Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MEREKA YANG TAK TERLIHAT DI RUMAH SAKIT (Part 2) - Panggilan Misterius Dari Ruang Perawatan Kosong

"MEREKA YANG TAK TERLIHAT DI RUMAH SAKIT"

Bagian 2 - Panggilan Misterius Dari Ruang Perawatan Kosong


“Hehh... Heh..... Ada apa, Mbak?” tanya Pak Agus yang baru saja membuka matanya.

“Apa gak pernah ada kejadian sebelumnya, Bu?” tanya Rani kepada Bu Athiya dan Bu Fatma.

“Kejadian apa, Mbak?” saut Pak Agus.

Rani menatap Bu Athiya dan Bu Fatma, ia ragu jika harus menjelaskannya.

“Ada apa, Mbak? Heh, ada apa?” tanya Pak Agus. Ia sudah curiga, jika terjadi sesuatu hal saat ia tidur barusan.

“Ada perawat wanita, rambutnya panjang banget. Siapa dia?” tanya Bu Fatma kepada Pak Agus.

“Siapa? Si Ida?” ujar Pak Agus. Ida adalah perawat bangsal Anggrek tidak berhijab dan rambutnya panjang.

“Bukan. Bukan dia. Rambutnya lebih panjang lagi. Wong sampai menjuntai ke lantai” ucap Bu Athiya.

“Heh!” Pak Agus terkejut. Rendi yang sedari tadi masih santai dan tiduran pun bangun.

“Njenengan ditemui juga, Mbak?” tanya Rendi.

“Saya sempat denger kabar itu. Tapi, saya anggapnya angin lalu aja sih” tambahnya.

“Kenapa kamu gak cerita, Rendi” gertak Bu Athiya.

“Saya gak percaya sama begituan. Toh, kalau saya cerita yang ada malah akan buat njenengan semua takut dan ganggu ke pekerjaan” ujar Rendi.

Perkataan Rendi ada benarnya. Ia pun menenangkan Bu Athiya dan Bu Fatma. Terlebih lagi Rani yang baru memulai shift malamnya malam ini dan langsung disuguhkan hal menakutkan begini

Malam itu, untuk pertama kalinya Rani ditemu hal gaib di dalam kegiatan praktek rumah sakitnya.

***

Rani baru saja keluar, membeli beberapa makanan dan minuman di Supermarket untuk menemaninya berjaga malam. Saat itu sudah rollingan ke duanya di shift malam. Namun, kali ini Rani bersama dengan seorang teman.

Dia adalah Lestari. Rani merasa senang, karena dapat jatah dua orang untuk shift malam kali ini. Dan dia masih praktek di bangsal yang sama, yakni bangsal Anggrek.

“Perkenalkan, ibu-bapak, mas. Saya Lestari” ucap Lestari saat memperkenalkan diri di depan perawat bangsal Anggrek lantai tiga. Perkenalan Lestari tak memerlukan waktu lama.

Setelahnya, para perawat dan mahasiswa (Rani dan Lestari) membaca laporan pasien dari shift siang. Setelah itu, Rani dan Lestari mendapat tugas mengganti infus di beberapa kamar inap pasien.

“Baik, Pak. Nanti saya ganti” jawab Rani dan Lestari bersamaan kepada Pak Agus yang memberinya tugas.

Pekerjaan shift malam sebenarnya tidak crowded jika dibandingkan dengan shift-shift yang lain.

Selain karena sudah tidak ada pengunjung yang besuk, malam hari juga digunakan untuk para pasien istirahat. Sehingga, pekerjaan perawat cenderung lebih tenang saat malam hari.

“Sepertinya di sini enak, ya” ucap Lestari.

“Enak? Maksudmu?” tanya Rani.

“Ya enak aja gitu. Kayaknya perawatnya enakan kalau diajak ngobrol, dan di bangsal ini kelihatan baru kalau dibanding bangsalku. Bangunan lama” ujar Lestari.

“Kamu belum tau aja” pikir Rani.

Mereka berdua tengah asyik ngobrol di balik meja pelayanan perawat disaat perawat yang lain tengah sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.

“Ya, begini. Aku sih gak tau ya bangsalmu gimana. Cuman, kalau di bangsal Anggrek ya gini-gini orangnya” timpal Rani.

