Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SELASA KLIWON

BRUKK !

Terdengar suara keras membanting ketika lelaki itu meletakkan mayat tadi di atas dipan di mana aku meringkuk di bawahnya..

Kemudian dia seperti sedang melucuti kain kafan lalu dengan sembarangan melemparkannya ke lantai.

BRAKK... BRAKK... BRAKK...

Terdengar suara seperti benda keras yang dibelah-belah. Kemudian nampak sesuatu dilemparkan lelaki itu ke lantai...

Aku terkejut!

Ternyata itu adalah potongan kepala mayat yang baru saja dia penggal!


Gunung Kidul, 1990.

Aku menggigil kedinginan ketika cipratan air hujan menyentuh kulitku.

Telapak tanganku mulai pucat keriput, kaki pun sudah basah sejak tadi. Namun hujan tak kunjung reda, malah makin liar disertai angin dan kilatan petir.

"Ayo Git, kita nekat pulang aja, ini sudah malam." ucap Rahmat setengah memaksa.

"Sabar Mat, sebentar lagi juga berhenti." Sahutku lalu spontan menunduk ketika ada cahaya kilat menyambar.

"Nanti kita kemaleman Git, ini sudah sepi banget lho." ucapnya kembali memaksa.

Aku tak menggubris rengekannya. Aku masih tetap berdiri sambil bersedekap menengadah menatap rintik hujan.

Malam itu, kami dua orang remaja usia belasan tahun sedang dalam perjalanan pulang seusai menonton sebuah pertunjukan layar tancap di desa sebelah.

Tapi di tengah perjalanan, tiba-tiba turun hujan yang sangat deras sehingga menghambat langkah kami dan memaksa kami berteduh di emperan sebuah warung yang sudah tutup.

Jalan setapak yang mengarah ke desa kami pun kini nampak gelap dan becek.

Memang di daerah kami belum seluruhnya dialiri listrik, menciptakan suasana gelap gulita ketika hari telah malam.

Itu sebabnya Rahmat cepat-cepat ingin pulang, karena dia termasuk anak yang penakut.

Apalagi dalam beberapa bulan terakhir, di sekitar wilayah ini ada kejadian yang cukup membuat geger.

Beberapa kali terjadi pencurian mayat di sejumlah lokasi pemakaman yang berbeda. membuat penduduk sekitar menjadi resah hingga dilakukan siskamling terutama di beberapa area pemakaman.

***

Akhirnya setelah beberapa saat, hujan deras mulai jinak dan berubah menjadi gerimis.

"Sudah mendingan nih Git, ayo cepetan!" ujar Rahmat yang langsung melangkah tanpa menunggu persetujuanku.

Aku pun mengikutinya dan segera mensejajarkan langkah di sampingnya menembus rintik gerimis disertai hembusan angin yang membuatku makin menggigil.

Beberapa kali Rahmat terpeleset akibat salah memilih langkah karena berjalan terburu-buru.

Jalan setapak berupa tanah merah ini memang jadi sangat licin ketika basah terguyur air hujan.

Setelah beberapa saat berjalan, kami kaget melihat jembatan kayu yang menghubungkan kedua desa nampak hilang tenggelam di telan derasnya air sungai yang meluap.

"Aduh! Bagaimana ini Git? Kalinya banjir!" teriak Rahmat dengan nada khawatir.

Aku tak menjawab. Cuma bisa termenung menatap derasnya air yang menderu di hadapan kami.

"Ya mau bagaimana lagi? Terpaksa kita mutar lewat hutan sana." jawabku sambil menunjuk ke satu arah.

"Gila kamu! Nggak mau ah!" Balas Rahmat dengan nada sedikit sewot.

"Lah terus gimana? Masa kita mau nunggu kalinya surut? Bisa-bisa malah sampai pagi." jawabku coba mendebat.

Rahmat cuma bisa diam. Aku tau dia tak setuju dengan pendapatku, tapi situasi membuat dia tak punya jawaban lain.

