Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KERIS BENGGOLO IRENG (Part 6) - Songgokolo

Sebuah pohon besar berdiri gagah memayungi sebuah rumah tua yang dulu pernah kudatangi bersama Guntur untuk menolong Arum, dan saat ini di hadapanku berdiri Nyai Jambrong seorang pendekar tua yang dulu pernah hampir merasakan hidup abadi dengan ilmu Rawaronteknya.


JEJAKMISTERI - Aku sudah mempersiapkan kuda-kuda namun sebuah tendangan darinya tetap bisa membuatku terseret hingga beberapa meter. Itu murni ilmu beladiri, tidak ada sedikitpun ilmu kanuragan maupun hal ghaib yang memperkuat seranganya itu.

“Uwis to nyai, (Sudah nyai..) Aku tidak ingin bertengkar.. yang kami hadapi kali ini bukan musuh sembarangan. Bantuan nyai sangat kita butuhkan!” Ucapku yang masih tidak ingin menyerah untuk meminta bantuan Nyai Jambrong dalam menghadapi sosok yang diceritakan Indira. Sosok penghuni Keris Benggolo Ireng yang diceritakan oleh suara di mimpinya yang disebut dengan nama Ndoro Songgokolo.

“Ojo lancang kowe bocah ketek! Kuwi dudu urusanku!“ (Jangan lancang kamu bocah monyet! Itu bukan urusanku) Balas Nyai Jambrong yang tetap pada pendirianya dan sepertinya percuma juga untuk memaksanya. Wajahnya juga terlihat sangat kesal seolah memang tidak peduli.

Aku cukup kecewa dengan sikap Nyai Jambrong, kupikir dia sudah banyak berubah sejak kehilangan ilmunya. Saat mengetahui ia menyelamatkan Indira aku berfikir bahwa ia mungkin akan bersedia membantu kami.

“Ya sudah kalau begitu, saya pergi.. kalau sampai berubah pikiran, nyai tau harus mencari saya dimana”

“Lungo! Sing adoh sisan! Ora usah teko rene meneh!” (Pergi! Yang jauh sekalian! Nggak usah datang kesini lagi!)

Mendengar umpatan Nyai Jambrong aku mengambil batu kerikil yang ada di dekat kakiku, melemparkan tepat ke kepalanya dan segera berlari untuk melampiasakan kekesalanmu.

“Eeh… Dasar setan! bocah ketek! Kuwalat kamu sama orang tua!” Teriak Nyai Jambrong yang ingin membalas lemparanku namun tertahan karena aku sudah berhasil berlari cukup jauh.

***

“Gimana Mas Cahyo?” Tanya Guntur yang menyambutku di rumah Bu Ningrum tempat Indira beristirahat sementara.

“Percuma, emang dasar nenek-nenek. Dia nggak mau meninggalkan desa ini sama sekali” Jawabku.

Guntur terlihat kecewa namun ia terlihat berpikir seolah masih ingin mencari cara agar Nyai Jambrong mau membantu kami. Sementara itu aku menghampiri Indira yang terlihat masih trauma dengan apa yang ia alami.

“Indira, malam ini kita bersiap. Besok kita cek keadaan desamu, siapkan diri menyaksikan hal yang terburuk” Ucapku yang memang sudah menduga bahwa mungkin sudah banyak korban dari desa tempat tinggal Indira.

Indira sudah menceritakan semuanya. Mengenai bapaknya yang membunuh seluruh ibu dan mbakyunya, sosok-sosok yang muncul di sekitar bapak, Suara yang memberi petunjuk di mimpinya, hingga sosok nenek yang menyerang desa Guntur.

“Iya Mas Cahyo, cepat atau lambat sepertinya saya harus menghadapi bapak” Jawab Indira yang memaksakan dirinya untuk terlihat tegar.

“Kamu hebat Indira, perempuan lain mungkin sudah gila saat mendapat musibah sepertimu” Ucapku.

“Mungkin ini semua karena Mbok Nasri, tinggal bersamanya membuatku merasa lebih tenang dan menghargai hal-hal yang tersisa di hidup saya” Jawab Indira.

Iya, Indira juga mencertikan saat ia ditolong oleh mbok Nasri dan tinggal bersamanya.

Seorang wanita paruh baya yang hidup sendiri dengan kesederhanaanya. Mungkin saja ilmuku dan Danan tidak mampu untuk memulihkan trauma yang di alami oleh Indira. Tapi keihklasan seorang Mbok Nasri dengan kederhanaanya malah justru bisa menguatkan Indira hingga seperti ini.

“Ya sudah, sebelum berangkat besok jangan lupa pamit ke mbok nasri ya” Ucapku mengingatkan Indira yang dibalas dengan sebuah anggukan.

“Kamu gimana tur? Jadi mau ikut?” Tanyaku Pada Guntur yang katanya sudah berguru kepada Nyai Jambrong dan setidaknya memiliki ilmu untuk melindungi diri.

“Nggak Mas, nggak jadi.. aku disini saja” Jawab Guntur yang berbeda seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya. Mungkin ia telah menyadari sesuatu.

