Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MEREKA YANG TAK TERLIHAT DI RUMAH SAKIT (Part 4 END) - Pasien Korban Santet

Disuatu malam, dia mengerang kesakitan hingga kedengaran dari luar kamar. Tapi anehnya, saat perawat datang melihatnya, dia tampak sedang tidur dan tidak terjadi apa-apa.

"MEREKA YANG TAK TERLIHAT DI RUMAH SAKIT"

Bagian Akhir - Pasien Korban Santet


Selepas diantarkan Siska di persimpangan terakhir dekat bangsal Anggrek, Rani berjalan pelan sambil memikirkan kejadian barusan. Kendati tidak melihat sosok perawat yang dilihat Siska,Rani masih merasa penasaran dengan hal itu.

“Apa benar yang dikatakan Siska?” tanyanya dalam hati.

Ditengah rasa penasarannya, dan hanya berjarak lima langkah saja dari pintu masuk bangsal Anggrek, tiba-tiba ada seseorang yang memanggilnya dari kejauhan, “Rani!”

Rani pun menoleh ke sumber suara itu. Ternyata suara itu berasal dari Mbak Rahayu, perawat bangsal Mawar yang belum lama ia kenal.

“Hallo, Mbak Rahayu! Mau ke mana?”

“Ikut, yuk! Mau ke kamar jenazah”

“Ha? Ngapain?” tanya Rani heran.

“Tadi ada pasien yang meninggal di bangsal Mawar. Ada berkas yang perlu aku antar ke sana”

“Yuk” imbuhnya, seraya merangkul pundak Rani agar mau ikut menemaninya. Mau tidak mau Rani pun menurutinya.

Entah suatu kebetulan atau tidak, malam itu, Rani terpaksa kembali lagi menuju kamar mayat yang barusan ia ke sana. Seolah, keadaan keadaan hendak memberikan jawabannya secara langsung atas rasa penasaran yang dipikirkannya.

Rani berusaha tenang di depan Mbak Rahayu, walau di dalam hatinya, rasa takut itu pelan-pelan muncul.

Lama-lama, rasa takutnya semakin banyak seiring langkahnya yang semakin dekat dengan kamar mayat. Tanpa Rani sadari, ternyata rasa takutnya itu disadari oleh Mbak Rahayu.

“Rani? Kamu takut ya?” tanyanya sambil tertawa.

“Gak usah takut, Rani. Orang-orang yang kerja di rumah sakit seperti kita, harus terbiasa dengan ini” imbuhnya.
Rani menganggukkan pelan kepalanya, seraya mengatakan “Hehehe. Semoga lama-lama terbiasa ya, Mbak”

Papan petunjuk bertuliskan ‘Kamar Mayat’ sudah tampak lagi di mata Rani. Ia masih teringat jelas bagaimana Siska tadi yang merasa ketakutan melintasi lorong ini. Di sini, hawa dingin mulai ia rasakan.

Bulu kuduk Rani pun mulai merinding.

“Arrggghhhh.... Aku paling benci disituasi ini” keluh Rani.

“Mbak. Emang pasien yang meninggal tadi sakit apa?” tanya Rani.

“Saat rumahnya kebakaran, ia terjebak di dalam. Awalnya, ada warga yang sempat mengevakuasinya dan membawanya ke sini. Tapi, setelah satu hari dirawat, dia meninggal, karena luka bakarnya sangat parah”

“Serem juga, ya” jawab Rani.

Saat sampai di depan pintu kamar mayat, Rani melontarkan pertanyaan kepada Mbak Rahayu, “Mbak Rahayu lama gak kira-kira?”

“Enggak, sih. Cuma mau ngasih ini aja” kata Mbak Rahayu.

“Yuk” ajak Mbak Rahayu ke dalam.

“Saya tunggu di sini saja, Mbak” jawab Rani sambil tersenyum kecut karena merasa takut.
Namun, entah disengaja oleh Mbak Rahayu atau bagaimana, tiba-tiba beberapa lembar dokumen yang ia bawa terjatuh ke atas lantai hingga dekat ke kaki Rani.