"Eh malah bengong! Ya sudah ayo!" Ajakku sambil berbalik badan meninggalkan Rahmat yang masih nampak tak ikhlas.

***

Terpaksa kami kembali ke jalan tadi dan berbelok arah menuju hutan yang menjadi pemisah antara desa kami dengan desa sebelah.

Memang harus kuakui, jalan menuju hutan ini sangat berbeda. Tak ada lagi deretan rumah penduduk.

Sepanjang jalan yang kami lalui hanya ada jejeran pohon besar dan semak-semak yang lebat hingga kadang menutupi jalan.

"Kita balik aja deh Git." Ucap Rahmat tiba-tiba sambil memperlambat langkah hingga akhirnya berhenti.

"Gimana sih? udah tanggung ini! itu hutannya sudah dekat, kok malah mau balik?" sahutku protes.

Rahmat cuma terdiam sambil menatap nanar ke arah hutan gelap yang beberapa belas langkah lagi ada di hadapan kami.

"Ayo cepet! Aku sudah kelaparan ini!" Bentakku sambil berbalik badan melanjutkan langkah.

Rahmat dengan terpaksa mengejarku yang kian menjauh, hingga beberapa saat kemudian kami tiba di mulut hutan dengan jajaran pohon besar bagaikan sebuah pintu gerbang.

"Nyalakan sentermu Mat." pintaku sambil meraih senter kecil yang terbungkus plastik yang sejak tadi ada dalam saku.

Rahmat pun menurut. Akhirnya kami masuk menyusuri jalan setapak yang membelah hutan dengan bantuan cahaya redup dari senter di tangan kami.

Akibat minimnya penerangan, beberapa kali kami tersandung akar pohon yang melintang di beberapa bagian jalan.

Suara-suara binatang malam bersahutan mengiringi langkah kami yang makin terseok-seok akibat jalan berlumut yang sangat licin.

Memang hutan ini masih termasuk hutan perawan. Jarang sekali orang mau melintasi hutan ini.

Disamping jalannya lumayan jauh memutar, kisah-kisah seram dan mistis tentang hutan ini membuat orang berpikir dua kali untuk melaluinya.

Jangankan malam hari, saat siang hari pun hutan ini sudah mampu memamerkan keangkerannya yang sanggup membuat orang merinding.

SREEKK..

Terdengar suara daun bergesek di balik semak-semak yang membuat kami spontan menghentikan langkah.

"Apa itu Git?" jerit Rahmat sambil bersembunyi di balik punggungku.

Langsung kuarahkan senter ke sumber suara tadi, dan terlihat seekor ular bergerak merayap menjauh menghindari sinar senterku.

"Cuma ular. Kamu jangan terlalu panik begitu Mat, biasa aja. Kata orang tua, kalau lewat daerah seperti ini, jangan berpikiran yang aneh-aneh, nanti malah ketemu demit beneran lho!" sahutku sedikit menasehatinya.

"Hush! Lah itu kamu malah nyebut-nyebut!" sahutnya sambil mendelik.

Aku cuma nyengir. Lalu kemudian kami kembali melanjutkan perjalanan yang belum sepertiganya kami lalui.

***

Makin ke dalam, hutan semakin lebat dan gelap. Jarak antar pohon pun kian rapat.

Hingga pada suatu tikungan, mataku seperti melihat bayangan bergerak di antara rapatnya pepohonan.

Aku langsung menghentikan langkah, melempar pandangan ke arah Rahmat, seolah bertanya dalam diam apakah dia juga melihat hal yang sama.

Rahmat pucat ketakutan, rupanya dia telah lebih dulu melihat sehingga berdiri kaku dua langkah di belakangku.

Aku menaruh jari telunjuk di depan mulut memintanya untuk diam saat Rahmat seperti hendak bertanya.

Kemudian aku memberi kode untuk mematikan senter, dan mengajaknya bersembunyi di balik sebuah pohon besar sambil setengah menunduk.

