Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 83)


Braaaak!!
ByuuRRR!!
Air laut seperti kaget ketika karang retak besar dan jatuh tiba-tiba meluncur ke dasar laut. Beberapa makhluk astral seperti percikan air ikut memencar hingga ke udara. Aku tidak mempedulikan mereka.

“Niniiiiiiii” Aku masih berteriak sekencang-kencangnya sembari mengerahkan kemampuan mencari jejak Nini Ratu. Sekali lagi aku berteriak memanggil beliau. Kali ini kukerahkan kembali kekuatan batinku. Aku tidak peduli suaraku akan menyisir laut, bukit, gunung-gunung, dan air.

“Nini Ratuuuuu”Aku mulai menangis. Baru kali ini aku menangis karena belum siap ditinggalkan dan berpisah. Meski dalam batin tetap berusaha menguatkan diri agar bisa menerima takdir dan tegar. Demi melampiaskan emosi itulah aku memukul karang. Bukan marah dengan Nini Ratu, tapi lebih pada kekecewaan diri.

Tiba-tiba air laut bergejelok membentuk ombak lalu menghempas karang. Beberapa karang hancur ketika tenagaku menghantamnya kembali. Aku melompat ke sana ke mari sembari memanggil-manggil Nini. Meski aku tahu, apa yang kulakukan sia-sia. Nini Ratu tidak akan kutemui kembali. Ruang kosong yang kuhadapi adalah pertanda. Dan semua kekosongan itu membuat gejolak batinku terua bergejolak. Aku belum siap beliau tinggalkan. Pertemuan dengan beliau terlalu singkat. Mengetahui jika beliau akan lenyap seperti ini, aku tidak akan mematuhi ketika beliau memintaku melangkah dan jangan menoleh sampai batas laut. Aku mematuhi perintah Nini Ratu karena aku memang hormat pada beliau. Oh! Andai bisa ditangguhkan lebih dulu, aku berharap waktu bisa sedikit berputar untuk kembali bersua Nini Ratu, sebentar saja.

Pelukan dan ciuman Nini Ratu masih terasa hangat. Bahkan aroma wangi dari tubuhnya belum pudar sama sekali. Aku memandang kalung yang mengantung di leherku. Liontin permata berwarna gading ini diperoleh Nini Ratu selama bertapa, lalu diberikannya padaku sebagai ungkapan kasih sayang beliau yang tak terhingga.

“Nini sangat menyayangimu, Cucuku. Kuberikan ini sebagai lambang cinta dan kasih sayang Nini padamu. Cinta Nini tidak akan pernah pudar padamu. Jagalah diri baik-baik. Jadilah pribadi yang tangguh” Ujar beliau ketika beliau mengeluarkan kalung yang terbuat dari tali seperti kulit, lalu mengalungkannya ke leherku. Terakhir, beliau balut tubuhku dengan kain sutra berwarna gading, dengan motif bunga kecubung yang merekah. Aku pasrah saja sambil menatap senyum Nini Ratu sedikit berair. Nampaknya beliau sangat terharu menatapku.

Rasa kehilangan ini tidak akan seperih ini jika Nini Ratu berpamitan untuk pergi selamanya. Bermula ketika aku disuruh beliau berjalan menuju sisi pantai, dan dilarang menoleh jika belum sampai. Aku sengaja berjalan pelan sembari tetap menajamkan pancaindera membaca apakah Nini Ratu berjalan juga atau tidak. Instingku sudah mulai curiga sejak awal mengapa Nini Ratu mengajak ke luar gua, lalu beliau berdiri di puncak karang yang paling tajam dikelilingi air. Ternyata hingga tepi laut aku tidak mendengar langkah beliau berjalan, atai pergi meninggslkan posisinya. Setelah sampai di tepi laut aku segera menoleh, tapi alangkah kagetnya aku. Sosok Nini sudah tidak ada di puncak bukit karang itu. Tiba-tiba, langit gelap gulita. Aku melihat awan hitam bergulung-gulung diiringi kilatan cahaya berkali-kali. Angin berhembus kencang. Tak lama hening kembali. Angin bertiup pelan. Gumpalan awan hitam seketika raib, bulan nampak terang benderang.

Di bawah cahaya bulan aku mencoba mengawasi dan mencari sosok Nini Ratu. Nini lenyap tak tahu ke mana. Menyadari Nini Ratu sudah tidak ada di posisinya, aku segera duduk, sejenak semedi menyusuri perjalanan beliau. Tapi yang kutemui hanya sebuah ruang kosong. Aku sekan-akan tidak diizinkan untuk sekadar tahu ke mana arah langkahnya. Berkali-kali kucoba untuk masuk wilayah itu. Tapi sekali lagi seperti ada pembatas yang tak bisa kuselami. Aku kecewa. Mengapa aku tidak punya kemampuan untuk menembus wilayah itu.

Mengetahui kehilangan jejak beliau berkali-kali aku memanggilnya. Aku berharap bisa kembali bersua. Bagaimana pun, meski beliau mengingatkan agar aku fokus pada kerajaan, tapi aku manusia biasa. Tiba-tiba aku seperti kehilangan kekuatan tanpa beliau. Jika selama ini aku begitu semangat ingin memberikan yang terbaik pada Timur Laut Banyuwangi, karena ada sosok Nini Ratu di baliknya. Karismatik beliau tidak bisa dipungkiri masih memancar di kerajaan Timur Laut Banyuwangi.

Aku merasa tertipu dengan pertemuan malam ini. Tepat tengah malam aku sudah berada di gua pertapaan beliau. Wajah Nini Ratih kutemui lebih bercahaya dari sebelumnya. Aroma wangi bunga semerbak memenuhi ruang tapa. Pakaian putih yang dikenakan Nini Ratu membuat siapa pun tidak percaya jika usianya telah ratusan tahun. Nini Ratu tampak cantik luar biasa. Ketika aku tiba, beliau mengembangkan ke dua tangannya lalu memeluk dan menciumku. Bahkan aku merasakan masih ada kecupan bibirnya, lembut menyentuh keningku. Berkaki-kali tangannya yang halus mengelus pipiku. Di balik sinar matanya yang bening, beliau menanamkan sebuah keyakinan padaku. Beliau tatap mataku dalam-dalam. Tatapan itu pun terasa hangat. Nini Ratu memang sangat berbeda malam ini.

Aku merasakan sebuah kekuatan ditransfer Nini Ratu ketika beliau mencium ubun-ubunku lalu pelan-pelan meniupnya. Bahkan desahan nafas Nini Ratu masih sangat terdengar ketika beliau membaca doa mirip mantra. Lalu gerakan tangan Nini Ratu seperti mengunci, pertanda apa yang beliau salurkan padaku selesai.

