Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PERJALANAN HITAM - Pesan Dari Alam

JejakMisteri - Jarum jam akan menunjuk angka tiga tatkala Pak Danu bangkit dari duduk. Ia baru saja usai melapor. Setelah bersalaman dengan Pak Kades beserta istrinya, ia pamit undur diri, keluar dari rumah Kades Kampung Laut tersebut, dan kembali pulang.
Kampung Laut, merupakan desa yang ada di Pulau Hitam, pulau sebelah selatan Nusa Kambangan. Menjadi satu-satunya pemukiman warga yang ada di pulau terpencil dan dikelilingi lautan itu menjadikan desa ini lumayan jauh dari peradaban, sehingga perekonomian dan fasilitas umum di sana masih sangat minim.

"Kuharap... setelah melapor, Pak Kades bisa membantu," gumamnya lirih dengan wajah muram.

Sepanjang perjalanan menuju rumah, perasaan laki-laki empat puluh lima tahun itu tak henti berkecamuk. Pasalnya, Elang dan Bena tidak pulang sejak kemaren sore. Sudah semalaman ia berkeliling ke satu per satu rumah tetangga untuk mencari. Namun, hasilnya nihil. Hingga dini hari ini, kedua anaknya itu masih belum diketahui di mana keberadaannya.

"Aku harus mencari ke mana lagi? Seluruh desa sudah kususuri." Ia sejenak berhenti, menghela napas panjang dan mengembuskannya dengan kasar. "Entahlah. Nanti pagi, harus kucari lagi."

Setelahnya, Pak Danu melanjutkan perjalanan sembari mengeratkan jaket ke tubuh rapat-rapat. Udara lebih dingin dari biasanya, menembus kulit bahkan menusuk hingga ke tulang. Meski menjadi warga laut yang terbiasa dengan suhu rendah, tetapi entah mengapa, kali ini terasa berbeda.

Sunyi. Hanya suara tapak sandal jepit bututnya memecah hening. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling, rumah warga yang jaraknya saling berjauhan tersebut masih tertutup rapat. Sesekali, embusan angin kencang meniup api pada lampu petromax yang digantung di depan rumah, membuat suasana semakin mencekam.

"Waduh!" Ia menepuk jidat, merutuki diri sendiri.

Ia baru saja teringat jika keluar dari rumah Pak Kades menjelang pukul tiga, yang artinya jam setan telah tiba. Ia percaya pada mitos yang mengatakan bahwa pada sepertiga malam inilah waktu keramat, waktu di mana makhluk-makhluk astral berada pada puncak kekuatannya. Ia pun memilih untuk menunduk, berjalan sambil menatap sepasang sandal jepit bututnya yang membelah jalanan desa yang lama rusak.

Sapuan angin menyisir leher belakang, membuat bulu kuduknya seketika meremang. Ia menoleh ke belakang, tetapi tak ada seorang pun yang mengikutinya. Dihampiri perasaan tak nyaman, Pak Danu semakin mempercepat langkahnya. Namun, semakin ia memperlebar langkah, semakin ia merasa ada yang mengejarnya.

Tiba-tiba, telinganya menangkap sebuah suara. Seperti suara tangis. Pelan, tetapi terdengar menyayat hati. Sangat memilukan.

"Astaghfirullah! Astaghfirullah!"

Mulutnya mulai komat-kamit dengan cepat, selaras dengan detak jantungnya yang semakin berdebar kencang. Dengan tubuh bergetar, ia terus membelah jalan dengan tergesa, seperti dikejar oleh sesuatu tak kasat mata.

Langkahnya tersaruk-saruk. Beberapa kali hampir terjungkal saat kakinya tersandung batu yang lumayan besar. Sementara itu, mulutnya tak henti merapal berbagai doa.

Setelah beberapa saat, Pak Danu sampai di depan rumah dengan napas tersengal. Ia membuka pintu, bergegas masuk, dan kembali menutupnya. Setelahnya, ia berjalan cepat melewati dua ruang kamar, menerobos dapur, lalu menuju ke kamar mandi, Tentu saja ia tak ingin bertemu istrinya dalam keadaan ketakutan, bukan?

Setelah memastikan pintu kamar mandi tertutup rapat, ia pun mengatur napas sembari mengambil air dengan menangkupkan kedua tangan dan membasuhkannya ke wajah beberapa kali.

Hampir saja jantungnya copot karena diganggu setan, kini hasrat untuk buang kecil tiba-tiba datang dan sampai di puncaknya. Ia membuka ritsleting celana.

