris kehilangan separuh jiwanya, meskipun masih ada si mbah yang merupakan pensiunan tentara, tapi Riski tidak bisa menerima kepergian bapaknya yang pergi begitu saja tanpa pernah pamit kepada dirinya terlebih dahulu.

Suatu hari, setelah melewati satus dinone bapak (seratus harinya bapak), Riski pamit kepada si mbah, dia berniat untuk tidur lebih awal, waktu itu si mbah hanya bisa melihat Riski dengan wajah yang sayu, ia sambil berpesan kepada anak itu, “mari ngene maghrib loh nang, sabar o sek, mari isya kowe iso istirahat yo nang” (sebentar lagi adzan maghrib loh nak, sabar dulu ya, selepas isya kamu bisa beristirahat nak)

Riski hanya mengangguk, ia tidak melawan kata-kata si mbah, tapi bocah itu tetap saja berjalan lunglai menuju ke kamarnya.

Awalnya dia hanya duduk di tepi ranjang, tapi lama kelamaan badannya mulai terasa lelah dan tanpa Riski sadari niat awal untuk sekedar duduk menjadi tubuh yang terlentang di atas ranjang tidur, detik jam di dinding terus bergulir dan tiba-tiba saja Riski terlelap dalam tidurnya.

Adzan maghrib kemudian berkumandang, Riski membuka matanya saat mendengar ada seseorang sedang mengetuk pintu kamarnya. Dan dari cara dia mengetuk pintu terdengar familiar ditelinga Riski, “tok.. tok tok, tok!! tok!! tok”

Riski pun bangkit dari tempatnya tidur, ia kemudian melihat seseorang yang berdiri di muka pintu sedang menatap dirinya, "bapak."

Rupanya bapak lah yang sejak tadi mengetuk pintu, beliau melihat Riski sembari tersenyum lalu berkata “sembahyang sek too, kok tambah turu to le”

Waktu itu Riski masih setengah sadar, ia mengangguk lalu melewati pria paruh baya itu yang sempat menepuk bahunya, Riski lalu berwudhu seperti biasa dan menunaikan sholat maghrib seperti biasa, selepas menunaikan sholat, bapak kemudian duduk di teras depan rumah sambil menyesap tembakau lintingan seperti biasanya, Riski tentu saja kemudian ikut bergabung bersamanya, ia hanya duduk-duduk sambil menemani bapak yang bertanya kenapa anak ini dari tadi terus melihat kearah dirinya.

Setelah duduk cukup lama, bapak kemudian baru mematikan tembakau yang ada ditangannya lalu melihat Riski dengan mimik muka yang serius, “le, kowe ndelok iku gak?” (nak, kamu lihat itu ndak?) ucap beliau sambil menunjuk sesuatu yang ada jauh didepannya.

Riski melihat ketempat bapak sedang menunjuk, sebuah jalan setapak didepan rumah di bawah pohon juwet, disana Riski tidak melihat apapun kecuali jalanan yang gelap, bapak kemudian berkata, “iku ngunu ibumu le, wes ngenteni kowe ket biyen” (itu ibumu nak, sudah menunggu kamu sejak dulu)

Riski tentu saja terkejut saat itu, berkali-kali dia melihat ketempat itu tapi ia tidak bisa melihat siapapun sedang berada disana, rasanya bapak sedang ngelantur, pikirnya waktu itu.

Tapi bapak kemudian berdiri, “kowe ra percoyo to karo bapak, nek gak percoyo ayo melok aku tak duduhno nek ibumu pancen onok nang kunu” (kamu gak percaya kan sama bapak, kalau tidak percaya ayok ikut, tak tunjukin kalau ibumu memang ada disitu)

Saat itu Riski belum curga sedikitpun. Ia yang belum pernah sekalipun melihat ibu kecuali dari foto-foto lama kemudian ikut berdiri, dia kemudian berjalan mengikuti bapak yang sedang menapaki jalan menuju ke pohon juwet yang ada di depan rumah.

Awalnya tidak terasa, pohon juwet yang hanya berjarak beberapa langkah saja dari rumah entah kenapa terasa sangat jauh, selain itu bapak juga tidak berkata apa-apa lagi kepadanya keculi hanya berjalan dengan langkah kaki yang semakin cepat.

“Pak, kok ra totok totok too” (pak kok gak sampai-sampai) protes Riski saat itu.

Tapi bapak tidak menjawab pertanyaan Riski sama sekali, beliau masih terus berjalan seperti biasa.

Hingga perlahan-lahan suhu udara terasa semakin dingin, pohon juwet itu juga mulai tidak nampak lagi, Riski yang melihat bapak masih berjalan di depan masih belum curiga, sebelum mendadak sekujur tubuh Riski berubah menjadi tidak enak, hatinya risau, nafasnya tersenggal-senggal, kemudian rentetan hal ganjil itu diakhiri dengan bulukuduknya yang berdiri.

Riski mulai berhenti berjalan, ia sejenak melihat tempat ini dan mulai sadar dimana keberadaannya saat ini.

Bapak yang sejak tadi memimpin kemudian ikut berhenti, anehnya beliau tidak langsung membalikkan badan saat berbicara dengan Riski. “Lapo le, kok mandek? Iku loh ibu nang ngarep, titik maneh, jarene kowe kangen karo ibu” (kenapa nak, kok berhenti? Itu loh ibu ada di depan, sedikit lagi, katanya kamu kangen sama ibu)

Riski tidak bergeming dari tempatnya, firasatnya mengatakan kalau dia ikut bapak berjalan terus di jalanan ini dia akan mendapati sesuatu yang sangat buruk.

Melihat Riski yang nampak mulai ragu, sosok bapak kemudian menoleh, beliau melihat Riski kemudian melambai-lambaikan tangan kearahnya. “le, kowe ra percoyo to karo bapak? Merene, ayo nang ibu sak iki?” (nak, kamu gak percaya ya sama bapak? Kesini, ayo ke tempat ibu sekarang?)

Riski hanya menggelengkan kepalanya.

“Bapak kangen, Riski gak kangen to karo bapak, gak gelem melu bapak?” kata sosok itu yang masih melambai-lambaikan tangannya.

Riski masih diam saja, kini tubuhnya tiba-tiba saja merinding sewaktu ada hembusan angin yang seperti melewati dirinya.

Riski tau dimana tempat ini, ia mengenalinya, jalan ini tidak salah lagi adalah jalan yang menuju kearah kuburan desa. Kuburan tempat orang-orang mati biasa di makamkan, mana saat Bapak kemudian berhenti melambaikan tangan, Riski sudah berdiri diantara nisan-nisan tua, lengkap dengan pohon-pohon kamboja yang ada disekelilingnya.