“Pilihan bijak, kamu sudah tambah dewasa” Ucapku mencoba memuji Guntur.

“Berarti sekarang sudah bisa disebut dukun kayak mas Cahyo?” Ucap Guntur spontan.

Aku segera menoleh ke arahnya dengan wajah kesalku dan melempar sarungku. ”Siapa yang kamu panggil dukun? Enak wae!”

“Lah kalau bukan dukun nyebutnya apa?” Tanya Guntur yang aku tahu dengan jelas maksudnya untuk meledekku.

“Pendekar! Pendekar Ketek Alas Wetan Cahyo dari Trah Rojobedes!” Balasku membalas ledekanya.

Tak kehabisan akal Guntur segera menghampiriku dan menangkupkan tanganya di depan kepalanya.

“Pendekar! Ijinkan aku bergabung dengan Trah Rojobedes, saya pastikan trah kita akan menguasai tanah jawa” Ucapnya menirukan suara-suara pendekar di film-film kolosal.

Sontak kami satu rumah tertawa dengan tingkah laku konyol dari Guntur. Aku tahu suatu saat ia akan menjadi orang yang hebat namun yang lebih aku harapkan bahwa orang-orang hebat itu sudah tidak diperlukan lagi karena yang kuharap tidak ada lagi orang yang menyalahgunakan sosok dan ilmu berada diluar batas manusia.
Aku mengabari Danan mengenai cerita dari Indira dan kondisi desa Guntur yang sudah dibersihkan.

Ia akan menyusul ke desa Indira setelah menemui seseorang bernama Mbah Jiwo yang kata paklek bisa membatu memulihkan benda yang pernah menyegel keris benggolo ireng.

***

Malam itu aku mencoba terakhir kalinya untuk meminta pertolongan Nyai Jambrong dengan mencoba menghampirinya kembari ke dalam hutan. Tapi sebelum sampai ke kediamanya, terdengar suara yang cukup berisik.

Aku mencoba mendekat, namun yang terlihat disana adalah Guntur yang sebagian tubuhnya lebam oleh serangan Nyai Jambrong.

“Eyang, serang lagi!” Teriak Guntur yang dibalas dengan tendangan yang cukup kuat namun bisa ia hindari dengan gerakanya yang cukup lincah.

Namun tetap saja serangan terakhir Nyai Jambrong berhasil mendarat di tubuhnya. Walaupun sempat ditahan, serangan itu berhasil membuat Guntur terseret sepanjang beberapa meter.

“Sudah nggak usah bertele-tele! Mana mungkin bocah pemalas kayak kamu kesini malam-malam untuk berlatih!” Teriak Nyai Jambrong yang sepertinya sudah membaca maksud Guntur.

Guntur membersihkan debu yang ada di tubuhnya dan kembali mendekat.
“Aku sudah cukup kuat kan Eyang?”

“Bukan berarti kamu bisa sombong “

“Bukan itu eyang, Guntur akan ngejagain Arum selama eyang pergi. Jadi tolong bantuin mas Cahyo.. dia pasti kewalahan”
Seketika aku kaget dengan perkataanya. Rupanya Guntur melakukan hal ini agar Nyai Jambrong mau membantuku.

“Kamu jangan sombong, dan jangan salah sangka, bocah ketek itu lebih hebat dari yang kamu pikirkan. Sudah sana pulang” Perintah Nyai Jambrong.

“Tapi Eyang! Guntur ngerasain perasaan yang nggak biasa. Ini bahaya yang besar” Ucap Guntur yang terus berusaha memaksa.

“Sudah kamu pulang sana!”

“Kenapa sih eyang masih keras kepala nggak mau nolongin mas Cahyo?”

“Eyang bilang sana pulang! Bukan bilang nggak mau nolongin kan?” Nyai Jambrong menjawab sambil melangkah meninggalkan Guntur masuk ke dalam rumahnya.

Mendengar ucapan Nyai Jambrong itu Guntur sedikit tersenyum dan terduduk. Sepertiya pertarungan tadi sudah belangsung cukup lama hingga menguras tenaganya.
Aku tidak dapat mengerti jalan pikiran Nyai Jambrong, mungkin saja ia punya caranya sendiri untuk menolongku.

Namun sebaiknya aku tidak berharap banyak dari seseorang yang sebelumnya adalah pengguna ilmu hitam yang telah menghabisi banyak nyawa hanya demi ilmu.
Sebaiknya aku tidak perlu lagi mencampuri mereka, mungkin lebih baik hari ini aku beristirahat total untuk mempersiapkan perjalanan besok.

Lagipula masuk angin yang kudapat selama perjalanan dengan mobil Mas Jagad saat ke rumah Dirga juga belum pulih sepenuhnya, sepertinya ini hukuman karena terlalu banyak sok bertingkah keren.

***

Aku mengantar Indira ke rumah Mbok Nasri yang sekaligus merupakan warungnya untuk berjualan sayur. Terdengar percakapan tulus antara mereka berdua yang saling khawatir dengan keadaan masing-masing.

“Nduk, kamu harus hati-hati pokoknya. Kalau bingung mau kemana, kamu pulang kesini saja ya nduk. Indira sudah jadi anak mbok” Ucap Mbok Nasri. Tanpa sadar aku tersenyum mendengarnya.