"Heekh, untung ndak sampek diliatin wujudnya." Gumannya lirih, berpadu dengan suara kencing yang mengucur di lantai.

Setelah hasratnya tuntas, Pak Danu kembali mengangkat celananya dan memasukkan tangan ke bak mandi. Kondisi kamar mandi yang hanya disinari lampu temaram dari dapur, membuatnya kesulitan mencari gayung untuk menyiram lantai.

Ia meraba-raba kotak bak mandi dari ujung kiri, ke kanan. Depan, ke belakang, lalu ke tengah. Di antara dinginnya air yang menyentuh kulit, ia merasai tangannya menyentuh benda berserabut panjang, seperti rambut.

"Ya Allah!"

Pak Danu terkesiap. Jantung seakan lompat dari tempatnya. Bersamaan dengan itu, suara ketukan pelan di pintu terdengar.

Ia menarik tangannya dari air dan memanggil seseorang di luar yang entah siapa, dengan nada bergetar.

"Si–siapa?"

Hening. Ketukan itu kini berhenti. Sekujur tubuh Pak Danu bergetar. Keringat dingin membasahi peluhnya. Belum turun rasa takutnya, suara ketukan itu kembali terdengar. Bukan ketukan, kali ini lebih terdengar seperti gedoran berkali-kali.

"Allaaahu Akbar!" Ia membanting pintu dan berlari sekencang-kencangnya meninggalkan kamar mandi. Langkahnya berat menuju ruang kamar. Sesampainya, ia bergegas melompat ke atas dipan dan meringkuk di samping istrinya yang tertidur karena kelelahan.

Suara tangis pilu itu kembali terdengar dari kejauhan. Ia pun memberanikan diri mengedarkan pandangan ke ruangan kamar. Lagi, ia teringat sesuatu. Konon, jika suara gaib yang terdengar dekat maka makhluk itu berada jauh dengan manusia. Sebaliknya, jika suara itu terdengar jauh, maka ....

"Ya Allah!"

Mata Pak Danu terbelalak, napasnya tercekat, dan jantung seperti kehilangan detaknya saat pandangannya tertumbuk pada lemari yang ada di pojok ruangan.

Di atas lemari, duduk makhluk berbaju putih dengan kaki yang menjuntai. Rambutnya yang memanjang, menutupi sebagian wajah makhluk itu.

Keringat dingin Pak Danu semakin mengucur deras saat makhluk itu mengangkat wajahnya dengan perlahan. Tubuhnya kaku, tak dapat digerakkan. Kedua mata dari wajah pucat itu menatap Pak Danu dengan tatapan sedih.

'Ni-ni-mas?' Pak Danu tak mampu bersuara. Perasaan takutnya luntur seketika, berubah menjadi kesedihan mendalam.

Mata lelaki itu berkaca-kaca. Ia sejenak terpejam dan mengusap kedua matanya. Namun, setelah dibuka, ia tak lagi melihat makhluk jelmaan anaknya itu di tempat semula.

*****

Pak Danu duduk di kursi yang ada di teras rumah. Ia tidak sedang duduk bersantai menikmati semilir angin sore yang sejuk, tidak. Ia sedang tercenung, memikirkan dua anaknya yang masih saja belum ditemukan sampai sore di hari berikutnya.

Tadi pagi, kepala desa beserta perangkatnya sudah mengerahkan warga untuk kembali mencari kedua anaknya di setiap sudut desa. Namun, hingga menjelang tenggelam matahari, kedua anak Kampung Laut itu tak jua ditemukan.

"Di mana kalian, Nak?" gumam Pak Danu lirih.

Bagaimana seandainya jika mereka tak ditemukan? Atau ketemu tetapi dalam sudah tak bernyawa? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menggerus optimismenya. Trauma mendalam karena sudah pernah kehilangan buah hati, membuatnya semakin dilanda keputus asaan.

"Ndak boleh, ndak boleh! Kalian berdua ndak boleh bernasib sama dengan Nimas." Pak Danu terus bergumam sendiri. "Tunggu, Nimas?"

Pak Danu kembali teringat kejadian semalam, saat makhluk yang menyerupai Nimas, datang menghampirinya.

Saat itu Elang dan Bena masih kecil. Nimas, adalah anak gadis sulungnya yang hilang di area terlarang yang ada di Pulau Hitam belasan tahun yang lalu. Belum ditemukan jasadnya hingga sekarang.

'Kenapa sudah belasan tahun berlalu, baru kali ini Nimas menampakkan diri?' batinnya kelu.

