Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KERIS BENGGOLO IRENG (Part 2) - Tarian Nenek Terkutuk

"Keris Ndoro Songgokolo sampun bangkit.. Banjir getih uwis ora iso dihindari” (Keris Ndoro Songgokolo sudah bangkit.. Banjir darah sudah tidak bisa dihindari)

Seseorang.. entah pria atau wanita, aku melihatnya dengan samar-samar. Ia mengatakan hal itu di dalam mimpiku sebelum akhirnya tersadar dan terbangun di sebuah rumah kayu tua dengan kain basah yang menempel di dahiku.


JEJAKMISTERI - Tubuhku lemas, aku menyentuh leher dan dahiku dan mendapati hawa panas dari sentuhan kulitku. Sepertinya aku demam semalaman. Tapi.. ini dimana?

Aku mencoba untuk berdiri namun tubuhku terlalu lemah, pandanganku kembali berputar ketika aku mengangkat kepalaku sebelum akhirnya kembali terbaring di kasur kapuk lusuh satu-satunya di rumah ini.

“Hehhh... Cah ayu, jangan bangun dulu! Kamu demam tinggi semalaman. Nanti tambah parah!" Seorang ibu-ibu tua berjalan dengan cepat menghampiriku saat mengetahui aku sudah tersadar. Sepertinya ia pemilik rumah ini.

“Bu... ini dimana? Kenapa saya bisa ada di sini?” Tanyaku.

“Ini rumah saya, Panggil saja Mbok Nasri.. kamu semalem mbok temuin pingsan di jalan. Ya udah mbok angkut pakai gerobak sayur simbok ke rumah” Jelasnya.

Aku mencoba mengingat kejadian semalam, semua yang kuingat seperti mimpi buruk bagiku namun keberadaanku disini memastikan bahwa ibu, mbakyu benar-benar telah mati di tangan bapak persis seperti yang kulihat semalam.

Saat itu, tanpa sadar aku menitikkan air mata tak mampu menahan rasa sedihku. Mbok Narji yang mengerti perasaanku segera meninggalkanku setelah meletakkan segelas teh hangat di meja kecil di sampingku.

“Ya sudah, mbok tinggal dulu biar kamu tenang. Tehnya diminum sambil mbok carikan sarapan” Ucap simbok dengan penuh perhatian.

“I..iya mbok, maafin Indira ya mbok” Jawabku.

“Oo.. jadi nama kamu Indira. Ya sudah, istirahat.. nggak usah mikir macem-macem. Anggap saja rumah sendiri” Lanjut Mbok Nasri yang segera meninggalkanku yang masih berkutat dengan tangisanku.

Bapak…
Aku meratapi keadaanku saat ini, apa yang harus kulakukan? Satu-satunya anggota keluargaku yang masih hidup adalah bapak, tapi dialah yang membunuh ibu dan Mbakyu.

Pakde Sumar dan pakde Yarto.. entah apakah mereka masih waras, atau malah merekalah sumber masalah kejadian semalam.
Entahlah.. sepertinya tubuhku masih terlalu lemah dan kehilangan kesadaran dengan demam dan rasa sakit di kepala yang terus mengganguku.

***
Di perbatasan kesadaranku samar-samar aku mendengar suara renta menyanyi dengan melantunkan kata-kata yang terdengar jelas olehku.
Putune sing nggowo pati sampun teko, ono janji sing kudu dituntaske...

Aku terbangun lagi dan melihat seorang nenek-nenek mencoba menghampiriku dari depan pintu sambil setengah menari kegirangan dengan tubuh rapuhnya dan memamerkan giginya yang hitam dan rambut putihnya yang acak-acakan.

Sewu jiwo boten cukup muaske ndoro gusti, ora ono ilmu sing iso ngalahke bala tentara doro gusti... (Seribu jiwa tidak cukup untuk memuaskan yang mulia, tidak ada ilmu yang bisa mengalahkan bala tentara yang mulia)

Nyanyian itu terdengar asal asalan, namun keberadaan nenek yang menari mendekat ke arahku membuatku histeris dan berteriak sekuat tenaga hingga terdengar suara pintu terbanting dan sosok nenek itu menghilang dari pandanganku.

“ya ampun nduk.. kenapa kamu?” Ucap Mbok Nasri yang muncul menghampiriku dari luar setelah mendengar teriakanku.

“Ada nenek-nenek Mbok.. giginya hitam, rambutnya acak-acakan dia menari masuk ke rumah sambil nyanyiin lagu yang serem” Ucapku ketakutan.

“Mana? Ora ono.. nggak ada” Balas Mok Nasri sambil menoleh ke segala arah di rumahnya sembari memelukku.

Memang ucapanku terdengar cukup aneh, tapi aku benar-benar melihat keberadaan nenek itu.

