Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KAFANI AKU (Part 3)


Angkoro kang tumempram ing jagad bakal sirno kanti ilmu sejaten, ilmu ingkang hak, kerono kersoning pengeran kang anggadahi panguripan.


Suasana semakin mencekam. Aura mistis pun semakin terasa. Temaramnya cahaya menjadi pelengkap kengerian yang hadir di malam ini. Secara perlahan, manusia berbentuk kepala anjing itu mulai melangkah maju dengan pedang dalam genggaman tangan kanannya, sementara tangan kirinya memperlihatkan cakar kukunya yang panjang.

Arghhhhhh.....!!!

Geraman pertanda dimulainya peperangan terdengar mengelegar. Ia menyabetkan pedangnya ke arah pak Kyai, namun sabetan pedang yang melemparkan api itu dengan mudah ditepis oleh pak Kyai.

Hembusan aura api, bercampur angin yang sangat kencang menerpa kami, terasa sangat panas. Adipati langsung melompat dan berusaha menikamkan keris bercahaya putih itu, tetapi kegesitan pak Panjalu juga tidak bisa dianggap remeh.

Dengan kelihaiannya, secepat kilat dia mundur beberapa depa dan kemudian tiba-tiba telah berdiri di atas sebuah batu besar, posisinya lebih tinggi di antara kami

"Aji nur Jagad tumampi kersoning pengeran, hu'Allah."

Kemudian melesatlah anak panah itu tanpa bisa ditepis olehnya. Hujaman panah itu, tepat mengenai dada kirinya, hingga dengan mudahnya membuat sosok itu tersungkur dan jatuh.

Apakah hanya semudah ini wujud menyeramkan itu dapat dikalahkan? Ternyata tidak, hujaman panah mematikan itu hanya membuat satu ekor siluman anjing yang terkapar mati, lalu jasadnya secara perlahan melebur menjadi abu dan terbang tertiup angin.

Namun, raga sejatinya masih utuh dengan enam nyawa lagi dari prewangan aji asu baung itu! Perlahan, Ia bangkit kembali dan mengacungkan senjatanya, seolah-olah memberitahu kepada kami, jika pertempuran ini belum berakhir.

Tantangan itu masih dilayangkannya sebagai bentuk keberaniannya.

"LA FATAILAA ALII WALAA SAIFAA ILA ZULFIQAR"

Terdengar ucapan dari Kyai Rogo Sejati, disebatkannya pedang itu hingga mampu membuat tanah terbelah, menggugurkan dinding bebatuan di sekeliling siluman itu, hingga membuatnya terperosok masuk ke dalam tanah dan Ia tertimbun bebatuan. Hal itu menyebabkan guncangan yang dahsyat. Kami merasa seperti ada gempa di area ini.

"Pegangan, Pak!" teriakku pada pak lurah yang ikut terjengkang jatuh.

"Gapapa Mas, ga papa!" jawabnya dengan kembali berdiri.

Tanah yang masih bergerak hebat semakin menghimpit dan menimbun sosok itu sampai tak terlihat lagi. Melihat hal itu, kami merasa sangat lega.

Kami semua serempak mengucapkan kata syukur. Namun ternyata kelegaan kami tidak berlangsung lama. Ketenangan goa yang kami rasakan tiba-tiba menghilang, seiring dengan suara gemuruh yang muncul.

Ternyata gemuruh itu berasal dari gundukan puing bebatuan itu terlihat kembali bergerak dan bergetar dengan hebatnya!

"Pak lurah kalian Gus Al, mang tutup paningal!" (Pak lurah dengan gus Al, silahkan pejamkan mata) terdengar suara pak Kyai menyuruh kami berdua memejamkan mata.

Sekilas sebelum mataku benar-benar terpejam, aku melihat dari dalam gundukan batu itu secara perlahan sosok siluman itu sedikit demi sedikit mengeluarkan cakarnya, lalu kepalanya pun secara perlahan juga mulai terlihat.

Saat langkah pak Kyai berdiri tepat di hadapanku, baru aku sepenuhnya menutup kedua mataku. Semua terasa gelap dan sepi, hanya terpaan angin yang terasa menghembus dan menerpa wajahku, dan ketika aku membuka mata, ternyata kami berdua sudah berdiri di dalam rumah milik pak Panjalu.