“Kowe ra gelem melu mergo bapak opo mergo kowe wes sadar nek iki guguk bapak?” (kamu gak mau ikut karena bapak apa karena kamu sudah sadar kalau aku bukan bapak?)

Seketika itu wujud bapak menjadi bentuk wujud pocong tapi berwarna hitam yang kain kafannya benar-benar terlihat kotor seperti diselimuti oleh arang, mulutnya rusak dengan bola mata merah menyala, sosok itu melayang beberapa centi dari permukaan tanah menuju ke tempat Riski.

Riski hanya bisa ber'istighfar tapi aneh kakinya tidak bisa pergi dari tempat itu.

“Melu aku le, bapak ibumu onok nang ngarep, kowe gak kepingin mrunu ta karo aku” (ikut aku nak, bapak sama ibumu ada di depan sana, kamu gak mau ikut denganku kesana)

Riski menggeleng-gelengkan kepalanya, wujud pocong ini membaui Riski yang sedang membuang muka tidak berani melihat sosok yang mengerikan itu, “cah ganteng, cah pinter, cah pancer keliwon, ambumu wangi, wangi getih sing sek legi, melu yo, melu, melu, MELUUUUUU!!”

(anak ganteng, anak pinter, anak pancer keliwon, aroma mu begitu wangi, wangi darah yang masih terasa manis, ikut, ikut, ikut, IKUTTTTTT!!)

Riski meraung berteriak dan seketika dia terlonjak dengan badan yang terpelanting karena sesuatu seperti menjerat tubuhnya, saat itulah Riski melihat si mbah yang terhenyak disamping para tetangga desa yang melihat wajah Riski dengan sorot mata terkejut sekaligus ngeri.

Bagaimana hal itu bisa terjadi.

Riski juga merasa nafasnya terasa sulit dan tersenggal, saat itulah Riski kemudian melihat dirinya, ia sadar jika sekujur tubuhnya sudah dibungkus dengan kain kafan berwarna putih.

Siang itu, si mbah meminta maaf kepada para tetangga yang hadir di rumah sementara Riski duduk ditemani sanak saudara, tidak ada dari mereka yang bicara, setelah semua tamu sudah pergi, si mbah mengajak Riski masuk ke kamar.

Riski kemudian menceritakan semuanya, mulai dari ketemu bapak, kemudian diajak jalan ketemu sama ibu kemudian melihat wujud pocong menggunakan kain kafan hitam, pocong itu terus mencoba merayu Riski untungnya anak itu tidak terkecoh.

Si mbah hanya menghela nafas panjang, beliau tau kehilangan membuat manusia berada dititik paling rendah dalam hidupnya dan saat itu terjadi mereka yang suka, suka memanfaatkan keadaan bergerak masuk tidak menutup kemungkinan makhluk-makhluk seperti itu juga akan ikut bergabung.

Si mbah kemudian menceritakan versinya, kalau saat adzan maghrib berkumandang, si mbah masuk ke kamar Riski, disana beliau melihat Riski sedang tidur, tapi firasat buruk orang tua tidak bisa dibohongi, ia segera membangunkan bocah itu yang sekujur tubuhnya dipenuhi oleh peluh.

Si mbah mulai khawatir, badan Riski mendadak menjadi panas, tidak hanya itu nafasnya tersenggal seperti orang yang terkena asma, si mbah kemudian memanggil orang-orang termasuk mantri desa, tapi semua orang tidak bisa membangunkan Riski yang seperti hanyut dalam tidurnya.

Semakin malam semakin mengkhawatirkan dari badan yang sebelumnya panas tinggi mendadak menjadi dingin, nafas Riski juga tidak beraturan, beberapa orang menyarankan agar ada yang mau meng'adzhani anak itu, si mbah pun melakukannya, dan tiba-tiba tubuh Riski mengejang hebat.

Dibantu orang-orang, semua melafalkan adzan yang semakin keras, tubuh Riski terus mengejang, bahkan bocah itu menjerit-jerit seperti orang kesurupan, saat ada dititik paling jauh, tubuh Riski kemudian berhenti bergerak, denyut nadinya lenyap, detak jantungnya berhenti berdetak. Riski yang baru saja kehilangan bapak, dinyatakan meninggal dunia pukul 12.05 malam.

Waktu itu tetangga menyarankan agar anak malang itu di makamkan saat itu juga, tapi si mbah masih belum rela, beliau bilang biar Riski tetap disini setidaknya untuk malam ini saja, besok pagi pemakaman bisa dilangsungkan, si mbah pun tidur disamping jasad Riski.

Semalaman si mbah tidak tidur, beliau menjaga cucunya, semua sholat beliau lakukan, membaca ini itu, sambil mengharapkan kalau Riski benar-benar cuma tertidur tapi sampai fajar terbit Riski tidak kunjung menghembuskan nafas, dia benar-benar sudah pergi ke alam baka.

Selepas dimandikan, di sholati oleh para tetangga, kemudian tinggal beberapa prosesi doa, semua orang yang ada di dalam rumah dibuat terkejut saat bocah berselimut kain kafan itu menggeliat kemudian duduk dan melihat mereka semua, termasuk si mbah yang merinding menyaksikan ini.

Riski mati suri.

Sesuatu yang jarang sekali terjadi kepada manusia. Si mbah sendiri pun rasanya masih tidak percaya dengan kejadian ini, tapi nyatanya semua terjadi begitu saja, seorang yang kebetulan bertamu di desa pun mengatakannya, kalau Riski itu memiliki aroma kembang Laruk.

Aroma yang sangat disukai oleh mereka yang bukan dari bentuk makhluk sembarangan.

Kelas Kembang Laruk jauh lebih mengkhawatirkan, butuh orang yang punya kebatinan tinggi untuk menjaganya, karena itu, orang itu memberi nasihat, Riski dilarang keras mendaki gunung manapun.

Terutama satu gunung yang ada di jawa timur.

Orang asing itu membisiki si mbah, karena jika itu terjadi, si mbah dan keluarga lebih baik melupakan kalau beliau punya keluarga yang seistimewa ini.

Singkat cerita, si mbah sudah memberi wejengan bahkan setelah si mbah akhirnya wafat dan Riski memulai kehidupan barunya sebagai anak kuliahan.

Tahun itu, tidak banyak orang yang bisa merasakan bangku kuliah, tapi karena Riski dari keluarga yang cukup berada, diapun memilih menempuh pendidikan disalah satu universitas negeri.