“Mungkin mimpi buruk, kalau demam memang biasanya mimpinya aneh-anah” Ucap Mbok Nasri.
Aku mengangguk.

“Iya mbok, mungkin mimpi buruk” Balasku yang tidak mau membuat Mbok Nasri menjadi lebih khawatir.

“Ya sudah, makan dulu ya.. mbok masak soto. Makan yang banyak, biar ada tenaga dan cepat sembuh” Ucap mbok Nasri.

Sekali lagi aku mengangguk mengiyakan dan menerima semangkuk soto masakan Mbok Nasri.

Aku memandang masakan yang diberikan kepadaku.

Hanya semangkuk soto dengan lauk ceker yang sangat sederhana. Sangat jauh dari masakan yang biasa dihidangkan di rumah oleh ibu.

Namun saat kembali melihat kondisi rumah ini aku tahu dengan pasti, ini adalah hal terbaik yang bisa disuguhkan Mbok Nasri padaku.

Saat sudah mendapat tenaga yang cukup untuk berdiri, aku memaksakan tubuhku untuk melangkah keluar menghampiri Mbok Nasri yang sedari tadi terlihat sibuk di luar.

Sebuah desa kecil yang cukup ramai, warga desa terlihat berlalu lalang dengan kepentinganya masing-masing.

“Mbok, cucunya?” Tanya seorang ibu yang sedang asik memilih sayuran yang digelar oleh Mbok Nasri di meja kayu yang sudah rapuh di depan rumahnya.

“Njih bu, namanya Indira... ayu to?” Ucap Mbok yang menoleh sekilas ke arahku.

“Iyo mbok, wajar kok.. Mbahnya juga ayu” Balas ibu itu yang segera menyelesaikan belanjanya dan meninggalkan kami dengan melemparkan senyuman.
Aku membalas senyuman ibu itu dan menghampiri Mbok Nasri.

“Aku bantuin mbok,” ucapku yang segera menghampiri mbok Nasri.

“Nggak usah repot-repot, mbok udah biasa.. memangnya kamu sudah sehat?” Tanya Mbok Nasri.

Aku mengangguk sembari mengambil kantong kresek yang tergantung di bawah meja dan membantu pembeli memasukkan belanjaanya yang telah dihitung oleh Mbok.

“Matur nuwun yo mbok, maaf sudah ngerepotin.. nanti kalau sudah bener-bener sehat Indira langsung pamit” Ucapku yang merasa tidak enak sudah merepotkan Mbok yang menolongku.

“Ya ampun nduk, jangan buru-buru... kamu tinggal disini dulu juga gapapa. Mbok tinggal sendirian, seneng banget kalau ada yang nemenin” Ucap mbok sambil mengelus-ngelus punggungku.

Aku menatap mata Mbok Nasri dan melihat kekecewaan dari matanya saat aku mengucapkan kata pamit tadi. Sepertinya mbok benar-benar senang ada yang menemaninya di rumah.

“B..benar tidak apa-apa mbok?” Tanyaku dengan suara yang gemetar saat teringat bahwa aku tidak tahu harus kemana setelah ini.

“Bener, sudah tinggal disini saja dulu. Tapi ya mohon maaf, rumah mbok begini adanya. Malah lebih pantas disebut gubuk” jawab mbok.

“Nggak masalah mbok, kalau boleh saya ijin tinggal disini sampai saya tahu haru kemana..” Ucapku.

Mbok menatap ke arahku dan sekali lagi mengelus punggungku.

“Iya Nduk, anggap saja rumah sendiri.. Mbok nggak tahu masalah apa yang kamu hadapi, tapi kamu bebas tinggal disini selama apapun” Balas Mbok dengan wajah yang penuh perhatian.

Lewat tengah hari dagangan simbok sudah habis terjual dan hanya tersisa sayur-sayur yang tidak layak untuk dijual. Memang sedikit lebih lama dari daripada pedagan sayur yang berjualan di pasar, tapi katanya mbok lebih nyaman berjualan di rumahnya agar tidak perlu mondar-mandir.

Mbok mulai memilih bagian-bagian sayuran yang masih bisa dimakan dan mempersiapkan tungku dan kayu bakar yang ada di pawonya. Aku cukup kaget, saat ini masih ada yang menggunakan kayu bakar untuk memasak. Padahal kompor gas dan kompor minyak sudah dijual murah di pasar.

“Sudah nduk, biar mbok aja yang masak.. kamu istirahat dulu saja atau jalan-jalan keliling desa. Siapa tahu bisa menjernihkan pikiranmu..” Ucap mbok.
Benar juga, mungkin aku bisa menjernihkan pikiranku sambil mencari tahu dimana aku saat ini.

“Yowis mbok, aku pamit dulu ya..”