Namun mereka bertiga dan sosok itu sama sekali tidak terlihat. Masih berada didalam alam astral, melanjutkan kembali pertarungan mereka, tanpa kami bisa menyaksikannya.

"Mas, ditunggu di luar saja gabung dengan warga yang lain!" ajak pak lurah padaku.

"Iya Pak, mari!" aku menyahuti ajakan beliau.

Di luar rumah masih ada beberapa orang yang menunggu dengan posisi tetap berkerumun sembari menggobrolkan kejadian di dalam. Mereka menghampiri dan mendekati kami berdua yang berjalan keluar halaman rumah.

Pertanyaan warga langsung membombardir kami, mempertanyakan kejadian di dalam. Pak lurah mulai menjelaskan kronologis peristiwa yang terjadi di dalam rumah. Setelah itu, kami semua menjauh dari rumah Pak Panjalu, di tengah jalan yang tidak seberapa jauh letaknya, dan tetap melihat ke dalam rumah angker itu sembari menunggu hasil pertempuran yang sedang berlangsung.

Malam perlahan berlalu, dan tak terasa sudah memasuki waktu subuh. Kami akhirnya pergi meninggalkan tempat itu, kembali ke rumah masing-masing. Meninggalkan mereka yang masih dengan misterinya,-

entah seberapa lama mereka keluar lagi, bahkan keadaannya akan seperti apa, kami semua juga tidak tau. Hanya panjatan doa yang bisa kami berikan untuk keselamatan Pak Kyai dan kedua muridnya!

***

Tiga hari berlalu tanpa ada kabar dari ketiganya. Mereka belum kembali pulang dengan hasil kemenangan seperti harapan kami, masyarakat di kampung ini.

Justru kecemasan itu kini menyelimuti kami yang berada di rumah, Kami menghawatirkan keselamatan mereka yang berada di dalam alam lain, dan sedang melakukan pertempuran dengan siluman asu baung sakti itu.

Panjatan doa selalu kami lantunkan tanpa pernah berhenti di lima waktu dalam sujud. Mengharap perlindungan Dzat pencipta jagad dan berserta isinya, karena kami yakin bahwa sebuah pengharapan hanya dimohonkan ke hadirat Nya saja.

Kami pun merengkuh keyakinan, bahwa jika ini menjadi kehendak, pasti sudah tertulis sebelumnya.

"Mas, makan dulu!" kata Farida siang ini.

"Iya nduk, nanti saja." jawabku dengan masih bersila dalam kamar.

Pintu kamar terdengar ditutupnya. Aku melanjutkan aktivitasku, bermunajat dengan berdzhikir. Meskipun hanya ini yang bisa aku perbuat, berupaya menghadirkan pelindung dari luar dimensi.

Aku berharap energi murni yang terkirim melalui sumber positif, akan diterima oleh pemilik sumber yang sama.

Dalam hening, aku melihat gambaran jika pertempuran itu masih berlangsung, kilatan-kilatan cahaya berbagai kedigdayaan berterbangan bagai pilar yang benderang dalam gelap. Gemuruh itu terdengar dalam pendengaran ini, retaknya bebatuan juga pasir-pasir yang terus menggugur.

Berulang kali terdengar bunyi ledakan saat cahaya itu saling beradu.

Nampak singa besar dengan berambutkan api juga terlihat bertengger di salah satu batu. Dengan mata menyala, sosok itu berdiri menyaksikan semua yang terjadi dihadapannya.

Ia merupakan sebuah qodham yang berasal dari dalam diriku. Tanpa membantu hanya sesekali mengaum keras!

"Le... le..." nenek memanggil dari luar kamar.

Aku membuka mata, meninggalkan pertempuran yang terjadi di dalam sana. Kemudian aku bangkit dari dudukku, melipat sajadah, dan mengalungkan kembali tasbih hitam ke leherku. Lalu aku bergegas menghampiri nenek, yang sudah berdiri menunggu di depan kamar.

"Sampean ki ngopo le? Kok kemerlop seko njero kamar katon seko njobo!" (Kamu itu ngapain nak? Kok cahaya dari dalam kamar terlihat dari luar) tanya nenek ku.