"Tunggu! Apa ini pertanda?" Seketika, bola mata Pak Danu membulat. "Buuuk, Ibuk. Bapak punya firasat Elang dan Bena ada di mana. Bapak akan pergi ke sana sekarang juga."

Ia berteriak ke dalam rumah, lantas bangkit berdiri dengan secercah harapan yang mulai terbit di benaknya. Masih ada satu tempat yang belum ia datangi untuk mencari Elang dan Bena. Tempat itu, adalah tempat yang sama, tempat di mana putri kesayangannya hilang. Tanah terlarang di Pulau Hitam.

*****

“Apa yang buat Bapak yakin mereka ada di sana?" tanya Bu Sartika, istrinya, saat keduanya berada di bibir pantai, hendak menaiki perahu mesinnya.

"Firasatku saja, Buk." Pak Danu menjawab singkat. Ia memang sengaja tak bercerita tentang Nimas yang semalam menghantuinya.
"Ya wis, semoga membuahkan hasil, ya, Pak."

"Aaamin. Buk, ngomong-ngomong kenapa ngeyel ikut, sih? Kan di sana bahaya. Benarnya Ibuk nunggu di rumah aja." Pak Danu sudah bersiap menyalakan mesin perahunya.

Percakapan keduanya kemudian terhenti saat bertemu seorang tetangga yang tengah menepikan perahu kecil miliknya.

"Baru pulang melaut, Pak?"

"Iya, Pak Danu. Sejak kemaren susah nangkap ikan, baru sore ini bisa pulang. Itu juga tidak seberapa," jawab tetangga Pak Danu ramah.

"Pak Danu mau ke mana? Tumben kok ngajak Ibu?"

Pak Danu pun menceritakan niatnya mencari anaknya di Tanah Terlarang. Sontak, tetangga Pak Danu tersebut terkejut bukan kepalang. Pasalnya, saat berangkat kemarin siang, dua kakak beradik minta tumpangan ke pesisir pantai untuk melihat penyu.

"Kukira dua anak itu sudah minta ijin, lo. Nggak taunya mereka sembunyi-sembunyi toh pergi ke sana. Maafkan saya, Pak, Buk." Tetangga Pak Danu menangkupkan kedua tangan dan meletakkannya di depan dada.

"Wah, benar firasatku berarti. Ndak apa, Pak. Ini mau ke sana untuk nyari. Minta doanya, ya." Pak Danu bergegas meluncurkan perahunya ke laut, meninggalkan kampungnya, dan mempertaruhkan nyawa menuju ke Tanah Terlarang di Pulau Hitam.

*****

Sampai di pesisir pantai, Pak Danu menepikan perahunya dan berjalan cepat diikuti oleh Bu Sartika di sampingnya. Mereka terkejut, saat melihat beberapa tenda berwarna merah.

"Kok ada yang datang ke sini, ya, Buk?"

"Nggak tau, Pak. Anak-anak muda mungkin. Udah, jangan dipikirin, Pak. Kita fokus nyari anak-anak aja, yuk."

"Tidak, Buk. Tempat ini bahaya. Bapak harus ingetin mereka." Pak Danu berlari mendekati tenda dan meninggalkan istrinya yang terdiam di tempat.

Pak Danu menengok kanan kiri. Sepi, hanya ada satu pemuda yang tidur di dalam tenda.

"Kalian harus cepat pergi dari sini. Kita tidak tahu bahaya apa yang ada di dalam."

Pak Danu memperingatkan sambil bercerita. Tentang mitos yang berkembang, bahwa orang yang menghilang di area terlarang ini adalah benar adanya. Salah satu dari mereka yang menghilang itu adalah Nimas, anaknya. Jasadnya tak pernah ditemukan hingga sekarang. Ada yang bilang Nimas diculik makhluk tak kasatmata. Versi lain juga merebak jika anaknya dibunuh oleh iblis berwujud manusia yang hidup bersembunyi di dalam sana.

"Entahlah, mana yang benar. Terpenting kita jaga diri."

"Terima kasih, Pak, atas info dan sarannya. Setelah teman-teman saya datang, kami akan segera berkemas dan pergi dari tempat ini."

"Bagus. Saya pamit dulu, mau nyari kedua anak saya." Pak Danu berlalu dari hadapan pemuda tersebut, menggandeng lengan istrinya, lalu masuk ke dalam hutan.

Pak Danu dan istrinya berjalan menembus lebih dalam daerah perawan yang selama ini terlarang untuk didatangi bahkan oleh penduduk terdekat. Bahkan di sore hari pun, tempat ini terasa seram. Pepohonan raksasa yang rapat berdiri dengan sombongnya, seolah-olah mengerdilkan manusia-manusia kecil seperti dirinya.