“Hati-hati... kalau nyasar tanya saja rumah mbok Nasri”

“Iya mbok..” Aku berpamitan dan segera berjalan meninggalkan rumah yang sepertinya terlihat paling tua di antara rumah-rumah lain di desa ini.

Sebuah desa dengan bangunan yang berjejer cukup padat namun beberapa warga masih memiliki lahan untuk kebun sayuran dan memelihara ayam dan kambing.

Walaupun di tengah hari, desa ini masih terasa cukup nyaman dan tidak terlalu panas. Mungkin karena masih banyaknya tumbuhan besar di setiap bagian desa ini dan lagi ada sebuah hutan di belakang desa yang membuat pemandangan desa ini terlihat sangat sejuk.

Desa Wadirejo..

Tertulis di sebuah gapura pintu masuk desa sebagai penanda nama desa tempatku berada saat ini. Aku berjalan cukup jauh hingga menemukan beberapa desa di sekitar desa Wadirejo yang ternyata tidak terlalu jauh dengan desa lainya.

“Mbak, bukan orang desa sini ya?” Tiba-tiba terdengar suara seorang anak laki-laki bersarung yang sedang menuntun sepedanya yang penuh dengan rumput pakan ternak.

“Eh bukan, saya cucunya Mbok Nasri” Jawabku.

“Ooo.. Mbok nasri, aku kok baru tahu kalau mbok nasri punya cucu ayu yo...“ Balasnya.

Aku hanya membalas dengan senyum. Lagipula aku harus membalas apa ucapan iseng dari seorang anak desa yang kebetulan lewat.

“Yowis mbak, kalau mau butuh apa-apa mampir ke rumah saya saja di gang tujuh yang ada kambingnya. Pasti saya bantu” Ucap bocah itu yang ternyata ramah tidak seperti prasangkaku barusan.

“Oh iya.. kalau sudah malam jangan main ke hutan ya! Katanya kalau malam disana ada nenek-nenek yang mukanya serem...” Ucapnya yang segera pergi meninggalkanku tanpa menjelaskan maksudnya.

Nenek?
Saat itu juga aku teringat sosok nenek yang menari memasuki rumah mbok pagi tadi.
Seketika perasaanku menjadi tidak enak, angin dingin bertiup menghembus ke leherku. Saat itu juga aku memutuskan untuk kembali ke rumah.

***

“Mbok, aku mulih...“ ucapku sembari masuk ke dalam rumah yang sudah dipenuhi aroma masakan yang menggoda.

“Wah.. sop ceker ya mbok?” Ucapku yang mencoba menebak aroma hidangan yang disiapkan simbok.

“Iya.. ini sebentar lagi mateng. Sana mandi dulu, mbok udah nyiapin air panas..“ Sambut Mbok yang masih terlihat sibuk di pawon.

“Iya mbok.. matur nuwun” Balasku yang memang sudah merasa gerah setelah beberapa kali melewatkan waktu mandi karna sakitku tadi.

Di kasur aku sudah melihat sebuah kain jarik dan handuk yang sudah disiapkan oleh simbok. Dari benda ini aku bisa menyimpulkan bahwa kamar mandi simbok merupakan bangunan semi permanen dengan beberapa bagian yang terbuka.

Jadi aku harus mandi sambil tetap menggunakan jarik ini. Ini seperti saat aku mampir ke rumah mbah saat aku kecil.
Aku segera mengenakan jarik dan memasuki kamar mandi mbah di belakang rumah yang hanya terbuat dari papan dengan lantai seman yang sudah berlumut.

Disisi temboknya ada keran dan sebuah kendi tanah liat untuk menampung air. Di atasnya menggantung lampu bohlam kuning yang menyala redup.

Gayungnya pun masih sangat kuno dengan menggunakan tempurung kelapa yang diikatkan ke sebatang kayu.

Namun airnya terlihat begitu jernih yang membuatku tidak sabar untuk menuangkanya ke kepalaku.
Tanpa membuang waktu aku segera mengambil gagang kayu dengan batok kelapa, mengambil air dalam kendi dan bersiap mengguyurkan air itu ke badanku.

Namun sebelum sempat menuangkanya tanganku terhenti.
Sayup-sayup aku mendengar suara alunan suara seseorang yang bernyanyi kidung jawa dengan suara yang aneh.
Aku mencoba tidak mempedulikanya dan mulai membasahi badanku dengan air yang cukup menyegarkan.

Bilasan demi bilasan berhasil membuatku cukup nyaman hingga tiba-tiba aku terhenti ketika merasakan ada yang aneh dengan air yang membasahi tubuhku.

Aku membuka mata dari guyuran air yang kutuangkan ke atas kepalaku dan tiba-tiba seluruh tubuhku sudha dipenuhi dengan cairan merah menyerupai darah dengan bau yang sangat anyir. Bukan air mandi yang seharusnya aku ambil dari kendi tadi.

