Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KAFANI AKU (Part 4 END)

Kemulyaan hanya di sandang oleh para manusia yang mementingkan kemanusiaan. Mati secara Shahid julukan bagi para suhada Tuhan untuk mereka yang berperang menegakkan kebenaran.


Sesampainya aku di rumah, belum lagi langkah kakiku menginjak pelataran, kulihat dari kejauhan, abangku berjalan dari arah jalan yang berlawanan. Langkahnya gontai, tertunduk lesu sembari melihat jalan tanah yang bertata bebatuan.

Ia seperti terlihat seperti memiliki beban dan kedukaan yang sangat berat.

Aku dapat merasakan sebuah kehilangan yang mendalam tengah dialaminya, yaitu berpulangnya sang guru. Hal itu wajar terjadi, karena sedari kecil mas Pur dan kang Armani menekuni pendidikan keagamaan dan-

kebatinan dibawah asuhan pak kyai. Pak kyai sendiri selain menjadi guru, merupakan pengganti sosok ayah untuk abangku, ilmu serta bimbingannya lah yang menghantarkan jati diri abangku sampai detik ini.

Maka tak heran, jika kepergian pak kyai memberikan pukulan telak bagi jiwa dan batin Mas Pur.

"Mas..!" sapaku padanya.

"Ya Le... ayo mlebu ngomah!" (Ya le, ayo masuk rumah)

Kepulangan Mas Pur disambut gembira oleh nenek, rasa syukur dan rona kebahagiaan yang dirasakan beliau terpancar sangat jelas.

Setelah mas Pur menyalami nenek dan pak Waluyo, kami semua duduk mendengarkan apa yang telah mas Pur lewati di dalam sana selama berhari-hari. Mas Pur bercerita bahwa ternyata pertarungan itu sampai sekarang belum usai.

Disaat Kang Armani mengantarkan ayahnya yang terluka parah, mas Pur gagal melanjutkan pertarungan. Hal itu disebabkan karena siluman anjing itu menghilang, setelah nyawa yang menjadi pelindung raga pak Panjalu hanya tersisa satu.

Sementara enam siluman asu baung penjaga raga Pak Panjalu sudah berhasil mereka musnahkan.

"Tadi kang Armani berencana untuk menyusul ke sana denganku, Mas." ujarku setelah mendengar ceritanya.

"Aku pulang karena sosok itu menghilang, kita harus waspada karena jelmaan siluman itu pasti akan menuntut balas pada warga sini."

Sejenak kami tersentak mendengar kata-kata Mas Pur. Bisa kami bayangkan dampak peristiwa ini ke warga, Ketakutan dan suasana yang mencekam pasti lebih mengental. Ketidaknyamanan pun pasti semakin menyelimuti kehidupan warga di desa kami.

"Jadi selanjutnya bagaimana mas?" tanyaku pada Mas Pur

"Sebentar lagi aku ke rumah pak Bayan, agar beliau segera mengumumkan kepada warga, supaya mereka lebih waspada."

Setelah Mas Pur berusaha untuk menenangkan dirinya dengan minum kopi dan menghisap sebatang rokok. Ia beranjak ke rumah kepala desa, memberitahukan jika sosok siluman itu masih belum mati.

Mas Pur meminta berita ini segera disiarkan agar seluruh penduduk lebih waspada. Karena yang ditakutkan jika dedemit itu kembali dan meneror warga kampung ini.

Tidak beberapa lama kemudian, terdengar pemberitahuan perihal peristiwa tersebut dari masjid.

Warga diminta untuk lebih waspada, karena jika setan dukun sakti itu masih berkeliaran, bisa saja sewaktu-waktu Ia akan kembali meneror kampung ini.

Setelah mendengar pengumuman itu tampak warga riuh berlarian menuju rumah kepala desa, mereka ingin mencari tahu secara lebih jelas mengenai peristiwa tersebut.

"Wes pean ning ngomah wae, ojo cemawe, ben kui dadi urusanne kakang mu yo Le!"

(Sudah kamu di rumah saja, jangan ikut campur, biar itu menjadi urusannya abang mu ya nak) ujar nenek kepadaku.

"Enggih, Mbah!" (Iya nenek)

Sebenarnya aku sangat penasaran dan ingin sekali tau perkembangan pembicaraan seluruh warga desa.