“Iya Mbok, Indira pasti kembali kesini. Doain Indira ya mbok” Pamit Indira yang mencium tangan mbok nasri sebelum pergi.
Aku menghampiri mbok nasri dan melakukan hal yang serupa.

“Tenang saja mbok, saya yang jaga Indira.. mbok tenang saja dan bantu doa ya”.

“Iyo Nang, titip Indira ya” Mbok Nasri menatap mataku dan menepuk pundaku seolah menitipkan anaknya sendiri padaku.

***

Perjalanan kami rupanya cukup panjang hingga baru sampai di desa Indira pada tengah hari.

Sebuah desa kecil namun setiap rumahnya memiliki lahan yang cukup besar dengan rumah joglo yang menjadi bangunan utamanya. Ruma Indira merupakan salah satu yang terbesar disana dan cukup mencolok.

Menurut ceritanya, keluarganya memang cukup berada dengan penghasilan dari hasil sawah miliknya yang digarap oleh warga desa. Namun anehnya saat ini, hanya keheningan yang ada di desa ini. Tidak ada seorangpun manusia yang kami lihat sepanjang jalan.

Saat kami semakin masuk ke dalam beberapa rumah sudah ditutup garis polisi dengan kondisi bangunan yang berantakan.

“Ini rumah kepala desa” Ucap Indira yang mencoba mengintip ke dalam, namun ia keluar dan menggeleng menandakan tidak ada apapun disana.

Di beberapa tempat terdapat penanda yang digambar untuk menandakan pernah ada korban terbaring disana. Bercak darah juga terlihat di beberapa tempat. Hanya dengan melihat ini semua, kami langsung menyimpulkan bahwa kejadian mengerikan sudah terjadi di tempat ini.

“Mas... ada suara aneh yang manggil Indira mas, suaranya ada banyak” Ucap Indira tiba-tiba.

“Mereka bilang apa Indira?”

“Banyak mas, ada yang menyuruhku kembali ke rumah, ada yang melarang, dan ada yang menyuruhku mati”

Aku mencoba melihat keadaan sekitar, namun keadaan di siang ini membuat sosok-sosok itu enggan muncul di hadapan kami.

“Kita periksa ke rumahmu dulu”

Rumah Indira tertutup garis polisi yang sepertinya sudah dipasang cukup lama.

Mau tidak mau kami harus melanggar garis itu dan memasuki rumah joglo yang cukup besar dengan cukup banyak ruangan di dalamnya.
Aku mencari satu persatu sosok yang mungkin masih tertinggal disini, namun sama sekali tidak ada petunjuk.

Keadaan semakin miris ketika terlihat dengan sangat jelas ada bekas darah di lantai yang kemungkinan berasal dari tubuh seseorang yang diseret keluar rumah.

“D...disitu mas ruanganya” Tunjuk Indira yang perasaanya mulai goyah karna mengingat kejadian itu.

Sebuah ruangan yang sepertinya dulunya merupakan sebuah ruangan rahasia yang tertutup lemari besar. Aku melangkah masuk ke dalam namun seketika sebuah ingatan masuk kedalam pikiranku.

Seorang laki-laki yang kuduga itu adalah ayah Indira terlihat menyeret dua orang perempuan yang tidak melawan dengan tatapan yang kosong seperti terhipnotis. Pria itu kembali mengambil sebuah benda seperti tali.

Sejenak ia menoleh ke arah kamar Indira dan tersenyum dengan mengerikan sebelum akhirnya menggantung terbalik kedua orang itu dan menertawakanya seperti orang gila.
Lilin, kemenyan, dupa, tulang binatang dan berbagai benda-benda menghiasi ruangan itu.

Ayah Indira memanggil sosok makhluk yang terikat dengan benda yang diselipkan di belakang pinggang pria itu. Sebuah keris...
Layaknya sebuah pertunjukan, setan-setan itu menyoraki dan dan menikmati setiap darah yang bercucuran dari tubuh kedua manusia naas itu yang dihabisi dengan keris hitam berbilah emas miliknya.
Satu hal yang salah dari cerita Indira, pria itu tidak kesurupan. Semua roh berada di sekitarnya termasuk sosok besar dengan mata dan taring besar dengan hiasan emas di dada dan lenganya yang memperhatikan perbuatan pria itu tanpa ada satupun yang merasuki atau mempengaruhi dirinya.
Pria itu benar-benar menikmati perbuatanya, dan memang samar-samar aku melihat dalam tubuhnya telah tertanam kekuatan hitam perjanjian antara pria itu dan iblis penghuni keris itu.

“Kenapa Mas Cahyo?” Tanya Indira.

“Ini aneh, harusnya aku tidak punya kemampuan seperti ini. Biasanya Danan yang bisa mendapat penglihatan seperti ini” Ucapku pada Indira.

“Maksud mas Cahyo gimana?”

“Ada sosok di tempat ini yang memperlihatkan sebuah penglihatan padaku”

“Mas Cahyo melihat apa?”