"Namung mujadahan mbah!" (Hanya bermunajat nek) jawabku menenangkan beliau.

"Ora usah melu-melu urusan.e sing tuwo, cukup ndongakke wae seko kene. Mugo-mugo kabeh pinaringan Slamet!"

(Tidak usah ikut-ikutan urusan orang dewasa, cukup mendoakan saja dari sini. Semoga semua diberikan kesehatan) imbuh nenek, yang lalu duduk di kursi ruang tamu dan di situ sudah ada Farida yang menunggu kami.

Aku mengikuti langkah beliau duduk berdampingan, sambil menunggu nenek berbicara, aku memperhatikan nenek yang tengah mengusapkan gambir ke daun sirih itu, sampai digulungnya lalu mengunyah.

Kemudian beliau memberikan gambaran dalam kehidupan dengan pandangan ilmu Tuhan.

"Lelampah tanpo dunung ngelmu iku bakal kejluntrung peteng ati lan paningal. Ojo dadi pangugem yen bongso alus kui kang weweneh pitulung. Kui mau kleru!"

(Mengamalkan ajaran tanpa berbekal ilmu itu hanya akan menjerumuskan gelapnya hati dan penglihatan. Jangan jadi pedoman jika bangsa jin itu yang memberikan pertolongan. Semua itu salah) nenek memberikan nasehat perihal mengenai ilmu hitam dukun itu.

Aku dan Farida fokus menyimak wejangan dari nenek dan mengambil inti dari wejangan itu.

"Ojo miloro rogo amergo luput anggone lelaku." (Jangan menyakiti raga karena salah saat mencari ilmu) imbuh beliau.

"Mbah bade tanglet!" (Nek mau bertanya) kata adik angkatku itu.

"Nggih nduk." (Iya nak) nenek mempersilahkan.

"Nopo mboten wonten ingkang saget pitulung kalian manungso bileh lepat anggenipun mlampah dumados ngelmu puniko mbah?"
(Apa tidak ada yang bisa memberi pertolongan dengan manusia jika salah dalam mencari suatu ilmu itu mbah) tanya Farida.

"Ngelmu sejati ning elmu iku, peparing gusti kang moho kuosa nduk. Bilih luput anggone nggegayuh, kang biso paring pitulung amung awek.e dewe tanpo prantoro kaliyo-liyane!"

(Ilmu sejatinya ilmu itu, pemberian Tuhan yang maha kuasa nak. Jika salah ketika mencapai suatu tujuan 'berguru, menuntut ilmu', yang bisa menolong hanya dirinya sendiri tanpa perantara siapapun juga) kata nenek memberikan penjelasan.

"Dados mekaten njih mbah!" (Jadi seperti itu ya nek) Farida menjawab dengan kepala manggut-manggut pertanda dia memahami perkataan nenek.

"Mulo sinau iku kudu nganggo ati kang ikhlas, duweni tujuan amung marang kasejaten, kumanti landasaning krono lillahi!"

(Makanya belajar mencari ilmu itu harus memakai hati yang ikhlas, memiliki tujuan hanya untuk kesejatian, dengan landasan kepada Allah Swt semata) kata penutupan dari beliau sebelum kembali masuk kedalam kamar nya.

Kini hanya kami berdua dalam kebisuan masing-masing menelaah semua kata kesepuhan itu, mendalami makna, juga menggali inti sebuah pembelajaran perihal mencari ilmu. Adab tentu wajib disertakan, dan utamanya tujuan adalah hanya mencari ilmu keEsaan Tuhan.

Kemudian gadis muda disebelahku ini bangkit dan berpamitan untuk ke dapur menyiapkan makan siangku.

***

Patuh, hormat, taat, dan memaknai amanah sang guru adalah adab sebagai seorang murid.

Ilmu dapat diturunkan jika sang pemilik ilmu ridho juga ikhlas sepenuh hati membimbing.

Untuk itu, sambungan benang ilmu tidak akan pernah terputus sampai tujuh fase kehidupan.

Siang itu, dengan luapan perasaan yang tidak menentu, aku hanya duduk berdiam diri, masih menunggu keajaiban sembari terus melantunkan doa. Tanpa henti aku terus bermunajat, memohon agar segala sesuatu yang sedang diperjuangkan segera menuai titik akhir.