“Baru beberapa saat kita berpisah, Cucuku. Namun aku sudah melihat kedewasaanmu. Karismatikmu. Nini makin percaya padamu. Bawalah Timur Laut Banyuwangi ke dalam kebaikan. Nini bahagia melihat gairah kerajaan kita kembali hidup di tanganmu. Bahkan lebih maju dan beradab dibandingkan ketika Nini yang memimpinnya dulu” Ujar Nini masih memegang wajahku. Aku menatap dalam bola matanya. Sinar kejujuran terpancar di sana. Ada rasa haru menguncup di batinku. Nini Ratu sangat pandai membesarkan hatiku. Beliau juga sangat pandai menyemangati aku. Aku merasakan apa yang beliau sampaikan bukan sekadar pujian. Namun sebuah cambuk penyemangat agar aku senantiasa melakukan yang terbaik untuk Timur Laut Banyuwangi.

“Semua karena Nini Ratu. Tanpa Nini Ratu mustahil kerajaan itu bisa kembali hidup” Ujarku lagi yang disambut beliau dengan senyum kecil.

Ketika pelukan beliau sedikit merenggang, aku duduk timpuh di hadapannya. Eyang Naga duduk tidak jauh di samping Nini Ratu. Beliau lebih dulu datang daripada aku. Sejak awal aku melihat Eyang Naga menunduk. Hanya sesekali saja beliau angkat kepalanya ketika aku atau nini yang berbicara. Dan sesekali pula beliau menimpali pembicaraanku dan Nini Ratu.

“Adakah sesuatu yang kurang pada Cucuku Putri Selasih, Naga? Aku merasa semua yang ada padaku sudah keserahkan semua padanya” Ujar Nini di akhir obrolan panjang kami.

“Saya rasa tidak ada lagi Nini Ratu. Aku melihat semuanya sudah sempurna. Semoga Sang Hyang Widhi menjaga Putri Selasih dan kerajaan Timur Laut Banyuwangi, sehingga kerajaan itu kembali bangkit dan jaya selamanya” Ujar Eyang Naga sambil menatapku. Aku baru saja menerima sebuah cahaya ungu yang ke luar dari tubuh Eyang Naga. Cahaya ungu itu adalah salah satu senjata andalan kerajaan yang selama ini disimpan oleh Eyang Naga. Konon senjata berupa bola ungu kerajaan ini terwujud dari kitab kuno, yang mengandung kekuatan untuk kesejahteraan kerajaan. Banyak raja-raja makhluk astral yang berusaha hendak memilikinya pasca kehancuran Timur Laut Banyuwangi. Mereka adalah makhluk-makhluk astral, semula mengabdi pada Nini Ratu, lalu berubah pikiran mendirikan kerajaan sendiri. Mereka menjadi penghianat. Mereka adalah musuh-musuh dalam selimut kerajaan.

“Jagalah senjata ini, Cucuku. Banyak sekali raja-raja sepanjang pantai laut Banyuwangi ini yang menginginkannya. Senjata ini milik kerajaan kita. Kerajaan Timur Laut Banyuwangi, warisan leluhur kita” Demikian pesan terakhir beliau.

Senjata berupa bola ungu itu langsung kuletakkan di puncak bubungan istana kerajaan, lalu kupagari dengan mantra-mantra warisan Nini Ratu. Makhluk lain hanya bisa melihat istana makin bercahaya. Cahaya tersebut menentramkan setiap orang yang memandangnya. Energinya akan terpancar jauh hingga perbatasan kerajaan. Wajar saja jika banyak yang menginginkannya. Pancaran karismatik kerajaan seperti magnit. Bola ungu itu selama ini terlihat buram karena banyak sekali energi negatif yang merongrongnya. Sejak kerajaan Timur Laut Banyuwangi bangkit, menurut Eyang Naga dia berubah drastis, bening kembali.

Untuk ke dua kalinya aku melompat dan berdiri di puncak karang yang dikelilingi air laut, tempat Nini Ratu berdiri terakhir. Kali ini aku sujud mencium batu sembari menahan tangis. Aroma wangi Nini Ratu masih membekas di atas batu. Kuhirup dalam-dalam. Ketika aku bangkit, aku mencoba mencari Nini di air kembali. Ingin rasanya aku masuk ke dasar laut untuk melanjutkan pencarianku. Kuawasi sekali lagi sekelilingku.

“Nini…” Batinku mendesah. Seperti mengharapkan mimpi, aku ingin mendengar jawaban beliau tiap kali ketika aku berdialog batin dengannya. Namun berkali-kali kupanggil tidak kudapatkan jawabannya. Hening. Dan aku kembali kecewa.

“Bukankah sudah diingatkan supaya jangan kau cari Nini Ratu lagi, Cucuku. Alam beliau sudah berbeda. Kita tidak bisa menemui beliau lagi” Eyang Naga mengingatkan aku dengan suara berat. Aku tahu Eyang Naga sedih. Beliau menahan tangis. Beliau sengaja menguat-nguatkan diri supaya aku tidak larut dalam kesedihan. Namun getar suaranya tidak bisa dibohongi. Beliau menyimpan perasaan sama perihnya denganku.

“Eyang, mengapa Nini tidak bisa lagi dihubungi! Kemana Nini Ratu, Eyang” Ujarku masih tidak puas.

“Beliau telah mencapai nirwana, kembali ke alam yang tidak bisa kita jangkau, Kanjeng Ratu” Lanjut Eyang Naga lagi. Mendengar tidak bisa kita jangkau lagi, aku kembali terduduk. Artinya aku memang tidak akan pernah bersua lagi. Apa ini yang dikatakan moksa?

Aku jadi ingat kata-kata Eyang Putih beberapa waktu lalu jika aku harus kuatkan diri saat kita kehilangan apa yang kita sayangi . Apakah ini maksudnya? Aku kehilangan Nini Ratu selamanya? Aku kembali panik. Baru kali ini seumur hidup aku mengalami kepanikan seperti ini. Dan batinku benar-benar risau. Aku serasa hidup sendiri dan harus menyelesaikan semua masalah Timur Laut Banyuwangi sendiri.

Gelombang laut semakin tinggi. Posisi bulan nampak sudah bergeser dari poros tengah langit. Aku sedikit terengah-engah ketika berkali-kali melompat dari karang satu ke karang lainnya. Beberapa makhluk astral di dalam batu terpental gara-gara hentakan kakiku. Sebagian besar makhluk yang marah tidak kupedulikan. Namun mereka tidak satu pun yang berani mendekat apalagi menyerang. Hanya tatapan mereka saja yang terlihat garang.