Selama disana, tidak ada yang terjadi, kehidupan Riski seperti mahasiswa kebanyakan, kuliah, pulang, kuliah, pulang.

Sampai suatu hari, temannya menyampaikan salam titipan kepadanya, sebut saja teman Riski ini dengan Koco.

Koco ini teman Riski yang paling dekat, selain satu fakultas mereka juga masih dalam satu tempat kontrakan yang sama. Tahun itu, belum banyak kost-kostan, mahasiswa umumnya saling patungan untuk langsung menyewa rumah yang bisa diisi 5-7 orang, begitu pula dengan nasib Riski dan Koco.

Siang itu Koco memberitahu, kalau ada teman perempuan dari anggota Mapalanya yang ingin mengenal Riski.

Saat itu sebagai anak yang kurang aktif tentu Riski tidak gampang percaya, apalagi Koco anaknya yang sedikit sangklek dan suka membesar-besarkan hal-hal kecil.

Tapi Koco terus menerus memaksa katanya untuk menjaga martabatnya, kalau ndak suka sama anak ini Riski gak usah melanjutkan, ini adalah amanah, hal ini yang membuat Riski akhirnya mau dan bertemu sama kenalan si Koco ini.

Singkatnya, Riski akhirnya mengenal perempuan ini, Koco memanggilnya dengan nama Lika.

Lika ini cukup cantik dan Riski tidak bisa berbohong kalau dia sebenarnya tertarik, anehnya, baru satu minggu kenal Lika, perempuan ini berani mengajak Riski pulang ke rumahnya.

Sebagai orang yang tidak enakan, Riski mau-mau saja diajak pulang ke rumah perempuan ini.

Ada satu hal yang membuat Riski tidak nyaman saat bersama dengan Lika ini, dia sering sekali bertanya apa Riski pernah mati suri?

Pertanyaan ini terus menerus ditanyakan setiap ada kesempatan.

Riskti tentu menjawab sekenanya saja, kata orang dia memang pernah seperti itu tapi terlepas dari itu Riski tidak tau bagaimana rasanya dan bagaimana hal itu bisa menimpanya.

Lika pun mengerti dan dia berusaha untuk tidak bertanya tentang hal itu lagi.

Rumah Lika ini tidak jauh dari area kampus, tempatnya di deretan perumahan dengan gaya rumah khas belanda.

Saat Riski berjalan masuk, ia langsung bertanya, "omah bekas londo?" (rumah bekas belanda?)

Lika mengangguk, "iya mas, bapak dosen jadi dapat rumah dinas"

Di ruang tengah, Riski lebih banyak duduk dan menghabiskan waktunya melihat perabotan-perabotan lama, banyak lukisan dan foto-foto tua tertata di dinding, tidak ada yang menarik dari rumah ini selain firasatnya yang menunjukkan kalau rumah ini punya sesuatu yang gelap di dalamnya.

Sementara Lika meninggalkan Riski di dapur bersama dengan pembantunya.

Sendirian di dalam rumah itu membuat Riski tidak punya pilihan lain selain memperhatikan pigura-pigura foto yang tergeletak diatas meja buku, disana Riski melihat foto sepasang perempuan kembar.

Fotonya jauh lebih tua dari tahun Riski sehingga ia menyimpulkan kalau mungkin ini foto ibu Lika, saat Riski memperhatikan dengan seksama foto itu, Lika tiba-tiba sudah berdiri dibelakangnya kemudian berbicara, "foto ibu kale bu lek, ibu kembar mas nek kowe takok"

(itu foto ibu sama tante, ibu itu kembar mas kalau kamu tanya)

Riski yang merasa tidak enak karena bersikap tidak sopan kemudian mengangguk dengan canggung, ia melihat Lika meletakkan gelas berisi teh sebelum perempuan itu mengatakannya, "mas eroh gak karo Jajar loro?" (mas tau tidak tentang sejajar berdua?)

Riski tentu saja bingung, karena ini kali pertama dia mendengar pertanyaan seperti ini.

Riski kemudian menggelengkan kepalanya, mengaku kalau ia tidak tahu arti dari Jajar loro yang Lika tanyakan, perempuan itu hanya mengangguk, tidak menanyakan perihal itu lebih lanjut.

Setelah cukup lama mereka mengobrol, Riski kemudian meminta ijin kebelakang, Lika kemudian memberitahu dimana kamar mandinya.

"Neng mburi enek mbak Nuk, nek kowe bingung takok ae ten mbak Nuk mas" (dibelakang ada mbak Nuk, kalau kamu bingung tanya saja sama beliau mas)

Riski mengangguk, diperjalanan Riski semakin merasa tidak nyaman dengan kondisi rumah ini.

Mungkin karena rumah tua membuat Riski tidak terbiasa berada di dalamnya.

Saat itu Riski bertemu dengan mbak Nuk, beliau wanita paruh baya yang sangat sopan, bahkan mbak Nuk masih menunjuk menggunakan jempol tangannya.

Riski pun mengikuti arahannya.

Riski membuang air disamping sebuah sumur yang ditutup dengan kayu dari pohon trambesi, setelah ia selesai dengan urusannya niatnya kembali ke ruang tengah sebelum Riski seperti melihat Lika sedang berada di salah satu kamar dengan pintu yang terbuka.

Riski tentu saja kemudian mendekat ke kamar itu, disana Lika sedang duduk sejajar dengan cermin di meja rias di salah satu kamar, anehnya cara duduk Lika ini terlihat janggal, tubuhnya tegap dengan selaras wajahnya melihat ke cermin terus menerus.

Riski sebenarnya merasa tidak nyaman, ia bisa mendengar degup jantungnya berdetak dua kali lebih cepat, satu hal lagi, sekujur badan Riski tiba-tiba seperti menggigil dengan sendirinya.

Tapi Riski kelewat nekat, ia hanya penasaran apa yang dilakukan oleh kenalannya ini.

Berdiri di depan pintu sendirian dengan seorang perempuan yang dikenal sedang duduk selaras dengan cermin merupakan keadaan yang tidak mengenakan.

Riski pun berniat memanggil kenalannya ini saat tiba-tiba Lika ini memutar tubuhnya lalu seperti dengan sengaja membelakangi Riski.

"Lik" "Lika.." panggil Riski saat itu, tapi sosok Lika ini tidak berbalik, tidak juga bergeming, membiarkan laki-laki ini seperti orang konyol yang hanya berdiri diluar pintu.

Saat Riski merasa mungkin ada alasan lain, Riski berniat pergi sebelum Lika memanggilnya.