Berharap Kyai beserta muridnya dapat kembali dengan selamat.

Tak terasa waktu terus berjalan. Siang berganti malam. Hari pun telah berganti, namun semua pertanyaan masih menjadi misteri, bagaimana akhir kisah ini?

Empat malam sudah Kyai dan juga kedua muridnya belum kembali. Hal ini menimbulkan keresahan tersendiri untuk kami, masyarakat kampung. Hanya ada satu orang yang mampu untuk tetap tenang, yaitu nenek.

Ya ... nenekku, yang dengan keyakinannya bahwa jika Allah maka akan berpihak pada kebenaran serta memberikan perlindungan dan jalan untuk pulang. Meski tidak tau kapan waktu itu akan tiba.

***

"Kamanungsan kang anggadahi iman anamung sumeleh marang Gusti pengeran, tanpa kejobo liyo lan liyanne!" (Manusia yang memiliki iman hanya berserah kepada Tuhan, tanpa adanya lain dan yang lainnya lagi)

Kata-kata itu beliau ucapkan setelah Ia pulang dari masjid. Dan malam ini adalah malam keempat namun belum ada kabar apapun. Meskipun samar, terlihat sebuah siratan kesedihan yang tertahan dalam hati nenek.

Menunggu cucunya tanpa ada kepastian, tentu menjadikan luka tersendiri bagi orang yang sudah sangat tua itu. Meluruskan yang selayaknya
diluruskan, membenarkan yang mesti dibenarkan. Merupakan tujuan mulia untuk mencapai sebuah kelayakan bagi manusia yang salah meniti jalan kehidupan.

Kepedulian tanpa ukuran dan tanpa batas, sudah selayaknya dilakukan untuk mengambil peran sebagai sesama manusia, dan menjadi pedoman kewajiban demi ketentraman semua penduduk.

"Tuhan semua ini untuk apa?" tanyaku dalam hati.

Masih dalam diam dalam lamunan, tidak lama terdengar suara salam dari luar dengan mengetuk pintu rumah.

"Assalamuallaikum."

"Waallaikumsalam, monggo!" jawabku, sambil membuka pintu.

Bapak angkatku tiba-tiba datang malam ini, tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Sepertinya pak Waluyo sudah terpanggil secara batin, dan sudah bisa ditebak, walau beliau jauh, namun Ia sudah tau semua peristiwa disini melalui telepati yang dibacanya dengan perantara jiwa ketujuh putrinya.

Yaitu Farida.

"Loh bapak, kalian sinten pak tindak mriki, monggo pinarak!" (Loh bapak, dengan siapa pak datang kemari, silahkan masuk) Aku menyambut pak Waluyo.

"Bapak dewe le, endhi adikmu?" (Bapak sendirian nak, mana adik kamu) tanya beliau, dengan masuk kedalam dan duduk di ruang tamu.

"Sekedap pak, kulo timbali, nduk Ida nembe istirahat!" (Sebentar pak, saya panggil, dek Ida sedang tidur) jawabku dengan memberi tahu.

"Wes ora usah le, sampean wae lungguh kene karo bapak. Ono wigati sing arep bapak kandhani marang sliramu!"

(Sudah tidak usah nak, kamu saja duduk sini dengan bapak, ada kepentingan yang ingin bapak sampaikan pada kamu) kata pak Waluyo dengan tatapan serius.

Aku duduk menghadap kearah orang tua angkatku ini, menunggu Ia memulai pembicaraan. Bisa kutebak, tentu saja ini pasti menyangkut dunia spiritual, kebatinan yang memiliki hubungan dengan kasus yang tengah terjadi saat ini!

"Dadi pean kudu jogo adik mu kanti ati-ati le, amergo ajian asu baung iku ngarah jiwo murni kang tinuju marang Ida!"

(Jadi kamu harus jaga adikmu dengan hati-hati nak, karena ajian asu baung itu mencari jiwa suci yang ditujukan ke Ida) jelas ayah Farida dengan sedikit kecemasan.

"Loh kok saget Farida pak, ingkang dipun incer kalian lelembut puniko?" (Loh kok bisa Farida pak, yang di incar oleh Setan itu) tanyaku dengan heran.