Spontan, Rani membantu mengambilkannya tanpa merasa curiga sedikitpun.

“Biar aku aja, Ran, yang ambil”

“Oh, gak apa-apa, Mbak” ucap Rani sambil memungut lembar-lembar kertas yang berserakan.

Namun, saat Rani menunduk, sebuah pemandangan tak mengenakkan membuatnya terkejut hingga membuat matanya terbelalak. Di situ, ia melihat kaki mbak Rahayu kelihatan pucat serta kebiru-biruan.

Rani menatapnya sepersekian detik untuk memastikan jika yang dilihatnya bukanlah halusinasinya saja. Sebagai seorang mahasiswa keperawatan, Rani sudah cukup mengetahui dan kenal dengan kaki jenis dan keadaan yang begitu.

Perasaan takut Rani seketika langsung bertambah. Rani perlahan bangun, seraya matanya yang terus menamatkan kakinya hingga ke atas kepalanya. Pelan sekali.

“Mb-mb-mbak Ra-Rahayu” ucap Rani dengan terbata- bata.

Yang dilihat setelah sampai di kepalanya benar-benar berhasil membuat Rani mati berdiri. Wajah Mbak Rahayu tiba- tiba saja berubah menjadi pucat dengan beberapa luka sayatan di pipi kanannya.

Namun, Mbak Rahayu atau sosok yang berada di depan Rani kini menahan tangannya, meminta Rani untuk menemaninya masuk ke dalam kamar mayat.

“Temani saya, Rani. Biar saya ada temannya” ucapnya. Kata-kata yang masih dapat diingat jelas oleh Rani di dalam ingatannya, bahkan hingga sekarang.

Rani menahan tubuhnya, sambil berkali-kali mengelak agar ia bisa cepat lari dari hadapannya.

“Mb-mbak..... Saya mau ke bangsal. Sudah masuk waktu pergantian shift” ucap Rani. Rani sudah tidak bisa lagi untuk tenang. Jantungnya sudah berdegup kencang, rasa takutnya pun sudah memucuk hingga ke ubun-ubun kepalanya.

Saat tangan Rani masih dicengkeram oleh sosok Mbak Rahayu, tiba-tiba saja Mbak Rahayu menyeringai di hadapannya, bibirnya pun bergerak membentuk senyuman di wajahnya, namun, senyum yang ia tampakkan bukanlah senyum manis layaknya perempuan berparas cantik.

Menyadari situasi semakin menyeramkan, Rani memberanikan diri menarik tangannya, lalu berlari menjauh dengan tunggang langgang.

“TOLOOOONG...... TOOOLLOOOONGGGG”

Suara teriakan Rani menggelegar diantara lorong panjang tak berpenghuni. Rani menyempatkan pandangannya kembali ke arah kamar mayat.

Tapi, ternyata, sosok Mbak Rahayu mengejarnya dengan langkahnya yang terseok-seok. Rani kembali membalikkan kepalanya ke depan. Lorong panjang yang sedari tadi sepi, seketika menjadi ramai.

Namun, keramaian itu bukanlah berasal dari pekerja atau pengunjung di rumah sakit. Melainkan adalah sosok-sosok menyeramkan yang berjejer di kanan dan kiri lorong yang siap menyambut Rani melewatinya di depan sana.

“Pergilah! Kumohon jangan ganggu aku! Aku hanya belajar di sini! Jangan ganggu aku! Ganggu yang lain saja!” teriak Rani dengan rasa penuh ketakutan.

Sosok-sosok itu seolah menatap Rani dengan tatapan yang Rani sendiri tidak bisa menjelaskannya. Seluruh wajahnya mengerikan. Bahkan, ada diantara mereka yang anggota tubuhnya tidak lagi lengkap. Samar-samar, diantara mereka, Rani melihat sesosok makhluk mengenakan jas putih.