"Totok.." Riski seketika berhenti, "totok.." kata Lika lagi, Riski sempat bingung kenapa perempuan ini memanggil totok, sebelum Riski sadar sesuatu, dia cukup mengenal dialeg-dialeg lawas dari sejarah lama, totok adalah panggilan noni belanda kepada laki-laki pribumi.

Riski yang berdiri di depan kamar melihat Lika atau yang menyerupai dirinya menoleh tapi dengan cara yang sangat pelan, anehnya bagian badannya tidak bergeming atau ikut memutar, hanya kepalanya saja yang kemudian menyeringai melihat Riski, saat itulah pintu kamar ditutup oleh mbak Nuk.

"Mas, kowe iku ngerti po ra, ra sopan mlaku-mlaku nang omahe wong nek ra onok kepentingan" (mas, kamu itu mengerti apa enggak, tidak sopan jalan-jalan di rumah orang kalau tidak memiliki kepentingan)

Riski sempat menunjuk ke pintu kamar tapi mbak Nuk mengantar Riski kembali

Setibanya di ruang tengah, Lika yang sama, baju yang sama sedang duduk seperti orang yang sudah menunggu sejak tadi,

Riski tidak berbicara apapun begitu juga mbak Nuk yang langsung berjalan pergi.

Suasana mendadak menjadi canggung dan kemudian Lika mengatakannya.

"Aku karo Koco, karo arek-arek angkatanku kateh munggah, kowe gelem melok gak mas, gak tau kenek opo kok aku kepingin sampean melu, gelem yo mas"

(aku sama Koco, sama anak-anak lain angkatanku mau mendaki, kamu mau ikut gak mas, entah kenapa aku kok ingin kamu ikut, mau ya?)

Entah kenapa Riski tidak bisa menolak ajakan perempuan itu terutama selepas dia menenggak teh yang ada di depannya, "mau ya mas, aku mekso soale" kata Lika, Riski kemudian bisa melihat jika dibelakang mbak Nuk sedang melotot kearahnya tanpa alasan yang jelas.

Riski pun mengangguk kepada Lika, meski tidak berucap dengan lisan tapi itu cukup membuat perempuan itu mengangguk kemudian tersenyum.

Ya, untuk pertama kalinya Riski akan mendaki gunung.

Selang beberapa hari setelah bertemu dengan Lika, Riski pulang lebih malam dari biasanya dikarenakan ia harus mengerjakan beberapa tugas kuliah yang mengharuskannya seharian berada di perpustakaan membuka buku-buku tua dengan pinset karena lembarannya yang begitu tipis, salah sedikit saja halamannya bisa robek, maklum buku-buku ini rata-rata berusia tua, salah satu koleksi berharga yang dimiliki perpustakaan kampus.

Sewaktu pulang ke rumah kontrakan, Riski baru mengingat jika ketiga temannya sedang pergi ke kota sebelah, katanya mereka ingin membuang stress sebelum mulai menjalani ujian akhir semester, itu berarti yang ada di rumah ini hanyalah Koco seorang diri.

Dengan menenteng tas, Riski mengambil kunci dari kantung celana jins miliknya, ia mendorong pintu lalu terhenyak sejenak ketika mendapati suasana rumah kontrakan yang terasa berbeda, entah karena lampu yang masih dalam kondisi dimatikan atau karena hal lain yang Riski tidak ketahui

Selain itu udara malam ini juga terasa lebih lembab dari biasanya.

Riski mencoba untuk tidak memperdulikan hal itu, karena di dalam kepalanya, Riski hanya berpikir mungkin saja Koco sedang pergi keluar makanya rumah nampak seperti ini.

Iapun berjalan menuju ke kamarnya.

Kamar tempat tidur Riski berada disebuah ruangan yang berada jauh disudut dekat anak tangga kayu yang ada di lantai dua, tak ada pikiran apa-apa di dalam benak Riski kecuali dia hanya ingin meletakkan tas miliknya kemudian pergi mandi.

Tapi Riski tidak bisa membohongi dirinya kalau ada perasaan yang terasa mengganjal yang entah kenapa membuat dirinya lebih waspada dari pada biasanya saat berada di dalam rumah ini, seperti ada sesuatu yang sedang mengawasi dirinya dari suatu tempat yang entah darimana datangnya.

Riski berjalan dilorong rumah.

Rumah ini memang termasuk bangunan tua, maklum saja kalau tempat-tempat seperti ini nyaris tersebar disegala penjuru karena mungkin masih dalam satu area yang sama yang dekat dengan pemerintahan saat jaman kolonial dulu.

Selain itu hal yang membuat Riski dan kawan-kawannya terkejut saat pertama kali mengambil rumah ini sebagai kontrakan mereka, yaitu pemilik rumah yang meminta seluruh perabotannya agar tetap ada disini dan Riski bersama dengan yang lainnya boleh menggunakannya sebagai fasilitas, yang terpenting tidak ada dari benda-benda itu yang rusak, tentu saja hal ini menguntungkan, itulah kenapa pada beberapa titik tembok terdapat lukisan-lukisan tua lengkap dengan benda-benda antik yang biasa dilindungi dengan kaca di dalam lemari-lemari tua.

Untungnya selama Riski dan yang lain tinggal di tempat ini tak ditemukan hal-hal aneh yang terkadang sering dibicarakan oleh orang-orang sekitar setiap kali Riski mengatakan dimana mereka sebenarnya tinggal.

Hanya saja malam ini rumah ini memang terasa lebih berbeda dibandingkan malam-malam biasanya.

Di sinilah keanehan terjadi sewaktu Riski melewati satu lukisan tua tentang seorang penari Bali, dimana Riski sempat melirik dan melihat bola mata wanita yang ada di dalam lukisan tersebut rasanya seperti mengikuti gerakan kemanapun Riski pergi,

Hanya saja Riski sudah terbiasa dengan hal ini karena ia percaya hal itu dikarenakan ilusi biasa yang biasa terjadi saat orang-orang melihat lukisan-lukisan dengan objek manusia yang memiliki bentuk rupa.

Namun sejenak ketika Riski melangkah di jalan yang menuju kearah kamar tiba-tiba saja dari arah belakang Riski sempat mendengar seperti suara perempuan yang sedang tertawa.

Riski tentu saja menghentikan langkahnya dan melihat kearah belakang dimana Riski tidak bisa menemukan siapapun yang berada di tempat ini kecuali dia seorang diri, selain itu suara tertawa itu terdengar menyerupai suara tertawa perempuan yang ditahan seperti “hi hi hi hi..”

Riski tak memperdulikannya dan kembali melanjutkan langkah kakinya menuju ke kamarnya.