Akhirnya aku menatap bulan yang posisinya sudah mulai condong ke laut. Cahayanya masih terang benderang menimpa air laut yang bergelombang. Purnama bulat sempurna itu tak menggairahkan lagi bagiku. Ada keperihan terasa di sana. Purnama telah menjadi saksi kepergian Nini Ratu. Terbayang tiap kali purnama maka aku pasti akan merasakan keperihan seperti saat ini.

“Oh Tidak! Nini Ratu!” Aku kembali menjerit tak berdaya. Aku tidak akan merasakan perih seperti ini andai aku ditinggalkan karena kematian. Paling tidak bila ditinggal mati aku dapat melihat jasadnya. Lalu dengan ikhlas melepasnya.

Kali ini aku memilih duduk di atas puncak batu karang menghadap ke laut. Samar kudengar suara Eyang naga sesegukkan. Beliau buru-buru kembali ke pertapaannya. Ternyata beliau tidak beda denganku. Beliau juga menyimpan duka yang dalam sama sepertiku belum sepenuhnya menerima kenyataan ditinggalkan Nini Ratu.

Aku kembali menatap bulan purnama. Membaca berbagai macam misteri tentangnya. Untuk itulah aku menepati janji, menemui Nini Ratu sesuai permintaannya. Duh! Jika ini dikatakan ajal, aku tidak akan sesenewen ini. Aku teringat betapa semangat dan senangnya batinku karena akan bertemu beliau. Bahkan menjelang pertemuan itu rakyat dan para santri baik yang menetap mau pun yang datang bertamu sengaja hadir seakan-akan memberikan suport padaku. Aku sendiri tidak tahu mengapa demikian.

Menjelang tengah malam, bersama Kyai dan jamaah kami mengadakan pengajian dan zikir bersama. Suasana masjid istana ramai sekali. Apalagi seorang Kyai dari pesisir datang berkunjung bersama santri-santrinya. Mereka adalah para jamaah yang rajin bertirakat di lereng gunung Ijen. Aku bahagia melihat kemampuan mereka yang bisa menembus alam tak kasat mata, dan bisa bersosialisi di alam tak kasat mata ini baik sesama mereka mau pun pada makhluk lainnya. Saling memberi dan mengisi.

“Mohon maaf, Kanjeng Ratu. Jika kami menemui Kanjeng dalam wujud seperti ini. Hal ini kami lakukan tiada lain agar kami tidak riyak, dan tidak ada bangsa manusia yang mengatakan kami berilmu dan sakti. Kami takut dengan predikat itu Kanjeng. Sekali lagi kami mohon maaf” Kyai Aziz salah satu pengasuh pondok pesantren berbicara sopan. Matanya selalu menatap ke bawah menundukkan kepala tiap kali berbicara padaku.

“Saya pun demikian Kyai. Saya lebih nyaman berjumpa dengan Kyai dan sedulur semua dalam wujud seperti ini. Kyai sepemikiran dengan saya. Saya juga tidak ingin di alam nyata ada yang tahu siapa saya sebenarnya” Balasku sambil tersenyum. Mereka mengangguk-angguk setuju.

Pengajian dan dilanjutkan zikir tiada lain untuk mohon ke pada Sang Khalik keselamatan dan kesejahteraan kerajaan, sekaligus mendoakan aku dan Nini Ratu yang akan bersua malam ini. Kulihat Eyang Putih tubuhnya sampai bergoyang-goyang saking asyiknya berzikir. Demikian para Kyai dan santri sambil memejamkan mata.

Di Pure, Pandita dan jamaatnya pun melakukan ibadah, mendoakan Nini Ratu dan aku bersama sesepuh kerajaan yang beragama Hindu. Aktivitas di Pure kulihat sibuk sejak petang. Beberapa lelaki membuat janur yang ditata sedemikian rupa. Pure menjadi meriah seperti akan ada perayaan hari besar saja. Para perempuan membagikan canang kepada para jamaat. Mereka masuk pure satu-satu dengan tertib, lalu duduk timpuh seperti orang semedi memanjatkan doa.

Usai berzikir, selanjutnya aku pamit pada mereka. Aku memang pergi sendiri. Tidak ada yang boleh mendampingiku. Maka tepat tengah malam berangkatlah aku. Ketika kutinggalkan sebagian besar jamaah masih berdiam di masjid dan pure. Kecuali Eyang Putih, nampaknya beliau ke luar istana mencari sisi laut.

Lalu berangkatlah aku mengendarai angin langsung menuju pertapaan Nini Ratu yang tersembunyi. Sejak awal perjalanan aku sudah mencium wangi bunga. Aroma wangi bunga itu sangat menentramkan jiwa. Dengan gembira aku bergegas menuju pertapaan beliau.

Tidak ada sebersit perasaan dalam dadaku akan terjadi peristiwa seperti ini. Dan aku tidak menyangka jika pertemuan malam ini adalah pertemuan terakhir. Aku tidak tahu jika malam ini adalah malam pilihan Nini Ratu untuk mencapai tingkat paling tinggi dalam hidupnya. Andai saja aku tahu, akan kuundur saja, berlama-lama berdiam dan bermanja pada beliau di gua tapanya. Tapi ketika kutemui beliau nampak sudah menunggu kehadiranku dan seperti sedang siap-siap untuk pergi.

Akhirnya aku memilih diam. Aku tidak berusaha mencari Nini Ratu kembali. Aku mencoba menenangkan diri mencoba menerima kenyataan. Kupejamkan mata. Aku mulai membaca syalawat, al fatihah, beberapa ayat pendek, wiridan teelebih dahulu sebelum mengawali doa. Selebihnya aku mencari ketenangan lewat zikir. Kuhirup udara pelan-pelan. Kutenangkan debur yang bergemuruh di dadaku. Aku tidak bisa menahan air mata yang meleleh pelan. Terasa hangat. Aku kembali pasrah, menyerahkan segala urusan pada-Nya. Tidak ada jalan lain kecuali pasrah.

“Huu Allah..Huu Allah..Huu Allah” Air mataku semakin deras. Semakin aku khusuk pendekatan diri pada Sang Khalik, semakin bergetar jiwaku. Aku terus menuju kestabilan jiwa untuk tetap berada pada zona yang paling nyaman. Merasakan kebesaran Ilahi dari segala sisi. Termasuk juga menerima kenyataan yang tidak bisa diserap dengan akal. Pelan-pelan aku tidak merasakan lagi angin yang berhembus, ombak yang berdebur. Yang ada adalah wilayah hening yang menyerap sepenuh jiwa diiringi getar Huu Allah. Aku seperti melayang di luar angkasa. Semuanya terasa tentram dan tenang.