Aku menatap pada Indira, ia terlihat sangat bingung walau akhirnya akupun memutuskan untuk menceritakan apa yang kulihat.

“Sama seperti yang kamu alami, hanya saja satu hal yang harus kamu ingat. Jangan dekati ayahmu, Ia sudah menjadi salah satu dari mereka.” Setidaknya aku sudah memperingatkan Indira dari awal namun ia hanya termenung. Aku tahu itu tidak akan mudah baginya.

Aku melihat lilin yang tersisa di ruangan itu dan menyalakanya hingga ruangan yang sebelumnya gelap disinari cahaya lilin yang sebenarnya masih cukup redup ini. Bau busuk masih tercium di tempat ini, sepertinya polisipun baru memeriksa tempat ini setelah jasad-jasad itu membusuk.
Di ruangan ini aku mendengar suara-suara yang mungkin adalah suara yang didengarkan oleh Indira tadi.

Aku mencoba mencari asal suara itu, namun yang kutemukan adalah sesosok makhluk berwujud wanita kurus kering dengan kepala yang setengah botak hanya sedikit rambut panjang yang tersisa di rambutnya dan bagian mata yang menjorok keluar.

Sepertinya sosok ini yang menunjukan padaku penglihatan tadi.
Makhluk itu setengah melayang di sudut ruangan, aku merasa makhluk itu sudah lama berada di ruangan ini jauh sebelum ia mati.

“Bawa Indira pergi sejauh mungkin.. mereka pasti akan terus mencoba untuk membunuhnya”

Aku mengambil kesimpulan bahwa sosok inilah yang meberi bisikan pada Indira untuk meninggalkan tempat ini saat kejadian itu. Saat mengetahui niat baik dari makhluk ini aku mencoba duduk bersimpuh dan berkomunikasi dengan lebih dalam.

Sungguh mengagetkan saat mengetahui bahwa wanita ini adalah istri pertama dari ayah Indira yang disekap karena secara tidak sengaja mengetahui niat suaminya untuk menggunakan kemampuan keris yang diwariskan oleh leluhurnya itu.

Ia memergokinya saat ayah Indira melakukan ritual menyatuan raga dengan suatu sosok yang membimbingnya.
Ayah Indira akhirnya menikah lagi dan mempengaruhi adiknya Sumar untuk membuka segel yang menahan kekuatan Keris Benggolo ireng sebelum akhirnya merebut kembali keris itu dengan mengadu domba kedua adiknya. Menurut roh itu, Ayah Indira saat ini menuju desa adiknya yang bernama Sumar untuk melanjutkan niatnya menghabisi seluruh anggota keluarga yang mungkin bisa mewarisi keris itu dan merebut darinya.

“Dia bukan manusia... orang itu adalah hasil hubungan sepasang manusia dengan sosok siluman anak buah Songgokolo” Ucap makhluk itu.

Tunggu, itu tidak wajar. Lagipula kalau ayahnya merupakan manusia yang ternoda oleh keturunan Jin, apakah Indira juga sama? itu yang kupikirkan saat ini sembari sedikit menoleh ke arah Indira.
Terlepas dari itu, desa tempat seseorang bernama Sumar itu sedang dalam bahaya. Aku tidak mau membuang waktu lagi dan segera berdiri dan mengajak Indira meninggalkan tempat itu.

“Sumar? desa pria bernama sumar di mana Indira?”

“Paklik Sumar? Adiknya bapak? Cukup jauh mas, bisa dua jam kalau naik motor”

“Kita kesana, ayahmu berada disana, desa itu dalam bahaya”

Indira segera paham dan mengikutiku untuk segera pergi menuju desa yang akan menjadi tempat mengamuknya ayahnya itu. sayangnya perjalanan kesana tidak semudah yang kukira. Hingga akhirnya kami tiba disana saat malam hari.

Aku melihat dari jauh sebuah desa yang secara ghaib terselimuti kabut berwarna hitam. Tidak ada warga di desa sekitar yang berniat mendekatinya karena merasakan hawa yang dimiliki desa itu.

Saat sampai disana, orang-orang di desa tidak merasakan keanehan apapun dan beraktifitas seperti biasa. Namun aku mendengar beberapa warga membicarakan tentang seseorang yang masuk ke rumah Pak Sumar dengan pakaian dan wajah yang berantakan.

Sialnya sebelum sempat melakukan apapun tiba-tiba terlihat seseorang terpental dari sebuah rumah yang cukup besar.

“I..itu Paklik Sumar!” Ucap Indira yang melihat seorang pria dengan darah yang berceceran membasahi bajunya.

“Sialan kau Darmijo! Ternyata ini alasanmu merebut Keris itu dari kami?!” ucap Paklik Sumar yang di akhiri dengan darah yang bermuncratan dari mulutnya. Aku menduga semua orang di rumahnya sudah mati oleh perbuatan ayah Indira.

Melihat hal itu warga menjadi panik, sebagian warga berlarian dan sebagian mencoba menolong Paklik Sumar. Namun saat itu juga seluruh warga yang mencoba menjauh segera terhenti.

“P-pocong! Itu pocong!”