Rani sempat bernapas lega, karena awalnya ia menduga jika itu adalah dokter atau pekerja rumah sakit. Namun, dugaannya salah besar, sesosok makhluk yang mengenakan jas putih itu ternyata memiliki wajah yang hancur dan berlumuran darah.

Rani merasa dikepung oleh kerumunan hantu penunggu Rumah Sakit Delima. Jika ia kembali, ada sosok hantu menyerupai Mbak Rahayu yang siap mencengkeramnya. Sementara, jika terus berlari lurus, kerumunan hantu yang entah dari mana asalnya itu mungkin akan membawa Rani bersama mereka.

Rani berpikir cepat, lebih cepat dari biasanya ia berpikir. Sepersekian detik setelah itu, Rani membelokkan langkahnya mencari jalan lain, ia melompati selokan yang cukup besar, lalu melewati taman-taman yang banyak ditumbuhi tanaman yang memiliki daun cukup tinggi.

Rani semakin mempercepat larinya, seraya terus berteriak meminta tolong kepada siapapun orang di sana yang mendengarnya.

“Sebenarnya aku ada dimana? Kenapa rumah sakit ini menjadi sepi sekali tidak ada orang? Tolong Aku!”

“TOOOOLLLOOONGGG”

Tidak seperti biasanya, malam itu Rani tidak melihat orang sama sekali dengan matanya. Rani terus teriak minta tolong, hingga akhirnya, Pak Toha, satpam yang tengah keliling malam itu menghampiri Rani.

“Mbak... Mbak kenapa?” tanyanya gugup karena bingung melihat Rani.

“Itu, Pak.... Itu..... Saya dikejar hantu” ucap Rani dengan napas yang terengah-engah dan suara gemetar.

“Hantu apa, Mbak?”

“Hantu, Pak.....”

“Di mana?”

“Kamar mayat, Pak” jawab Rani dengan suara gemetar.

Saat Rani melihat lagi ke belakang, ternyata dia tidak lagi berada di sana.

“Pak. Tadi di sana, Pak.... Saya gak bohong... Tadi saya dikejar, Pak” tukas Rani.

Pak Toha Nampak bengong mendengar Rani. Sebagai salah satu satpam di Rumah Sakit Delima, tentu hal-hal begini sudah menjadi makanannya. Tapi, meski begitu, Pak Toha mengaku masih kerap ketakutan jika menemui hal-hal ganjil di sekitaran rumah sakit.

“Sudah, Mbak.... Mbak tenang dulu” ucap Pak Toha berusaha menenangkan Rani.

“Mbak nya mahasiswa magang, kan?” tanya Pak Toha.

“Iya, Pak”

“Di bangsal mana? Mari saya antar saja” kata Pak Toha.

“Bangsal Anggrek, Pak... Iya, Pak... Saya takut” jawab Rani masih dengan napasnya yang terengah-engah.

Saat berada di persimpangan terakhir sebelum masuk ke bangsal Anggrek, seorang perawat perempuan berjalan melintas dari arah berlawanan.

“Rani!” sapanya.

Rani pun menoleh ke arahnya, dan ternyata dia adalah Mbak Rahayu.

“Mbak Rahayu” balas Rani dengan wajah tercengang.

“Mbak-Mbak dari mana?”

“Dari bangsal lah, ini mau pulang” kata Mbak Rahayu. Hal itu lantas membuat Rani semakin tercekat dan kebingungan.

“Mbak Rahayu. Tadi, aku berjalan ke kamar mayat sama Mbak Rahayu. Berarti benar, jika itu bukanlah kamu, Mbak” sahut Rani. Bibirnya masih gemetaran.

Dari ekspresi Rani, Mbak Rahayu bisa melihat betapa tegangnya perasaan dan pikiran Rani.

“Rani? Aku dari tadi jaga di bangsal. Dan baru ini keluar” pungkasnya sekali lagi.

“Mungkin itu hanya halusinasimu saja, Rani. Gak mungkin kamu ketemu aku, tadi” imbuh Mbak Rahayu, berusaha menenangkan Rani.