Didalam kamar, Riski kemudian menggantung tas miliknya lalu membuka seluruh pakaian yang seharian ini dia kenakan, setelah itu dengan celana pendek dia berjalan menuju ke kamar mandi sambil menenteng handuk yang dia letakkan di atas bahu miliknya.

Sewaktu Riski berjalan menuju ke kamar mandi dia harus melewati lorong itu kembali, tempat dimana lukisan penari bali itu digantung, entah karena saat itu lampu sedang dalam kondisi mati sehingga tempat itu terlihat lebih suram atau karena hal lain, Riski berusaha melewatinya

Ia sempat terhenyak saat berjalan disisi yang berlawanan dimana dia sempat merasa seperti melihat seorang wanita sedang duduk dibagian lain tempat Riski sedang berjalan, Tapi anehnya, ketika Riski menoleh dan memperhatikan dengan seksama, ia tidak melihat apapun kecuali kursi-kursi yang kosong yang ada di depan meja makan.

“Asu!! Mikir opo aku!!” (sialan!! Mikir apa aku ini) batin anak itu yang benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang dia sedang rasakan, iapun kembali berjalan dan meninggalkan tempat itu.

Sayangnya sesampainya dia di depan kamar mandi yang hanya ada satu-satunya di dalam rumah ini, Riski melihat seseorang sedang menggunakannya.

Riski bisa mendengar dari luar suara guyuran air dari dalam kamar mandi, Riski pun kemudian duduk di atas sebuah bayang (kursi panjang) yang sengaja diletakkan di samping pintu kamar mandi untuk anak-anak yang menunggu giliran.

Kamar mandi sendiri berada di tempat yang paling dalam disamping area dapur, tempatnya cukup tersembunyi dari kamar anak-anak, Riski hanya duduk sembari mendengarkan suara guyuran air seperti biasanya.

Tapi rasanya aneh, belum pernah rasanya Riski menunggu selama ini orang yang sedang mandi, kemudian Riski teringat kalau tidak ada orang lain di rumah ini kecuali dirinya sendiri dan tentu saja Koco, Riski pun kemudian berdiri dan menggedor pintu dengan keras,

“Co!! co!! iki koen tah?” (co!! co!! ini kamu kan?)

Tak berselang lama, suara guyuran itu berhenti sejenak, Riski terdiam menunggu jawaban sebelum ia mendengar orang yang ada di dalam kamar mandi berbicara.

“IYO!! Aku iki mbut, nyapoo!! Sabar too, mari ki aku mari!” (IYAA!! Aku ini mbut, lapo!! Sabar dong, habis ini aku selesai)

Riski pun merasa lega mendengar suara dari sahabatnya ini, “Jancok!! Tak kiro demit asu!! Soale aku gak ndelok awakmu nek wes nok omah!!”

(Jancok!! Ku kira kamu itu setan njing!! Soalnya aku tadi gak melihat kamu ada di rumah)

Orang yang ada di dalam kemudian tertawa sembari menyahut kepada Riski, “oalah mbut mbut, jaman yamene sek wedi karo demit, santai, santai, cah model koyo koen gur wangi ra nggarai aku kepingin, kecuali mbak kui sing koyoe seneng kowe”

(oalah mbut mbut, jaman sekarang masih saja takut sama setan, tenang, tenang, anak model kaya kamu meskipun wangi gak membuatku menginginkanmu, kecuali mbak yang itu yang sejak awal kayanya suka sama kamu)

Mendengar itu Riski sempat terdiam sebentar, ia berdiri di depan pintu sambil memikirkan apa maksud dari "mbak" yang dikatakan oleh Koco ini. Mbak siapa yang dia maksud.

Tapi Koco tidak mengatakan apapun lagi karena kemudian terdengar lagi suara guyuran air dan Riski kembali duduk sambil berujar “ojok suwe suwe asu, aku yo kepingin ndang adus, gatel awakku kabeh iki”

(jangan lama-lama njing, aku juga ingin cepat-cepat mandi, badanku sudah gatal semuanya)

Riski kembali duduk sambil memandang kesisi ruang tengah, entah kenapa tempat ini begitu sepi, anehnya kenapa baru sekarang Riski menyadarinya, atmosfer di dalam rumah ini terasa menakutkan.

Sambil menunggu Koco selesai dari dalam kamar mandi, Riski melamun memikirkan kenapa dia mau ikut naik ke gunung, bukankah selama ini dia tidak pernah melakukan kegiatan itu, kira-kira apakah dia nanti sanggup, fisiknya, mentalnya, entahlah,

Riski masih berkutat memikirkan hal itu sebelum dari ruang tengah Riski melihat bayangan seseorang sedang mendekat kearahnya.

Riski memandang bayangan gelap itu yang tinggal beberapa langkah lagi dari dirinya, Riski terdiam memikirkan siapa yang datang, apa salah satu temannya memutuskan pulang, tapi betapa terkejutnya Riski ketika melihat bayangan gelap itu tiba-tiba melompat dan berteriak mengejutkannya.

“Hiyaaaaa!!” teriaknya sambil memamerkan gigi-giginya yang besar, “Jancok!! Kowe iki tak celok celok tambah mlaku ae asu, kowe gak krungu ta aku ngenteni kowe nang pinggir pos gerbang kampus, nyeludur ae dadi wong!!”

(jancok!! Kamu itu dipanggil-panggil jalan saja terus njing, kamu gak dengar ya aku dari tadi nungguin kamu di pos gerbang kampus, nyelonong saja jadi orang)

Riski termangu diam, ia melihat Koco sedang berada di hadapannya, entah kenapa Riski bahkan sampai tidak tau apa yang bocah ini sedang bicarakan, karena telinganya mendadak seperti orang yang tuli.

“Woi, bangsat!! Kowe nyapo? Kowe ngerungokno aku po ora mbut?” (woi, bangsat!! Kamu itu kenapa? Kamu dengar aku apa enggak sih?)

Riski masih diam mencoba mencerna isi kepalanya.

Sebelum ia sadar dan berjalan kemudian mendorong pintu kamar mandi, sial!! batin anak itu yang seketika sadar saat melihat pintu kamar mandi bisa didorong dengan tangannya, dan lagi, tidak ada siapapun yang ada di dalamnya.

“Woi woi!! Nyapo seh, kowe lapo?? kok meneng ae!!” (woi woi!! ngapain sih, ada apa?? kok diam saja)

Riski menelan ludah, ia bersumpah sewaktu duduk di atas bayang ini, ia tidak melihat satu orangpun yang berjalan keluar dari dalam kamar mandi itu, dan lagi, bagaimana bisa Koco datang dari arah luar rumah sedangkan tadi benar-benar ada yang menjawab perkataannya. Riski pun mengurungkan niat untuk mandi, ia berkata kepada Koco, “negara sedang susah untuk itu mereka harus menghemat air” Riski pun kembali ke kamarnya.