“Ada Genderuwo! Disini ada genderuwo”

Aku menoleh ke seluruh arah desa, terlihat saat ini desa sudah dikepung dengan sosok makhluk-makhluk yang menahan warga untuk meninggalkan desa.

“Ini sama seperti di desa Guntur kemarin mas, makhluk-makhluk itu adalah pengikut sosok penghuni keris itu!” Cerita Indira.

“Indira, jangan jauh-jauh dari saya” Ucapku yang segera berlari menuju paklik sumar yang mulai sekarat. Sialnya Ayah Indira yang ternyata bernama Darmijo itu tidak mau menunggu dan menghunuskan kerisnya ke arah Sumar hingga ia mati dengan mata yang masih melotot.

Tak Cukup sampai disitu, Darmijo ayah Indira juga menghabisi orang-orang yang mencoba menolong Paklik sumar dengan menghujamkan kerisnya tanpa ampun ke mereka.
Aku tak mampu lagi menahan emosiku dan segera melontarkan tendangan ke arah Ayah Indira hingga ia terpental.

“Pergi dari sini!!” Teriakku pada orang-orang di sekitarku. Seketika suasana desa penuh dengan kepanikan. Wajar saja, seluruh desa ini bisa bernasib sama seperti desa Indira.

“Bapak! Hentikan!!” Indira ikut berteriak mencoba menghentikan ayahnya, namun bukanya berhenti ayahnya malah tersenyum dan mendekat ke arah Indira.
Mengerikan.. terlalu mengerikan, hanya dengan tatapanya tiba-tiba mata Indira memerah dan perlahan mengeluarkan air mata darah.

Ia mencoba berteriak namun terhenti dengan nafasnya yang terlihat sesak.
Aku tidak bisa tinggal diam dan segera membacakan doa dan memanggil roh Wanasura. Sekuat tenaga aku menghujamkan pukulan untuk menghentikan mantra yang menyerang Indira.

Indira kembali mendapatkan nafasnya dan terjatuh di tanah, ia berusaha mengatur nafasnya dan memastikan penglihatanya. Aku tahu, aku tidak punya waktu untuk menolongnya. Ayahnya sudah bersiap kembali menyerangku dengan keris yang terggenggam di tanganya.

“Pak! Dia anakmu! Darah dagingmu! Sadar!” Teriakku yang mencoba mengalihkan perhatianya menjauh dari Indira. Namun sepertinya ia tidak peduli dan terus mengincar Indira.
Aku tidak mau mengambil resiko dengan menyerangnya bertubi-tubi dengan kekuatan dari wanasura.

Namun tidak seperti tadi, kini semua seranganku tertahan dengan kekuatan hitam yang menyelimuti tubuhnya. Sepertinya serangan fisikku tidak mampu menembus kekuatan ini.

Tidak menyerah aku membacakan doa untuk melemahkan kekuatan dari Ayah Indira agar setidaknya seranganku bisa mengenainya, namun ini tidak berpengaruh besar. Sebaliknya tanpa sadar serangan dari keris itu melukai dan menusuk tepat di salah satu bahuku.

“Khkeh..khek.khe...“ ayah Indira tertawa dan bersuara dengan bahasa yang tidak kami kenal. Ia mencoba menusukku lagi dengan keris secara bertubi-tubi tanpa ampun. Aku setengah mati menghindarinya, namun setiap kali ia menggerakan kerisnya tubuh ayah Indira berubah menjadi aneh.

Matanya menghitam, kulitnya perlahan terbakar dan terkelupas. Kukunya tumbuh menghitam dan runcing. Semakin ia mengayunkan kerisnya tubuhnya berubah menyerupai demit hitam persis seperti yang kulihat di ruangan tempat ibu Indira dibunuh.

Demit pengguna perhiasan emas di tubuhnya.
“T..tidak mungkin itu bapak?” Ucap Indira yang mulai pulih. Terlihat tak hanya tubuhnya yang terluka, saat ini hatinya pasti terluka saat mengetahui ini adalah wujud asli ayahnya.

Dengan kekuatan wanasura aku melompat menghindari makhluk yang semakin cepat itu. Kekuatan hitam semakin besar menyelimuti tubuhnya aku masih mencari celah untuk menyerangnya namun kekuatanya semakin lama semakin besar.

Tak cukup sampai disitu, saat ini terdengar suara teriakan warga dari berbagai penjuru desa. Sepertinya kebangkitan makhluk ini membuat seluruh roh disini ikut mengamuk.

Aku tidak mungkin menyelesaikan ini sendirian, tidak ada satupun cara yang bisa kupikirkan untuk menuntaskan keadaan ini. Tak mungkin juga aku meminta Indira lari, ratusan demit sudah menghadang desa ini.

Di tengah kebingunganku, tiba-tiba sebuah pukulan menghantam tubuhku hingga terpental. Makhluk itu tidak mengulur waktu sama sekali dan menghajarku habis-habisan. Setiap pukulanya diselimuti kekuatan hitam yang membuat tubuhku merasa panas setiap bersentuhan.

Tanpa roh wanasura di tubuhku aku pasti sudah mati.

“Tolooong!! Ibu! Bangun ibu!!” Terdengar teriakan seorang anak tak jauh dari tempatku berada.