“Enggak, Mbak! Aku gak lagi berhalusinasi! Aku beneran melihatnya” tegas Rani.

Di situ, Rani mulai menjelaskan runut kejadiannya dari awal hingga akhir untuk menyangkal jika itu hanya halusinasinya saja. Awalnya, Mbak Rahayu masih menyangkalnya, dan tetap mengira jika itu halusinasinya saja.

Namun, saat sampai Pak Toha bercerita jika dia menemukan Rani teriak minta tolong, barulah ia percaya jika barusan, Rani baru saja ditemui hantu perawat yang menyerupai bentuk dan wajahnya.

Berita mengenai Rani yang bertemu sosok yang menyerupai Mbak Rahayu cepat menyebar ke telinga para pekerja rumah sakit dan teman-teman praktekannya.

***

Seluruh kejadian janggal yang menima Rani tidak masuk diakal orang-orang. Rani pun mengaku lelah, jika kerap didatangi hal-hal gaib selama proses prakteknya di rumah sakit. Terlebih lagi saat shift malam. Karena sangat mengganggu proses praktek Rani.

Hampir setiap malam saat hendak berangkat ke rumah sakit, ia selalu berdoa agar dijauhkan dari semua hal yang tidak ia inginkan kedatangannya. Namun, ternyata keadaan belum ingin memihak kepadanya, suatu kejadian kembali menghampirinya lagi.

Meski kerap ditemui oleh hal-hal gaib di sekitar rumah sakit, Rani masih memaksa mentalnya untuk tetap kuat dan berani. Karena baginya, menyelesaikan pendidikannya jauh lebih penting jika harus dibandingkan dengan rasa takutnya yang sementara.

Malam itu, Rani kembali lagi ke rumah sakit dengan rasa was-was yang bisa datang kapan saja.

“Selamat malam Bu Fatma” sapa Rani. Ternyata, Bu Fatma sudah berada di nurse station lebih dulu darinya.

“Tumben agak gasik berangkatnya?” tanya Bu Fatma.

“Hehehehe. Iya, Bu. Soalnya di rumah gak ada kerjaan” jawab Rani sambil nyengir.

Seperti biasanya, malam itu, Rani keliling ke kamar- kamar perawatan. Sekadar melihat sekaligus mengecek kondisi-kondisi pasien.

Semuanya normal dan tidak ada keanehan yang Rani lihat. Tapi, sampailah Rani pada pasien yang baru masuk siang tadi. Saat baru membuka pintu kamar perawatannya, semerbak bau kemenyan tiba-tiba menusuk hidung Rani.

“Bau apa ini? Kemenyan?” pikir Rani seraya melangkah masuk.

Pasien tersebut ditunggui oleh satu orang keluarganya yang mengaku sebagai kakeknya. Penampilannya menyita perhatian Rani. Pasalnya, ia memakai batik hitam panjang dengan ikat kepala yang berwarna hitam juga di kepalanya.

“Maaf, Kek. Ini apa, ya?” tanya Rani sambil menunjuk anglo kecil yang digunakan untuk membakar kemenyannya. Rani sebenarnya sudah mengetahui jika itu kemenyan. Namun, ia ingin menggali informasi saja, apa tujuan dia membakar itu di dalam kamar perawatan seperti ini.

“Untuk keamanan cucu saya, Mbak” jawabnya.

“Kemanan? Maksudnya bagaimana, ya?”

“Ya biar tidak ada apa-apa dengan cucu saya saja”

Ha? Rani masih bingung dengan perkataannya. Cucunya dirawat di rumah sakit pasti tujuannya agar diobati dan kembali sehat lagi. Lalu, keamanan apa yang dimaksudkannya?

“Maaf, Kek. Apa asapnya malah tidak mengganggu cucu kakek?” tanya Rani, seraya menatap cucunya yang sedang terbaring tdur di atas ranjangnya.

“Oh, tidak, Mbak. Keluarga saya sudah terbiasa begini” jawabnya sambil tersenyum, seolah meyakinkan jika yang dilakukannya aman-aman saja.