Akan tetapi, bagiku menuruti perkataan nenek adalah suatu keharusan, karena aku tau beliau sebenarnya saat ini merasa cemas akan kondisi Mas Pur. Jadi, aku tidak ingin menambah beban pikiran beliau yang sudah sangat tua.

Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diiinginkan, kepala desa dan warga berembuk mengambil langkah-langkah yang diambil untuk berjaga-jaga. Dalam kegentingan malam ini, beberapa warga berjaga-jaga dengan melakukan ronda.

Beberapa kepala keluarga yang berani dan mempunyai nyali, sudah ditunjuk oleh kepala desa agar membentuk kelompok-kelompok penjagaan, serta mereka diminta untuk membuat titik-titik untuk penjagaan tersebut agar ketika ada teror lagi bisa langsung ditangani, atau segera dilaporkan

Sementara yang lain berjaga-jaga, kami menyerukan kalimah tahlil di rumah mendiang pak Kyai. Duka masih menyelimuti keluarga dan warga yang ditinggalkan. Kami luruh dalam khimad, ratap dalam khusuk, menghantarkan doa kepada Sang Illahi,-

sekaligus untuk mengenang jasa, kesantunan, keilmuan, dan kebaikan beliau yang penuh pamor kewibawaan.

Selesai acara tahlil, terlihat dua sahabat itu duduk disebuah sudut ruangan, saling menguatkan, dan kembali membahas peperangan yang belum berakhir.

Ada ketegangan yang muncul di raut wajah Mas Pur dan Kang Armani. Mereka tampak menahan kobaran amarah, sebuah gelagat perpaduan antara kesedihan juga emosi yang hanya bisa tertahan.

Aku dapat membaca itu, selain keduanya merasa kehilangan dan mereka juga ingin segera menyelesaikan semua ini. Kami yang ada di situ hanya berani melihat tanpa ada yang berani ikut campur urusan mereka.

Tiba-tiba aku merasakan sebuah getaran kuat dari dalam batin, seperti sebuah panggilan. Tapi entah apakah itu? Aku juga tidak dapat menyimpulkannya. Lalu kemudian, mas Pur dan kang Armani bangkit dari duduknya, mereka melihat ke arah luar,-

kilatan Cahaya terlihat membelah gelap malam dan gelegar dahsyat juga terdengar, bagai portal ghaib sudah terbuka.

"AL, mantuk le, jagain simbah!" (AL, pulang nak, jagain nenek) kata mas Pur yang menyuruhku pulang.

"Enggih mas!" (Iya mas) jawabku sambil bergegas pulang.

Baru beberapa langkah meninggalkan rumah itu, tiba-tiba terdengar suara yang membuat merinding.

Aummmmmm...!

Auman panjang asu baung itu terdengar dari kejauhan. Mendengar auman itu dadaku tiba-tiba terasa panas terbakar, degup jantung terpacu tidak beraturan. Bukannya aku merasa ketakutan,-

tetapi lebih ke rasa seperti ada dorongan energi yang sangat luar biasa keluar dari dalam raga dan berbenturan dengan aura murni diri dari dalam diriku.

"Apa lagi ini!" gumamku, menahan kekuatan yang terasa luar biasa.

Setelah berusaha sedikit menenangkan diri, aku kembali meneruskan perjalananku untuk pulang. Menjaga orang yang berada di rumah, seperti yang diinginkan oleh abangku, karena kini setan siluman anjing liar itu sudah datang, siap menuntut balas, atau hanya sekedar meneror warga.

Yang jelas hal ini tidak bisa lagi diabaikan, tabuh peperangan akan segera kembali menggenderang.

Selama perjalananku kembali ke rumah, terdengar berulang kali siluman itu melolong. Aumannya membahana memecah kesunyian malam yang terasa mencekam,-

membuat dada ini terasa semakin panas. Sesampainya di rumah, aku bergabung dengan nenek, Pak Waluyo dan Farida yang seperti sudah menantikan kepulangan kami. Aku pun menceritakan apa yang tengah aku alami. Aku sendiri merasa bingung dan bertanya-tanya,-

ada hubungan apa diriku dengan siluman itu? Farida dan nenek hanya diam saat mendengar ceritaku. Mereka juga tampak bingung karena mereka tidak mengerti yang terjadi padaku. Namun, berbeda dengan pak Waluyo yang tersenyum sembari menatapku, seakan Ia paham dengan keadaan yang kualami.

Melihat senyum pak Waluyo membuatku tiba-tiba teringat dengan keris yang diberikannya padaku. Benda ini! Apa keris kecil yang diberikan bapak angkatku sebagai pegangan, yang membuat benturan kekuatan itu muncul?