"Amargo adik mu duweni darah suci katurun soko titisan kanjeng ratu, iku kang dadi kasekten pukasan ajian asu baung, bilih biso nyampurnaake soko getih kang di duwenni adik mu!"

(Karena adikmu memiliki darah suci keturunan dari titisan Kanjeng Ratu 'nyai roro kidul', itu yang menjadi kesaktian Pamungkas ajian siluman anjing, jika bisa mencapai kesempurnaan dari darah yang dimiliki adik kamu) Kembali penjelasan pak Waluyo.

Aku sangat terkejut mendengar semua penjelasan itu. Aku masih tidak percaya jika semua ini ternyata ada kaitan dengan Farida. Sekarang aku baru paham jika ternyata kelahiran adik angkatku itu masih memiliki penitisan ratu pantai selatan.

Pantas saja selama ini dia dapat melihat semua ini dengan gamblang. Dan seperti sebuah sinyal, jika kedatangannya kesini sudah menjadi utusan untuk mengakhiri kegentingan ini.

Pak Waluyo memberikan penjelasan panjang lebar, jika ternyata ajian siluman itu di dapat pak Panjalu dari hasil menuntut dari pantai selatan. Asu baung adalah wujud keabadian sebuah ajian kesaktian, dan manusia menganut ilmu itu akan menjadi kebal, sakti mandraguna.

Jika mengalami kematian, maka raganya akan berubah menjadi siluman anjing dan mengabdi di istana laut selatan.

Semua penjelasan pak Waluyo, memberikan wawasan baru bagiku tentang pengetahuan asal muasal sebuah ilmu hitam dan ilmu kesaktian yang memiliki bermacam persyaratan.

Ternyata ilmu ini akan sangat sempurna jika sang pemilik ajian ini dapat meminum darah dari seorang gadis yang masih memiliki darah titisan.

Obrolan kami yang panjang dan lebar sampai membangunkan Farida. Kemudian dia keluar kamar lalu menyalami bapaknya dan ikut duduk dengan kami.

"Kok bapak ndalu sanget, wonten wigati nopo pak?" (Kok bapak malam banget, ada masalah apa pak) Farida bertanya dengan nada kecemasannya.

"Ora ono opo-opo nduk, bapak namung ngungak slirane kalian kangmas mu Al wae, kabeh podo sehat to?"

(Tidak ada apa-apa nak, bapak hanya menjenguk kamu juga kakak mu Al saja, semua pada sehat kan) Kata pak Waluyo menyembunyikan tujuan beliau datang kemari.

Sebelum Farida keluar tadi, pak Waluyo sudah memberikan sebuah keris kecil dengan ukiran naga kepadaku. Benda itu beliau titipkan sebagai senjata perlindungan untuk menjaga adikku jika suatu saat nanti kami bertemu atau sempat bertempur dengan siluman itu.

Meskipun hati kecilku awalnya menolak, karena aku pribadi sangat tidak suka dengan namanya ajimat atau pun barang keramat seperti ini. Namun kini hanya aku tawasulkan bahwa ini hanya perantara sebuah benda dengan khodam di dalamnya, penolong akan semua kehidupan hanya Dzat semesta alam.

Tiba-tiba, terdengar titir kentongan memanggil semua penduduk. Bunyi yang menjadi pertanda jika ada kegentingan yang tengah terjadi di malam ini. Kami semua berhamburan keluar rumah menuju sumber suara kentongan itu!

"Pak wonten nopo niki?" (Pak ada apa ini) tanyaku pada salah satu warga disitu.

"Kulo ugi mboten ngertos gus, monggo sareng tindak mriko!" (Saya juga tidak tau gus, mari barengan saja kesana) jawab warga itu.

Aku mempercepat langkah ketika kulihat kerumunan orang di simpang jalan menuju pemakaman itu. Terlihat orang-orang itu mengelilingi sesuatu di tengah-tengah mereka, apapun itu ingin rasanya segera sampai kesana, dan melihat apa yang sebenarnya tengah terjadi!

Sampainya di kerumunan itu aku langsung menerobos masuk kerumunan warga.

Terlihat kang Armani yang masih duduk memangku pak Kyai yang terpingsan, dengan darah keluar dari sudut bibir juga hidung beliau, menandakan luka dalam tengah di terima oleh pak Kyai.