Rani mencoba bertanya hal lain, terutama mengenai sakit yang diderita cucunya.

“Cucunya sakit apa, Kek?”

Dengan mudahnya, kakek tersebut mengatakan jika cucunya sakit karena diguna-guna oleh laki-laki yang ia tolak cintanya. Rani terkejut. Ia kemudian memeriksa wanita muda yang tengah berbaring lemas di atas ranjang kamar perawatan tersebut.

“Namana siapa, Kek?” “Fita”

“Maaf ya, Mbak Fita” ucap Rani sambil memegang tangan Fita. Fita hanya menatapnya dengan tatapan kosong. Tangannya pun terasa dingin. Tiba-tiba saja, Fita mengejang, lalu mengerang kesakitan dan mengeluh badannya yang tiba-tiba terasa panas.

Spontan, Rani menahan tubuhnya, kakeknya pun melakukan hal yang sama.

“Kenapa, Mbak? Apa yang dirasakan?”

“Paaaanaaassssss”

“Ditahan dulu, Kek. Saya panggilkan dokter”

Setelah itu Rani lau berlari keluar kamar, mencari Dokter Bayu yang malam itu tengah jaga di bangsal Anggrek.

“Dok, ada pasien kejang-kejang” “Di kamar mana?”

“Di sana, Dok” terang Rani.

Bersama dengan Dokter Bayu, Rani kembali lagi ke kamar perawatan Fita. Namun, ada yang aneh bagi Rani saat sampai di kamar Fita lagi. Rani mendapati Fita, Fita dalam keadaan tidur dan tenang. Seolah tidak ada sesuatu yang terjadi baru-baru ini.

“Mana pasiennya, Rani?” tanya Dokter Bayu.

“Ini, Dok”

“Mana? Tidur begini pasiennya” ucap Dokter Bayu.

“Benar di sini kamarnya?”

Rani bingung melihat Fita yang tenang-tenang saja di atas ranjangnya.

“Kek, ada apa dengan Fita? Kenapa dia sekarang tenang?” tanya Rani.

“Sudah, Mbak. Sudah tidak terjadi apa-apa” balas kakek tersebut.

Dokter Bayu mencoba memeriksanya dengan stetoskop yang menggantung di lehernya. Saat diperiksan, Dokter Bayu tidak menemukan hal-hal yang mencurigakan di tubuh Fita.

“Gak kenapa-kenapa, kok. Justru Fita sudah ada tanda- tanda akan sembuh” cetus Dokter Bayu.
Dokter Bayu lantas keluar kamar perawatan. Namun, baru beberapa langkah, Dokter Bayu mencium bau asing baginya di kamar perawatan Fita. Ia lantas melihat lagi ke dalam kamar sambil bertanya

“Bau apa ini?”

Dengan ringan, Kakek Fita pun menjawab, jika itu adalah bau kemenyan. Dokter Bayu kaget mendengarnya.

“Bua tapa, Kek?” tanya Dokter Bayu.

“Di keluarga kami, jika ada yang sakit, sudah biasa pakai cara seperti ini, Pak Dokter.”

“Tujuannya apa, Kek?”

“Buat mengusir segala hal-hal buruk yang masih menempel di badan Fita”

Dokter Bayu bingung mendengarkannya. Pasalnya, ia baru menemukan keluarga pasien yang begini.

“Kalau dimatikan saja bagaimana, Kek?” tanya Dokter Bayu dengan wajah ramahnya.

Namun,Kakek Fita menolak mematikannya dengan alasan kepercayaan yang dianutnya dan keluarganya. Berkali- kali Dokter Bayu berusaha memberinya pengertian,tapi kakek Fita masih teguh dengan pendiriannya.

Saat Dokter Bayu sudah lebih dulu keluar kamar perawatan Fita, Rani menatap Fita dan kakeknya. Mereka berdua terlihat aneh sekali di mata Rani. Seolah-olah, mereka menyembunyikan sesuatu yang Rani belum mengetahuinya.