Entah berapa lama aku duduk diam di atas batu karang yang menonjol di laut ini. Jiwaku sudah terasa tenang. Dadaku tidak berdebar-debar seperti sebelumnya. Pelan-pelan aku membuka mata. Cahaya bulan masih seperti tadi. Lembut meneduhkan. Aku terkesima ketika melihat banyak sosok duduk diam di atas permukaan laut seperti cahaya. Mereka duduk setengah melingkar menghadap padaku. Sejenak aku bingung melihat mereka. Semula kukira cahaya bulan yang berpendar di permukaan air. Aku mulai mengamati mereka satu-satu. Masya Allah! Mereka adalah Eyang Putih bersama Kyai dan santrinya. Aku tersentak kaget. Mereka duduk di bawah, di atas permukaan laut, sementara aku duduk di atas batu yang menonjol. Aku segera mengerahkan kekuatan turun dan segera ikut duduk di atas permukaan laut.

“Terimakasih atas kehadiran Eyang, Kyai, dan para santri” Ujarku sambil merunduk. Aku tidak menyadari kapan mereka datang ke mari dan untuk apa? Bukankah ketika kutinggalkan tadi mereka masih asyik di masjid istana. Ternyata ketika aku menoleh, di darat ada juga sosok Pandita dan beberapa sesepuh kerajaan. Hanya Nyi Ratih nampak berdiri tegak di sisi pantai agak ke lembah. Tiga nenek gunung pengawal Puyang Pekik Nyaring ada bersamanya. Aku jadi heran melihat kehadiran mereka. Mengapa mereka seperti dikomando datang ke mari semua?

Akhirnya, Eyang Putih mengajak kami untuk kembali ke istana. Kami pun berduyun-duyun kembali. Dalam perjalanan aku masih diam. Peristiwa barusan seperti deretan gambar silih berganti melintas di benakku. Termasuk kehadiran Eyang Putih, Kyai, santri dan sesepuh Timur Laut Banyuwangi. Sampai di istana aku langsung menuju ruang tengah. Di sana petinggi-petinggi kerajaan sudah duduk menungguku.

“Nyi Ratih, mengapa semua berkumpul di sini?” Tanyaku sedikit heran.

“Maafkan Kanjeng, ketika Kanjeng mengamuk tadi, istana kita turut geger dan bergetar. Ada frekuensi yang langsung kontak pada kerajaan kita. Kami semua tahu jika kekuatan itu berasal dari energi Kanjeng. Makanya kami bersama-sama ke sana. Alhamdulilah, kami temui Kanjeng dalam keadaan tenang berzikir. Dan kami pun akhirnya menyebar, ikut berzikir juga bersama Kanjeng Ratu” Ujar Nyi Ratih pelan. Aku terkesima mendengar penjelasan Nyi Ratih. Mengapa kekuatan energi kekecewaanku bisa berefeks pada istana? Bukanya sebagai manusia aku memiliki nafsu, kadang marah, sedih, dan gembira. Mengapa harus berefeks dan dapat mengganggu kestabilan istana? Aku menjadi bingung.

“Semua akan berefeks jika berkaitan dengan Timur Laut Banyuwangi, Kanjeng Ratu. Karena denyut jantung kerajaan ada padamu, Kanjeng. Dalam keadaan normal tidak akan berefeks. Namun jika Kanjeng marah, kecewa pada kerajaan sedikit saja, getarnya akan sampai se antero kerajaan” Ujar Nyi Ratih. Aku kaget bukan main. Begitu kentalnya hubungan itu? Jadi demi ketentraman kerajaan aku harus selalu bergembira dan tenang menyikapi berbagai persoalan yang berkaitan dengan Timur Laut Banyuwangi? Kembali aku dibenturkan pada hal yang sulit dicerna dengan akal. Namun ketika kukembalikan pada kuasa Sang Maha Kaya, tidak ada yang tidak mungkin dalam hidup ini. Selagi bumi masih berputar pada porosnya, maka berbagai hal masih akan kita temui keajaiban atas kuasa-Nya.

***

Aku diam sejenak. Ruang istana yang luas nampak hening. Semua seperti menunggu aku berbicara. Tidak kulihat para pekerja yang biasanya sibuk ke sana kemari, atau beberapa sosok duduk di beberapa sudut seperti menunggu perintah. Mereka justru duduk agak menjauh sembari menundukkan kepala. Demikian juga para pengawal yang memegang tombak di tiap sudut. Mereka ikut duduk timpuh, diam. Dalam hati aku memuji ketertiban mereka. Melihat budaya dan sopan santun yang sudah tertanam pada rakyatku, ada kebanggaan dan rasa haru tersendiri. Meski dalam hati aku kadang canggung melihat perlakuan mereka yang sangat hati-hati ketika berharga padaku. Aku sendiri kadang heran dengan diri sendiri. Ketika aku menjadi seorang ratu, aku merasakan sebuah energi lain yang membuat semua tindakanku tertata sedemikian rupa. Dan aku merasakan pancaran karismatik itu ke luar begitu saja tanpa harus kukendalikan, atau berpura-pura.

Mungkin inilah yang disebut karomah. Meski aku tidak terlalu mempedulikannya. Biarlah semua berjalan apa adanya. Bagiku, berubahnya akhlak rakyatku menjadi makhluk religius menjadi suatu kebanggaan sendiri, dan ini terus dipupuk dan menjadi prioritas kerajaan. Usia kerajaan Timur Laut Banyuwangi baru seumur jagung, namun auranya memang sudah terasa berbeda. Kemauan untuk berubah menjadi lebih baik memang keinginan masyarakatnya. Di tengah semangat mereka yang membara, rasanya tidak tega aku menyampaikan perihal Nini Ratu. Selama ini mereka meyakini jika Nini Ratu masih ada, dan hanya aku yang bisa berinteraksi padanya. Bayang-bayang Nini Ratu untuk Timur Laut Banyuwangi memang bisa dilepaskan. Namun jika tidak disampaikan sekarang lambat laun mereka pasti tahu. Bagaimana anggapan mereka jika gaibnya Nini Ratu mereka ketahui bukan melalui mulutku? Tentu tidak bijak rasanya. Dan mereka pasti tidak percaya.