“Bapak, jangan mati pak!! Bangun pak!” kali ini suara tangisan seorang perempuan yang menangisi suaminya.

Saat itu aku tersadar. Makhluk itu menyerangku dengan pukulan, lantas dimana keris benggolo ireng itu berada?

“Mas Cahyo! Keris itu! dia menyerang warga!” Teriak Indira yang menyadari terlebih dulu keberadaan keris hitam yang melayang dan menghabisi warga satu persatu.

“Sialaan!” Aku bangkit dari serangan sosok mengerikan ayah Indira namun sialnya di hadapanku saat ini sudah menanti sebuah pukulan yang diselimuti kekuatan hitam yang siap menghabisiku.

Aku menyilangkan lenganku dan bersiap menerimanya walau aku tahu mungkin aku tidak akan bisa selamat.
Tepat sebelum serangan itu mengenaiku tiba-tiba sosok makhluk itu terpental dengan sebuah serangan.

Aku menggeser lenganku dari hadapanku dan melihat seorang nenek yang berjalan bungkuk di depanku.
Ia menghajar sosok tadi dan berhasil menghindari serangan-serangan yang diarahkan kepadanya.

“Cih, ternyata kamu selemah ini?” Ucap orang itu.

Ya, itu adalah Nyai Jambrong. Dia benar-benar datang untuk membantuku. Namun ada yang beda dari dirinya, di lenganya terlilit sebuah benda menyerupai tasbih seolah ia gunakan untuk menyegel sesuatu.

“Nyai beneran dateng?” Teriakku yang merasa terselamatkan dengan keberadaanya.

“Bangun! Aku tidak bisa melawanya sendiri! Dia adalah titisan Songgokolo.. roh yang sudah ada sejak manusia belum mengenal peradaban” Jelas Nyai Jambrong.

Aku membaca doa dan berusaha memulihkan sedikit lukaku. Tetap sakit, namun setidaknya aku bisa bergerak.

“Nyai, warga desa juga dalam bahaya..”

“Berisik, perhatikan dulu yang di depanmu. Kalau kita mati korbanya akan semakin banyak”

Ini? Ini Nyai Jambrong yang dulu tidak segan-segan membunuh lawanya maupun korbanya demi ilmu? Bagaimana dia bisa berubah hingga seperti ini?

Sebuah serangan mengarah ke arah Nyai Jambrong namun sebelum serangan itu mendarat ke tubuhnya aku menggunakan kekuatan wanasura dan menahanya.

Tanpa menunggu perkataanku Nyai Jambrong segera melompatiku dan menyerang kembali sosok Songgokolo yang menitis dalam tubuh Ayah Indira.
Berkali-kali makhluk itu menyerang kami namun aku berhasil menahanya dan Nyai Jambronglah yang mendaratkan serangan kepada makhluk itu.

Gila, aku tidak pernah menyangka ilmu bela diriku bisa menyatu dengan Nyai Jambrong. Sayangnya saat Songgokolo kewalahan ia kembali memanggil kerisnya dan membuat kami terpental dengan benturan kekuatan dari keris itu.

“Hati-hati nyai, keris itu sudah kembali ke tanganya!”

“Goblok! Memang itu rencananya!” Aku segera menoleh ke pada Nyai Jambrong.

“Katamu ingin menyelamatkan warga desa? Sekarang keris itu ada disini dan tidak menyerang warga desa lagi! “ Ucap Nyai Jambrong.

“Iya bener Nyai! Tapi apa nggak ada rencana yang lebih bagus? Kalau begini kita juga bisa mati” Keluhku.

“Goblok! Nanya rencana sama nenek-nenek! Kalau nggak suka bikin rencana sendiri!”

I..iya, benar juga nenek-nenek masih bisa jalan saja sudah bagus, mustahil disuruh bikin rencana buat menghadapi demit.

“Heh! Mikir apa kamu? Fokus kalau nggak mau mati!” Teriak Nyai Jambrong yang seolah bisa membaca pikiranku.

Secepatnya aku mengambil posisi disisi Nyai Jambrong dan sekali lagi bersiap untuk menerima serangan dari Songgokolo yang sudah menggenggam Keris Benggolo Ireng.

Berbeda dengan tadi, kini Songgokolo menyerang dengan lebih tenang. Namun di tiap seranganya terdapat kekuatan aneh yang seolah membuatku merasakan kesakitan walau tidak menyentuh bagian tubuh ataupun keris itu.

Sesekali mataku terasa ingin keluar dan seperti ada rasa sakit yang ingin masuk ke kepalaku.

“Nyai! Ada kutukan di serangan itu!” Teriakku.

Nyai Jambrong yang juga menyadari hal itu menguatkan ikatan benda yang menyerupai tasbih di tanganya.

Aku merasa ada kekuatan hitam yang mencoba keluar dari tubuh nyai, tapi benda itu seolah menahan kekuatan itu dan kembali menyelimuti Nyai Jambrong dengan kekuatan putih.

