Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MENGENANG TRAGEDI SAMPIT

Berbagai senjata diacungkan di udara hari itu. Masyarakat suku dayak memanas.
Mereka yang selama ini ramah dan diam, mulai menunjukkan sisi tegas dan keras. Dengan berkelompok, mereka menyisir pemukiman, mencari para pelaku pengeroyokan, pembunuhan dan segalanya yang selama ini bebas.

Konon, suku Madura dapat dikenali dari aromanya oleh Suku Dayak. Mereka dapat membedakan mana pendatang dari daerah lain, dan mana pendatang dari suku Madura. Terlebih adalah siapa yang selama ini berbuat onar di tanah mereka.

Menurut beberapa orang, suku dayak melihat suku madura saat itu kepalanya menyerupai sapi dan berbau sapi. Itulah tanda orang Madura. Peperangan tak dapat dihindarkan. Suku Madura yang selama ini mengira suku Dayak lemah ternyata menjadi pemberani dan tegas.


Pertempuran pecah dan Sampit menjadi arena perang yang mengerikan. Suku Madura bisa dibilang menjadi "buronan" di satu wilayah tanah Kalimantan.

Mendengar saudaranya melakukan perlawanan. Suku Dayak yang selama ini berpencar dan menyebar ke Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat bahkan Malaysia akhirnya "pulang".

Selain itu Suku Dayak dalam yang selama ini bermukim di dalam hutan pun ikut dan bergabung dengan Suku Dayak dan Suku Banjar di Sampit saat itu. Kini suku Dayak kembali menjadi dominasi di tanah nenek moyangnya.

Beberapa orang Suku Madura mencoba melawan. Namun gagal. Karena Suku Dayak bukanlah suku "biasa". Mereka memiliki keahlian dalam menggunakan mandau (sejenis pedang khas Dayak) dan sumpit.. mereka berjalan dengan tombak, panah dan senjata tajam di genggaman mereka.

Begitu mereka merasakan keberadaan orang Madura, maka mereka akan mengejar dan menghabisinya.

Pengungsian besar besaran terjadi. Konflik pecah dengan sangat mengerikan. Namun suku Dayak tetaplah suku dayak yang mengetahui nilai luhurnya. Data mencatat, serangan hanya dilakukan pada mereka, Suku Madura yang berada di jalan dan melawan. Tidak ada serangan lain.

Bahkan suku Dayak sama sekali tidak melakukan perusakan pada rumah ibadah agama lain, mereka bahkan tidak menyerang suku Madura yang berlindung di Gereja atau Masjid.

Pemandangan hari itu di jalan jalan sangat mengerikan. Jenazah bergelimpangan di mana mana, kepala kepala manusia ditancapkan diujung tombak dan diarak. Sebagian lainnya, tubuhnya diikat dan digeret menggunakan motor. Jalanan basah oleh darah dan gelimpangan mayat.


Kepala kepala itu diangkat dan dibawa keliling daerah. Beberapa lagi dibiarkan menggelinding di jalanan. Menurut kabar yang beredar, air sungaipun berubah menjadi warna merah akibat darah dari para korban yang dibuang ke sungai. Beberapa diantaranya dikeluarkan dahulu isi perutnya.


Suku Madura jelas kalah jumlah dan kalah tanding saat itu, yang mereka hadapi adalah orang-orang yang bahkan tidak dapat dilukai dengan senjata tajam dan mampu mendeteksi keberadaan mereka hanya dari bau.

Pihak kepolisian tidak bisa berlaku banyak. Konflik pecah dan tersebar secara merata. Diantara para polisi juga merupakan keturunan suku Madura dan membuat mereka harus mengungsi..

Kerusuhan ini terus berlanjut hingga 20 Februari. Kota sampit lumpuh. Segala kegiatan dihentikan baik itu sekolah, pekerja kantoran, pns dan bahkan banyak pemilik warung menutup tokonya dan mengungsi.

Setiap ada orang yang berani melewati titik perkumpulan orang diperiksa, jika logatnya madura atau memiliki bau sapi, maka akan dicegat dan dihabisi. Sebaliknya, suku lain hanya akan diperintahkan untuk berbalik dan pulang tanpa mengalami kekerasan atau intimidasi apapun.

