Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MEREKA YANG TAK TERLIHAT DI RUMAH SAKIT (Part 3) - Kamar Mayat

Langkahnya tertuju pada sebuah ruang yang bertuliskan 'Kamar Mayat' di atasnya. Jalannya cepat, sambil mendorong kursi roda kosong di depannya

"MEREKA YANG TAK TERLIHAT DI RUMAH SAKIT"

Bagian 3 - Kamar Mayat


Tangan kanan Rani pelan-pelan bergerak, berusaha meraih tubuh Bu Fatma yang berada di sebelahnya. Tapi, hingga tangannya bergerak cukup jauh, ia belum juga sampai menyentuh badan Bu Fatma. Padahal, sebelum kembali tidur tadi, Rani sudah geser lebih dekat lagi ke arah Bu Fatma.

Rani semakin ketakutan. Sentuhan fisik di tubuhnya pun masih ia rasakan menggerayangi kakinya.

“Ya Allah. Apa yang harus aku lakukan?” Rani bingung, takut dan kalut dalam diamnya. Ia berdoa dengan semua bacaan yang ia bisa. Berharap agar segera lepas dari petaka malam itu.

Keberanian Rani belum cukup untuk membuat ia membuka kedua matanya. Tapi, hanya diam saja dengan keadaan begini bukanlah hal yang tepat. Rani berdzikir, berdoa dengan suara yang lebih keras dan cepat.

Hingga, di satu waktu, Rani memaksa kelopak matanya terbuka. Rani membuka matanya perlahan, namun, ia belum berani jika harus membuka matanya lebar-lebar.

Dengan matanya yang sedikit terbuka, Rani sudah bisa melihat keadaan di dekatnya. Tapi, Rani tidak menemukan apa-apa di depan atau di sekitar tubuhnya.

Namun, tiba-tiba ada hawa dingin menerpa dari atasnya. Bersamaan dengan itu, muncul sesosok perempuan berperawakan perawat di langit-langit ruang tepat di atasnya. Ia merayap, menggantung sambil menjulurkan lidahnya yang panjang.

Rani yang terkejut pun spontan membuka matanya lebar-lebar. Sepersekian detik sebelum Rani akan berteriak karena merasa takut, tiba-tiba sosok itu melompat, lalu mendarat tepat di atas tubuh Rani.

Mulut Rani yang ingin berteriak pun seketika diam seperti tersumpal. Badannya pun sulit digerakkan. Kini, sosok itu menduduki Rani di atas tubuhnya. Bahkan, ia tidak bisa bergerak sama sekali.

“To-tolong....” Ucap Rani terbata-bata dengan suara yang sangat pelan.

Berkali-kali Rani berusaha menjerit, namun, mulutnya sulit bergerak dan mengeluarkan suara.

Sementara, sosok di atasnya terus menatapnya dengan bola matanya yang putih dan wajahnya yang pucat dengan banyak luka sayatan.

Sosok perawat itu seperti sedang menari-nari di atasnya, seolah meledek Rani karena tidak bisa melakukan apa-apa. Apalagi, lidahnya yang menjulur keluar membuat Rani tak hanya merasa ketakutan, tapi juga jijik karena baunya yang sangat busuk membuat Rani pusing dan mual.

Rani merasa tertekan dan ketakutan di posisi itu. Berkali-kali ia berusaha menggerakkan mulut dan badannya, namun masih saja tidak mampu digerakkan.

“Apa salahku? Sampai-sampai aku dapat teror parah begini” pikir Rani dalam perasaan tegangnya.
Sosok perawat itu tiba-tiba diam. Tangannya yang dari tadi menari-nari pun berganti mengarahkan tangannya ke tangan Rani hingga berakhir di lehernya.

Napas Rani semakin sesak, sosok itu benar-benar mencengkeram lehernya dengan kuat. Tapi, ketika tangan sosok perawat itu mendekat ke leher Rani, sebuah suara terdengar dari pintu keluar masuk ruangan. Ternyata, suara itu berasal dari Pak Agus yang membuka pintu.