Malam semakin larut Koco kemudian mendatangi kamar Riski, ia melihat Riski sedang duduk di atas ranjang miliknya, bocah itu nampak sedang membuka buku, Koco sejenak mengetuk pintu kemudian berjalan masuk, nampaknya anak itu sudah bisa mengira-ngira apa yang baru saja terjadi.

Tanpa basa basi Koco kemudian langsung mengatakannya, “kowe diwedeni tah karo sing ono gok jeding?” (kamu digangguin ya sama yang ada di kamar mandi?)

Mendengar itu tentu saja Riski hanya bisa melongo, sepertinya Koco lebih tau sesuatu yang tidak Riski ketahui. “Maksudmu opo?”

“Ora, kowe loh kok koyok ngunu mau, kowe diwedeni ta karo sing njogo omah iki?” (enggak, kamu loh kok kaya begitu reaksinya, kamu digangguin sama yang jaga rumah ini?)

Tidak lagi bisa berbohong, Riski kemudian menceritakan semuanya, Koco hanya manggut-manggut tidak berkomentar, anak itu juga nampaknya tidak terlalu terkejut dengan apa yang baru saja terjadi.

“Halah, ra popo, mek nggudo tok iku, kepingin kenalan paling karo kowe” (halah, gak papa itu, cuma nggodain, mungkin ingin kenalan sama kamu)

Riski hanya mengangguk, Koco kemudian melanjutkan, “aku yo gelek ketemu ambek sing ngunu kui, tambah cebok e mumbul tapi yo gak popo, omah model ngene justru aneh nek ra onok sing njogo modelan ngunu”

(aku juga sering bertemu dengan yang seperti itu, malah aku pernah lihat gayung yang bisa terbang tapi ya gak papa, rumah seperti ini justru aneh kalau gak ada yang jagain seperti itu)

Riski mengangguk kembali, apa yang Koco katakan memang benar, hal-hal diluar nalar memang ada dan tidak seharusnya dia takut dengan hal seperti itu. Ditengah-tengah pikiran Riski yang campur aduk kemudian ia ingat dengan pembicaraan saat dia tadi sedang dikerjai,

“Mbak-mbak itu” siapa maksudnya, tapi Riski memilih mengurungkan niat untuk mengatakan hal itu kepada Koco.

Kemudian pembicaraan mereka melebar sampai pada titik dimana Riski memberitahu kalau Lika mengajak dia naik ke gunung bersama dengan rombongan Koco, saat itulah Koco baru nampak kaget ketika mendengarnya.

“Opo?? Kowe, melu munggah? Tenanan? Ojok guyon kowe karo aku?” (apa?? kamu. Ikut naik? Yang bener saja? Jangan bercanda sama aku?)

Riski kemudian menjelaskan bukankah seharusnya Koco tau hal ini, tapi kenapa dengan reaksi Koco yang seperti itu. Bukankah hal ini terasa janggal.

Koco kemudian menjelaskan kalau gunung yang akan Koco daki bersama rombongannya adalah gunung yang jarang jadi pilihan para pendaki karena medannya yang masih terkenal sulit dan aksesnya yang sukar dijelajahi, selain itu butuh jam terbang tinggi untuk menjelajahi tempat ini.

Namun Koco kemudian terdiam sejenak seperti sedang memikirkan sesuatu.

“Aku kok kaet eroh nek Lika ngejak kowe, soale sing nggawe acara iki yo asline Lika iku, malah bapak’e sing bakal nangung kabeh biayane”

(aku baru tau kalau Lika ngajakin kamu, soalnya yang buat acara ini sebenarnya ya Lika itu, malah ayahnya yang mau menanggung semua biayanya)

Riski semakin yakin kalau ada kejanggalan dengan pendakian ini tapi baik Riski maupun Koco, mereka sama-sama tidak tahu alasan apa yang dilakukan oleh keluarga Lika.

"Nek aku seh gak keberatan, lumayan iso nyantai" (kalau aku tidak keberatan, lumayan bisa bersantai)

Riski hanya diam saja. Ia ingat jika Lika mengatakan kalau ayahnya adalah seorang dosen.

“Terus kowe ngomong iyo pas ditawari?” (terus kamu ngomong iya sewaktu dia menawarimu?)

Riski mengangguk, Koco nampak khawatir kemudian ia mengatakan sesuatu kepada Riski, “munggah gunung iku gak gampang loh Ris, ra koyok kari mlaku ngunu, nek wong rung tau mestine munggah gunung sing endek-endekan sek, gak langsung melu pendakian sing iki, tak saranno urungno niatmu, soale, kowe gak ngerti nang gunung iku menungso iso dadi bedo?”

(naik gunung itu tidak mudah loh Ris, gak kaya kamu tinggal jalan saja seperti biasa, kalau orang belum pernah naik seharusnya dimulai dengan gunung yang pendek-pendek dulu, gak langsung harus ikut pendakian yang ini, aku sarankan urungkan niatmu, karena, kamu gak akan mengerti kalau di gunung manusia bisa menjadi orang yang berbeda?)

Riski kurang mengerti apa yang coba Koco sampaikan kepadanya tapi jika ia melakukan hal itu rasanya mau ditaruh dimana mukanya nanti dihadapan Lika, lagipula entah kenapa Riski yang biasanya kurang memperdulikan perasaan orang lain bisa begitu takut membuat Lika kecewa, padahal mereka saja baru mengenal satu sama lain kurang dari sebulan ini.

Riski kemudian berujar kepada Koco kalau jauh di dalam hatinya memang ada keinginan setidaknya untuk sekali ini saja dia ingin melakukan pendakian ini jadi dia bisa merasakan perasaan Koco yang biasa dia ceritakan kepadanya lagipula kegiatan ini bisa menambah pengalaman.

Koco sebenarnya tetap tidak sependapat dengan Riski, bagaimanapun mendaki gunung itu berbeda, tapi ia juga tidak mau jika harus melarang anak itu untuk merasakan sensasi mendaki, dan tertawa puas saat sampai dipuncak, ia kemudian mengurungkan niat dan berpesan kepada Riski, “mene mulai mlayu-mlayu diluk ben isuk, latih ambekanmu, gunung iku gak seramah sing dipikir wong-wong”

(besok, mulai lari-lari kecil setiap pagi, latih pernafasan, gunung itu tidak seramah yang orang-orang pikirkan) selepas mengatakan hal itu, Koco kemudian pergi meninggalkan Riski seorang diri di dalam kamar yang entah kenapa membuatnya masih termangu diam sendirian.