Di sana, di balik bayangan pepohonan dan rintik air hujan, nampak seseorang sedang berjalan mundur sambil membungkuk.

Aku yang mengintip dari balik pohon besar, jadi penasaran kenapa dia berjalan seperti itu.

Sempat terlintas dalam benakku kalau itu perwujudan dari demit hutan. Tapi dari gerak-geriknya, aku yakin kalau dia manusia.

Rahmat hanya berani mengintip dari belakang punggungku sambil membenamkan kepalanya hingga cuma nampak mata dan keningnya saja.

Dari dengusan nafasnya yang tak beraturan, sangat ketara kalau temanku ini sangat ketakutan.

Namun sialnya, ternyata kami salah pilih tempat sembunyi. Orang itu ternyata terus berjalan mundur menuju ke arah kami yang membuat kami makin merunduk hingga berjongkok.

Setelah jarak kami kian dekat, baru aku sadari ternyata orang itu berjalan mundur sampai membungkuk karena dia sedang bersusah payah menyeret sesuatu dengan kedua tangannya.

Ketika akhirnya dia melintas persis di hadapan pohon tempat kami sembunyi, aku dan Rahmat kompak terkejut sambil menutup mulut dengan kedua tangan...

ASTAGA !

Ternyata dia seorang lelaki tua, sedang menyeret mayat yang terbungkus kain kafan yang belepotan tanah hingga berubah warna menjadi coklat tua!

Aku setengah mati diam menahan nafas, namun Rahmat yang terlanjur panik malah bergerak ceroboh. Dia berangsur mundur sehingga tanpa sengaja kakinya menginjak sebuah ranting yang menimbulkan bunyi berderak.

KRAKK !

Lelaki tua itu spontan menoleh. Sehingga tanpa sengaja kedua mata kami beradu pandang!

Dia mendelik menyeringai, lalu tiba-tiba menghunus sebilah golok dari balik bajunya, kemudian mengacungkannya ke arah kami!

LARI MAT !

Perintahku langsung lari terbirit-birit diikuti Rahmat yang terpontang-panting mengikutiku dari belakang.

Aku terus lari tak tentu arah dan baru menyadari kalau ternyata Rahmat sudah tak ada lagi di belakangku.

"Sialan Mat, lari kemana kamu?" umpatku kesal bercampur panik.

Aku sempat memperlambat lariku sambil jelalatan mencari kemana kiranya arah Rahmat berlari tadi.

"Heh! Tak pateni kowe!" (Heh, aku bunuh kamu) tiba-tiba saja lelaki itu sudah menyusul sambil mengacungkan goloknya yang berlumuran darah!

Aku langsung panik lari berhamburan sekencang-kencangnya tanpa berani menengok ke belakang.

Sampai akhirnya di kejauhan, kulihat ada setitik cahaya yang membuatku spontan berlari ke arah sana, berharap itu rumah penduduk yang bisa aku mintai perlindungan.

***

Kini aku tiba di hadapan sebuah gubuk kayu yang sudah reot. Rupanya cahaya tadi berasal dari lampu minyak yang tergantung di tiang depan rumah.

Aku langsung mengetuk pintu dengan keras. Tapi baru dua kali ketuk, pintunya malah terbuka sendiri karena ternyata tak terkunci.

Tanpa pikir panjang, aku segera masuk dan langsung disambut oleh sengatan bau amis yang menusuk rongga hidung.

"Pak! Bu! Tolong saya!" ucapku memanggil-manggil sang pemilik gubuk dengan nafasku yang masih tersengal-sengal.

Namun sunyi tak ada jawaban..

Aku beranikan diri masuk ke dalam sampai mentok ke bagian belakang sambil terus memanggil-manggil.

Namun setelah beberapa saat, akhirnya aku sadari kalau ternyata gubuk ini tak berpenghuni.

Aku segera kembali ke pintu depan berniat ingin menguncinya dari dalam.

Tapi ternyata pintu yang terbuat dari susunan papan kayu itu memang tak memiliki kunci.