“Rani” Pak Agus memanggilnya.
Seiring dengan kedatangan Pak Agus, dalam sekejap sosok perawat itu menghilang. Tubuh Rani kini kembali bisa digerakkan.

Rani pun langsung terduduk lemas, dengan jantung yang tak beraturan, napas yang ngos-ngosan sambil memegang lehernya yang dicengkeram sosok perawat tadi.

“Rani. Kamu kenapa?” tanya Pak Agus yang bingung melihat Rani.

“Syukurlah. Pak Agus masuk kesini” sahut Rani dengan nada lemas.

Sesaat setelah mengatakan itu, Rani terbaring tak sadarkan diri.

“Lho, heh. Rani... Rani, kenapa kamu” Pak Agus tambah bingung melihat Rani pingsan. Pak Agus lantas keluar ruangan memanggil Bu Athiya yang masih berjaga, lalu membangunkan Bu Fatma yang masih tidur.

“Mbak, Mbak Athiya. Rani pingsan” panggil Pak Agus.

“Mbak Fatma. Bangun, Mbak” ucap Pak Agus membangunkan Bu Fatma.

Suasana ruang perawat seketika berubah tegang karena Rani pingsan dan belum diketahui penyebabnya.

***

Banyak upaya dilakukan untuk membuat Rani sadar. Mulai memberinya minyak angin, memberinya oksigen. Bahkan, hingga membacakannya dengan doa-doa pun sudah dilakukan.

Tapi, Rani masih belum menunjukkan tanda-tanda kesadarannya. Seolah paham, Pak Agus merasa, jika Rani pingsan bukan karena kesahatannya yang sedang lemah.

“Tadi Rani aneh sekali. Pas saya masuk seperti merasa lega” tandas Pak Agus.

“Tapi. Baru saya tanya kenapa, dia malah pingsan begini” tambahnya.

Kurang lebih satu jam, Rani akhirnya sadar. Ia bertanya-tanya, bagaimana ia bisa pingsan.

“Mengapa kepalaku sakit sekali?”

“Tubuhku juga sangat nyeri dan sakit jika digerakkan”

Dengan wajah yang masih terlihat linglung, Rani menatap setiap orang yang berada di sekitarnya. Sebuah ruangan dengan cat berwarna hijau muda, dengan beberapa tumpukan berkas di dalamnya.

“Rani. Sudah jangan mikirin yang lain dulu. Ini diminum dulu” ucap Bu Athiya sambil memberinya segelas teh hangat. Dengan hati-hati Bu Athiya memberinya segelas teh hangat yang disambut oleh Rani dan diminumnya sampai habis.

“Kamu haus ya?” tanya Bu Athiya.
Rani mengangguk. Ia merasa tubuhnya terasa sangat panas. Bahkan, hingga ke dalam tubuhnya.

“Adakah air lagi, Bu? Saya haus. Panas sekali badan saya” pinta Rani.

“Oh. Saya ambilkan dulu, Mbak Ran” ucap Pak Agus.

Saat itu, walau sudah habis dua gelas sekaligus, Rani masih saja haus dan merasa kepanasan. AC di dalam ruangan pun sudah berada pada suhu terendahnya.

“Rani. Ini sudah gelas ke empatmu. Kamu masih haus juga?” tanya Bu Athiya. Yang lain hanya melihat Rani sambil geleng-geleng kepala.

“Sudah, Bu. Ini udah lebih baik dari sebelumnya” tukas Rani.

Rani pun terlihat sedikit tenang,wajahnya yang tadi terlihat linglung pun sudah berangsur kembali fokus.

“Kamu sebenarnya kenapa, Rani? Pas saya masuk, aneh sekali tingkahmu” tanya Pak Agus.

“Iya, Rani. Apa yang sedang terjadi? Kenapa kamu bisa tiba-tiba begini?” tambah Bu Athiya.

Diberondong pertanyaan begini, membuat Rani bingung. Rani sejenak diam, berusaha mengingat-ingat lagi apa yang sebenarnya terjadi padanya. Lama-kelamaan memori itu kembali dan berputar di ingatannya. Rani pun mulai menjelaskannya.