“Jika ada apa-apa, panggil perawat ya, Kek” ucap Rani.

“Kakek namanya siapa?” tanya Rani sebelum melangkah keluar.

“Saya Darsono, Mbak”

Setelah mengetahui namanya, Rani lantas kembali ke meja pelayanan perawat. Di sana, ada Bu Fatma yang tengah santai sambil memainkan ponselnya.

“Bu Fatma. Pasien di kamar 3.4 sakit apa?”

“Yang perempuan itu, ya?”

Rani mengangguk, “Iya, Bu”

“Oh.. Infeksi lambung. Kenapa memangnya?”

“Bu Fatma sudah pernah melihatnya belum?”

“Belum, sih. Kemarin Rendi aja yang cerita”

“Katanya....” suara Rani memelan.

“Katanya, sakitnya karena disantet orang”

“Ah. Yang ada-ada saja kamu, Ran. Mana ada yang begituan” balas Bu Fatma.

“Ihh. Serius Bu Fatma. Kakeknya sendiri yang bilang”

“Kakeknya? Kok tau kakeknya?” tanya Bu Fatma.

“Itu yang nungguin dia kan kakeknya, Bu” jawab Rani.

Tiba-tiba saja, terdengar suara erangan kesakitan di kamar 3.4, tempat Fita dirawat. Sontak, Rani dan Bu Fatma buru-buru memeriksanya.

Tapi, saat sampai di depan pintu kamarnya, Bu Fatma dan Rani terkejut, jika pintu kamar perawatan Fita dalam keadaan terkunci.

Dugggg....... Dugg..... Dugg.........

Bu Fatma menggedor-gedor pintu sambil terus mengayun-ayunkan daun pintu.

“Kek... Fita takut” “Badanku sakit” “Fita takut, Kek”

Suara itu terdengar lirih dan jelas hingga telinga Rani dan Bu Fatma.

“Bu Fatma, gimana ini?”

Setelah beberapa lama berusaha dan tidak kunjung membuahkan hasil. Bu Fatma lantas pergi memanggil Office Boy dan Satpam yang berjaga malam itu, meminta membukakan pintu dengan kunci cadangan mereka, atau malah mendobrak pintu kamar perawatan Fita.

“Kamu tunggu di sini dulu. Saya cari bantuan” kata Bu Fatma.

Sementara, Rani terus berjaga di depan pintu kamar perawatan Fita. Dari balik pintu, Rani masih jelas mendengar erangan Fita yang semakin kedengaran aneh.

“Fita. Tahan, Nak. Kakek sedang mengusir mereka”

“Sakit sekali, Kek”

“Duuuarrrr”

Suara hantaman keras di atas ranjang dalam kamar tiba- tiba terdengar ke telinga Rani. Sontak, hal itu membuat Rani semakin cemas.

“Fita.....! Fita......!” teriak Rani panik.

Untungnya, malam itu, tidak ada pasien yang menginap berdekatan dengan kamar perawatan Fita. Sehingga, Rani dan yang lainnya lebih leluasa saat berusaha membuka pintu kamar perawatan Fita yang terkunci dari dalam.

Berkali-kali Rani mencoba melihat keadaan di dalam melalui celah kaca pintu, namun, yang Rani dapati hanyalah hitam gelap karena lampu kamar dalam keadaan mati.

“Masih belum bisa terbuka?”

Suara Bu Fatma terdengar dari kejauhan, ia datang dengan Office Boy dan Pak Toha, satpam yang berjaga malam itu.

“Belum, Bu” balas Rani.

“Mbak Rani.... Ada apa lagi?” tanya Pak Toha. Lagi- lagi, mereka berdua bertemu lagi dalam situasi seperti ini.
Rangga, Office Boy bangsal Anggrek, datang dengan sekepal kunci cadangan kamar. Ia lantas mencari kunci kamar 3.4.