Sejenak aku kebingungan hingga akhirnya mendengar suara benda diseret-seret dari luar gubuk.

Aku langsung mengintip dari sela-sela pintu, dan jadi kaget bukan kepalang..

Sosok lelaki tua itu kini ada di depan gubuk sambil terus menyeret mayat tadi lalu berhenti persis di depan pintu!

Di pinggangnya, terselip golok berlumuran darah yang tadi dia gunakan untuk mengancam.

"Ya ampun! bagaimana ini?"

Batinku menjerit ketakutan saat menyadari kalau ternyata gubuk ini adalah milik lelaki itu!

***

Akhirnya aku kembali menuju ke belakang rumah, lalu sembunyi di kolong sebuah dipan yang di bawahnya terdapat dua buah keranjang besar dari anyaman bambu yang lalu kugunakan untuk menutupi tubuhku.

KRIEEETT...

Terdengar derit suara pintu dibuka dari luar. Kemudian kembali terdengar suara benda diseret-seret masuk ke dalam.

Aku hanya bisa meringkuk ketakutan saat kulihat kedua kaki lelaki itu berhenti persis di dekat dipan tempatku bersembunyi.

BRUKK !

Terdengar suara keras membanting ketika lelaki itu meletakkan mayat tadi di atas dipan di mana aku meringkuk di bawahnya!

Kemudian dia seperti sedang melucuti kain kafan lalu dengan sembarangan melemparkannya ke lantai.

Aku menegangkan badan dan berusaha menahan nafas karena aku yakin bila sedikit saja aku bersuara pasti akan berakibat fatal.

BRAKK... BRAKK... BRAKK...

Terdengar suara seperti benda keras yang di belah-belah. Kemudian nampak sesuatu dilemparkan lelaki itu ke lantai.

Aku terkejut!

Ternyata itu adalah potongan kepala mayat yang baru saja dia penggal!

"Ya Allah, Ya Allah, Ya Allah..."

Batinku menyebut berulang-ulang seiring tubuhku yang mendadak lemas.

Kemudian lelaki itu melangkah pergi. Aku tetap diam tak bergerak.

Namun setelah beberapa saat dia tak kunjung kembali, timbul keinginanku untuk keluar dari tempat persembunyian karena ku pikir dia sudah pergi meninggalkan gubuk.

Akhirnya ku beranikan diri keluar tapi langsung kaget begitu melihat mayat yang sudah terpotong-potong menjadi beberapa bagian tergeletak di atas dipan!

Aku yang sempat syok, langsung coba menguasai diri, lalu kembali fokus dengan niatku untuk segera keluar dari tempat ini.

Tapi ketika sampai pintu depan, langkahku terhenti saat kembali terdengar suara benda diseret-seret di luar sana.

Aku coba mengintip lagi. Dan ternyata lelaki tua itu kembali datang sambil menyeret tubuh seseorang yang bersimbah darah!

ASTAGA !!!

Dadaku berdegup keras, leherku tercekat, kakiku gemetar nyaris tak kuat berdiri ketika kukenali sosok tubuh yang diseret lelaki itu…

RAHMAT...

Aku cuma bisa mengintip sambil menangis tanpa suara ketika lelaki itu menggali lubang dan melemparkan jasad Rahmat yang sudah tak bernyawa ke dalamnya.

Tapi saat lelaki itu sedang sibuk menimbun lubang, mendadak dia menengok ke arahku seolah merasa kalau dia sedang diintai!

Hmmphh !!

Spontan aku menunduk lalu berangsur menjauh dari pintu dan segera kembali bersembunyi di kolong dipan.

Tak lama kemudian lelaki tua itu menyusul masuk ke dalam dan seperti sedang memastikan kalau tak ada orang lain di tempat ini.

Aku sedikit lega saat melihat kaki lelaki itu melangkah menjauh. Tapi ternyata dia tak keluar dari gubuk.

Dari tempatku sembunyi, aku lihat dia sibuk meletakkan dan menyusun beberapa benda di lantai.