“Semalam, waktu tidur, saya diganggu. Awalnya saya merasa badan saya ada yang menyentuh, dan itu terjadi tiap saya memejamkan mata. Tapi, pas saya buka mata, gak ada siapa-siapa.”

“Tadi saya sempat keluar ruang dan tanya siapa yang ngetuk pintu kan, Bu?” tanya Rani kepada Bu Athiya. Bu Athiya mengangguk.

“Itu awalnya disitu. Saya denger ada orang ketuk- ketuk pintu keras sekali, Bu” tukas Rani.

“Lha kok kamu gak bilang sejak tadi?”

“Saya pikir itu cuma igauan saya, Bu. Toh, pas saya tanya njenengan kan tidak ada yang ngetuk pintu kan, Bu?” ujar Rani.

“Terus, pas saya merem dan tidur lagi, sentuhan itu terasa lagi. Selalu terasa pas saya merem. Dan itu terjadi berulang kali. Lalu saya coba cari seisi ruangan, barangkali ada yang iseng dengan saya. Tapi juga gak ada siapa-siapa di dalam” jelas Rani.

“Sampai, saya lupa tepatnya jam berapa, tiba-tiba pas saya melek ada penampakan di atas”

“Atas mana? Penampakan apa” sahut Bu Athiya.

“Di sana. Penampakan apa ya, Bu? Saya juga susah kalau mendeksripsikannya dengan jelas” jawab Rani sambil menunjuk langit-langit ruangan.

“Tapi, yang pasti bentuknya mengerikan, Bu. Dia seperti pakai seragam perawat, cuman warnanya udah lusuh sama kotor banget. Terus, tiba-tiba dia lompat, terjun dan duduk di atas badan saya. Saya gak bisa gerak sama sekali. Mulut saya juga gak bisa mengeluarkan suara” tutur Rani.

“Lidahnya panjang banget menjulur keluar, Bu. Dan baunya busuk sekali”

“Sebenarnya saya ingin menjerit dan lari saat itu. Tapi sama sekali tidak bisa. Badan saya kaku” tambah Rani.

Semua orang yang mendengarkan perkataan Rani pun terbelalak. Mereka seakan tak percaya dengan apa yang dikatakan Rani.

“Seumur-umur saya jadi perawat di rumah sakit ini, belum pernah nemu yang begitu lho”

“Kamu beneran lihat itu?” tanya Bu Athiya.

“Iya, Bu Athiya. Jika saya bohong, gak mungkin saya sampai pingsan” jawab Rani.

“Jadi, karena itu kamu pingsan?”

“Waktu Pak Agus masuk ke sini, saya lega banget, dan saya masih sadar. Badan saya juga sudah bisa digerakkan dan mulut saya udah bisa ngomong. Tapi, gak tau kenapa saya bisa pingsan” ujar Rani.

“Setelah itu saya gak ingat apa-apa lagi” tukas Rani menutup kronologi barusan yang menimpanya.

Bu Athiya lantas bertanya-tanya “Ada apa sebenarnya belakangan ini? Kenapa banyak sekali kejadian- kejadian begini?” tanya Bu Athiya.

“Saya beruntung, ada Pak Agus masuk ke sini tadi. Jika tidak, entahlah gimana nasib saya”

***

Pagi datang, mentari pagi pun mulai mengintip dari balik jendela. Cahayanya yang hangat membuat Rani lega, karena sudah tidak ada lagi kegelapan malam yang menghantuinya.

“Bu Athiya. Saya bisa minta tolong?” tanya Rani.

“Bu. Jangan ceritakan kejadian tadi ke temen-temen saya, ya? Atau ke perawat di bangsal yang lain. Saya tidak apa-apa kok” terangnya.

“Emangnya kenapa, Rani? Kamu beneran gak apa- apa?” tanya Bu Athiya.

“Tenang aja, Bu. Saya aman” ucap Rani dengan senyuman yang merekah di wajahnya.

“Apa gak sebaiknya kamu minta tukar shift saja? Kasihan kamu” tukas Bu Athiya.

