Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KEJAWEN - Titik Pertemuan Agama Islam dan Budaya Jawa

JejakMisteri - Seperti yang kita ketahui bahwa Kejawen dikenal sebagai agama asli Jawa yang sampai sekarang banyak sekali yang menyangkal hal ini, padahal sejatinya Kejawen bukanlah agama asli Jawa melainkan Islam itu sendiri. Dalam pengertian yang sebenarnya Kejawen merupakan hasil akulturasi antara budaya Jawa dengan Islam yang dilakukan oleh Wali Songo.
Berdasarkan buku Induk Ilmu Kejawen – Wirid Hidayat Jati, karya Damar Shashangka yang menjelaskan bahwa tidak dikenal dan ditemui sebuah istilah Kejawen pada manuskrip lontar masa Majapahit atau sebelum Majapahit sebab jika Kejawen dianggap sebagai agama Jawa karena ajaran spritual asli leluhur tanah Jawa yang belum terkena pengaruh budaya luar mestinya sudah ada sebuah istilah Kejawen yang tertulis pada lontar lontar maupun tergugat pada Prasasti sebelum islam masuk ke Jawa.

Dalam ajaran Kejawen sendiri malah sering ditemukan istilah-istilahyang berasal dari bahasa Arab contohnya Khodam, Wirid, dan Tirakat adalah penjawaan dari kata Arab, thariqah yang bermakna “Jalan yang Dilalui”, Suluk, Ngelmu, yang merupakan kosakata Arab. Apabila Kejawen dipahami sebagai Agama Jawa dan ajaran spiritual asli leluhur Jawa, tentu akan mempergunakan kosa kata Jawa Kuno atau Kawi, bukan menggunakan kosakata Arab dan sebuah fakta bahwa istilah Kejawen baru ada ketika Islam berkembang di Jawa.

Dikarenakan Kejawen adalah titik temu Islam dan Budaya, alkulturasi dan proses perpaduan antara tasawuf Islam dengan ajaran Jawa yang diprakarsai oleh Wali Songo. Maka dari itu Kejawen dapat disebut sebagai ajaran untuk menarik pemeluk agama lama kepada ajaran Islam dengan cara yang halus. Dahulu orang Jawa tidak memiliki agama resmi sebelum masuknya agama-agama Mancanegara sebagaimana seperti Hindu, Buddha, Islam, Kristen. Ajaran spiritual asli leluhur tanah Jawa bersifat cair, tidak ada aturan hukum yang tegas dan kaku oleh karena itu, leluhur Jawa lebih bersikap legawa atau menerima segala keyakinan baru yang masuk ke Jawa.

Tidak ada penamaan khusus terhadap ajaran spiritual asli leluhur Jawa karena penamaan Kejawen sebagai Agama Jawa tanpa dasar apa pun, sangat jelas jika Kejawen bermuatan Tasawuf dan banyak doa-doa dalam ajaran Kejawen bernuansa Islami. Sebagai contoh doa jika hendak tidur yang sudah jadi warisan Sunan Kalijaga di bawah ini :

Niyatingsun aturu, badanku gumuling, molekat sumandhing, iman tetep, ati madhep ing Allah, lah ora ana baya-bayane, Allahu Allahu Allahu (kabanjurake nganti turu).

Terjemahan :

“Aku berniat tidur, badanku merebah, malaikat menyanding, iman tetap, hati menghadap kepada Allah, tiada bahaya apa pun. Allahu, Allahu, Allahu, (dibaca hingga tertidur).”

Wirid Hidayat Jati yang merupakan kitab utama rujukan bagi para penghayat Kejawen yang didalamnya membahas mengenai ajaran Martabat Tujuh menggambarkan salah satu ajaran tasawuf yang mulai populer di Nusantara sejak awal abad ke-15 dan 16 yaitu Tuhan yang wajib al-wujud dan menampakkan diri (dalam ciptaan-Nya), Kitab Wirid Hidayat Jati yang merupakan adhi karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, pujangga agung Kasunanan Surakarta yang telah mengumpulkan semua ajaran spiritualitas Wali Songo dalam sebuah karya sastra indah berbahasa Jawa Baru.

Selain Wirid Hidayat Jati, ada pula naskah yang lainnya yang menjadi rujukan bagi penganut Kejawen antara lain Naskah atau Serat Dewa Ruci yang di dalamnya mengajarkan penyatuan hamba dan Tuhan apabila seorang Salik (penempuh jalan Tasawuf) telah menyucikan dirinya dari kotoran batin. Seorang Salik menjadi suci dan hubungan kepada Tuhan semakin dekat bahkan hingga tak ada lagi jarak antara Kawula (hamba) dengan Gusti. Keilmuan ini yang dalam spiritual asli leluhur Jawa disebut Manunggaling Kawula Gusti. Dalam Serat Dewa Ruci disimbolkan dengan masuknya Bhima ke dalam telinga Dewa Ruci.
Serat Dewa Ruci yang sebelumnya bernama Rontal Sanghyang Nawaruci karya Mpu Siwamurti pada zaman Majapahittidak bernuansa Islam tetapi bernuansa Syiwa-Buddha. Pada perkembangan selanjutnya, Rontal Sanghyang Nawaruci tersebut disalin oleh Raden Ngabehi Yasadipura I bersama putranya Raden Ngabehi Yasadipura II (yang merupakan Kakek Raden Ngabehi Ranggawarsita). Para pujangga agung Kasunanan Surakarta mengadopsi dan memadukan naskah kuno Rontal Sanghyang Nawaruci ke dalam nuansa Tasawuf Islam menjadi Serat Dewa Ruci.

Dapat dipahami bahwasanya Kejawen bukanlah Agama Jawa yang sudah ada sebelum agama-agama Mancanegara masuk ke Jawa. Agama asli Jawa sejatinya hingga kini belum diketahui namanya atau memang tidak tidak memiliki nama. Ajaran spiritual asli Jawa yang sedemikian kaya serta memiliki keberagaman pengetahuan warisan leluhur yang adiluhung sehingga tidak ada nama khusus yang tersemat. Ajaran spiritual asli Jawa yang bersifat cair, tidak ada aturan hukum yang tegas dan kaku, serta tanpa tersekat oleh sebuah “nama agama” membuat leluhur Jawa lebih bisa bersahabat dengan menerima keyakinan pendatang.

Ajaran Kejawen sebenarnya bukan merupakan Agama Jawa tetapi campuran (sinkretisme) antara Jawa dan Islam dengan perpaduan beragam dari beberapa pemahaman kepercayaan atau aliran-aliran agama kalau pun diklaim sebagai Agama Jawa maka tidak terdapat fakta yang kuat karena tidak dikenal dan ditemui istilah Ajaran Kejawen pada lontar maupun prasasti masa Majapahit atau sebelumnya Majapahit.

Referensi:
- Damar Shashangka, Induk Ilmu Kejawen: Wirid Hidayat Jati, diterbitkan Penerbit Dolphin, Jakarta, 2014.

- Damar Shashangka, Serat Dewa Ruci: Sastra jendrahayuningrat Pangruwating Diyu, diterbitkan Penerbit Narasi Yogyakarta, 2019.

- Prof. Dr. Simuh, ‘Mistik Islam kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita: suatu studi terhadap serat Wirid Hidayat Jati’, diterbitkan Penerbit KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta, 2019.
Salam Rahayu

close