“Apa lagi, di sana katanya ada kamar yang angker. Ada kamarnya yang gak dipakai lagi, katanya karena dulu ada pasien meninggal di sana lalu sering ganggu perawat dan pasien kalau lagi di dalem”

“Serius?” tanya Rani dengan wajah penasaran.

“Iya. Tapi, untungnya aku sama Ghofur kemarin gak pernah ketemu apa-apa di sana”

“Kalau di sini gimana? Ada cerita seremnya juga?”

“Lestari memang sialan. Malam-malam begini malah bahas begituan. Apa dia sengaja memancingku?” pikir Rani.

“Hahaha. Rasain aja, kalau kamu penasaran biasanya nanti dateng sendiri” ucap Rani dengan kalimat menantang.

“Ihh. Jangan gitu, Ran. Amit-amit jabang bayi aku ketemu begituan”

“Ya ngapain juga coba cerita begituan malem-malem gini. Didatengin beneran baru tau rasa” ucap Rani kesal.

“Iya-iya. Maaf”

***

Bel kamar pasien nomer 3.2 bunyi, dengan sigap Rani memencet alat komunikasi yang terhubung ke sana.

“Selamat malam” ucap Rani.

“Sus. Ini suami saya mengeluh perutnya sakit terus dari tadi”

“Baik, Ibu. Saya akan segera kesana, ya”

“Aku mau ke kamar pasien dulu” pamit Rani kepada Lestari.

Setelah membaca data pasien mengenai sakit yang dideritanya dan obat yang diperlukan, Rani pun langsung menghampirinya.

Di dalam, terbaring laki-laki tua yang tergolek lemah mengerang kesakitan. Di sampingnya berdiri perempuan dengan wajah cemas.

“Permisi... Bagaimana, Ibu” sapa Rani.

“Yang bapak rasakan apa?” tanya Rani.

Laki-laki tersebut baru saja operasi usus buntu. Wajar, jika sewaktu-waktu ia masih merasa kesakitan seperti ini. Rani lalu memberinya obat pereda sakit kepadanya.

Setelahnya, Rani kembali lagi ke meja pelayanan perawat. Namun, saat sampai, Lestari sudah tidak ada di sana. Yang ada hanya Bu Fatma yang tengah berjaga.

Setelah beberapa menit, Lestari kembali, namun dengan tatapan heran melihat Rani.

“Lho. Kok kamu di sini? Bukannya tadi di sana?”

“Di sana? sana mana?”

“Itu tadi, di ruang 3.9”

“Ngawur. Kan tadi kamu tau kalau aku ke ruang 3.2”
“Lhah. Terus?”

“Seriusan, Rani. Tadi aku lihat kamu masuk kesana. Wong kita kepapasan juga. Tapi....” ucapan Lestari tiba-tiba terjeda.

“Tapi apa?”

“Kamu diam aja waktu aku menyapamu di depan ruang”

***

Di sisi lain, menurut sudut pandang Lestari.

“Rani lama sekali” gerutu Lestari karena sendirian di balik meja pelayanan perawat.

Sementara, perawat yang lainnya pun beberapa tidak ada bersamanya, serta ada yang tengah tidur di dalam. Lestari melihat jam tangannya, ternyata, sudah hampir jam 00.00 malam.

Tak tau kenapa, Lestari merasa bosan saat itu. Ia lalu berinisiatif ke kamar pasien, melihat infus-infus yang harus ia ganti. Yang jadi tanggungannya, totalnya ada empat kamar. Dan semuanya satu lorong dengan ruang 3.9.

Satu-persatu ruang tersebut ia masuki, melihat infus-infus pasien yang sudah waktunya ia ganti. Semuanya lancar tanpa ada kendala berarti, hingga, sampailah Lestari di ruang terakhir di ruang 3.7, l

letaknya nomer dua dari paling pojok. Saat ia keluar dari situ, Rani berjalan ke arahnuya dari meja pelayanan. Lestari yang melihatnya pun menegurnya.

“Hey, Ran. Mau ke mana? Udah selesai tadi?” tanya Lestari.

Rani tidak menghiraukan perkataannya, ia tetap saja berjalan. Namun, ada yang berbeda dengan Rani, tatapannya kosong.

“Ke mana, Ran?” tanya Lestari lagi. Namun, Rani masih mendiamkannya.