Malam sudah larut, Riski sedang terlelap didalam tidurnya sebelum tiba-tiba ia mencium aroma dari kembang yang sangat wangi, aromanya asing tapi rasanya Riski pernah mencium aroma ini, tidak salah lagi. Katanya di dalam hati. Aroma ini adalah aroma dari kayu cendana.

Riski pun mulai membuka matanya, ditengah kegelapan kamar dia merasakan kalau tidak jauh dari tempatnya sedang berbaring terlihat seseorang sedang dalam posisi bersimpuh, sosoknya terlihat tidak begitu jelas tapi Riski bisa melihatnya kalau sosok itu adalah seorang wanita.

Rambutnya panjang tergerai sampai menyentuh lantai, posisinya bersimpuh membelakangi Riski, Riski yang masih belum sepenuhnya sadar nampak terhenyak di atas tempat tidurnya ia memandang pada bagian kepalanya seperti ada sesuatu yang berkilau kekuningan seperti sebuah mahkota

Yang anehnya terlihat familiar bagi Riski, anak itu nampak bingung apakah dia sedang dalam kondisi bermimpi atau sudah terjaga, selain itu aroma wangi dari kayu pohon cendana nampaknya berasal dari sosok wanita yang ada dihadapannya ini.

Riski pun berusaha bangkit dari tempatnya sedang tidur tapi tiba-tiba sosok yang masih terlihat samar-samar itu berkata dengan suara yang sangat lembut.

“Tetaplah disitu”

Riski menyadari mungkin sekarang dia dalam kondisi terjaga. kalau begitu, siapa perempuan asing ini.

“Aku menyarankan agar kamu tidak perlu pergi hanya untuk menuruti keinginan dari orang yang sedang memanfaatkanmu” katanya, suaranya terdengar begitu lembut namun terasa dingin, “kamu tidak pernah tahu ada apa saja di gunung itu, kamu itu istimewa, dan yang istimewa biasanya menjadi rebutan, ini bukan perkara siapa yang nanti mendapatkan, tapi perkara dusta yang diselimuti nafsu pribadi dari orang yang tidak memikirkan perasaan dari yang lain”

“Uruangkan, ya..”

“Urungkan…..”

“URUNGKAN!!” teriaknya dengan suara yang tinggi.

Riski bisa melihat sekilas wajah wanita itu dan seketika ia menyadari kalau sosok yang sedang bersimpuh dihadapannya ini memiliki perawakan yang sama persis dengan sosok wanita yang ada di dalam lukisan penari bali.

Pagi harinya, Riski terbangun dengan kepala yang terasa sakit, ia tidak bisa membedakan lagi apakah semalam dia bermimpi ataukah hal itu memang terjadi. Entahlah, tapi mengenai pesan itu rasa-rasanya ada bagian di dalam hatinya yang juga ragu dengan pendakian ini.

Niat hatinya selepas matahari sudah bergerak naik, ia akan pergi ke rumah Lika untuk mengatakan kalau dia tidak bisa ikut dalam pendakian ini. Semoga saja perempuan itu mengerti.

Sewaktu Riski berjalan di lorong rumah, Riski berusaha menghindari kontak mata dengan lukisan penari dari bali tersebut tapi nampaknya hal itu sulit dilakukan karena meskipun Riski mengalihkan pandangan ia sempat melihat kearah bola mata wanita yang ada di dalam lukisan, wanita itu terlihat seperti sedang tersenyum kearahnya.

Riski sampai di rumah Lika saat matahari ada di atas kepala, ia memarkirkan motor Rc-100 keluaran tahun 95'nya itu di halaman depan di bawah pohon jambu, ia sempat mendongak kearah pintu rumah yang anehnya, Lika seperti tau akan kedatangannya. Wanita itu tersenyum menungguinya.

Riski mendekat, dan wanita itu menyambutnya, "monggo mas" katanya lembut, Riski bingung, aneh sekali tubuhnya seperti menolak keras untuk mengatakan maksud kedatangannya, di atas meja juga tersaji teh yang sama seperti sebelumnya dan sekali lagi mbak Nuk melotot dari ruang seberang

Lika mendorong Riski agar meneguk teh itu, setelahnya dia berkata sangat senang setelah Riski setuju mau ikut pendakian ini dan hari ini juga ada yang mau Lika tunjukkan kepada Riski alasan kenapa dia sampai hati melakukan ini,

Singkatnya, Lika mengajak Riski pergi ke rumah yang ada dibagian dalam tepatnya di sekitar area dapur, mbak Nuk sempat menghentikan mereka, ia berbicara, "ojok non, nek bapak eroh sampean ambek aku iso diajar non" (jangan non, kalau bapak tau anda atau saya bisa dihajar non)

Tapi Lika menanggapi mbak Nuk dengan senyuman yang membuat wanita paruh baya itu ketakutan dan menyingkir, maka mereka kembali berjalan, tangan Lika mengapit tangan Riski menuntunnya ke sebuah ruangan yang benar-benar terlihat gelap.

Bahkan sinar matahari pun tidak bisa menyusup masuk, Lika menyalakan lampu petromaks yang ada di dinding kemudian membawanya sembari menunggu Riski agar mengikutinya.

Masuklah mereka kesalah satu pintu berwarna hijau muda yang dipenuhi goresan aneh didepannya.

"Mas Riski eroh yo nek ibu iku kembar?" (mas Riski tahu kan kalau ibu itu kembar?)

Riski mengangguk sambil menahan hidungnya yang tiba-tiba mencium aroma yang busuknya setengah mati sampai Riski merasa mual saat berada di dalam ruangan itu.

"Biasane nek onok keturunan kembar, nduwe anak sing kembar sisan mas, mas Riski eroh ambek info iki?" (biasanya kalau ada keturunan yang kembar, punya anak yang kembar juga mas, mas Riski tahu kan mengenai info ini?)

Riski hanya diam sembari menahan hidungnya, rasanya dia pernah mendengar tentang hal ini, tapi apa hubungannya dengan ini semua.

Lika tersenyum dibalik pendar cahaya lampu minyak yang dia bawa, jujur tiba-tiba Riski merinding di depan anak ini,

Lika menarik satu tangan Riski memintanya mendekat ke bagian dalam kamar, aroma busuk yang tidak bisa Riski jelaskan membuat rasanya ia ingin berlari pergi tapi tertahan saat Riski melihat seonggok kain putih yang menutupi sesuatu di dalamnya.