Akhirnya kuhimpun kekuatan sembari berpikir hendak berbicara mulai dari mana. Secara batin sebenarnya aku ingin menangis. Namun demi ketentraman kerajaan kutekan perasaan itu. Aku mencoba menenangkan diri sekuatnya. Sejak kutahu ada hubungan emosional dengan keadaan kerajaan, membuatku agak berhati-hati. Aku takut perasaanku akan berefeks sehingga rakyatku resah. Berkali-kali aku menarik nafas panjang. Masya Allah, sedemikian beratnya ternyata menjadi pemimpin. Bahkan untuk marah pada diri sendiri pun harus tertatah sedemikian rupa. Akhirnya setelah berdiam cukup lama, aku mulai berbicara. Kusampaikan kepergian Nini Ratu untuk selamanya.

“Jika selama ini kerajaan Timur Laut Banyuwangi masih terpancar gaungnya, bukan karena saya. Tapi karena ada sosok Nini Ratu yang banyak berjasa pada kerajaan ini. Karismatik beliau serupa kaki penyanggah yang memberikan kekuatan pada saya untuk menjalankan amanah yang maha berat ini. Mohon maaf jika saya emosional ketika menyadari tidak bisa bersua kembali dengan Nini Ratu. Saya tidak menyadari jika akan berefeks pada kerajaan dan seisinya. Beliau sudah mengantarkan kerajaan ini kembali berdiri, dan mengembankannya pada kita semua. Saya berharap kita semua dapat melaksanakan amanah beliau sebaik-baiknya. Tetap menjaga kerajaan dan mengembangkannya. Namun sebelumnya saya mohon maaf, jika kerajaan kita tetap kita buat tertutup seperti sediakala. Demi keamanan kerajaan, kita batasi dan tetap menjaga ketat hubungan kerajaan dengan kerajaan-kerajaan di luar sana. Saya mohon, tambahkan penjaga keamanan, dan periksa dengan teliti tamu yang akan ke luar masuk ke mari. Nyi Ratih, sementara jangan izinkan makhluk lain ke mari, kecuali santri, Kyai, dan pandita yang kita ajak dan izinkan untuk memberikan ilmu mereka pada rakyat kita” Ujarku panjang lebar. Aku sengaja tidak membicarakan Nini Ratu panjang lebar. Khawatir perasaan sedihku terulang kembali.

“Om Suwastyastu, Kanjeng. Hamba mewakili Pandita dan Kyai. Kita butuh tempat untuk betapa dan tirakat yang nyaman, Kanjeng. Jika diizinkan, kami akan pindahkan bukit yang bersungai di luar sana, ke mari, Kanjeng.” Ujar Pandita mewakili yang lain. Aku menatap mereka sembari berpikir. Memindahkan bukit dan sungai ke mari? Bagaimana jika bukit dan sungai itu ada penghuninya? Bukankah akan memunculkan permasalahan?” Pandita, saya paham maksud Pandita. Namun memindahkan bukit dan sungai dari luar ke mari, saya yakin itu bukan masalah besar. Saya percaya dengan kemampuan para pandita dan lainnya. Namun saya khawatir, justru kita mengganggu ketentraman makhluk lain yang lebih dulu mendiaminya. Lebih baik, kita keruk tanah kita, kita buat ruang di bawah tanah saja” Ujarku memberi solusi. Pertimbanganku, membuat goa ke dalam tanah, lebih baik daripada harus mengganggu makhluk lain. Rupaya apa yang kusampaikan bisa diterima. Muncullah satu ide untuk membuat goa pada sisi kerajaan. Pilihan pada bagian wilayah kerajaan yang agak membukit, lalu goa akan dibuat pintu ke atas dan ke laut beserta lorong-lorong menuju tempat-tempat pertapaan. Aku menatap Nyi Ratih. Nyi Ratih langsung paham maksudku. Beliau langsung menunjuk salah satu ponggawa yang dipercayainya memimpin pembuatan goa itu. Beberapa Kyai dan santri dari makhluk astral pun menawarkan diri untuk membantu. Akhirnya kami sepakat. Bukit sisi Selatan kerajaan jadi pilihan, karena sebagian bukit menghadap ke laut. Tidak perlu menunggu lama, mereka pun segera bergerak dan bekerja. Bahkan sungguh luar biasa, beberapa sosok menggambungkan keterampilannya untuk membuat gua itu menjadi indah. Aku hanya berdecak kagum dengan tekad dan kemauan mereka yang luar biasa. Mereka ada makhluk-makhluk cerdas dan berbudaya.

Usai pertemuan, bersama tiga nenek gunung dan Eyang Putih, kami bermaksud keliling kerajaan. Nyi Ratih dan dua pengawal juga ikut mendampingi. Kami mulai berjalan dari sisi kiri istana, lalu ke luar masuk perkampungan-perkampungan yang sudah ada. Aku bersyukur geliat kehidupan makin terlihat. Banyaknya sosok beraktivitas di tempat-tempat ramai, menunjukkan kota kerajaanku makin hidup. Aku buru-buru berjalan ketika melihat mereka jauh dan dekat buru-buru duduk timpuh lalu merundukan kepala. Kali ini kami berbelok ke utara. Aku kaget ketika melihat rumah-rumah yang tertatah sedemikian rupa, makin sempurna. Desainya terkonsep semua. Aku seperti masuk wilayah kampung kuno zaman kerajaan-kerjaan terdahulu. Atap-atap seperti jonglo justru membuat nuansa damai dan merakyat. Taman-taman kecil di tiap halaman persis seperti kehidupan di alam nyata.

“Mereka sangat menghargaimu, Cu. Karena dirimu dari bangsa manusia. Mereka menyesuaikan diri membuat tempat hunian seperti di alam nyata. Tiada lain untuk membuatmu agar tidak asing, dan sebagai bentuk toleransi mereka pada Kanjeng Ratunya” Ujar Eyang Putih sambil tersenyum. Aku menoleh pada tiga nenek gunung yang mengiring di belakangku.

“Lihat, Cu. Ini bentuk rumah-rumah Jawa. Jauh berbeda dengan Rumh baghi di Besemah” Ujarku menunjuk beberapa rumah berderet seperti lukisan. Kami berhenti sejenak menikmati keasriannya. Beberapa sesepuh penghuni rumah ke luar mengetahui kami yang datang. Mereka berpakaian adat ala jawa. Aku tahu sosok yang hadir bukan wujud aslinya. Namun mereka sepakat mengubah diri seperti manusia sesuai dengan perintahku. Ada beberapa yang belum mampu mengubah diri, mereka masih dalam wujud asli. Mereka tengah digembleng berbagai macam ilmu dan kemampuan agar bisa bermanfaat untuk diri mereka sendiri. Untuk itulah mereka meminta tempat yang senyap agar bisa melakukan berbagai macam ritual semedi, bertapa, dan tirakat. Tiada lain untuk mengasah diri dengan berbagai tujuan. Bagiku, selagi itu dijadikan seperti ajang pendidikan seperti sekolah, mencari ilmu dan manfaat, tidak ada larangan. Yang kularang adalah ketika wargaku hendak berguru ke luar.