“Hmm. Iseng banget. Gak usah nakut-nakutin begitu, Ran” ujar Lestari.

Saat itu Lestari tidak begitu memikirkannya.Ia pikir, Rani sedang iseng menakut-nakutinya dan mungkin Rani hendak memeriksa pasien di kamar sekitar sana. Saat sudah melewatinya,Lestari menoleh lagi ke belakang.

“Ohh, ke ruang 3.9” pikir Lestari.

Beberapa langkah setelah itu, Lestari terkejut. Karena ia mendapati Rani sedang duduk di atas kursi di balik meja pelayanan perawat. Lestari diam cukup lama menatap Rani, dan kembali menatap lorong yang baru saja ia lewati.

“Les. Kamu kenapa?” tanya Rani saat melihat Lestari kebingungan.

“Ka-kamu dari mana sebelum ke sini?”

“Ke pasien di ruang 3.2 kan”

“Lho. Bukannya tadi di sana?” tanya Lestari dengan wajah mulai gugup.

“Di mana?”

“Itu tadi, di ruang 3.9”

“Ngawur. Kan tadi kamu tau kalau aku ke ruang 3.2”

“Lhah. Terus?” wajah Lestari tambah gugup.

“Seriusan, Rani. Tadi aku lihat kamu masuk kesana. Wong kita kepapasan juga. Tapi...”

“Tapi apa?”

“Kamu diam aja waktu aku menyapamu di depan ruang”

“Kamu jangan bercanda, Les”

Rani diam sejenak, setelah itu dia berdiri menghampiri Lestari yang belum bergerak dari posisi awalnya.

“Ayo. Di mana kamu lihat aku tadi? Perlihatkan” ajak Rani.

Rani tiba-tiba menarik tangan Lestari, lalu berjalan ke lorong tempat di mana ruang 3.9 berada.

Lestari menahan tubuhnya, karena masih dirungung rasa takut.

“Di sini?” tanya Rani saat sampai di depan 3.9.

“Ruang gak ada pasiennya begini, katamu, aku masuk ke dalam sini? Gak mungkin lah, ngapain ke sini” seru Rani.

“Astaga, Rani. Aku serius lihat kamu masuk ke sini tadi. Aku gak bohong” ucap Lestari menegaskan, tapi dengan suara pelan.

Mereka berdua lantas kembali ke meja pelayanan dengan membawa tanda tanya ; siapakah yang dilihat Lestari barusan.

Karena penasaran, Rani mencoba cek ke komputer. Setelah mencari, barulah mereka berdua yakin, jika di ruang 3.9 tidak ada pasien yang tengah menginap.

“Ini kan yang pengen kamu temui tadi? Gak hati-hati sih kalau ngomong” ucap Rani sebal.

“Itulah sebabnya kalau dari awal kata-katamu udah sembarangan” ucap Rani menasehati.

Lestari diam saja. Ia terlihat berpikir. Sepertinya memikirkan kejadian aneh yang menimpanya barusan.

***

Rani, Lestari dan Mas Rendi tengah berjaga di balik meja pelayanan perawat. Karena usia mereka tidak berselisih jauh, obrolan mereka masih banyak nyambungnya. Terlebih lagi, Mas Rendi belum genap dua tahun lulus dari profesi Ners nya.

Hal itu membuat Rani dan Lestari banyak menggali pelajaran dan pengalaman darinya. Namun, ditengah obrolan mereka, bel pasien nurse call tiba- tiba bunyi.

(Nurse call : alat komunikasi semacam telepon yang digunakan untuk komunikasi pasien di dalam kamar dengan perawat di nurse station/ ruang perawat)

“Mbak. Itu bunyi. Coba diangkat” ucap Mas Rendi kepada Lestari yang sedang duduk di dekat bel pasien.
Lestari lalu melihat ke arah lampu yang menyala. Saat mengetahui lampu bel yang menyala, wajah Lestari mendadak tegang.

“Rani...” panggil Lestari.

“Lihat, tuh. 3.9” tambahnya.

Rani menatapnya bingung.
“Kenapa, Mbak?” tanya Mas Rendi bingung.

Lestari menggaruk kepalanya, seraya menatap Rani.
Bel nurse call terus berbunyi.