"Aku juga merasakan hal yang sama mas, seperti ditarik saat mendengar lolongan itu!" kata Farida memberitahuku.

"Kenapa kamu jadi sangat peka dengan sosok itu, Nduk?" tanyaku pada Farida.

"Karena ajian itu berhubungan dengan adikmu Le, makanya dia jadi peka dapat melihat dan merasakan kehadiran siluman itu." pak Waluyo menjelaskan lebih lanjut.

"Berhubungan bagaimana Pak?" tanya Farida.

"Jadi kamu itu terlahir dengan titisan darah empu dari pemilik ilmu tersebut, Nduk. Dan kesempurnaan dari ilmu itu akan tercapai jika dapat meminum darah yang manjing dalam tubuhmu!"

Kami terkesima mendengar penjelasan pak Waluyo. Namun, Farida terlihat hanya mengangguk tanda paham, tanpa ada aura ketakutan atau kecemasan yang muncul diraut wajahnya.

Jelas terlihat jiwa raganya sudah Ia persiapkan menghadapi semua ini dan Farida tampak seperti sudah jauh lebih paham tentang situasi ini.

***

Ketika malam semakin larut dan semua orang terbuai dalam mimpi, aku hanya bisa terbaring tanpa bisa memejamkan mata.

"Mas... mas Al...! suara Farida tiba-tiba memanggilku.

"Ya Nduk, kenapa?" tanyaku sambil berjalan memghampirinya.

"Siluman itu dekat disini mas!"

"Dimana wujud itu, Nduk?" aku menjadi semakin penasaran.

"Dia berdiri tepat dimana nyawa terakhirnya tercabut, Mas!"

Mendengar perkataan Farida, aku dan dia memutuskan untuk langsung memastikan hal itu. Kami berjalan keluar rumah dan menuju kearah lapangan, yang merupakan tempat dukun itu mati. Sesampainya di sana, kami melihat sosok pak Panjalu berdiri dengan kondisi yang sama persis seperti-

dulu, tulang-tulang yang bengkok patah, kepala terpecah, rantai yang masih melilit tubuh itu. Tatapnya mengarah tajam kepada kami berdua yang berada tidak seberapa jauh darinya.

"Opo karepmu Pak, iseh kurang ngowo gegeran ugo ngerenggut nyowo manungso?" (Apa mau mu pak, masih kurang membawa keributan juga sampai merenggut nyawa manusia) tanya Farida dengan penuh keberanian.

"Kafani... kafani... kafani...!" kata-kata itu berulang kali terdengar dari suara beratnya.

"Njalukmu dikafani, tinggalno rogo manungso iku, mula bakal tak kafani!" (Pinta mu dikafani, tinggalkan raga manusia itu, maka akan aku kafani) sambung Farida kembali.

"Kafani aku...!" suara itu kini semakin jelas terdengar.

Tiba-tiba secara perlahan, matanya berubah menyala seperti mata anjing, dan mulutnya menyeringai memperlihatkan gigi tajam dengan taring runcingnya! Eramannya menggema, menandakan situasi sudah tidak lagi aman.

Suatu saat ia bisa saja berubah wujud dan menyerang kami berdua. Melihat itu bukannya takut, justru Farida malah maju di depanku, seakan siap menghadapinya dan menjadi pelindung untuk diriku.

"Siap, Mas?" tanya gadis di depanku ini.

"Siap, Nduk!" jawabku sigap, walaupun masih belum tau maksudnya.

Tiba-tiba terdengar kemerut gigi dari sosok yang berada di hadapan kami. Lalu hanya sekedip mata, wujud itu berubah menjadi siluman bertubuh manusia, berkepala anjing hutan. Itu adalah wujud yang pernah aku lihat sebelumnya, saat berada di dalam goa alam ghaib.

***

Jiwa yang sudah menyatu dengan iblis, adalah jiwa yang penuh dengan keangakaraan, karena terkadang upaya untuk menyelamatkannya justru membuat manusia yang menolongnya terseret menuju kematian!

Kami berdua, kini berhadapan langsung dengan sosok yang telah berubah menjadi sosok setengah manusia dan setengah hewan, yaitu sosok manusia berkepala anjing liar.