Sepertinya Nyai Jambrong sudah benar-benar tidak ingin menggunakan ilmu hitamnya hingga menahanya dengan benda itu.
Aku menjadi sedikit semangat melihat perjuangan Nyai Jambrong untuk mendapat pengampunan dari Yang Maha Pencipta.

Terlebih saat aku memperhatikan caranya menghadapi Songgokolo yang bersenjatakan Keris Benggolo Ireng saat ini membuatku sedikit terkesima.

Pertarungan seperti ni mungkin akan sulit kulihat lagi dimana Nyai Jambrong menahan setiap serangan keris itu dengan kelincahanya dan sesekali menahan gagangnya dengan sandal jepit yang ia gunakan di kakinya.

Seharusnya ilmu bela diri saja tidak cukup untuk mengimbangi Songgokolo, namun kekuatan dari benda di tangan Nyai melindunginya dari kutukan dan melapisi jurus-jurus Nyai Jambrong dengan kekuatan ghaib hingga bisa menghantam Songgokolo.
Aku jadi ingin mencoba sesuatu.

“Wanasura!!” Teriakku memanggil sosok roh kera pelindung hutan wanamarta yang berada di tubuhku. Kali ini aku tidak menggunaka kekuatanya.
Tepat saat Nyai Jambrong bersiap akan melancarkan tendangan pamungkasnya dari atas, aku mengirimkan roh wanasura untuk membantu Nyai Jambrong sehingga kekuatan Wanasura melipat gandakankan kekuatan tendangan Nenek Sakti itu.
Songgokolo yang mencoba menahan serangan itu terjatuh dan terpendam di tanah dengan darah hitam yang bermuncratan dari mulutnya.

Tnah dan bebatuan di sekitar tendangan Nyai Jambrongpun pecah berhamburan dan menghempaskan kekuatan yang besar hingga membuat roh-roh disekitarnya gentar.

“Keren Nyai!” Ucapku yang merasa senang dengan keberhasilan rencanaku dan segera menarik kembali wanasura.

“Heh Bocah! Apa yang kamu lakukan?” Tanya Nyai Jambrong yang terlihat bingung dengan besarnya kekuatan itu.

“Kenalin, Itu Wanasura Roh kera dari alas wanamarta.. dia merasuk ke serangan Nyai Jambrong. Sepertinya dia cocok dengan Nyai” Ucapku bangga.

Terlepas dari itu serangan tadi berhasil membuat Songgokolo terluka cukup parah, namun sialnya makhluk itu segera kembali berdiri dan memamerkan mata merahnya yang menyala.

“Nyai Jambrong, kowe yo podo demite karo aku.. ora usah sok suci” (Nyai Jambrong, kamu itu sama setanya denganku.. tidak usah sok suci) Tiba-tiba Songgokolo mulai berbicara di hadapan kami. mendengar ucapan itu Nyai Jambrong hanya diam saja, sepertinya ia memang tidak ingin menyangkal dosa-dosa yang ia lakukan sebelumnya.

“Jaga bicaramu, kami pastikan kau selesai disini?” Ucapku yang tidak sabar ingin menyerangnya lagi.

“Selesai? Kowe ora ngerti opo-opo bocah. (Kamu tidak mengerti apa-apa bocah)

Saat kekuatanku kembali sepenuhnya. Bahkan Nyai Jambrong dengan seluruh kekuatanyapun tak akan mampu melawanku” Ucap Makhluk itu.

Tak peduli dengan ucapanya, aku segera menyerangnya lagi dengan seluruh kekuatanku yang tersisa namun aku terpental tanpa dapat menyentuhnya.

“Uwis Bocah Ketek.. Wis rampung” (Sudah bocah monyet... sudah selesai)

“M...maksud nyai apa?” Tanyaku.

“Persiapan tumbalnya sudah selesai, yang kita lawan setelah ini bukan lagi Songgokolo yang tadi. Tapi makhluk yang sudah menghabisi banyak kerajaan di jaman dulu” Jelas Nyai Jambrong.

Tak lama setelah ucapanya itu tiba-tiba muncul sosok nenek tua berambut putih acak-acakan dan wajah yang buruk persis seperti yang digambarkan Indira di ceritanya.

Di belakangnya lagi muncul sosok kakek tua berjanggut dan beberapa orang yang sepertinya merupakan pengabdi sosok itu.

“Monggo ndoro, tubuh terakhir sudah siap..“ Ucap Salah satu sosok dukun pengikutnya yang sepertinya bermaksud menjemputnya.

“Nyai Jambrong, jadilah pengikutku.. kamu akan mendapatkan apapun yang kamu mau” Ucap Songgokolo sambil berbalik meninggalkan kami menuju sebuah kabut hitam bersama dengan para pengikutnya.
Entah, saat itu aku merasa terlalu kecil. Aku merasa kekuatanku seorang diri jauh bila dibandingkan orang-orang disekitarku saat ini.

“Demit Goblok! Itu ucapan yang kuucapkan pada pengikutku dulu.. dan sebagian dari mereka sudah mati, kau pikir aku akan tertipu” Ucap Nyai Jambrong yang tetap waspada memandang kepergian Songgokolo dan pengikutnya.
Secara perlahan kabut hitam mulai menghilang bersama sosok demit-demit pengikut yang mengurung desa ini. Aku khawatir dengan warga desa ini.