Meski perkataan Bu Athiya ada benarnya, tapi Rani masih ingin melakukan prakteknya sesuai jadwal awalnya saja.

“Gak usah, Bu. Saya gak apa-apa kok. Udah aman. Lagipula, ribet kalau mau tukar shift” ucap Rani dengan wajah yang meyakinkan.

Karena Rani sudah berkata begitu, tidak ada alasan untuk Bu Athiya melarangnya.

“Tapi, kalau ada apa-apa langsung bilang ya” tukas Bu Athiya.

***

Pagi itu, selepas shift malam, energi Rani serasa habis, tubuhnya pun lemah. Ia ingin segera pulang, meletakkan tubuhnya yang sudah lemah.

Seperti biasa, sepulangnya dari shift malam, rumah sudah sepi karena bapak dan ibunya sudah berangkat kerja, serta adiknya sudah berangkat ke sekolah.
Rani berjalan ke dapur, biasanya, ibunya sudah memasakkannya lauk dan sayur untukknya makan selepas shift malam.

Benar saja, sayur bening serta beberapa balok tempe goreng sudah tersaji di sana. Rani yang sudah lemas langsung melahapnya tanpa jeda. Tak seperti biasanya, ia mampu menghabiskan dua piring nasi penuh sekaligus demi memuaskan cacing-cacing di perutnya. 

Bahkan, sebotol air dingin berukuran besar pun turut ia habiskan dalam sekali duduk.

“Rasa-rasanya lapar dan haus sekali pagi ini” keluh Rani. Ia pun menyadari, kalau tidak biasanya dia serakus itu.

Layaknya manusia yang sudah kelelahan dan kenyang. Kantuk Rani pun datang.

“Hari yang berat. Badan udah kayak gendong gajah. Capek banget” keluh Rani. Rani langsung merebahkan badannya, persetan dengan mandi di kondisi badan yang sudah secapek ini.

Dalam lamunannya sebelum tidur, terlintas dalam pikiran Rani sebuah wajah mengerikan yang dipandangnya dini hari tadi. Sebuah wajah yang mungkin bisa membuat orang yang sedang makan memuntahkan lagi makananannya.

Rani mencoba memejamkan matanya, menenangkan diri, dan melupakan sejenak wajah sosok yang menghantuinya sejak tadi.

Entah pukul berapa, Rani kembali terbangun dengan keringat mengalir di sekujur tubuhnya. Kamar yang biasanya sejuk karena kipas angin yang terus menyala, entah mengapa siang itu terasa panas.

Rani bangun, lalu mendekat ke tempat kipas anginnya. Memastikan, jika sudah ia atur dalam posisi paling kencang. Rani kembali tidur lagi.

“Brug....”

Suara benda terjatuh membangunkan Rani. Saat membuka mata, ternyata tumpukan bukunya di lantai terjatuh. Rani menatap jendela, seketika matanya terbelalak karena langit sudah terlihat gelap.

“Astagfirullah. Jam berapa ini?” gerutu Rani seraya melihat jam dinding di kamarnya.

“Ya Allah. Udah maghrib” ucap Rani. Ia pun bangkit dari ranjangnya. Rasa pusing di kepala ia rasakan. Mungkin karena tidur terlampau lama. Hal itu membuat Rani sedikit sempoyongan keluar kamar.

“Eh. Anak perawan ibu baru bangun” sindir Ibu Rani.
Rani yang mendengarnya pun hanya membalasnya dengan nyengir.

“Ibu bangunin dari tadi, kamu gak gerak sama sekali. Udah mirip orang mati tau gak tidurmu”

“Habisnya, capek banget, Bu” balas Rani.
Bapak dan adiknya yang tengah nonton TV pun tampak melihatnya karena baru bangun.

“Mandi dulu sana. Gimana Satria gak cari yang lain, wong bentukanmu aja begini” ledek Ibu Rani.

“Begini gimana sih, Bu?”

“Coba ngaca. Lihat bentukanmu sekarang dari ujung kaki hingga kepala”

“Iya-iya. Aku mandi dulu” tukas Rani.
Setelah mandi dan bersih-bersih. Rani kembai ke kamarnya.