Diantara Rangga yang masih mencari kunci, tiba-tiba suara erangan Fita hilang. Rani dan Bu Fatma semakin panik. Takut jika ada hal yang tidak diinginkan terjadi. Seolah seperti membenarkan firasat Rani dan Bu Fatma,

beberapa detik setelah suara teriakan Fita menghilang, tiba-tiba suara benturan keras terdengar dari balik pintu.

“Duaarrrr”

Sontak membuat Rani dan yang lainnya terkejut saat menyadarinya. Kejadian ini terjadi sangat cepat, membuat semuanya panik hingga membuat Rangga lama mencari kunci 3.4 yang sebenarnya sudah ada tandanya disetiap kuncinya.

“Bisa cepat, gak?” gertak Pak Toha.

Terlihat sekali tangan Rangga yang gemetar karena ikut ketakutan. Akhirnya, setelah beberapa saat, Rangga bisa membuka pintu kamar perawatan Fita.

Di dalam, suasana gelap dan bau kemenyan yang menusuk menyambut kedatangan Rani dan yang lainnya. Hal pertama yang mereka lakukan adalah mengecek balik pintu, karena tadi mereka mendengar suara benturan keras di situ.

Ternyata, di situ mereka menemukan Kakek Darsono sedang terbaring sambil menahan sakit di dadanya.

“Kek! Kakek kenapa?”

Pak Toha dan Rangga membantu Kakek Darsono bangun dan mendudukkan posisinya.

Selanjutnya Bu Fatma dan Rani mencari keberadaan Fita yang dari tadi terdengar teriak-teriak, mengerang seperti kesakitan.

“Fita?” panggil Rani. Rani dan Bu Fita melangkahkan kakinya sangat pelan, hampir tidak bersuara.

Saat sudah dekat dengan ranjang kamar, ternyata Fita sedang terbaring tenang seperti tidak sedang terjadi apa-apa. Melihatnya demikian, Rani dan Bu Fatma heran.

“Fita, apa yang terjadi?” tanya Rani. Sementara Bu Fatma memeriksa seluruh tubuh Fita dari ujung kaki hingga ke kepala.

“Kamu tidak kenapa-kenapa, Nak?” tambah Bu Fatma.

Fita hanya tersenyum mendengarnya, namun, senyum yang ia keluarkan bukanlah senyum yang melegakan. Melainkan seperti senyum seorang psikopat yang menakutkan. Rani dan Bu Fatma curiga, sekaligus khawatir melihatnya.

“Mbak, kamu baik-baik saja?” tanya Bu Fatma lagi.

Karena mendapati Fita sulit diajak komunikasi, Rani lantas bertanya dengan Kakek Darsono yang masih terduduk lemas “Kek, apa Fita baik-baik saja?”

“Tidak! Dia tidak baik-baik saja” kata Kakek.

Semua yang mendengarnya semakin bingung. Apa sebenarnya yang terjadi diantara Fita dan kakeknya? Rani menghampiri Kakek Darsono yang didudukkan di kursi pengunjung pasien.

“Kek. Tolong jujur. Dari luar, suara Fita kedengaran keras. Bahkan pintu kamar terkunci dari dalam”

“Saya tidak menguncinya, Mbak. Bua tapa saya melakukan hal bodoh seperti itu?” kata Kakek Darsono.

“Lalu, siapa yang menguncinya, Pak? Setan?” sahut Rangga kesal.

“Mungkin iya, Mas!” balas Kakek Darsono.

“Heh! Bisa-bisanya bilang iya. Gila ya ini orang?” bisik Rangga kepada Pak Toha.

“Ssssssttttt” tegur Bu Fatma.

Suasana tegang masih menyelimuti mereka semuanya di kamar perawatan Fita.

“Santet itu menyerang Fita lagi” celetuk Kakek Fita.

“Tapi... Tapi... untuk sekarang Fita masih terkendali, walaupun keadaan tubuhnya menjadi seperti itu” imbuhnya.

“Ngomong apa kakek ini?” sahut Pak Toha.

Kakek Darsono yang mendengar perkataan Pak Toha pun menjawabnya, “Cucu saya sedang disantet orang”

“Sudah, sudah” ucap Bu Fatma mencoba mendinginkan suasana.