Walaupun sedikit terhalang, namun aku bisa melihat lelaki itu mondar-mandir menaruh semua potongan tubuh mayat tadi di atas sebuah tikar pandan yang tergelar di lantai.

Selanjutnya dia meletakkan tungku dupa yang langsung dibakar dan segera mengepulkan asap pekat.

Dia lanjut duduk bersila di hadapan potongan tubuh dan bakaran dupa itu, lalu fokus merapalkan mantra-mantra aneh sambil memejamkan mata.

Kemudian dia melakukan hal gila yang hampir saja membuat isi perutku keluar karena jijik..

Dia menyayat dan memotong daging mayat itu lalu memakannya mentah-mentah!

Setelah selesai, lalu dia melakukan sebuah gerakan aneh.

Dia menanggalkan seluruh pakaiannya, lalu ambil posisi merangkak, kemudian bersujud sangat rendah sambil terus merapalkan mantra-mantra.

Dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat tubuh lelaki itu bergetar menggeram-geram sambil mencakar-cakar lantai.

Grrrh.... Grrrh.... Grrrh....

Geramannya makin keras seiring getaran tubuhnya yang kian hebat. Lalu terjadilah sesuatu di luar nalar..

Lelaki itu perlahan-lahan berubah wujud!

Satu persatu kaki dan tangannya jadi menghitam dan berbulu.

Lalu disusul tubuhnya yang ikut berubah, diakhiri dengan mulut dan hidungnya yang jadi maju dan kemudian langsung melolong!

HAAAUUUUUU...

Dia melolong panjang bersamaan dengan dirinya yang telah berubah menjadi seekor anjing hitam bertubuh kurus tinggi dan menakutkan!

GILA !

Aku tak percaya dengan apa yang baru saja kulihat. Anjing hitam itu mendengus lalu dengan rakus melahap semua potongan daging mayat yang ada di atas tikar!

KREKK.. KREKK...

Bunyi gemeletuk tulang beradu dengan giginya ketika dia memakan habis semua daging hingga hanya tersisa tulang-belulang.

Setelah selesai, dia mendengus lalu melolong panjang kemudian melompat keluar gubuk.

Aku masih terpaku setelah melihat semua kegilaan yang baru saja aku saksikan.

Tapi kemudian akal sehatku kembali mengatakan bahwa ini saat yang tepat untuk keluar dari tempat ini.

Aku bergegas merangkak keluar dari kolong dipan, lalu berjalan perlahan sambil berjinjit, sembari mengawasi pintu gubuk yang kini terbuka lebar.

Sesaat aku berhenti di depan pintu, mengintai apakah anjing jadi-jadian itu masih ada di sekitar sini.

Setelah yakin kalau situasi aman, aku langsung berlari sekencang-kencangnya meninggalkan gubuk itu tanpa menengok lagi.

Entah sudah berapa jauh aku berlari, hingga berkali-kali terjatuh dan tergelincir, aku sudah tak perduli lagi.

Bagiku yang penting sebisa mungkin menjauh dari gubuk terkutuk itu.

“Ya Allah.. Tolonglah aku!”

Batinku memohon meminta perlindungan Yang Maha Kuasa.

Dan seketika doaku terjawab..

Ternyata aku berlari ke arah yang benar. Di kejauhan, mulut desaku sudah terlihat.

Sejumlah cahaya obor yang nampak di ujung sana bagaikan pemandu arah di tengah gelapnya hutan.

Tapi tiba-tiba aku mendengar lolongan panjang dan dengusan nafas memburu diikuti derap lari cepat menyusul di belakangku!

YA ALLAH !!

Anjing jadi-jadian itu mengejar!

Dengan sisa tenaga dan keinginan untuk bisa selamat, kupaksakan berlari lebih kencang dari sebelumnya.

Aku terus memaksakan kakiku, mengabaikan rasa perih dan ngilu di telapak kakiku yang berlari tanpa alas.