Seketika aku merasa sesak nafas dan terus mengucap doa untuk menenangkan diri dan mencoba berjalan meraih pintu keluar. Namun entah mengapa pintu itu tidak bisa terbuka walau kayu ganjalan sudah kubuka

“Mbok!! Tolong Mbok!!!” Teriakku mencoba meminta pertolongan. Aku terus menggedor, tapi tidak ada jawaban apa pun.

Gelisah dan rasa takut campur aduk menjadi satu. Aku terus menggedor pintu, sampai tiba-tiba aku mencium bau bangkai yang kurasa berasal dari sesuatu yang berada di belakangku.

Aku berbalik dan mencari tahu sosok yang berdiri di belakangku. Saat itu juga aku membacakan doa terus menerus, di hadapanku aku menyaksikan dari dekat sosok seorang nenek seperti yang tadi pagi kulihat. Namun ia tidak menari seperti tadi.

Nenek dengan baju jawa yang penuh dengan bekas noda darah yang dengan rambut acak-acakan dan gigi yang menghitam. Dari dekat terlihat dengan jelas kulit wajahnya penuh dengan kulit kering dan mata yang putih tanpa bola mata.

Nenek itu tidak berkata sepatah katapun selain suara erangan mengerikan dan mulutnya yang perlahan membentuk senyum yang mengerikan.

“M...Mbok! Tolong mbok” ucapku yang sudah mulai tidak mampu mempertahankan kesadaranku. Namun saat kukira aku akan pingsan. Seketika guyuran air membasahi tubuhku.

Aku memperhatikan tubuhku, tidak ada darah merah yang tadi kulihat. Aku memutar badan memperhatikan ke seluruh kamar mandi dan hanya aku seorang diri yang ada di tempat ini.

Saat itu juga aku segera mengeringkan tubuhku. Mengenakan baju dan segera meninggalkan bilik kamar mandi.

Apa itu tadi? Khayalanku? Pikirku dalam hati. Namun tepat saat akan memasuki rumah dari pintu belakang sekali lagi aku samar-samar mendengar suara kidung jawa yang dinyanyikan oleh suara perempuan tua.

“Mbok... di desa ini apa ada nenek-nenek yang sudah sangat sepuh?” aku mencoba bertanya pada Mbok yang sedang menata masakan di meja. Sepertinya ia sangat senang dengan keberadaanku disini.

“Nenek? Di desa ini ada beberapa nenek, tapi rata-rata umurnya 80 tahunan..” Jawab mbok.

“Kalau yang sudah sangat tua, rambutnya putih acak-acakan giginya hitam begitu. Ada nek?” Tanyaku.

Mbok menoleh ke arahku, sepertinya ia sadar ada sesuatu yang aku alami.

“Ada apa to nduk?” Tanya Mbok dengan raut wajah yang cemas.

“Ng...nggak Mbok, Nggak papa.. tadi pas jalan-jalan aku ketemu anak kecil pake sarung. Katanya jangan kehutan malam-malam, bisa ketemu nenek-nenek serem” Balasku mencoba untuk tidak membuat Mbok tidak cemas.

“Owalah, bocah itu lagi... nggak, nggak ada kok. Itu becandaan dia saja. Tapi dia ada benarnya, jangan ke hutan malam-malam bisa kesasar nanti” Balas mbok.

Aku mengangguk dan kembali melanjutkan mengeringkan rambutku sebelum menikmati sajian makan malam sederhana buatan mbok yang entah terasa begitu enak.

Sesekali mbok bercerita tentang almarhum suami dan anaknya yang meninggal karena kecelakaan beberapa tahun yang lalu. Ia terlihat begitu kuat dan ikhlas dengan takdir yang ia terima. Sangat wajar, ia sangat senang dengan keberadaanku disini.

“Nanti jangan tidur malam-malam ya, tubuhmu belum benar-benar pulih. Kalau mau tidur malam besok saja.. besok di lapangan belakang desa ada panggung. Pasti rame” Cerita Mbok padaku.

“Acara apa to mbok?” Tanyaku.

“Biasa ada warga desa yang hajatan dan ngundang acara dagelan apa wayang orang gitu, mbok belum tau jelas acaranya.. pokoknya rame” Jawab mbok dengan semangat.

Aku tersenyum melihat gerakan mbok saat menceritakan dengan antusias acara yang akan digelar besok. Walau tubuhnya sudah cukup tua, tapi semangat hidupnya masih berapi-api.

“Iya mbok, tak tidur cepet biar besok bisa lek-lekan” Balasku sambil menikmati malam yang sederhana itu bersama Mbok Nasri di rumahnya yang sederhana namun terasa nyaman untukku saat ini.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close