Malam harinya, listrik padam. Kengerian bertambah dengan kondisi yang gelap gulita. Beberapa komplek perumahan diadakan jaga malam. Suku suku lain selain Madura dan Dayak berrahan perkampungannya dan berjaga jaga agar tidak ada orang luar yang bersembunyi.

Disaat chaos seperti ini dengan konflik yang masih berkecamuk, muncul kabar menghebohkan lainnya. Ketika Suku Dayak Dalam masuk ke Sampit, konon bersamanya masuk sosok legenda Dayak yakni Panglima Burung dan Panglima Kumbang.

Panglima burung menjadi salah satu nama yang merebak di kalangan masyarakat Dayak dan ditakuti warga Madura kala itu.

Menurut kabar yang beredar, Panglima Burung sejatinya adalah orang pendiam dan pemalu. Ia sangat ramah dan jarang berinteraksi dengan orang lain. Namun saat perang ini meletus, ia menjadi salah satu yang membantu serangan dengan cara "membunuh tanpa terlihat".


Mandau mandau berterbangan di udara dan langsung menyerang leher para musuh hingga terputus. Banyak saksi yang membenarkan keberadaan mandau terbang ini selama konflik Sampit berlangsung. Tanda Panglima Burung telah bergabung dalam pertempuran besar besaran ini..

Ditengah ketakutan dan gelap itu pula, sirine pemadam kebakaran terus berbunyi. Kebakaran dan asap membumbung tinggi di langit. Asalnya darimana lagi kalau bukan dari rumah rumah warga madura yang dibakar. "Kalau tidak dibakar, mereka akan kembali!" Ucap salah seorang suku dayak.


Para pengungsi berfokus pada instansi pemerintahan. Tidak ada dari mereka berani kembali ke rumah masing-masing saat itu, walaupun diantara mereka ada dari suku lain.

Mereka diperintahkan memasang kain kuning atau kunyit di depan rumah mereka sebelum mengungsi agar dikenali bahwa itu bukanlah rumah suku Madura.

Perang ini juga terjadi di luar Sampit.. menyebar ke Kota Sambas, Palangkaraya dan Pontianak, walau episentrum perang tetap tertinggi di Sampit.

Tercatat setidaknya 500 orang tewas kala itu, walaupun banyak yang yakin jumlah sebenarnya adalah mendekati seribu dikarenakan banyaknya jenazah yang dibuang atau (maaf) dimakan hati dan organnya. Tidak ada data pasti berapa jumlah orang yang meregang nyawa saat itu.

Sementara dari sisi suku Dayak, tidak diketahui data pasti berapa jumlah korban.

Pada 23 Februari, kondisi sudah bisa dikatakan pulih. Walaupun kewaspadaan masih tinggi kala itu. Air PAM masih berwarna merah, konon dikarenakan oleh darah. Sementara itu para penduduk Suku Dayak Dalam kembali ke hutan, dan orang-orang Dayak dari berbagai daerah kembali ke daerahnya.

Suku suku selain Madura juga kembali ke rumah. Dan mendapati rumahnya dalam keadaan utuh. Tidak dijarah, dan tidak dibakar.

Sementara masyarakat Madura saat itu memilih pulang ke Madura karena takut dan khawatir akan terjadinya konflik susulan, selain itu harta benda dan rumah mereka pun sudah habis terbakar.

Beberapa tahun lalu, konflik serupa hampir saja terulang namun tindakan cepat polisi berhasil meredakan konflik tersebut sehingga tidak meluas.

Semoga ini jadi pelajaran berharga bagi kita semua. "Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung" dimana saja kita berada, maka hormati dan hargai segala adat disana. Kejadian ini tidak akan terjadi jika tiap-tiap etnis hidup berdampingan dengan saling menghargai antar manusia.

Dan satu lagi, jangan pernah membangunkan harimau tidur...
Semoga kejadian yang sama tidak terulang lagi, dan kita sebagai bangsa Indonesia adalah satu kesatuan.

Suku Dayak dan Suku Madura akhirnya berdamai. Dan hal itu disimboliskan dengan sebuah tugu/tiang berukir dari kayu yang cukup tinggi. Tujuannya agar semua orang disetiap penjuru dapat melihat dan tau bahwa perdamaian dan keamanan ada diatas segalanya.


Pada 2015, didirikan sebuah monumen yang lebih megah dan besar dan di tangah monumen tersebut, monumen lama berupa ukiran kayu tadi tetap dipertahankan.

close