Dari sorot mata dan geramannya terlihat keganasan luar biasa, siap mencabik-cabik gadis yang berada di depanku dengan cakarnya yang berkuku panjang dan tajam. Jika dia ingin melompat dan menerkam, tentu hal itu sangat mudah baginya karena jarak antara kami hanya beberapa meter saja.

Secara perlahan, bayangan hitam besar tiba-tiba mulai muncul dan memperlihatkan wujud raksasa hitam yang dipenuhi bulu. Genderowo ini merupakan perewangan sang dukun yang bersarang dari cincin yang dikenakannya semasa hidup dan menjadi kesaktian tersendiri buat Pak Panjalu.

"Mulai baca takbir mas!" suruh Farida.

Aku lalu mengikuti seruan adik angkatku itu, menggemakan lantunan takbir, mengEsakan asma Illahi.

Wusshh....!!

Tidak beberapa lama, tanpa hitungan detik, seketika kini kami sudah berada di dalam gua sarang lelembut.

Mataku belum bisa jelas melihat isi gua, karena sinar putih yang sangat menyilaukan memancar tepat dihadapanku.

Secara perlahan, kemudian sinar itu meredup dan masuk kedalam tubuh Farida.

Setelah cahaya menghilang aku bisa melihat Farida kini terlihat berbeda dengan balutan kemben dan jarik berwarna coklat. Sabuk gelang, juga busur, serta sarung anak panahnya semua terlihat berkilau keemasan.

Bagai Srikandi jika dalam tokoh pewayangan, namun ini wujud manjingnya sang titisan.

Arghhhhh....!

Geraman itu kembali terdengar, sebelum akhirnya siluman asu baung melompat, menyambarkan cakar tajamnya. Dengan piawai tubuhku digeser mundur oleh gadis yang kini bergelar 'Dewi Wuluh Baruno Jagad Praweswari'. Beberapa gerakan setelah mengamankan diriku.

Farida mencabut anak panahnya dan membidikkan tepat melesat kearah siluman itu.

Lesatan panah itu seperti cahaya.
Lalu terdengar ledakan yang sangat dahsyat, ketika anak panah itu mengenai dinding gua, membuat lugur (longsor), dan mengakibatkan bebatuan menghambur berserakan!

"Nduk...!" aku mencoba memperingatkan bahwa sosok itu mampu berkelit menghindar.

"Cabut kujang keris itu, Kang Mas!" suruhnya padaku.

Aku mengeluarkan apa yang dia maksud, benda yang tengah berada di tangan kananku tiba-tiba bergetar dengan sendirinya. Cahaya memancar dari benda tersebut. Gadis itu menunjuk benda itu dengan telunjuknya dan secara perlahan benda itu naik ke udara bergerak terbang mengitarinya.

Seperti dia gerakan, pusaka itu mengerlip bagai kunang-kunang yang mengitari raga Farida.

Kemudian cahaya yang memancar dari benda itu kembali masuk ke dalam tubuhnya, membuat dirinya mampu menatap tajam di antara angin yang menghembus kencang, memutari seluruh tempat ini.

Sungguh perpaduan yang menjadi kekuatan tanpa tanding dengan pamor kedigdayaan aji barang yang melebur dengan sumber diri.

"Allahu Akbar"!

Hanya lafas itu keluar dari mulutku, ketika menjadi saksi sebuah penglihatan yang tidak biasa.

Takjub dan kagum, itu yang kurasakan saat menyadari jika Farida adalah titisan Dewi.

"Jayabarut ingsun jumeneng dzat'tullah umadeg tengahing jagad, sakabehing mungsuh sakubeng ing cakrawala kang padha durhaka, krungu petak gelap sakethi, padha bedhah kupinge, pecah endhase"

Mendengar rapalan itu, bumi yang terpijak serasa gempa dan bergemuruh. Suasana menjadi hingar bingar, terdengar suara ribut yang berasal dari putaran angin. Tidak beberapa lama sosok di depan kami, terlihat menutup kedua telinga runcingnya itu dan menggeram kesakitan.

"Aaaaaaa.... aaaakkkkkkk....!"

Tampak bayangan hitam besar itu keluar dari dalam tubuh itu, lalu bersimpuh, beberapa kali terlihat sujud kesakitan, genderuwo yang menjadi pelindung diri sang dukun terbakar.

Wussshh....!!

Gemuruh itu kembali datang lebih dahsyat ketika dua ruh terlihat masuk bergabung di pertempuran ini. Tiba-tiba saja, Kang Armani dan Mas Pur tiba dan berdiri tepat di sebelahku. Mereka tampak gagah dengan kesigapan dan kesiapan sebagai wujud mereka dengan linuwih masing-masing.