Sementara Lestari masih enggan mengangkatnya karena kejadian tadi yang ia alami. Namun, disisi lain, Ia bingung dengan kalimat apa ia menjelaskan kepada Mas Rendi.

“Kalian kok aneh, sih. Biar saya saja” ucap Mas Rendi kesal.

“Sela.....” belum sempat Mas Rendi menyelesaikan kata pertamanya, ia tiba-tiba terdiam.

“Kenapa, Mas?” tanya Lestari.

“Kok... kok gini”

Mas Rendi bingung. Pasalnya, yang ia dengar hanyalah suara erangan perempuan.

“Halo. Selamat malam” ucapnya lagi.

“Tolong jangan iseng” tambah Mas Rendi.

Namun, hal serupa masih ia dengar di telinganya.

“Selamat malam, Ibu” ucap Mas Rendi lagi.

“Gak ada suaranya. Cuma suara erangan perempuan”

“Pasien sakit apa sih disana?” tanya Mas Rendi.

Bukannya curiga atau menyadari karena ada kejanggalan, Mas Rendi malah khawatir terjadi apa-apa dengan pasien yang memanggil perawat dengan alat nurse call barusan. Mas Rendi pun beranjak untuk menghampirinya di ruang perawatan 3.9.

“Mau kemana, Mas?” tanya Rani.

“Ke pasien barusan” jawab Mas Rendi. “Aku ikut ya, Mas” terang Rani.

“Lho, Ran. Kok” ucap Lestari heran.

Kenapa Rani bukannya takut malah ikut Mas Rendi menuju ruang perawatan 3.9. Padahal, ia juga tau kalau di sana sedang tidak ada pasien yang tengah dirawat. Seketika itu, Lestari bimbang, apakah harus menunggu atau mengikuti Mas Rendi dan Rani.

Karena masih dirundung rasa takut dan enggan jika harus jaga sendiri di meja pelayanan, Lestari pun ikut mengikuti Mas Rendi. Mas Rendi melangkah tanpa sedikitpun rasa ragu, padahal, Rani dan Lestari yang di belakangnya sudah was-was terhadap hal yang akan terjadi selanjutnya.

Benar saja, sesampainya di depan ruang perawatan 3.9, dilihat dari kaca kecil pintu tidak ada tanda- tanda lampu menyala.

Awalnya, Mas Rendi merasa curiga. Tapi, ia tak memedulikan itu. “Siapa tau keluarga pasien di dalam yang mematikannya” begitu pikirnya. Ia lantas masuk ke dalam ruangan. Nahas, baru dua langkah dari pintu, kakinya terjerat oleh benda yang diinjaknua.

Saat Mas Rendi melihat kakinya, ternyat ada banyak rambut berserakan di lantai. Rasa curiganya kian bertambah, “Rambut siapa ini? Banyak sekali” pikirnya. Matanya berusaha mencari dari mana rambut ini berasal.

Karena gelap sehingga membuat penglihatannya tak terlihat, ia meraih saklar lampu yang paling dekat dengannya.

“Ceklekk” salah satu lampu kamar pasien menyala. Ini bisa sedikit membantunya.

Rani dan Lestari masih menunggunya di luar, mereka ragu jika harus masuk menyusul Mas Rendi.

“Gimana, Mas Rendi?” tanya Rani sambil mengintipnya dari luar.

“Lihatlah ini” ucap Mas Rendi sambil menunjuk gumpalan rambut di lantai dekat pintu.

Saat itu, Mas Rendi belum mengetahui siapa gerangan pemilik rambut itu. Namun, ia kembali menemukan rambut yang lain lagi, kali ini lebih panjang dan menjalar hingga ke salah satu kamar pasien yang masih tertutup tirai.

“Heh, kalian! Temani saya sini” ucap Mas Rendi.

Nampaknya, Mas Rendi mulai merasa takut. Meski sempat ragu menyusul ke dalam, akhirnya Rani dan Lestari menyusulnya.

“Lihat ini. Ada rambut panjang sekali, sampai ke kamar itu” ucap Mas Rendi.

Perlahan, Mas Rendi mendekati kamar pasien tersebut. Langkahnya pelan sekali. Mirip maling yang hendak menyasar ke rumah yang tengah menjadi targetnya.