Entah berapa korban yang sudah dihabisi oleh makhluk dan keris benggolo ireng saat kami bertarung tadi.

“Indira! Gimana warga desa?” Aku menghampiri Indira yang membantu warga desa yang terluka.

“Beberapa orang tidak bisa diselamatkan, tapi sisanya selamat berkat suatu sosok yang menghadang serangan serangan ke warga?” Ucap Indira.

“Sosok apa maksudmu?” Tanyaku.

“Saya samar-samar melihat sosok seorang pemuda yang dengan kerisnya yang menghadang setiap serangan yang diarahkan ke warga.” Ucap salah seorang warga yang ikut membantu Indira merawat warga.

Seketika aku tersenyum, Dananjaya Sambara.. Bisa-bisanya saat dia sedang berjuang jauh disana masih sempat-sempatnya ikut masuk ke pertempuran kami dalam wujud Rogosukmonya.

Seketikan beban di pundaku terasa berkurang saat mengetahui korban yang jatuh tidak sebanyak yang kukira. Aku terjatuh terbaring di tanah dan menutup mataku sebentar untuk menarik nafas sejenak sebelum menlanjutkan perjalanan lagi.

“Indira, dimana lokasi adik ayahmu yang satunya” Tanya Nyai Jambrong yang sepertinya tidak mau menyia-nyiakan waktu.

“Ada di selatan Nyai, desanya terhimpit lembah dan gunung. Bisa setengah hari perjalanan kalau kesana” Jelas Indira.

“Bocah ketek, kita berangkat!” Ucap Nyai Jambrong.

“Sekarang? Yang bener aja nyai! Ini masih luka, ketusuk keris, nggak ada paklek yang nyembuhin” Balasku.

“Ojo Cengeng! Pantes saja Guntur pemales, yang jadi panutan bocah cengeng kayak kamu”

Mendengar Nyai Jambrong semakin memaksa mau tidak mau aku kembali berdiri dan meminta Indira membantu menutup luka di bahuku dengan P3K sebelum pergi meninggalkan desa.

“Indira biar kita tinggal di desa Wadirejo bersama Guntur, biar kita saja yang kesana” Ucap Nyai Jambrong.

“Kita kesana naik apa Nyai?” Tanyaku yang merasakan perasaan tidak enak.
“Lha kamu kesini naik apa?”
“Motor”
“Lha itu tahu..”

“Maksudnya aku harus boncengin Nyai Jambrong ke desa Paklik Yarto? Setengah hari perjalanan?” Tanyaku panik.

Namun tidak dengan Indira, ia malah tertawa melihat ekspresiku.

“Nggak Nyai, kita naik bus aja” Aku berusaha menghindari momen membonceng nenek tua ini di motor vespa kesayanganku.

“Ora Sopan! Maksudmu opo.. bocah ketek sialan” Teriak Nyai Jambrong.

“Bocah ketek, bocah ketek terus... tadi eyang juga dirasuki wanasura kan? Kalau aku bocah ketek berarti eyang mbahe ketek (Neneknya monyet) donk?!” Balasku yang sekali-kali ingin membalas umpatanya.

Sayangnya sebuah sandal lusuh tiba-tiba sudah melayang tepat di mukaku dan membuatku memutuskan untuk diam seribu bahasa daripada harus mendengar ocehan nenek tua itu lagi.
Tapi aku tahu dengan pasti bahwa ucapan eyang benar, waktu kami tidak banyak.

Desa tempat Paklik Yarto mungkin akan menjadi medan pertempuran kami. Aku meminta Indira segera menghubungi Pakliknya itu dan meminta warga di desa itu untuk pergi.

Sementara aku mencoba menghubungi Paklek, Dirga, Dagad, dan Danan untuk menceritakan tentang keadaan ini.
Sepertinya kami harus mengumpulkan kekuatan sebanyak yang kami bisa untuk melawan Songgokolo yang bahkan tidak mampu dikalahkan oleh Nyai Jambrong.

Belum sempat berangkat, tiba-tiba ponsel di dalam tasku berbunyi. Tertulis nama Sekar di layarnya. Dengan segera aku mengangkat panggilan itu dan memastikan kabar yang akan disampaikan sekar.

“Mas... Mas Cahyo?”
“Iya Sekar, ada apa?”

Suara sekar terdengar gelisah, sepertinya terjadi sesuatu juga disana.
“Paklek Mas, Paklek nggak sadarkan diri! “ Ucap sekar dengan nada yang sangat panik yang juga seketika membuat tubuhku kembali lemas.

“Tenang sekar, ceritain pelan-pelan” ucapku yang berusaha menenangkan Sekar.

“Mbah Suroto barusan tiba-tiba kambuh. Paklek kembali mencoba menahanya tapi ada kekuatan besar yang melindungi sosok keris yang merasuki Mbah Suroto..

Mbah Suroto kabur dengan dikuasai sosok di dalam Keris enggolo abang seolah mengikuti perintah sesuatu, sementara Paklek terpental dan kehilangan kesadaranya..“
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close