Tujuanku cuma satu, aku harus bisa sampai ke sana sebelum makhluk mengerikan itu berhasil menerkamku.

Tapi anjing siluman itu kian dekat, hingga sebentar saja jarak kami tinggal beberapa belas meter lagi!

TOLOOOONG...TOLOOOONG...

Aku berteriak sekuat tenaga dan berhasil memancing perhatian beberapa orang yang sedang berkumpul sambil memegang obor.

"Ya Allah, itu si Sigit!" Teriak salah satu dari mereka yang ternyata mengenaliku.

Lalu mereka serentak berlari menjemput diriku yang langsung terjerembab karena lemas.

Grrrrhhhh... Grrrrhhh...

Anjing jadi-jadian itu berhenti sambil menggeram marah ketika menyadari kalau buruannya telah lepas. Akhirnya dia berbalik pergi menghilang ke dalam gelapnya hutan.

"Git? Kamu kenapa?" Tanya seorang warga sambil mengguncang-guncang tubuhku yang terbaring lemah di tanah becek.

"Siluman... ada anjing siluman.." jawabku lemah lalu akhirnya pingsan.

***

"Git, Sigit.."

Aku tersadar saat mencium aroma minyak kayu putih dan suara orang memanggil-manggil.

"Ya Allah Sigit! Kamu nggak apa-apa?" Teriak Bapakku yang duduk persis di sampingku.

Lalu aku dibantu bangkit dan diberi minum. Kulihat banyak sekali orang berkerumun mengelilingi.

Tiba-tiba menyeruak ibunya Rahmat yang langsung bertanya histeris..

"Rahmat mana Git? Rahmat mana??" Tanya ibunya Rahmat sambil mengguncang-guncang lenganku.

"Sabar bu, sabar.." sahut pak Kepala Desa coba menenangkan ibu Rahmat yang mulai menangis.

"Sigit, coba kamu ceritakan apa yang terjadi?" Tanya Kepala Desa dengan nada pelan.

Akhirnya aku ceritakan semua yang terjadi padaku, termasuk tentang tewasnya Rahmat di tangan lelaki tua yang berubah menjadi anjing siluman itu.

"Ya Allah.. Rahmaaaaat!" Ibunya rahmat menjerit histeris sambil menengadahkan tangan ke atas lalu akhirnya pingsan.

"Pak Kades, sepertinya orang itu yang selama ini telah mencuri mayat." ucap salah satu warga.

"Betul pak, saya baru dapat kabar, di kampung sebelah ada mayat yang dicuri, dan mayat itu juga mati di hari Selasa Kliwon." sambung lelaki yang ada di sebelahnya.

"Sepertinya begitu. Dari cerita Sigit barusan, jelas-jelas orang itu penganut ilmu hitam. Jadi kita tidak boleh gegabah, karena dia sangat berbahaya." Sahut pak Kepala Desa menambahkan.

***

Akhirnya saat itu juga, warga berbondong-bondong mendatangi gubuk di tengah hutan itu.

Aku yang diminta sebagai penunjuk jalan, dipapah oleh bapak dibantu warga yang lain.

Sesampainya di tempat itu, mereka langsung kaget begitu menemukan tulang-belulang dan semua benda sisa ritual lelaki misterius tadi.

Akhirnya gubuk itu di obrak-abrik dan dihancurkan, kemudian langsung dibakar.

Tapi tiba-tiba saja, mataku menangkap dua buah sinar terang yang bersembunyi di balik gelapnya hutan.

"Itu.. itu dia anjingnya!" Spontan aku berteriak sambil menunjuk-nunjuk.

Bagai dikomando, seluruh warga langsung memburu merangsek sambil berteriak-teriak marah.

Tapi setelah sekian lama menyisir hutan, mereka tak mampu menemukan anjing jadi-jadian itu. Dia bagai hilang tanpa jejak.

Akhirnya para warga memutuskan untuk pulang, dan berencana akan melanjutkan perburuan keesokan harinya.