Tangannya kemudian meraih kain tirai itu, lalu menyingkapnya perlahan. Saat baru beberapa centimeter, ia dapat melihat seorang pasien perempuan di sana.

“Ada pasien” tukasnya pada Rani dan Lestari di belakangnya.

“Eh-eh. Itu perawat, bukan pasien” tambah Mas Rendi. Karena, saat tirai terbuka sedikit lebih lebar dari sebelumnya, terlihat perempuan tersebut memakai seragam sama seperti yang ia kenakan.

Melihat jika di dalam adalah perawat, meski masih curiga, ada sedikit rasa lega di benaknya. Tangannya kembali menyingkap tirainya lebih lebar lagi. Namun, yang dia lihat sekarang adalah sesuatu yang sangat menakutkan baginya.

Bagai dibombardir ratusan peluru dalam satu waktu, Mas Rendi terkejut. Badannya mematung, matanya terbelalak melihat ujung dan pemilik rambut tersebut.

“Gimana, Mas?” tanya Rani. Mas Rendi menoleh pelan ke arah Rani. Ia memberi kode jika ada yang tidak beres di sini.

Melihat Mas Rendi, Rani malah penasaran. Rani memang perempuan aneh. Ia selalu saja penasaran terhadap hal-hal janggal di sekelilingnya.

“Ya Allah” ucap Rani sesaat setelah mendekati Mas Rendi dan melihat sosok di balik tirai itu.
Sesosok perawat yang pernah ia lihat sebelumnya kembali menampakkan diri. Dia duduk di pinggir ranjang pasien sambil mengayunkan kedua kakinya ke depan dan belakang.

Rambut yang sangat panjang itu ternyata miliknya. Seakan mengetahui jika ada Rani di sana, perawat itu menoleh ke arahnya, ia tersenyum menyeringai, setelahnya, ia tertawa kecil cekikikan.

“Apa itu?” tanya Lestari terkejut saat mendengarnya.
Yang terjadi setelah itu membuat mereka bertiga lari ketakutan. Pasalnya, sosok perawat itu berdiri, eh bukan, lebih tepatnya melayang dengan rambutnya yang masih menjuntai hingga hampir di pintu keluar.

Melihat itu, sontak membuat Mas Rendi dan Rani lari ketakutan.

“Setan.....” teriak Rani dan Mas Rendi sambil lari keluar ruang. Lestari yang melihat mereka lari pun turut lari mengikutinya. Namun, rambut perawat itu menyulitkan langkah mereka.

“Aduh. Kenapa banyak sekali rambut di sini” keluh Mas Rendi.

Malam itu, penghuni tak kasat mata ruang 3.9 semakin memperlihatkan eksistensinya. Sebagai orang baru, Rani dan Lestari pun turut menjadi saksinya.

Setelah rentetan kejadian itu, Rani dan Lestari menjadi was-was terhadap ruang perawatan 3.9.

Beberapa minggu setelahnya, mereka, khususnya Rani tidak menjumpai kejanggalan atau sesuatu yang menakutkan lagi. Hal itu membuat mereka bernapas lega.

***

Tokk... tokk.... tok.....

Tiba-tiba Rani mendengar suara pintu tempat biasa perawat istirahat diketuk. Awalnya, Rani tidak memedulikannya. Namun, semakin Rani tidak mengindahkannya, suara ketukan pintu itu semakin keras mengganggu telinganya.

“Siapa sih? Iseng sekali”

Di sampingnya terbaring Bu Fatma. Namun, ia sama sekali tidak terganggu dengan suara berisik itu.

Rani pun bangun dengan matanya yang merah karena belum lama tertidur. Saat ia keluar, tampak pak Agus dan Bu Athiya sedang jaga berdua.

“Lho. Rani. Sudah tidurnya?” tanya Bu Athiya saat menyadari kehadiran Rani.

“Yang ngetuk-ngetuk pintu siapa, Bu? Memangnya ada apa?”

“Ha? Gak ada yang ngetuk pintu” tandasnya.

Rani tersentak dalam diam. Ia lebih memilih kembali tidur lagi karena matanya masih ngantuk sekali. Jatah tidurnya tiga jam, sementara, ia baru memakainya satu jam.

