Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

GEGER MUSTIKA (Part 3) - Pengorbanan

Lanjutan kisah hidup seorang manusia dengan iblis yang bersemayam dalam dirinya.

Titisan Raja Siluman Ular


Pengorbanan

ROOAAAAARRR!

Aku berteriak keras seiring diriku beralih rupa.
Joyokusumo yang baru kali ini melihatku berubah wujud, nampak terkesima oleh kilauan sisik emas yang kini menutupi sekujur tubuhku.

"Nah! Ini yang aku suka!" Pekik Joyokusumo kegirangan.

Orang ini memang benar-benar gila! Bila yang lainnya ketakutan, dia malah senang melihatku dalam wujud seperti ini. Padahal aku yakin dia bakal kewalahan menghadapi seranganku yang kekuatannya jadi berlipat ganda.

Mendadak Joyokusumo menjatuhkan diri tertelungkup di atas tanah. Kedua tangan membentang, wajahnya mendongak, mulutnya komat-kamit begitu cepat.

Bersamaan dengan itu, dari dalam tanah, muncul asap hitam yang perlahan-lahan menyelimuti sekujur tubuhnya.

Aku tak tau apa yang sedang dia lakukan. Asap hitam itu begitu pekat menghalangi. Namun ketika asap itu perlahan memudar, Joyokusumo sudah berubah jadi kalajengking raksasa berkepala manusia! Edan!

GROOOAAAH!

Dia berteriak garang seolah menantang. Aku pun melompat setinggi-tingginya demi mengincar kepalanya.

Tapi tiba-tiba ekornya bergerak cepat dan langsung beradu keras dengan pukulanku hingga menimbulkan suara dentuman keras!

BLARR!

Tanah berguncang keras. Tubuhku terhempas membentur batu besar lalu kembali pada wujud manusia. Aku meringis kesakitan sembari memegangi tanganku yang melepuh. Apa yang terjadi?

Sementara Joyokusumo si kalajengking jadi-jadian nampak sedikit limbung namun kembali tegak sembari menggerak-gerakkan ekornya. Aku terkesiap! Ujung ekornya! Ujung ekornya adalah keris Welut ireng! Bagaimana bisa?

Ujung ekor berlekuk itu kini bersiap untuk kembali menyengat. Tak ada waktu bagiku untuk menghindar. Nyawaku ada di ujung tanduk. Namun belum sempat itu terjadi, tiba-tiba terdengar ledakan hebat dari dalam kawah.

BLAAAARR!

Tubuhku terpelanting hingga terperosok masuk ke dalam kawah. Tapi untungnya tanganku cepat meraih tepiannya agar tak jatuh ke bawah ditelan lahar yang bergolak.

Lalu dari dasar kawah, tiba-tiba berhembus angin panas yang berputar cepat dan kian membesar hingga menjulang tinggi membentuk tornado raksasa! Ya Allah! Lindungi hamba!

Situasinya amat kacau. Sebisa mungkin aku bertahan agar tubuhku tak terhempas sapuan angin yang begitu keras.

Sementara di tepian kawah yang lain, Joyokusumo yang telah kembali jadi manusia, kini tengah sibuk membacakan mantra-mantra dari kitab di tangannya.

Lalu terjadilah satu fenomena...

Dari dalam lahar yang bergolak, muncul sebuah batu oval sebesar kepalan tangan orang dewasa. Sinar aneka warna terpancar bagai lampu merkuri dari sisi-sisinya!

Mustika Ismaya!

Batu itu perlahan mengambang naik mengikuti jalur sinar warna-warni yang membentuk poros di tengah pusaran angin.

Pelan tapi pasti, mustika itu bergerak naik ke arah Joyokusumo bagaikan hewan peliharaan menghampiri majikannya.

"Hahaha.. Berhasil! Aku berhasil!" Teriak Joyokusumo.

Sementara itu, kuatnya hempasan angin membuat peganganku sedikit demi sedikit terlepas. Aku hanya bisa pasrah. Mungkin hidupku akan berakhir di tempat ini.

Dan ketika peganganku benar-benar terlepas, tiba-tiba ada tangan yang meraih lalu memegang erat tanganku mencegahku agar tak meluncur masuk ke dalam kawah.

"Bertahan Yud!"

Mayang Kemuning hadir di saat yang tepat!

Tapi di waktu yang bersamaan, mustika Ismaya sedikit lagi sampai ke tangan Joyokusumo.

Aku tak boleh membiarkan hal itu terjadi. Panji telah bersusah payah mengorbankan diri menghadapi lima kalajengking raksasa sekaligus agar aku bisa leluasa melawan Joyokusumo.
Bahkan aku tak tau bagaimana nasib Panji saat ini. Semoga dia selamat.