“Klekk”

Bunyi sakelar saat Rani menekan sakelar lampunya. Tapi, lampu kamarnya hanya menyala redup, tidak terang sepenuhnya.

“Kok gini si?” ucap Rani.

Rani mengulang menekan sakelarnya hingga berkali- kali, tapi, hasilnya masih sama. Lampunya redup.

“Brug....”

Tumpukan buku di dekatnya lagi-lagi terjatuh. Disertai hembusan angin yang tiba-tiba menerobos masuk melalui ventilasi kamar. Tidak hanya itu, angin itu masuk dengan membawa bau busuk yang tidak asing bagi Rani.

“Bau ini?” “Bau ini, kan?” “Sial”

Lagi-lagi bau busuk itu muncul lagi. Meski membuat perutnya mual. Bau busuk itu tidak asing bagi Rani. Bulu kuduk Rani pun tiba-tiba berdiri.

Rani menundukkan kepala sembari memejamkan matanya, sambil menutup hidungnya rapat-rapat karena tak tahan dengan baunya.

“Kamu mengikutiku sampai ke sini? Apa maumu?” tanya Rani dalam hati.

Tubuh Rani pun lama-lama terasa berat. Rasanya seperti ada seseorang yang memeluknya dari belakang.
Menyadari segala keanehan yang tiba-tiba menghampirinya itu, Rani buru-buru mengambil seragam dan semua perlengkapan yang akan dia bawa ke rumah sakit dan dibawa keluar kamar.

“Bu. Aku ganti di kamar ibu, ya” ucap Rani.

“Emangnya kamar kamu kenapa?” balas Ibu Rani.

“Lampunya gak nyala. Nanti bapak minta tolong gantiin ya” tukas Rani.

***

Rani tiba lebih awal di rumah sakit. “Gabut aja, di rumah gak ada siapa-siapa dan gak lagi ada kerjaan” katanya.

Seperti biasa, ia melewati lorong panjang untuk sampai di bangsal Anggrek. Tapi, perasaan Rani merasa berbeda malam itu. Jalanan terlihat lebih lengang dari biasanya, padahal, belum lebih dari jam 20.00 malam.

“Woy. Ran! Rani...” panggil seseorang tiba-tiba. Suaranya pelan. Menandakan jika yang memanggilnya berada jauh darinya.
Rani pun mencari ke sumber suara itu. Menolah ke setiap sudut yang bisa ia jangkau.

“Ran!”

Ternyata itu adalah Siska. Rani baru sempat bertemu dengannya lagi di sini. Siska menghampirinya dengan sepeda rumah sakit.

“Gasik banget, Ran” ucap Siska.

“Iya. Lagi pengen aja. Mau kemana ik?” tanya Rani.

“Habis ambil obat di depan”

“Oalahh. Kamu di bangsal mana, sih?” tanya Rani.

“Bangsal Kamboja. Yuk, kesana dulu. Masih agak lama juga kan mulai shift nya” ajak Siska

Rani pun tak menolak.

“Naik aja, Ran. Kuat kok ini” ajak Siska agar Rani bonceng sepeda yang ia naiki saja.

“Serius kuat? Reot gini kayaknya”

“Kuat-kuat. Aman”

Siska mengayuh sepedanya menuju bangsal Kamboja dan masih sambil ngobrol dengan Rani.

“Bangsal Kamboja itu yang dekat lapangan parkir ya?” tanya Rani.

“Lapangan parkir? Enggak. Bangsal Kambojo tuh ya yang di paling belakang” ucap Siska seraya mengayuh sepedanya melintasi lorong panjang ke zona.

“Deket kamar mayat” tambahnya. “Kamar mayat?” tanya Rani.

“Iya, Ran. Kenapa?”

“Eh, e-e-enggak kenapa-kenapa kok” jawab Rani. Raut wajah Rani seketika berubah.

Semakin ke belakang, suasana rumah sakit semakin lengang. Hingga, sampailah mereka di pertigaan terakhir. Jika ke kanan sampai bangsal Kamboja, jika lurus ke kamar mayat. Dari situ, walau sedikit samar, terlihat sebuah papan besi berwarna hijau dengan tulisan ‘Kamar mayat’.