"Ojo cumawe, iki dumadi urusanku!" (Jangan ikut campur, ini menjadi urusanku) ucap Dewi Wuluh Baruno Jagad Prameswari.

Kami secara bersamaan melihat ke arah kesatria wanita itu. Hanya diam tanpa menyuarakan apapun, menandakan persetujuan.

"Kang dumadi samubarang kasekten, Nur jagad Arjuno jaler, brojo sekti Adipati Songgo Bumi jumeneng manunggal manjing marang ingsun!"

Semua kekuatan yang ada dalam diri kedua laki-laki di sampingku langsung terhimpun menjadi cahaya yang perlahan terbang.

Seperti ditarik oleh kekuatan cahaya yang berasal dari anak panah, akhirnya menjadi satu dengan cahaya yang berwujud anak panah yang siap di bidikan oleh Farida. Ketika kelipan itu menjadi satu, itu menandakan memusatnya kanuragan mereka.

Kemudian panah itu langsung dilepaskan dan mengenai siluman anjing yang membuatnya terlempar dan berguling beberapa meter, menghantam batu besar dengan anak panah menancap di dadanya.

Duarrrrr....!

Kembali suara gelegar sekeras halilintar terdengar, cahaya itu memecah, menghancurkan siluman asu baung itu. Bersamaan dengan hancurnya asu baung, tiba-tiba raga Pak Panjalu terjatuh ke tanah tanpa bergerak sama sekali.

Mayat itu kini telah kehilangan semua kesaktiannya, hanya raga busuk dengan kondisi memprihatinkan.

"Pati kerona pengeran, wangsul ing kersoning pengeran!"

(Mati kehendak Tuhan, kembali karena kehendak Tuhan) kata itu terucap menjadi pengakhiran musnahnya ajian asu baung, dan kembalinya raga sang dukun. Kami menghembuskan nafas lega, dan menucapan lantunan ucapan syukur.

Sunggingan senyum titisan Dewi itu mengakhiri semuanya, sampai kemudia alam kembali normal. Kini kami semua tepat berdiri di tempat pak Panjalu meninggal, dan mayat itu juga tertelungkup berada di tempat semula.

***

Akhirnya mayat pak Panjalu sudah dikuburkan dengan selayaknya, terbungkus kafan seperti manusia pada umumnya. Disholatkan juga disucikan.

Namun kehendak kembali diri sejatinya itu hanya kehendak sang pencipta. Semua manusia harus mempertanggungjawabkan kesalahan juga dosa masing-masing, yang perlu diambil hikmah dari peristiwa ini, jika mengembalikan kematian seseorang itu memiliki tata cara juga sarana.

Dia yang sudah mati, semoga diberikan ketenangan. Dan untuk yang membuat kematian itu semoga diberikan pengampunan.

Kesalahan yang diganjar dengan perbuatan yang salah juga, hanya akan memperkeruh keadaan dan memperdalam kesalahan itu sendiri.

Semuanya sudah seharusnya kembali ke Tuhan sang penegak kesalahan umat Nya, kita hanya cukup selalu berbenah, memohon perlindungan, dan pengampunan.

Hari ketujuh dari peristiwa ini telah usai, kehidupan dengan bayang kengerian telah berakhir, menyisakan ngilu yang membayang.

Meninggalkan kesedihan dalam dua kematian yang berbeda. Menjadikan gambaran bahwa kebatilan itu hanya akan menuai kesengsaraan, dan mendapat ganjaran tanpa pengampunan.

Kepala preman juga meningal setelah dua tahun merantau, dan terdengat kabar jika dia mati secara tragis dibunuh oleh orang.

Terkadang sambungan takdir itu tidak terduga, namun kehendak Tuhan itu nyata adanya, dan itu yang selalu dinamakan karma.

***

Demikian sekelumit kisah tentang suatu peristiwa, semoga kita bisa mengambil hikmah dari kisah ini.

Alhamdulilah jika menuai manfaat, dan kesampingkan hal negatif yang terkandung didalamnya.

Sampai jumpa lagi dikisah selanjutnya.

-TAMAT-

Sebelum saya tutup cerita ini. Saya akan sedikit membagikan informasi, kalau cerita selanjutnya akan sedikit lebih seram. Tentang santet & tumbal. Menghabiskan 12 keturunan.
close