Jenazah Rahmat yang telah di evakuasi, segera dibawa pulang untuk diurus dan dimakamkan secara layak.

***

Sesuai rencana, keesokan harinya warga desaku dan juga warga desa sebelah bersama-sama mencari dan memburu anjing jadi-jadian itu di dalam hutan.

Tapi setelah melakukan pencarian selama beberapa hari, anjing siluman itu tak dapat di temukan.

Lalu dengan bermodalkan keterangan dariku tentang ciri-ciri lelaki itu, mereka blusukan ke beberapa desa sekitar, tapi hasilnya tetap nihil.

Akhirnya pencarian pun dihentikan dan lelaki tua misterius itu tak pernah bisa ditemukan.

***

Sepuluh tahun berlalu..

Aku termenung menatap keluar dari jendela kereta. Pikiranku melayang kemana-mana.

Hamparan sawah dan pepohonan hijau di luar sana, tak mampu menutupi rasa gundah bercampur was-was dalam hatiku.

"Bapak sakit Git, pokoknya kamu harus cepat pulang." Teringat ucapan ibu dari percakapan telepon kami kemarin.

Aku tak mungkin menolak keinginan ibu. Apalagi seperti ada nada khawatir dari ucapannya itu.

Walaupun sebenarnya, aku paling enggan untuk pulang kampung. Semenjak aku lulus sekolah dan diterima bekerja di kota, aku jarang sekali pulang ke sana.

Terhitung hanya beberapa kali aku mudik. Itu pun karena bertepatan dengan Hari Raya.

Namun keenggananku untuk pulang bukan tanpa sebab. Trauma akan kejadian itu sangat membekas hingga membuatku ingin berada sejauh mungkin dari desa tanah kelahiranku itu.

Sesampainya di rumah, bapak yang terbaring lemah, terlihat gembira mengetahui anak satu-satunya telah pulang.

Dia berusaha terlihat gagah coba menyembunyikan rasa sakitnya karena tak ingin membuatku khawatir.

Tapi rupanya Tuhan berkehendak lain.

Beberapa hari kemudian, bapak meninggal. Menyisakan duka yang mendalam di hati ibu dan juga diriku.

Tapi kesedihan itu langsung berubah menjadi rasa khawatir saat aku menyadari hari kematian bapak..

SELASA KLIWON..

***

Setelah berembuk dengan Kepala Desa dan seluruh warga, akhirnya kami memutuskan untuk menjaga makam bapak selama beberapa hari.

Setelah melakukan beberapa persiapan, secara bergantian kami menjaga makam bapak.

Kami membagi jatah jaga dalam beberapa kelompok. Dan aku sebisa mungkin ikut dalam setiap kelompok jaga.

Dua hari pertama kami lalui dengan aman tanpa ada gangguan.

Di hari yang ke-3, aku yang selalu ikut jaga sejak hari pertama, bersikeras untuk terus ikut walaupun ibu telah memintaku untuk beristirahat.

Malam itu, suasana pekuburan terasa sunyi. Aku dan beberapa warga yang ikut bertugas, terlibat obrolan ringan demi mengusir rasa kantuk.

Tapi ketika jam menunjukkan pukul 1.00 dini hari, tiba-tiba saja semua orang terserang rasa kantuk yang amat sangat, dan aku pun juga merasakannya.

Satu persatu orang bertumbangan tertidur. Namun aku coba menguatkan tekad untuk tetap terus terjaga.

Lalu tiba-tiba..

HAAUUUUUU.....

Suara itu !

Aku tersentak kaget! Langsung coba membangunkan semua orang, namun sia-sia. Mereka semua seperti pingsan.

Dalam situasi panik dan serba salah, dari kejauhan, dalam gelapnya area makam, aku melihat sesuatu yang amat aku kenal..

Dua buah titik cahaya terang...

-SEKIAN-

Terima kasih telah menyimak cerita ini, semoga kita semua dapat mengambil hikmahnya...

Maafkan bila ada kata2 yang kurang berkenan..
close