"Pak, kalau kita tersesat bagaimana?" Bu Sartika merapatkan tubuh pada suaminya. Hujan rintik-rintik mulai turun mengguyur bumi. Semakin deras dan deras.

"Tidak akan, Buk." Pak Danu mengelus-elus lengan istrinya sambil menatap penuh keyakinan, ingin menenangkan. Meski di permukaan tampak tenang, sesungguhnya perasaan Pak Danu sendiri tak yakin dapat menemukan kedua anaknya dengan selamat.

Suara hujan yang menyerbu tanah, berpadu dengan suara dahan pohon raksasa yang bergoyang-goyang tertiup angin kencang, membuat suasana semakin mencekam. Baik Pak Danu dan Bu Sartika tak bersuara, bergelut dengan pikiran masing-masing. Yang ada di otak mereka saat ini hanya kembalinya kedua anak mereka.

Keduanya terus saja berjalan. Di hutan yang selebat ini, Pak Danu membayangkan bagaimana nasib anak-anak mereka. Rasa sayang kepada kedua anaknya membuat Pak Danu dan Bu Sartika mengumpulkan keberanian untuk berjalan semakin cepat, menengok kanan dan kiri, sesekali memanggil nama "Beni" dan "Elang" dengan cara tidak berteriak, takut mengganggu para penghuni hutan.

"Nanti, kalau sampai petang turun dan anak-anak belum ketemu, kita cari gua deket-deket sini, Buk. Kita pasang api unggun, siapa tahu Elang dan Beni tersesatnya tidak jauh."

Bu Sartika hanya mengangguk untuk menanggapi.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Tak sampai setengah jam keduanya mencari, sayup-sayup terdengar suara memanggil mereka.

Sontak, langkah mereka terhenti. Mereka menajamkan telinga, mencoba meyakinkan diri bahwa yang barusan memanggil bukanlah makhluk astral tak kasatmata.

"Buk, itu seperti suara Elang. Tak jauh dari sini, Buk."

Pak Danu dan Bu Sartika pun meneriakkan nama kedua anaknya. Mereka semakin bersemangat ketika suara anaknya yang menyahut terdengar mendekat.

Lebih dekat...

Semakin dekat...

Hingga akhirnya teriakan kencang menghentikan langkah mereka.

"Bapaaak. Ibuuuk." Elang dan Bena terlihat dari kejauhan. Mereka berempat berlari mendekat. Setelahnya, mereka saling bergantian untuk berpelukan di bawah rinai hujan yang semakin deras.

"Ya, Allaah. Alhamdulillah." Pak Danu menengadahkan tangan ke atas. Rasa syukur tak henti bergema di hatinya. Ia tak bisa membayangkan, jika harus kehilangan untuk yang kesekian kalinya.

"Bagaimana kalian bisa.."

"Sudah, Buk. Nanti saja tanya di rumah. Kita ngga jadi inap di sini, kan? Kita lebih baik pulang saja sebelum matahari tenggelam." Komando Pak Danu pada keluarganya.

Mereka pun berputar dan kembali menelusuri jalanan semula. Tidak susah, karena perjalanan saat berangkat memang tak begitu jauh dari pesisir.

Beberapa saat berjalan, akhirnya ujung hutan sudah di depan mereka. Elang dan Bena berlari terlebih dahulu. Keluar dari hutan dan melompat senang ke atas perahu. Bu Sartika menyusul kedua anak mereka ke atas perahu.

Pak Danu hanya tersenyum sambil geleng-geleng melihat kelakuan kedua anaknya. Baru saja hendak kembali melangkah dan menyusul ke perahu, tiba-tiba sebuah benda tajam menancap tepat di punggungnya.

Seketika, mata Pak Danu terbelalak dengan mulut terbuka. Darah mengucur hebat, kepalanya terasa pusing. Lelaki itu terhuyung, tubuhnya merosot ke bawah, hingga ambruk ke tanah.

Pak Danu yang jatuh tersungkur sempat melihat mata kedua anak dan istrinya terbelalak dengan mulut sedikit terbuka saking kagetnya. Pak Danu sendiri tak tahu siapa yang ada di belakangnya. Ia hanya sempat melihat kedua anak dan istrinya berlalu menggunakan perahu lalu menghilang di balik derasnya hujan. Beberapa detik setelahnya, matanya berkunang-kunang, napasnya terasa berat, hingga akhirnya semua menjadi gelap.

close