Dari kejauhan Siska melihat seorang perawat sedang berjalan sambil mendorong kursi roda ke arah kamar mayat.

“Ran. Itu mbak-mbak perawatnya ngapain ya ke sana? Mana jalannya cepet banget lagi” ucap Siska.

“Mana?” tanya Rani.

“Itu lho, Ran. Jalan ke kamar mayat” kata Siska.

“Mana sih, Sis?” Rani masih tidak melihatnya.

“Ah. Kamu di belakang sih jadi gak kelihatan” ucap Siska. Ia kekeh melihatnya.

Di belakang, Rani bingung, apakah ini Siska yang salah lihat atau dia yang memang tidak melihatnya. Namun, Rani menyadari jika ia susah melihat ke depan saat berada di belakang Siska.

Bukannya ke bangsal Kamboja, Siska malah mengayuh sepedanya ke arah kamar mayat, mengejar perawat itu.

“Ah. Kamu Ran. Coba aku susul. Aku curiga” gerutu Siska seraya mempercepat kayuhannya.

Namun, semakin cepat kaki Siska mengayuh sepeda, semakin cepat pula perawat itu berjalan menjauh darinya.

“Mbak...” teriak Siska memanggilnya.

Perawat itu masih tetap berjalan. Sepertinya tak mendengar teriakan Siska.

“Pelan-pelan aja kenapa, Sis. Sakit ini duduk di belakang” ucap Rani sambil mencengkeram sedel yang diduduki Siska.

Beberapa detik setelah itu, tiba-tiba Siska mengerem mendadak sepedanya, membuat Rani terdorong ke depan hingga membentur badan Siska.

“Astagfirullah” ucap Siska.

“Kenapa sih, Sis?!” sentak Rani kesal.

“Balik, Ran. Balik” ucap Rani dengan nada cepat dan wajah yang tegang.

Sekitar lima belas meter sebelum pintu kamar mayat, tiba-tiba Siska memutar sepedanya.

“Cepetan naik, Ran!” sentak Siska.

“Kenapa sih, Sis?” tanya Siska Heran.

“Udah. Naik dulu. Nanti aku jelasin”

Rani kembali mengayuh sepedanya dengan kencang, namun ke arah yang berlawanan dengan tadi, yakni menjauh dari kamar mayat.

“Nganu. Mbak-mbak perawatnya tadi nembus, Ran” ucap Siska.

“Ha? Nembus? Nembus gimana maksudnya?” balas Rani.

“Jalannya nembus, Ran. Pas sampai pintu kamar mayat, dia jalan nembus pintunya”

“Maksudmu? Badannya tembus gitu? Dia gak buka dulu pintunya baru masuk?” tanya Rani.

Siska pun mengangguk sambil terus mengayuh sepedanya.

“Terus, apa lagi yang kamu lihat?”

“Banyak sekali orang-orang lalu lalang di sana. Tapi... Tapi...”

“Tapi apa, Sis?” timpal Rani.

“Bentuknya aneh-aneh semua. Ada yang tangannya Cuma satu, kepalanya bolong, ada perempuan yang jalannya ngesot, bahkan, ada yang jalan sambil menenteng organ dalamnya yang berhamburan keluar” tukas Siska.

Spontan, Rani menoleh ke belakang. Melihat ke arah kamar mayat yang tidak ada siapapun di sana. Yang ia lihat hanyalah sebuah bangunan dengan papan hijau bertuliskan ‘Kamar Mayat’.

“Sis. Tapi, barusan aku lihat gak ada apa-apa”

“Serius? Berarti itu semua setan, Ran” balas Siska sambil mempercepat kayuhannya.

“Kan tadi aku udah ngomong, Sis, kalau tidak ada siapa-siapa di sana. Kamunya malah gak percaya”

“Sis. Aku langsung ke bangsalku saja. Anterin yak” pinta Rani.

“Aduhh.... Oke lah, Ran” jawab Siska.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close