“Terimakasih Eyang, sudah berkenan menjaga kampung ini menjadi lebih baik” Aku memberi hormat pada mereka meski mereka membungkuk menjaga sopan santun sebagai rakyat pada Ratunya. Yang kutemui sepanjang jalan adalah makhluk astral negeriku yang rata-rata berilmu tinggi. Mereka terus saling mengisi dan menggali. Bahkan sulit kutemukan yang mana guru yang mana murid. Masalahnya mereka saling berembut menyatakan dirinya tengah belajar dan statusnya sebagai murid. Aku tersenyum melihat mereka. Budaya rendah hati sudah tertanam pada jiwa-jiwa mereka.

Ketika sampai di sudut selatan kerajaan, kami berhenti sejenak. Di hadapanku ada gundukan tinggi seperti bukit. Inilah tempat yang sudah kami tetapkan untuk dibuat gua. Kulihat banyak rakyatku yang bekerja. Mereka tengah membangun lubang-lubang yang mengarah ke laut. Gua ini sebenarnya sudah terbentuk alami. Hanya saja tidak terlalu dalam ke bumi, ujungnya buntu. Bebatuan di dalamnya sudah membentuk ornamen-ornamen berwarna merah bata dan kuning gading. Lubang yang mengarah ke atas sudah jadi. Mirip seperti corong yang menyedot udara dari atas untuk masuk. Seperti ketika membangun istana, pembuatan gua ini pun tak luput dengan ritual parah tokoh, santri dan rakyatku. Di lembah ada dua kelompok yang sedang duduk menghadap ke bukit. mereka adalah para santri dan kyai beserta jamaah hindu bersama Pandita. Mereka bekerja bersama-sama dengan caranya. Santri dan Kyai ada yang berzikir lalu seperti dengung ribuan lebah seperti angin puyuh ke luar masuk lubang gua. Mereka pekerja-pekerja ulet yang memiliki kemampuan mumpuni mengoptimalkan kekuatan doa dan tenaga dalamnya. Aku berdecak kagum ketika jari-jari mereka membentuk langit-langit gua seperti arsiran kayu berwarna merah bata. Indah sekali. Ada yang menghaluskan lantai bersih dan licin seperti lantai masjid. Sementara tiap lorong ada bagian untuk orang bertapa menenangkan diri dari berbagai aktivitas hidup. Jiwaku kembali takjub kala beberapa dinding mengeluarkan air lalu air-air itu jatuh membentuk sungai kecil di sisi lantai yang licin dan rata. Tiba-tiba aku merasakan suasana yang sungguh berbeda. Gua ini benar-benar dibuat teduh dan nyaman. Kami mencoba masuk ke salah satu lorong di tengah angin yang masih berdengung. Ternyata lorong yang kami masuki di ujungnya ada ruangan kecil menghadap ke laut. Indah sekali. Aku seperti berdiri di jendela, lalu di bawah jendela terpenting laut yang berombak kecil. Ini hanya ada di alam gaib. Di alam nyata, orang hanya melihat sisi ini merupakan tumpukan batu karang dan cadas yang berlumut dan sebagian ditumbuhi perdu yang kering. Kurang lebih ada lima lubang yang menghadapi ke laut ini, merupakan cabang-cabang dari lorong utama.

“Indah sekali Eyang!” Ujarku takjub. Eyang Putih tersenyum manis.

“Iyalah, yang bekerja itu para petapa yang sangat paham membuat tempat dan titik-titik yang nyaman. Kau rasakan energinya bukan?” Kata Eyang Putih.

“Betul Eyang, energi mereka justru membuat gua ini langsung memiliki kekuatan dasyat yang sulit untuk dijelaskan” ujarku kehabisan kata. “Aura gua ini membuat siapa pun yang sampai ke mari menjadi betah” Ujar Eyang Putih. Aku mengangguk sambil sejurus menatap takjub langit-langit gua seperti pualam. Apa yang Eyang Putih katakan benar adanya. Di antara para pekerja seperti lebah itu aku melihat beberapa sosok menaburkan wewangian bunga sembari berdoa. Mereka bertugas menabur aroma positif gua ini.Melihat aku duduk di lantai tengah-tengah gua, beberapa warga dan pengawal kaget. Mereka sibuk mengelap lantai dengan tangan. Aku juga kaget karena mendapat perlakuan seperti itu. Pengawal buru-buru membentangkan kain yang tergantung di lehernya, lalu menyilahkan aku, Eyang Putih dan Nini Ratih duduk di atasnya. Akhirnya demi menghormatinya aku duduk sambil terus menyapu ruang gua yang nyaris selesai. Tepat pukul empat diri hari, gua Timur Laut Banyuwangi sudah selesai. Aku dan rombongan segera pulang ke istana. Sebentar lagi azan subuh, maka semua aktivitas akan terhenti kecuali mereka yang ibadah di masjid istana. Aku bergegas hendak ke masjid bersama Eyang Putih dan Nyi Ratih. Ketika aku berdiri di syaf perempuan aku kaget, nyaris separuh bagian syaf wanita penuh dengan jamaah. Aku menatap pada Nyi Ratih. Nyi Ratih seperti paham lalu beliau menjawab jika jamaah ini adalah para mualaf yang dengan kesadaran sendiri memilih menjadi muslimah. Mendengar penjelasan itu, bukan main bahagianya. Kemajuan Timur Laut Banyuwangi benar-benar pesat. Aku jadi senyum-senyum sendiri ingat pengalaman ketika masjid ini baru berdiri. Jamaahnya baru aku dan Nyi Ratih.Aku baru saja hendak pergi melihat goa di selatan kerajaan yang baru dibuat semalam. Malam ini rencananya aku akan kembali pulang ke Bengkulu. Namun sebelumnya akan singga sejenak ke gunung Dempu. Aku sangat ingin bercerita dengan Puyang Pekik Nyaring, dan sesepuh di sana tentang raibnya Nini Ratu dan tidak bisa dihubungi kembali meski melalui batin. Tak banyak yang bisa kulakukan di Timur Laut Banyuwangi ini kecuali mengamati berbagai aktivitas dan penjagaan. Meneliti pagar pelindung yang menanungi wilayah kerajaan yang masih utuh. Aku merasakan kekuatannya. Makhluk sakti bagaimana pun tak mampu menembusnya meski hanya sekadar hendak melihat saja. Hanya cahaya lembut berwarna ungu seperti lentera membuat teduh siapa pun yang menatapnya. Kalau bukan Nyi Ratih wanita perkasa yang cerdas dan setia, mustahil Timur Laut Banyuwangi bisa seperti ini. Nyi Ratih memang wanita hebat dan profesional. Semua yang dibutuhkan dan langkah terbaik untuk kerajaan ada di benaknya. Beliau adalah lokomotif kerajaan. Kesetiaan dan kesungguhannya benar-benar membuatku kagum. Tidak ada sedikit pun kekhawatiranku padanya.