Riski terdiam sejenak dalam hening.

Lika kemudian menarik kain yang menutupinya, disana Riski bisa melihat apa yang ada di dalamnya, rupanya sosok yang nyaris sama persis dengan Lika hanya saja kulitnya berwarna putih sangat-sangat pucat, bagian hidungnya ditutup oleh kapas, dan dia terbungkus dalam balutan kain kafan.

"Si mbak pernah mati suri kaya mas Riski, dia sudah dilarang naik ke gunung karena beliau itu memiliki aroma seperti kembang laruk, tapi si mbak gak mendengarkan kami waktu itu, saat ini si mbak ditemukan dalam kondisi begini, sudah dilakukan apapun untuk mengembalikannya, tapi tidak ada yang berhasil, sampai kami pernah mendengar kalau sukmanya masih tersesat disana, si mbak ngambil sesuatu disana masalahnya tidak ada dari kami yang bisa melihat dimana si mbak berada, cuma orang yang pernah mati suri yang bisa melihatnya, karena itu, saya butuh mas Riski buat menunjukkan jalannya nanti)

Riski yang mendengar itu sontak berjalan mundur menjauh dari Lika, "Mati aku" katanya berujar lirih,

Sejujurnya Riski masih terlihat bingung, dia tidak tahu harus merespon seperti apa, tapi Lika nampaknya menunggu respon anak itu, "piye carane aku eroh mbakmu? aku loh gak ngerti opo-opo?" (gimana caranya aku bisa tahu dimana mbakmu? aku loh tidak tau apa-apa?)

"Sing munggah engkok wong-wong sing bakal mbantu awak dewe mas, engkok onok aku sisan sing bakal ngancani kowe, aku gak bakalan ninggalno njenengan, mohon mas Riski purun mbantu keluarga kulo, sakken, ibu wes gak onok, bapak ben bengi nangis terus mas"

(yang mendaki nanti adalah orang-orang yang akan membantu kita mas, nanti ada aku juga yang akan menemani kamu, aku gak akan meninggalkan kamu, mohon mas Riski mau menolong keluargaku, kasihan, ibu sudah gak ada, bapak setiap malam menangis sendirian)

"Sing nolong iki sopo ae, koen iku yakin tah iso selamet yo opo nek tambah kowe utowo aku ra iso muleh, ojok gawe dulinan perkoro ngene iki, aku wes sering ketemu" (yang nolong itu siapa aja, kamu itu yakin bisa selamat, gimana kalau menambah korban, kamu atau aku gak bisa pulang, jangan membuat hal ini jadi perkara sepele, aku sudah sering bertemu yang seperti ini)

Lika untuk sejenak terdiam, suasana di tempat itu terasa sangat hening hingga rasanya tempat itu seperti kedap suara, "ya sudah kalau mas Riski akhirnya ndak mau, saya gak maksa, monggo mas Riski pulang, ngomong-ngomong hati-hati kalau pulang, mas Riski gak tau kan apa saja yang sudah masuk kedalam perut?)

Lika menyeringai memberi jalan Riski untuk pulang, tapi anehnya Riski seperti tidak bisa pergi dari tempat itu, ia tidak mau meninggalkan Lika disini sendirian.

"Monggo mas" Lika masih menyeringai memberi jalan.

Lika kemudian mendekat, menyentuh pipi Riski, ia berbisik "ndak papa, ndak papa, yang nemenin kita bukan orang-orang sembarangan, mereka siap nanggung resiko, setiap malam jasad si mbak jadi rebutan banyak sekali makhluk yang tidak akan saya ceritakan, jadi mohon maaf kalau pakai cara begini ya mas?"

Riski mengangguk, ia seperti menurut apa saja kata perempuan ini.

Mereka kemudian keluar dari ruangan itu, setelah meninggalkan ruangan itu Riski terhenyak melihat seorang pria tua yang mengenakan kaca mata, kulitnya sawo matang dan menatap Lika serta Riski dengan sorot mata yang tidak bisa ditebak, Riski menyadari mungkin beliau inilah bapak Lika.

Awalnya dia kira orang ini akan menolong Riski tapi kemudian dia berkata kepada Lika, "kabeh sing mok butuhno wes tak siapno nduk, ati-ati bapak mung iso ndungokno kowe" (semua yang kamu butuhkan sudah kupersiapkan ya nak, hati-hati bapak hanya bisa mendoakan kalian)

Hari itu, Riski menginap di rumah Lika, mbak Nuk juga mengurusi semua kebutuhannya selama sehari, dan keesokan paginya, bapak Lika menawarkan diri untuk mengantar mereka ke stasiun, perjalanan mereka akan dimulai dari titik pertemuan ini.

Riski kemudian teringat dengan rombongan Koco dan berniat menanyakan hal itu, Lika kemudian mengatakan kalau semua rombongan Koco tidak ikut kecuali Koco sendirian disana, hanya orang-orang pilihan yang Lika bawa karena tujuan mereka juga bukan untuk mendaki tapi mencari.

Riski kemudian bertanya, apa Koco tau tentang maksud dan tujuan mereka ini, Lika menjawab Koco tidak perlu tau dan dia harus ikut agar tidak menimbulkan kecurigaan siapapun, tapi Lika menjamin orang-orang bawaannya adalah orang-orang yang berguna.

Di stasiun, bapak Lika kemudian langsung pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun kepada mereka berdua, Lika berjalan dengan langkah kaki yang cepat, melewati banyak sekali orang-orang yang ada di stasiun, tempat dimana berbagai orang berkumpul menjadi satu.

Pedagang, pelancong, semua orang memenuhi stasiun dan mereka akan saling berebut gerbong masuk, penumpang kereta masih belum diatur, disana Lika melihat Koco dan orang-orang yang akan bergabung rupanya sudah berkumpul, disana pula Riski akhirnya bisa melihat orang-orang itu.

Seorang pemuda dengan rambut keriting panjang dengan badan tegap menyapa Lika dan Riski, seorang perempuan berambut pendek dengan jaket tebal mengangguk, juga ada seorang anak yang mungkin lebih muda membawa tas lonjong dengan sepatu karet pendakian, dan yang terakhir Koco.

Lika menyapa semua orang, begitu juga dengan Riski, setelah semua orang sudah berkumpul satu sama lain, mereka bergabung dengan orang-orang berebut satu sama lian untuk bisa ikut dalam rombongan kereta ini, dan siang itu, mereka berangkat ke tempat tujuan terakhir.

BERSAMBUNG
close