Bu Fatma lalu mengecek kondisi Fita yang terbaring lemas. Di hadapan Bu Fatma dan Rani, Fita terlihat baik-baik saja, hanya terlihat lemas selayaknya orang sakit yang sedang dirawat.

Bu Fatma meminta Pak Toha dan Rangga keluar, karena dia hendak mengganti baju Fita yang sudah basah dengan keringat. Sementara Rani di dalam membantunya.

“Badanmu dingin sekali, Fita” ucap Rani. Fita meresponnya dengan tersenyum.
Setelah itu, Bu Fatma memberinya obat agar Fita dapat istirahat setelah ini.

“Kek, bisa ikut saya ke depan?” ajak Bu Fatma.

Setibanya di luar, Bu Fatma mencoba menggali informasi mengenai kejadian aneh mala mini.

“Sebenarnya Fita sakit apa, Kek?”

Jawaban Kakek Fita masih sama, jika cucunya Fita sakit akibat mendapat santet dari laki-laki yang ia tolak cintanya.

“Yang benar saja, Kek. Jika perkataan kakek benar, lalu mengapa dibawa ke rumah sakit?” timpal Rani.

“Kami hanya hidup berdua saja. Awalnya, saya mengira sakit biasa, jadi waktu itu saya bawa cucu saya ke puskesmas desa, lalu dokter di sana meminta saya untuk merujuk Fita ke rumah sakit terdekat” tegas Kakek Darsono.

“Tapi, waktu baru di rawat tadi, ada teman saya yang menjenguk ke sini. Kata dia, Fita disantet orang, sampai membuatnya sakit seperti ini”

“Saya cuma punya Fita. Saya ingin dia kembali sehat, Bu” imbuhnya.

Bu Fatma dan Rani trenyuh mendengar perkataannya. Mereka berdua sedikit menenangkannya. “Fita akan baik-baik saja, Kek. Semoga besok ada kabar baik mengenai kesehatan Fita” kata Bu Fatma.

Sebelum pergi, Bu Fatma juga memberi kakek Fita obat agar dirinya sedikit tenang, dan tetap sehat

Tiga hari setelah itu, beberapa kejadian janggal masih ditemukan di kamar perawatan Fita. Bahkan, tidak hanya Rani atau Bu Fatma yang merasakannya. Perawat-perawat yang lainnya pun turut merasakannya.

***

Sudah hampir seminggu Fita dirawat, sampai akhirnya, setelah diberikan saran oleh beberapa kerabat dekatnya, Kakek Darsono memilih untuk merawatnya di rumah.

Mengetahui kabar itu, Rani, Bu Fatma dan perawat yang lainnya malah senang. Artinya, tidak akan ada lagi kejadian- kejadian janggal di lantai bangsalnya. Di hari kepulangan Fita, dihari itu pula Rani terakhir bertemu dengannya dan Kakek Darsono.

***

“Sebenarnya, masih banyak lagi kejadian-kejadian menakutkan saat aku praktek di rumah sakit itu. Tapi, jika dijelaskan satu-persatu, rasanya akan panjang.

Dan ada diantaranya yang belum berani aku ceritakan” ucap Rani saat menceritakan pengalaman menakutkannya saat praktek magang kepada saya (penulis).

Kejadian-kejadian horror memang sangat lekat dengan seluruh tempat di sekitar kita. Terkhusus di rumah sakit.

Dalam hidupnya pun, Rani tidak pernah menyangka jika ia akan dihadapkan dalam situasi sulit yang menakutkan saat ia praktek di rumah sakit semasa menjadi mahasiswa profesi keperawatan.

-TAMAT-

Terima kasih buat yang sudah menyimak cerita Rani hingga akhir. Mohon maaf apabila ada kekurangan penulisan atau kalimat yang kurang menarik. Sebagai koreksi ke depannya, silakan tinggalkan jejak berupa masukan/saran kepada saya, agar saya lebih semangat lagi dalam berkarya :))
close