“Kanjeng, para Kyai dan santri mohon diri hendak pulang” seorang pengawal menghampiriku. Aku segera menuju pelataran masjid. Benar saja, beberapa Kyai dan satri dari bangsa manusia hendak pulang ke pondok mereka. Mereka adalah Kyai dan santri yang tekun bertirakat. Wajah yang polos, padang mata yang bening, membuat siapa pu n merasa tentram menatap mereka. Kulepas jiwa-jiwa bersih itu pulang dengan perasaan lega. Mereka rutin bertandang ke mari untuk silaturahmi dan membantu memberikan ilmunya pada rakyatku yang belajar. Keikhlasan mereka membuat jalinan silaturahmi semakin baik. Mereka tidak kenal pamri. Kapan diminta bantuan, mereka selalu siap dan tidak pernah menolak. Menurutku mereka adalah makhluk-makhluk pilihan. Sebab tidak semua anak muda yang begitu taat dan rela menghabiskan waktunya hanya untuk ibadah. Mereka menghabisakan waktunya di pondok pesantren sejak kecil. Jadi wajar saja jika ketaatan mereka sudah terlihat sejak dini, masih muda namun sudah bisa menembus alam tak kasat mata. Kelebihan-kelebihan mereka pun sudah tampak. Jika tidak, mustahil Kyai mereka kerap mengajak mereka melancong ke alam tak kasar mata.

Tak berapa lama aku telah berada di pintu goa. Aku heran, mengapa aku seperti merasakan angin yang sangat kencang dari dalam? Aku memang sengaja pergi diam-diam dan sendiri. Aku hanya ingin menikmati gua yang dibuat rakyat hanya dalam waktu semalam. Semoga goa ini manfaat untuk rakyatku yang ingin meningkatkan kualitas kedekatan diri pada Sang Maha. Aku mulai melangkahkan kaki agar lebih dekat ke mulut goa. Angin yang berhembus masih terasa kencang. Bahkan terasa sedikit mendorong tubuhku. Aku bertahan dan terus berusaha masuk. Beberapa langkah aku sudah sampai di ruang yang lebih besar. Ruang ini yang menghubungkan ke lorong-lorong pertapaan. Ada yang menuju sisi laut, ada yang ke atas, ada juga yang menukik lebih jauh ke dasar bumi. Yang membuatku tak henti takjub adalah ketika dari beberapa dinding goa gemericik air mengalir membentuk sungai kecil. Aku tidak tahu akhirnya air di goa ini mengalir ke mana dan bermuara di mana. Kucelupkan tangan, terasa dingin meresap. Akhirnya kuputuskan untuk berwudu saja.

“Assalamualaikum Kanjeng Ratu” Tiba-tiba aku dikagetkan dengan salah satu sosok lelaki orang alim. Aku menatap lencana yang dipakainya. Beliau rakyatku. Aku segera berbalik sembari menjawab salamnya.

“Maafkan hamba, Kanjeng. Jika hamba mengagetkan kanjeng. Hamba mendapat tugas menjaga goa ini Kanjeng. Mengapa Kanjeng ke mari sendiri? Kemana para pengawal Kanjeng” Ujarnya sambil memberi sujud dan hormat.

“Saya sengaja sendiri tanpa memberitahu yang lain, Paman. Saya ingin menikmati gua ini dengan leluasa” Ujarku sembari naik dari bibir sungai.

“Air sungai ini telah didoakan oleh para sesepuh agama tadi malam, kanjeng. Airnya tidak saja bisa dipakai untuk berwudu, tapi juga bisa langsung di minum siapa pun yang akan bertapa atau tirakat di goa ini” Ujarnya lagi. Mataku sedikit terbelalak mendengarnya. Luar biasa para tokoh negeriku ini. Aku bersyukur dalam hati.

“Jadi, sayalah yang pertama berwudu di sini, Paman?” Ujarku lagi. Paman penjaga goa mengangguk. Bahkan beliau memintaku untuk meminumnya juga. Akhirnya aku kembali turun ke bibir sungai. Aku duduk sejenak, lalu menengadahkan tangan, berdoa terlebih dahulu. Mendoakan sumber mata airnya. Usai berdoa, sejenak aku melihat cahaya pelangi mengalir deras di permukaan sungai. Rupanya air menyambut gembira setiap doa yang ditujukannya padanya. Masya Allah, air ini tidak saja akan bengenyangkan siapa pun yang meminumnya. Namun dapat juga menyembuhkan penyakit. Setelah selesai, aku mengatupkan kedua telapak tangan, lalu menampungnya, dan meminumnya. Air terasa dingin mengalir sejuk di tenggerokanku.

“Air ini juga memiliki mukjizat dapat menyembuhkan siapa pun yang sakit, Paman. Saya bisa minta tolong, Paman?” Tanyaku pada Paman penjaga yang disambutnya dengan anggukan cepat.

“Setiap bulan purnama, Paman doakan mata air sungai ini, agar energinya tetap stabil dan bisa dinikmati oleh siapa pun yang tirakat maupun bertapa di sini” Ujarku. Paman penjaga mengangguk cepat.

“Hamba siap laksanakan, Kanjeng Ratu. Akan hamba doakan mata airnya setiap bulan purnama. Hamba akan jaga kebersihan sungai ini” Janjinya. Aku lega menatapnya. Aku percaya padanya. Meski baru kali ini aku mengenal dan bertatapan langsung pada beliau, tapi aku merasakan kesetiaannya. Beliau juga nampaknya seorang betapa.Setelah berbincang-bincang sesaat, akhirnya aku mohon diri untuk melanjutkan perjalanan masuk ke lorong-lorong. Ternyata beliau tidak tega melepaskan aku sendiri.