"Mayang! Lepaskan aku! Aku akan melompat untuk merebut mustika itu!" Teriakku pada Mayang di tengah deru suara angin.

Tapi Mayang menolak keras. "Jangan Yud! Jangan nekat! Kamu bisa celaka!" Mayang berteriak histeris. Dia tau aku tak main-main.

Aku tersenyum. Aku tau diriku bakal jatuh dan mati di bawah sana. Tapi biarlah. Biarlah aku mati asal Joyokusumo tak bisa mendapatkan apa yang dia mau. Tak terbayangkan apa jadinya jika orang segila dia punya kekuatan dahsyat layaknya Tuhan.

"Selamat tinggal Mayang! Aku sayang kamu!" Teriakku untuk terakhir kali lalu melepaskan genggaman Mayang dan langsung melompat menembus pusaran angin demi mendahului Joyokusumo merebut mustika itu.

"Hap! Dapat!"

"Bangsat!"

Joyokusumo berteriak marah menyaksikan mustika dambaannya jatuh ke tanganku hanya beberapa detik sebelum dia sempat meraihnya.

Kugenggam erat mustika itu saat diriku melayang jatuh ke bawah di mana lahar panas telah menanti dan siap untuk melumat tubuhku.

"Yudhaaaa!"

Mayang memekik histeris sementara aku hanya bisa menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

Persis ketika diriku tercebur masuk ke dalam lahar panas yang bergolak, terjadi sebuah ledakan maha dahsyat laksana bom atom jatuh dari langit.

DHHUAAAAAAARRRR!!!

Lalu gelap...

***

Aku terbangun saat mendengar suara kicauan burung yang bersahut-sahutan. Perlahan kubuka mata, namun langsung memicing akibat silaunya cahaya matahari yang mengarah tepat ke mataku.

Apakah aku ada di surga?

Pelan-pelan kucoba bangkit dari rebah. Sekujur tubuhku terasa remuk. Kepalaku sakit. Persendianku seakan lepas. Kulayangkan pandangan memperhatikan sekeliling lalu menyadari kalau diriku berada dalam sebuah ruangan berdinding kayu.

Aku dimana?

Sejenak ingatanku coba memutar ulang, dan ketika ingatanku kembali, diriku spontan bangun dan langsung berdiri di tepi ranjang sambil meraba-raba sekujur tubuh. Mustika Ismaya! Mana mustika itu? Mana? Batinku bertanya dengan paniknya.

Kusingkap selimut, kuangkat dan kutepuk-tepuk bantal, lalu kulongok ke kolong ranjang, tapi tak ada. Ya Allah! Batu itu kemana?

Sementara diriku masih kebingungan, muncul seorang kakek berjanggut putih dengan rambut tergelung ke atas, dia heran melihatku kebingungan mencari-cari sesuatu.

"Raden? Raden baik-baik saja?" Tanya lelaki tua itu.

Aku tak langsung menjawab. Dengan tatapan penuh curiga, kupandangi kakek itu dari atas kepala sampai tapak kaki. Bukan apa-apa, penampilannya sungguh aneh. Dia berpakaian layaknya seorang brahmana.

"Maaf eyang, apa eyang lihat batu? Kira-kira sebesar ini?" Tanyaku sembari memberi contoh dengan kepalan tangan.

Tapi bukannya menjawab, sang kakek malah tersenyum. Mungkin dia pikir aku tengah mengigau.
"Lebih baik raden tenang dulu. Duduk dulu." Ucapnya lalu menuntunku untuk duduk di tepi ranjang.

Suaranya yang berwibawa dan menenangkan membuatku menurutinya. Aku jadi merasa tak sopan telah berprasangka buruk padanya. Wajah kakek ini penuh welas asih. Aku yakin kalau dia orang baik-baik.

"Maafkan sikap saya tadi eyang. Saya masih bingung kenapa saya tiba-tiba ada di sini."

"Tidak apa-apa. Saya mengerti. Terlebih dulu ijinkan saya perkenalkan diri, saya mpu Dharmapala. Raden ada di rumah saya. Semalam raden dan istri raden saya temukan pingsan di tepi hutan."

Aku cuma bisa diam. Coba memahami penjelasan mpu Dharmapala yang membingungkan.

Dia menyebut dirinya mpu? Sebuah gelar yang tak lazim di jaman seperti ini. Lalu kenapa dia memanggilku raden? Dia juga bilang kalau aku ditemukan pingsan bersama istri? Istri siapa?

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close