Sementara sang anak masih terlihat kepayahan dengan nafasnya yang masih ngos-ngosan, ia tampak berusaha memulihkan tenaga.

Suasana begitu hening, sampai tidak beberapa lama terdengar dalam tangis suara kang Armani mengucap....

"Innalillahi wa'innailaihiroji'un."

Terlihat tangannya dengan gemetar menutupkan mata ayahandanya yang berpulang menuju kepulangan ke rahmat tullah. Semua warga masih tertegun menyaksikan itu, belum ada yang berani mendekati jasad itu.

"Monggo dipun angkat mawon!" (Mari di angkat saja) pintaku pada seluruh warga.

Lalu mereka semua menyambut tubuh pak Kyai, dan aku memapah kang Armani yang di bantu oleh Arif adiknya. Kami semua langsung membawa pulang ke rumah mendiang, agar segara disucikan, lalu mengafaninya

Beberapa warga juga sudah bertugas menggali makam malam itu juga. Terlihat kang Armani pun ikut memandikan almarhum dengan tatap kesedihannya. Tidak luput dari bu Nyai, dan kedua adiknya yang sangat dirundung kedukaan terduduk dalam tangis.

Aku ikut mengguyurkan air bunga itu, menggotong tubuh yang sudah mulai kaku itu, meletakan ke sebuah meja yang sudah terdapat kain kafan, kapur barus, juga kapas di sana.

Mbah Muhroji selaku sesepuh desa langsung membungkus jasad itu, diikat membentuk pocong, lalu kami semua mengangkat menaruh di keranda, menutup dengan kain hijau bertuliskan kalimah syahadat.

Setelah mendapatkan ijin dari kang Armani, keranda itu digotong menuju masjid, untuk di sholatkan.
Sholat ghaib selesai tepat pukul tiga dini hari jasad itu disemayamkan. Semua prosesi itu diarahkan langsung oleh anak tertua Almarhum.

Dan hingga sebelum subuh semua warga sudah menyelesaikan pemakaman pak Kyai.

Sebuah kematian telah tejadi. Sebagai bentuk perjuangan mulia, yang hanya ingin menolong manusia agar dapat ketenangan dalam alam baka.

Namun justru takdir ini menjadi perjalanan akhir beliau. Beliau selalu memanusiakan manusia, maka jamah menyambutnya sebagai suhada illahi. Semua prosesi pemakaman beliau dimudahkan Tuhan, semua proses sangat cepat hingga tanah menutup jasad beliau.

Sehabis sembahyang subuh aku menuju rumah duka, membacakan tahlil juga yasin dengan seluruh warga. Sebelum semuanya kembali pulang, pagi itu aku hanya duduk di samping rumah mendiang, melihat warga yang mulai sibuk mempersiapkan makanan juga tempat untuk para pelayat.

Ingin rasanya menanyakan perihal abangku, kenapa tidak ikut pulang dengan kang Armani, apa dia baik-baik saja, atau sebaliknya?

Tiba-tiba, pundakku ditepuk oleh kang Armani yang lalu duduk di sebelahku.

"Sehabis ini aku mau nyusul mas mu, dia masih disana. Aku hanya pulang nganter bapak!" katanya memberitahuku.

"Kang, biar aku saja. Tuntun saja aku, disini tentu keluarga masih sangat membutuhkan pean, Kang!"
Kataku, membalas perkataannya.

"Ini kehendak, ini harus segera diselesaikan. Bapak sudah waktunya kembali, hanya tinggal kita yang masih hidup melanjutkan perjuangan beliau. Menegakkan Amal ma'ruf nahi munkar!" Imbuh kang Armani.

"Iya kang, kapan kita berangkat?" tanyaku kembali.

"Nanti aku kabari Gus, kamu pulang dulu, minta restu pada mbah Pairah, hanya itu yang bisa menjadi penuntun!"

Aku pulang ke rumah, menyampaikan apa yang akan kami berdua lakukan, untuk kembali ke dalam dimensi astral menyelesaikan yang belum selesai,-

membawa kembali pulang yang semestinya dibawa pulang. Dan hanya Restu dari nenek yang mesti aku bawa, doa itu yang akan melindungi dimana kaki ini akan berdiri nanti.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close