“Mohon maaf kanjeng, izinkan hamba mendampingi kanjeng berkeliling goa. Sekaligus akan hamba jelaskan nama-nama lorong, berikut tingkatannya, Kanjeng. Sebab tempat bertapa, di dalam goa ini disesuaikan dengan tingkat keilmuan yang dimiliki setiap orang, Kanjeng.” Jelas beliau lagi. Oh! aku baru tahu kalau goa ini ditatah sedemikian rupa. Kukira cukup terbentuk goa, lalu memberikan kenyamanan pada setiap orang yang hendak tirakat di dalamnya. Rupanya ada kelas-kelasnya disesuaikan dengan tingkat keilmuan.

“Jadi goa ini tidak hanya sebagai tempat seseorang memilih hening agar dekat pada Sang Maha saja, ya Paman. Tapi ada semacam gemblengan bagi siapa pun yang hendak menyempurnakan kebatinanya?” Tanyaku lagi.

“Benar sekali, Kanjeng. Gua ini nanti akan berfungsi tempat belajar. Terutama ponggawa-ponggawa kita, Kanjeng Ratu. Nyai Ratih sudah memilih siapa saja yang wajib belajar dan tidak” Ujar Paman penjaga lagi. Aku bersyukur dalam batin. Sungguh hal seperti ini tidak terpikir olehku sebelumnya. Namun di bawah pengawasan Nyi Ratih ternyata semuanya sudah berjalan. Aku bahagia sekali mendengarnya meski belum mendapatkan laporan dari Nyi Ratih. Biasanya beliau melaporkan segala macam hal yang telah dilakukan dikerajaan. Tak satu masalah pun yang tidak beliau laporkan padaku.

Akhirnya aku dan Paman penjaga gua berjalan makin ke dalam. Paman menyampaikan nama-nama lorong dan berapa titik tiap lorong tempat bertapa. Semakin ke dalam semakin senyap. Suara gemericik air sudah tidak terdengar lagi. Banyak sekali ruang-ruang sunyi yang ditata sedemikian rupa. Rata-rata dibuat remang. Jika hendak terang, di dinding-dinding sudah ada lentera-lentera yang bisa langsung disulut. Sepanjang lorong, aku melihat kerlap-kerlip seperti lampu pijar warna-warni. Ternyata warna itu berasal dari batu-batu permata yang memantulkan cahaya. Indah sekali. Melihat dinding gua yang licin aku mencoba menyentuhnya. Dinding gua, terasa dingin. Kuperhatikan semuanya. Dinding, langit-langit, dan lantai gua seperti dilapisi batu pualam, membuat udara lorong tidak beraroma lembab. Aku yakin, siapa pun yang berada di sini pasti akan betah.

“Kanjeng Ratu, di ujung sana ada ruangan. Hamba rasa kanjeng tadi malam belum sampai ke sana. Itu tempat khusus, Kanjeng. Tidak sembarang orang yang diizinkan masuk ke sana.Tempat itu telah dipagar khusus. Hanya orang yang berhati bersih saja yang bisa melangkah melalui pintu gaibnya” Ujar paman penjaga lagi. Aku jadi penasaran. Banyak dan panjang sekali gua ini. Tapi aku memaklumi, mereka memang rata-rata ahli bertapa. Jadi semuanya disesuiakan dengan kebutuhan mereka.Sampai di mulut ruangan yang dimaksud, aku sudah merasakan energi yang menghadang. Aku segera membaca doa, lalu pelan-pelan menyibakkan semacam tabir penutupnya.

Masya Allah, ruangan yang luas ini lebih indah dari ruang-ruang bawah tanah yang lainnya. Di bagian tengah ruangan ada semacam meja dan kursi batu tempat duduk. Lalu di bagian utara ruangan ada seperti panggung. Semua terbuat dari batu. Bahkan batu tempat duduk beberapa orang tersedia di dalamnya. Yang membuatku berdecak kagum adalah alas karpet yang menutupi lantai adalah beludu tebal berwarna hijau kekuningan. Aroma wangi bunga tidak menyengat namun semacam aroma terapi yang membuat ruangan menjadi segar. Pintu masuk dan ke luar untuk kemari hanya satu. Berbeda dengan ruang lainnya yang menghubungkan lorong-lorong dan ruang lainnya.

“Kanjeng Ratu, coba Kanjeng sentuh dinding goa dengan ke dua telapak tangan Kanjeng” Ujar Paman penjaga lagi. Aku segera menghampiri sisi ruangan, lalu menyentuhkan ke dua telapak tanganku dan menyapukannya ke samping. Nyaris saja aku terpental karena kaget. Sebab ketika kusentuh maka dinding gua berubah seperti layar yang memperlihatkan semua aktivitas rakyatku di luar istana. Bagaimana bisa? Aku bingung setengah mati. Bisakah ini dikatakan teknoligi seperti di alam nyata? Bagaimana dinding ini menjadi multifungsi yang bisa melihat semua aktivitas rakyatku? Dinding ini semacam jendela membuat siap pun leluasa memandang ke luar. Sulit sekali untuk dicerna oleh akal. Aku merasakan dunia nyata dan tak kasat mata seperti tanpa batas.

“Ruang ini siapkan khusus untuk Kanjeng. Di desain sedemikian rupa agar Kanjeng tetap bisa memantau perkembangan rakyat kerajaan. Tanpa seizin Kanjeng Ratu, tidak satupun makhluk yang bisa masuk ke mari, Kanjeng” Ujar paman lagi setelah menanyakan apakah ada kekurangannya ruang ini. Aku tak mampu berkata-kata. Semuanya terlihat istimewah. Bagaimana aku bisa mengatakan ada kekurangan? Terakhir aku bersama paman berjalan menuju lorong yang menghadap ke laut. Tadi malam aku sudah ke mari. Angin yang berhembus kencang masuk ke lorong-lorong gua hingga ke mulut goa rupanya berasal dari mulut goa yang menghadap ke laut ini. Lalu dibantu oleh lorong-lorong yang mencuat ke atas.

“Ternyata, goa-goa di alam nyata, bisa jadi sengaja dibuat dan dirancang sedemikian rupa atas bantuan makhluk tak kasat mata. Namun di alam nyata, bangsa manusia menyebutnya goa-goa alamiah yang terbentuk sendiri. Tanpa campur tangan makhluk gaib, mustahil muncul ornamen – ornamen seperti menggambarkan kisah atau siklus kehidupan tertentu. Ah! Allah memang Maha Kaya. Tak satu pun karya di muka bumi ini tanpa izin-Nya. Bahkan beberapa lorong goa di alam nyata ada yang bisa langsung menuju Makkah Al Mukaromah. Ingat hal itu bulu kudukku langsung merinding. Aku segera duduk dan berzikir.

Bersambung…
close