“Ah. Semoga tidak ada yang ganggu lagi” gumam Rani sambil memejamkan kedua matanya. T ak memerlukan waktu lama, kesadarannya pun hilang terbawa rasa kantuknya yang tak tertahankan. Entah sudah berapa lama setelah ia memejamkan mata, Rani kembai terusik.

Namun, kali ini berbeda dengan yang tadi. Tubuhnya yang terlentang tiba-tiba merasakan sebuah sentuhan dari ujung kaki hingga kepalanya. Lembut sekali. Menyadari hal itu, sontak membuat kesadaran Rani kembali.

Ia lantas membuka matanya, tapi, yang berada di dekatnya tidak lain hanya Bu Fatma yang masih terbaring nyaman dalam tidurnya.

“Apa hanya halusinasi atau mimpiku saja, ya?” pikir Rani.

Rani merasa kalau yang ia rasakan hanyalah halusinasi atau igauannya belaka, lantas, ia kembali melanjutkan tidurnya lagi.

Namun, baru saja Rani menutup matanya, sentuhan itu kembali datang dan terasa sangat nyata. Rani pun membuka mata, ia kembali tidak menemukan apa-apa di dekatnya.

“Apa Bu Fatma yang iseng, ya?” pikirnya.

“Tapi. Apa iya?” gumamnya lagi.

Rani memberanikan diri membangunkan Bu Fatma, walau sebenarnya ia sungkan melakukannya.

“Bu. Bu Fatma....” Panggil Rani sambil sedikit menjawil tangannya.

Butuh beberapa kali melakukan itu hingga membuat Bu Fatma membuka matanya.

“Gimana, Mbak? Udah waktunya jaga, tah?” tanya Bu Fatma. Pikirnya, ia dibangunkan karena jatah tidurnya habis dan gantian rolling jaga dengan perawat yang lain.

“Belum, Bu Fatma. Njenengan tadi bangunin saya?” tanya Rani.

“Enggak, Mbak. Saya dari tadi tidur” jawab Bu Fatma sambil mengernyitkan matanya karena masih ngantuk.

“Kenapa tah, Mbak?” tanya Bu Fatma.
Rani diam sejenak lalu berpikir. Kalau bukan Bu Fatma, lantas siapa?

“Oh. Enggak, Bu. Bu Fatma lanjut tidur aja, saya cuma tanya. Maaf ganggu, Bu” jawab Rani dengan senyum sungkan kepada Bu Fatma. Rani dilanda penasaran di dalam pikirannya. Perasaannya pun mulai was-was.

Rani beranjak dari tempatnya, kemudian menelusuri setiap sudut ruangan. Memastikan jika tidak ada orang asing di dalam yang berniat buruk kepadanya. Setelah berkeliling, Rani tidak menemukan siapa-siapa di dalam.

Perasaannya masih dirundung rasa was-was. “Jika tidak ada siapa-siapa, lalu bukan Bu Fatma, lalu?” begitulah kurang lebih isi pikiran Rani kala itu.

Rani kembali merebahkan badannya, kali ini lebih mendekat ke Bu Fatma. Ia berdoa, lalu membersihkan segala pikiran buruknya dari isi kepalanya. Rani kembali tidur, rasa was-wasnya pun berangsur pergi seiring kesadarannya yang hilang.

Awalnya, Rani selalu berusaha berpikir positif tentang kejadian yang menimpanya tadi. Namun, kali ini tidak bisa lagi. Sentuhan itu kembali datang, menyentuh dan merayap pelan dari ujung kaki hingga kepalanya. Tidak hanya gangguan secara fisik yang ia rasakan.

Tapi, kali ini disertai dengan suara lirih yang memanggil namanya “Rani.....”. Menerima gangguan itu lagi, seketika kesadaran Rani kembali, bulu kuduknya pun meremang, jantungnya pun juga terpacu karena ketakutan.

“Ya Allah. Siapa sebenarnya ini?” tanya Rani dalam diamnya.

Keringat mulai keluar dari dahinya, mengalir hingga ke telinganya. Bukannya hilang, sentuhan tangan itu semakin terasa ia rasakan.

Rani belum berani membuka matanya, karena rasa takut membuatnya lebih memilih diam tak bergerak dengan mata yang tertutup.

“Rani...” suara itu kembali muncul. Suaranya lirih memanggil-manggil Rani.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close